Disclaimer : [Characters] Hetalia Axis Powers © Hidekaz Himaruya. [Title for this chapter] Harry Potter and Chamber of Secrets © J.K. Rowling.
Warning : Boy's Love. OOC. USUK. Typo.
Author's Note : Lanjutan dari "Selfish".
Days With Him
Chapter 01
Chamber of Secrets
"Arthur, aku ke rumahmu nanti."
Itulah yang dikatakan Alfred sebelum mereka masuk kelas dan duduk di bangku masing-masing setelah istirahat siang. Sepuluh hari telah berlalu sejak ia gelisah dengan kecemburuannya yang keterlaluan tentang kedekatan Arthur pada orang lain meskipun masih dalam taraf percakapan biasa yang biasa dilakukan dengan teman seumuran. Dengan keyakinan yang didapat dari Arthur kalau ia tidaklah aneh dan ia masih tergolong wajar untuk merasakan ingin mengurung seseorang yang disukainya (agar tidak tersentuh, terlihat, dan direbut oleh orang lain), meski jika dilakukan, itu sudah melanggar hukum dan tergolong gila. Alfred yang tadinya takut kalau ia kehilangan kewarasannya karena memikirkan ataupun berniat seperti itu membuatnya murung beberapa saat, kini kembali -lumayan- seperti semula.
Ia memang tidak lagi murung ataupun melamun seperti sepuluh hari yang lalu walaupun ia berada di samping Arthur. Ia juga selalu tersenyum bahagia dan bercerita banyak hal dengan senangnya kepada Arthur. Tetapi, jika ada seseorang yang berbicara dengan Arthur, ia selalu memastikan dirinya berdiri tepat di belakang Arthur dan memasang tatapan mengancam mengerikan pada mereka yang terlihat tertarik dengan kekasih Inggrisnya itu. Meskipun yang menjadi lawan bicara Arthur adalah Lily, gadis pemalu lemah lembut dari Liechtenstein, hingga membuat gadis itu menangis lalu berlari menjauh dari Arthur setelah menyerahkan fotokopian soal dari guru mereka. Alfred juga telah berulang kali menepis tangan Feliciano yang berusaha memeluk Arthur. Membuat Feliciano menangis ketakutan dan langsung mencari perlindungan dari kekasihnya, Ludwig.
Tindakan Alfred bukan cuma itu. Ia nyaris berada di sisi Arthur selama mereka di sekolah hingga ia mengantarnya pulang ke rumah. Di kelas, jam istirahat atau makan siang, rapat pengurus kelas (ia bukan pengurus kelas), bahkan di toilet. Arthur jelas akan merasa terganggu jika ia sadar Alfred mengikutinya seperti bayangan. Karena itu Alfred, melakukannya seolah-olah semua hanya kesengajaan selain jam makan siang yang memang disediakan Arthur sebagai waktu mereka berdua. Dalam kelas, jika Kiku ingin membicarakan mengenai pengurusan kelas dengan Arthur, Alfred akan memainkan PSP miliknya sambil memasang headset tanpa suara. Ia duduk di belakang Arthur seolah-olah sibuk dengan game-nya yang ternyata ia tidak melepaskan pandangannya dari Kiku.
.
.
"Game apa yang kau dapat hari ini?" tanya Arthur. Sekolah telah usai dan mereka tengah berjalan menuju rumah Arthur. Sejak hari itu juga, Alfred datang menghabiskan sore di rumah Arthur sebelum makan malam. Kadang mereka mengerjakan tugas dan PR bersama, kadang juga bermain game terbaru yang dibeli Alfred.
"Ah, hari ini kita nonton anime. Ini anime lagi terkenal di tempat kelahiran Kiku. Judulnya…"Alfred membuka tasnya. Ia mengeluarkan kaset DVD Original anime yang dibacakannya judulnya, "...Axis Powers Hetalia."
"Axis? Apa ada kaitannya dengan Perang Dunia?"
"Mungkin. Aku juga belum tahu. Kita nonton saja. Kata Kiku sih lagi terkenal sekarang. Pastinya bagus!" jawab Alfred. Arthur mengangguk singkat lalu berjalan diam. Memang Arthur jarang bicara dan lebih sering marah-marah, tapi Alfred tahu Arthur diam karena ada yang ia pikirkan. Maka Alfred bertanya ketika mereka telah sampai di depan rumah Arthur, "Kau kenapa?"
Arthur diam sesaat. Ia menatap Alfred singkat lalu mengarahkan pandangannya pada pintu rumahnya.
"Apa kau tak merasa ada yang aneh?" tanya Arthur sambil mengeluarkan kunci rumahnya dan mulai membuka pintu rumahnya lalu mereka berdua masuk rumah besar Arthur.
"Apanya?" balas Alfred saat mereka berdua duduk di ruang keluarga. Arthur hanya diam ketika menyeduhkan teh lalu meletakkan keduanya diatas meja yang berada di depan kursi Alfred dan dirinya duduk. Arthur menghela nafas, sementara Alfred hanya memandangnya dari balik cangkir teh yang diminumnya sekarang. Karena Arthur masih juga tak menjawab dengan kata-kata melainkan dengan airmuka yang berpikir serius, Alfred bertanya lagi, "Apanya yang aneh?"
"Apa aku terlalu kasar?"
"Ha?" Alfred yang kaget nyaris menjatuhkan cangkir tehnya ketika ia mau meletakkannya lagi di atas meja.
Arthur diam lagi. Wajahnya terlihat semakin kusut memikirkan hal yang tak bisa ia terka. Ia menautkan kedua alisnya yang tebal, "Apa kata-kata yang selalu kuucapkan memang sangat kasar?"
"Kenapa kau berpikiran begitu?" tanya Alfred. "Kata-katamu tidak menyakitiku kok."
"Bukan kau. Tapi orang lain," Alfred bingung membuat Arthur menatapnya dengan kecewa lalu menghela nafas sebelum menjawab, "Kau tidak sadar? Aku merasa aku ini dijauhi dari anak-anak sekolah."
Seolah mendapat otak cerdas, Alfred tiba-tiba sangat paham dengan apa yang dibicarakan Arthur. Keringat dingin pun mulai keluar bersamaan dengan rasa cemasnya. Ia takut Arthur tahu kalau ialah yang menjadi penyebab teman-teman sekolah mereka mulai pada menjauh. Tubuhnya menegang karena gugup. Warna mukanya nampak seolah darah telah menjauh dari sana. Ia memaksakan senyum pada Arthur, "Haha…masa'? Mungkin cuma perasaanmu saja."
"Tiga hari yang lalu juga kupikir perasaanku saja, tapi 2 hari ini semakin terasa," remaja Inggris itu menghela nafas lagi. "Apa aku terlalu sering membentak orang? Rasanya aku tidak memukul orang sembarangan. Kelas juga lancar-lancar saja. Jadi, kenapa aku dijauhi? Kenapa menurutmu, Al?"
"Hahahahaha…" Alfred hanya bisa tertawa hambar dengan wajah pucat menanggapi keluhan Arthur yang tak bisa dijawabnya. "Apa kau ada cerita ini ke salah satu anak di sekolah?"
"Mana mungkin!" bantah Arthur dengan cepat. "Kalau aku melakukan itu, kan terlihat seolah aku terganggu mereka begitu ke aku."
Remaja Amerika berkacamata ini bernafas lega. Baru kali ia merasa bersyukur dengan kenyataan kalau Arthur bukanlah termasuk tipe oarng yang berterus-terang. Karena memang sudah sifat Arthur untuk menjaga gengsinya, maka Alfred merasa lega. Berarti dengan begini, kemungkinan Arthur menyadari ataupun tahu kalau Alfred selalu mengikutinya kemanapun hanyalah 10%. Yang menjadi penyebab Arthur dijuhi dan merasa gelisah seperti sekarang adalah tak lain karena dirinya. Ia sadar Arthur akan marah padanya jika tahu. Alfred berusaha mengakhiri pembicaraan ini.
Ia pun mengalihkannya dengan, "Oh iya, ayo kita mulai nonton anime-nya. Genre-nya comedy kok. Biar gak stress mikirin kayak gini."
Arthur tersenyum simpul untuk menghargai usaha Alfred yang berusaha menghiburnya. Kekasihnya telah mau mendengarkan keluh kesahnya, kegelisahan di hatinya. Ia merasa bersyukur memiliki Alfred. Ia tahu Alfred bukanlah tipe dewasa yang akan memberikan saran jika seseorang memiliki masalah, tapi masih mau dengan sabar memperhatikannya bercerita tentang masalahnya. Ia memang tidak berharap lebih dari ini ketika ia berniat menceritakannya pada Alfred. Namun ia teringat, "Ah, aku ambil dulu DVD player-nya."
"Memang tidak di sini?"
"Kemarin aku nonton seharian di kamarku, jadi kubawa ke kamar," Arthur beranjak dari duduknya dan berjalan menuju tangga ke lantai dua. "Kau tunggu saja di sini. Akan kuambilkan."
"Kalo gitu kita nonton di kamarmu saja, " Alfred ikut beranjak dan mulai mengikuti Arthur menaiki tangga yang kini menoleh padanya seraya berteriak, "JANGAN!"
Alfred terdiam mendapati dirinya dibentak Arthur dengan intonasi yang berbeda dengan bentakan marah Arthur yang biasa. Bentakan yang barusan keluar itu tidak terasa seperti main-main. Tidak sedikitpun diiringi nada yang biasanya bisa menjadi celah bagi Alfred untuk membalas dengan main-main. Intonasi yang dikeluarkan begitu tegas, tak ingin dibantah. Terdengar sungguh serius kalau Arthur tak ingin Alfred ke atas, masuk ke kamarnya. Bila Alfred yang biasa, maka ia akan tetap memaksa naik ke atas. Tapi kali ini ia mundur dengan diam dikarenakan perasaan bersalah telah membuat Arthur gelisah akan perilaku teman-teman sekolah meski Arthur tidak tahu Alfred-lah yang menjadi penyebab.
Ditatapnya Arthur yang tampak gugup. Wajah Arthur masih menampakkan kegelisahan seperti yang tadi ia tunjukkan ketika berkeluh kesah. Tapi, bila tadi tatapan matanya seolah mengatakan ia bingung dan tidak mengerti, kini tatapan itu diganti dengan ketakutan. Tubuhnya pun tampak gemetaran yang disamarkannya dengan berlari ke atas tangga menuju kamarnya tanpa menoleh ke Alfred. Alfred merasa ada yang aneh, sehingga ia mengikuti pelan-pelan dari belakang dan melihat Arthur masuk ke kamar yang berada lima langkah dari anak tangga. Tadinya Alfred mau melihat isi kamar itu diam-diam, tapi batal karena Arthur keburu keluar kamar membawa DVD player di tangannya sehingga membuat Alfred turun tangga terburu-buru. Ia segera duduk di kursinya tadi dan mengatur nafasnya sehabis berlari. Arthur yang telah turun menoleh singkat padanya lalu segera memasangkan kabel penghubung TV dan DVD player-nya.
Alfred menghela nafas lega karena ia terlihat menunggu dimata Arthur yang kini meminta kaset anime yang akan mereka tonton.
.
TO BE CONTINUED
.
Next Chapter
"Wahahahahahahahahahaha!" tawa Alfred. "Arthur! Karakter England di sini persis sepertimu! Hahahahahahahaha!"
.
.
Thank you so much for reading! X))
Please review if you don't mind!
Bila tidak ada yang me-review, aku ambil kesimpulan tak ada yang ingin ini dilanjutkan. Jadi, mungkin tidak dilanjutkan. U_U
Ide mereka nonton Hetalia itu dari salah satu fanfic SUJU yang diceritakan temanku. Dia lupa judulnya, aku juga gak tahu. XP
