Hai, everyone!

Anne muncul lagi dengan cerita baru. Crossover pertama Anne ini. Lagi pengen banget coba cerita gabungan antara Harry Potter dan Hunger Game yang notabene favorit Anne banget. Sebelumnya Anne sudah kasih info kalau Anne mau buat cerita genre romance yang Anne buat crossover. Jadilah ini.

Anne akan tunggu respon kalian dulu sebelum buat lanjutan chapter keduanya. Karena fandom ini belum ada yang pernah buat dalam bahasa Indonesia (Anne udah cari di ffn dan belum ada yang nulis Al pasangan sama anaknya Katniss). Kalau feedback bagus, Anne akan lanjut dengan semangat. Meski nggak ada respon dari kalian, Anne tetap tulis sampai selesai, kok. Hehehe! :)

So, baca judu chapter 1nya. Dan beri review kalian apa mau dilanjut!

Happy reading!


Brukkk!

Sebuah camcorder DVD berwarna hitam kombinasi silver baru saja menghantam ubin kamar James tanpa ampun. Dengan keadaan layar LCD masih terbuka, barang elektronik andalan putra pertama Potter itu sedikit lagi akan jadi barang rongsokan.

"Jangan rusak, please!" batin James kalut. Dengan segera ia meletakkan kembali gitar listriknya dan bergegas menyelamatkan benda Muggle pertama yang mampu membuat ketagihan.

Pria dewasa berkacamata muncul sesaat setelah bunyi cukup keras terdengar sampai ke ruang kerjanya, "jatuh lagi?! Ini sudah hampir sepuluh kali kau menjatuhkan benda itu," tanyanya dengan suara meninggi.

"Tapi masih bisa menyala, kok, Dad. Please, help!"

Harry menerima handycam yang dulu ia gunakan untuk merekam putra-putrinya semasa bayi. Meski sudah lama, handycam itu masih berfungsi dengan baik mengingat James, anak paling tua, sudah berusia 16 tahun.

"Aku, kan, sudah bilang kalau kau mau gambar yang bagus, kau harus letakkan di posisi yang tepat dan juga aman, James,"

"Eh, sejak kapan kau ada di sana?" seru James pada sang adik, Al, yang rupanya sudah berdiri di dekat pintu kamarnya dengan tatapan tak suka.

Al masuk dengan tangan terlipat di dada, "mungkin sekali lagi kau jatuhkan handycam tua itu, tak akan bisa lagi kau buat untuk membuat video cover sok kerenmu itu lagi," Al sarkastik.

"Enak aja, fans aku sudah banyak di YouTube, Al. Mereka pasti sudah rindu dengan video cover gitar terbaruku," James menenteng gitar listriknya penuh bangga. Bak bersama dengan seorang perempuan cantik, James bisa menciumi body gitar listriknya itu setiap hari tanpa perlu mencari seorang perempuan yang dijadikan kekasihnya

Gitar listrik berwarna coklat tua itu adalah cinta pertama James.

"Rekam pakai laptop saja, lebih mudah," saran Al.

"No, hasilnya tak memusakan," jawab James menolak mentah-mentah.

Al mengerut kesal, "kalau aku yang edit, pasti hasilnya bagus, James!" tukas Al.

Mereka seolah tak merasakan bahwa ayah mereka sendiri sedang sibuk membenarkan handycam tua yang hampir patah jadi dua itu sementara James dan Al sibuk saling menyalahkan.

"Tapi kalau pakai handycam itu hasilnya lebih bagus, Al—"

"Diam! Kalian apa-apaan, sih?" Harry marah. Kesal juga mendengar dua anak lelakinya saling melempar arumen sementara ia berada tepat di tengah-tengah keduan. James dan Al sudah tak anak-anak lagi. Itu yang menyulitkan Harry.

James dan Al seketika itu terdiam. "Oke, jadi sekilas Dad periksa, handycam ini masih berfungsi. Dan.. James, kau masih mau menggunakan ini sekarang?" tanya Harry.

"Ya, tentu, Dad. Aku harus segera merekamnya sekarang agar Al langsung bisa mengeditnya dan aku upload segera ke YouTube," jawab James mantap.

Sejak dua tahun lalu, James sering membuat rekaman video ia sedang bermain lagu-lagu dengan gitar listriknya. Selain keahlian James bermain gitar yang tak bisa dibilang remeh, tampang James yang rupawan membuat banyak viewersnya di YouTube mengidolakanya.

"Tapi kau butuh sesutau untuk membantumu merekam," kata Al singkat.

Harry mengangguk setuju, "kau butuh tripod. Itu lebih aman dan tepat, son!" jawan Harry sambil menyerahkan handycamnya pada James.

"Tripod?" James tak mengerti. Untuk urusan teknologi dan perangkatnya, James mengaku kalah pada ayah dan adiknya itu.

"Penyangga untuk handycam-mu itu, James. Aku rasa kita punya, deh, iya kan, Dad?" Al melihat ke arah ayahnya mencari penjelasan.

"Ya," Harry mulai beranjak dari ranjang James, "tapi sedang dibawa oleh Aunty Hermione untuk urusan hobi fotografinya itu. Tak tau dikembalikan kapan," jawab Harry.

James tak tahu harus berbuat apa. Ia sendiri pusing memikirkan apakah hari ini ia bisa membuat rekaman terbaru dan segera menghibur para fans-nya di channel YouTubenya yang menurut Al, "sok keren," itu.

"Aduhh.. Al, pinjam ke rumah Peter, ya! Aku pernah lihat dia punya juga. Ayolah Al bantu aku. Kau kan yang paling suka bermain ke rumah Peter!" James mulai memasang wajah melasnya.

Al melihat James sedang bersungguh-sungguh. Dalam pikirannya sekarang kakaknya itu benar-benar tak mau mengecewakan fans-fansnya. Tak mungkin James tampak begitu lemah dan memohon semelow itu jika ia tak serius.

"Baiklah, akan aku pinjamkan. Dan itu tak gratis, anggap saja kau punya hutang budi padaku. Suatu saat akan aku tagih. Deal?" kata Al dan mengulurkan tangannya menunggu tanda jadi.

"DEAL!" Seru James semangat.

Harry hanya bisa berlalu keluar kamar James sambil menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir dengan kelakuan dua putranya yang masih bersikap kekanak-kanakan jika sedang akur.


Namanya juga anak remaja, masih sering ogah-ogahan jika harus disuruh. Tapi nyatanya, saat apa yang ditemuinya masih berkaitan dengan dunia kesukaannya, rasa ogah-ogahan itu seketika hilang dan dirasa tak pernah ada sebelumnya.

Al keluar dari rumah Peter, tetangga yang berusia tak jauh dengan Al, dengan senyuman mengembang di wajahnya. Ia sudah berada di rumah Peter hampir setengah jam hanya untuk meminjam tripod, namun saat Al datang, kebetulan sekali Peter sedang bermain dengan laptopnya.

Peter dalah salah satu penyihir keturunan Muggle yang memiliki ketertarikan dengan teknologi Muggle sama fanatiknya dengan Al. Ayah Peter keturunan penyihir murni sedangkan ibu Peter adalah penyihir berdarah Muggle. Seringnya Peter dekat dengan sang ibu, ia jadi lebih akrab dengan barang Muggle yang tak kalah ajaibnya dengan ilmu sihir.

Sebagai tetangga yang baik, begitulah Al mengenal Peter dan kemudian menjadi sahabat dekat jika mereka tak sedang bersekolah di Hogwarts.

Meski Godric's Hollow lebih dikenal sebagai desa para penyihir, desa yang dikatakan sebagai wilayah penyihir paling elit seantero Inggris. Meski dulu tempat itu dikhususkan untuk tempat tinggal para penyihir, sekarang Gidric's Hollowa juga telah memiliki beberapa penduduk Muggle yang ikut tinggal di area desa.

Walaupun para Muggle sedikit banyak tinggal di wilayah itu, para keluarga penyihir tetap menyembunyikan identitas mereka sebagai penyihir di depan para Muggle, meski mereka adalah tetangga. Hukum tetap hukum.

Sepanjang jalan, beberapa orang yang melihat Al melintas sesekali menyapa padanya.

"Selamat pagi, Al,"

"Selamat pagi, Mr. Potter. Hogwarts sudah liburan, ya?"

"Hai, Al. Salam untuk ayah dan ibumu, ya!"

Begitu seterusnya. Kadang Al merasa risi juga menjadi anak dari seorang pahlawan besar dunia sihir. Ia menjadi terkenal, sesuatu yang tak disukai oleh Al dan juga ayahnya, Harry Potter. Apalagi patung monumen perang yang berbentuk kakek, nenek, dan ayahnya yang masih bayi itu, membuat banyak orang akan merasa bangga jika bisa menyapa salah satu anggota keluarga Potter yang tinggal di satu wilayah yang sama dengan diri mereka.

"Kita semua pindah ke sini itu artinya Mom dan Dad pengecut! Aku tak suka itu!"

Suara seorang perempuan tiba-tiba membuat Al menghentikan langkahnya. Ia berhenti tepat di rumah tepat di samping kediamannya sendiri. "Bukannya Mr. Parrilla sudah pindah kembali ke Spanyol? Kenapa rumah ini masih ada penghuninya?" kata Al dalam hati.

Rumah di sisi tempat tinggalnya itu ditinggali oleh keluarga penyihir keturunan Spanyol. Menurut kabar, Mr. Parrilla sudah mulai pensiun di Kementerian Sihir, sementara anak-anaknya telah hidup sendiri dengan keluarga baru masing-masing. Harry sendiri yang menceritakan pada Al mengenai keputusan Mr. Parrilla yang berniat menjual rumahnya saat Mr. dan Mrs. Parrilla berniat kembali ke rumah mereka di Spanyol.

"Kalau kalian memang berani dan mampu bermain di arena itu dulu, aku yakin aku juga pasti bisa, Mom. Sistem permainannya sekarang sudah jauh berbeda dengan dulu!"

Seorang remaja perempuan berambut gelap dengan warna mata biru cerah seperti membentak tak suka dengan lawan bicaranya yang dipanggil Mom dan Dad. "Dia bertengkar dengan orang tuanya," Al kini mendekat ke pintu pagar halaman rumah itu.

Al semakin ketakutan saat suara saling bentak itu terdengar jelas dari tempat Al berdiri.

"Prim, tunggu. Dengar Mom!"

"Aku tak suka dengan alasan kalian—"

"Ha-hai," suara Al tercekat melihat perempuan seusianya itu hampir saja menabraknya di dekat pagar. Al salah tingkah, baru kali ini berhadapan dengan wanita selain keluarganya sedekat itu.

Tubuh Al berusaha menjauh sambil tetap memegang tripot hitam di tanganya. "Hai," balas si perempuan.

"Maaf, kalau aku lancang. Aku tak sengaja lewat. Are you okay?" tanya Al. Takut salah bertanya.

"Emm.. maaf kalau kau tak suka. Aku tak—"

"Siapa itu, Prim?" secepat kilat, kedatangan wanita dewasa di belakangnya membuat Al berhenti menjelaskan posisinya sekarang.

Wajah wanita dewasa itu sangat mirip dengan perempuan yang ada di hadapan Al. Cantik meski sudah dapat dibilang cukup berumur. Al menaksir usianya tak jauh beda dengan ibunya. "Hai, nak. Kau—"

"Aku Al. Albus Potter. Rumahku di sebelah. Maaf kalau aku lancang, aku tak sengaja lewat. Aku berniat mau pulang,"

"Ahh rupanya kau tetangga kami," kata si wanita ramah. Ia menyingkirkan si anak gadis dan menjabat tangan Al ramah. "aku Katniss Mellark, dan dia putriku, Prim. Kami ada sedikit masalah tadi, tapi tak apa-apa. Maaf juga karena kami belum sempat berkunjung ke rumahmu, kami baru saja pindah ke mari,"

Al hanya bisa diam mendengar penjelasan wanita bernama Katniss itu. Benar, ia dan keluarganya baru saja pindah. Pantas ia baru melihat keluarga itu di dekat rumahnya. "Aah begitu rupanya, Mrs. Mellark. Silakan kalau mau berkunjung. Untuk kau, Prim, salam kenal. Aku punya adik perempuan, bermainlah ke rumahku. Mungkin kalian bisa saling akrab," tutur Al sangat sopan. Ia masih ragu berbicara panjang lebar. Takut jika ia berbicara tentang sihir dan mereka bukan keluarga penyihir, bisa muncul masalah besar nanti.

Prim hanya mengangguk dengan wajah tak definis. Marah, kesal, tak suka, muak bercampur jadi satu menatap Al lekat-lekat.

"Maaf, aku harus pulang. Kakakku menunggu ini," tunjuk Al pada tripod yang ia bawa.

"Wow, kau mau memotret atau merekam? Ahh aku hanya bercanda, kami akan berkunjung ke rumahmu mungkin esok," kata Katniss sebelum Al berpamitan pulang.

Sampai Al masuk halaman rumahnya, pikirannya masih tertuju pada sosok gadis yang ia lihat dengan penuh amarah itu. "Kenapa dia? Pasti ada masalah besar yang terjadi dengan keluarganya,"

Sementara di rumah keluarga Mellark, tanpa banyak bicara Prim terus memperhatikan tubuh Al sampai menghilang di balik pintu rumahnya. "Mungkin dia sama dengan kita. Dan kabar bahwa desa ini desa penyihir mungkin omong kosong. Tak mungkin ada penyihir yang bisa akrab dengan benda-benda spesialis fotografer seperti tripod yang dibawanya," Katniss mendengus lega.

Apa yang terjadi pagi ini sedikit terobati dengan kemunculan Al, tetangga baru keluarga Mellark yang baru pertama dikenal mereka dengan baik. Tanpa tahu latar belakang siapa keluarga Al sebenarnya.

- TBC -


Pembukaan cerita ini Anne terinspirasi waktu lihat videonya Will Dun (pemeran James Sirius Potter di HP 7 part 2) yang suka cover gitar listrik di YouTube. Dan ada salah satu videonya dia nggak bisa ngontrol kamera sampai kameranya jatuh. Lucu deh!

Bagaimana, mau dilanjut? Masih aneh? Ya iyalah, kan baru awal.

Tinggalkan review kalian, akan Anne baca tentunya. Anne tunggu, teman-teman!

Thanks,

Anne xo