"Kudengar wajahnya benar-benar hancur, dan matanya berwarna putih. Kau bisa mati hanya dengan menatapnya!"

"Benar, aku juga sudah dengar tentang itu! Dan apa kalian tahu? Orang yang tidak boleh kita sebutkan namanya itu selalu menyembunyikan tangan kirinya dalam balutan perban."

"Aku hampir tidak pernah melihatnya, apa yang dia lakukan di dalam rumah sepanjang hari, ya?"

"Apa dia menguliti manusia di dalam rumahnya? Memotong-motong bagian tubuh mereka dan menguburnya di halaman belakang? Orang-orang tertutup biasanya melakukan itu!"

Jungkook terperanjat --praktis terbangun dari tidur siangnya, lantas menarik lepas sepasang earphone yang menggantung pada masing-masing telinga-- saat pekikan lantang sekelompok anak sekolah dasar nyaris menulikan gendang telinganya. Ruang tamu yang semula tertata begitu baik, kini telah penuh oleh berbagai camilan lengkap dengan karton-karton jus yang dicuri dari dapurnya. Jungkook mengusak rambut dan duduk bersila di atas sofa. Memandang murka kepada lima kepala yang membentuk lingkaran tidak jauh dari tempatnya berada.

Jungkook mengenal baik salah satu di antaranya. Dia adalah Sowon, gadis kecil berkucir kuda dari keluarga Kal. Jungkook tidak memiliki siapapun di kota metropolitan ini, dan orang tua gadis itu mengurusnya tanpa pamrih. Sowon sudah seperti seorang adik baginya. Jungkook tak pernah membatasi gerak-geriknya dan membiarkan gadis kecil itu mendatangi kediamannya setiap waktu.

Akan tetapi, suatu hari sekelompok makhluk tidak diundang tiba-tiba saja memasuki pelataran rumahnya dan memulai konferensi meja bundar secara mendadak. Menjadikan ruang tamunya sebagai markas permanen --Sowon yang mengusulkan ide tersebut secara sepihak--, dan hal itu sudah seperti rutinitas harian mereka; membicarakan tetangga sebelah rumah yang tampak begitu terisolasi dari lingkungan sosial.

Sowon mulai membicarakan kekhawatirannya dengan raut luar biasa serius, seakan-akan nasib penduduk Korea Selatan bergantung kepadanya.

"Aku perlu membahas kecurigaanku pada tetangga baru di samping rumahmu, samchon. Ini penting sekali, demi kelangsungan hidupmu. Aku tidak mungkin membiarkanmu tinggal di sekitar pembunuh berdarah dingin. Jadi kuputuskan untuk membawa teman-temanku," jelasnya ketika ditanyai.

Ini menggelikan. Sungguh sebuah pemikiran yang tak berdasar. Hanya karena seseorang mengenakan pakaian hitam, belum tentu ia sedang berduka. Anak-anak itu hanya terlalu banyak menonton televisi, Jungkook pikir.

Kakinya menapak pada permukaan lantai, berjalan menuju lemari pendingin dan mengambil sebuah karton jus dari dalam sana. Ia butuh mendinginkan kerongkongan beserta kepalanya yang berdenyut oleh kekesalan. Lamat-lamat Jungkook dapat mendengar isi percakapan mereka. Tidak, ia sedikitpun tak menyimpan maksud untuk menguping, suara-suara itu masuk ke dalam lubang telinganya begitu saja.

"Malam ini salah satu dari kita harus masuk ke halaman rumahnya dan memasang kamera."

Jungkook tersedak. Apa yang sebenarnya ada di dalam kepala kecil mereka? Merekam secara diam-diam jelas bukan hal yang pantas untuk dilakukan. Maka berjalanlah ia menuju ruang tamu. Berdiri di balik punggung-punggung sempit mereka dengan tangan terlipat sangsi, "Tidak ada satupun dari kalian yang diizinkan untuk memasang apapun di rumah siapapun, itu tindakan kriminal."

Sowon berbalik hendak protes, rautnya tampak sangat terganggu, "Jungkook samchon, kau tidak mengerti."

"Oh, aku sangat mengerti. Hanya karena orang itu tidak pernah menunjukkan dirinya, bukan berarti kalian bisa menudingnya sebagai seorang pembunuh berdarah dingin," --dasar kekanakan, Jungkook menyimpan dua kata terakhir di dalam kepalanya. Karena, well, mereka memang sekelompok anak-anak, ia tidak akan berdebat dengan itu.

"Benar, dia bukan seorang pembunuh berdarah dingin. Dia pasti punya komplotan," seorang anak berkacamata turut berkomentar. Telunjuknya bergerak di bawah dagu dengan kening berkerut-kerut. Dan asumsi itu secara otomatis mengundang pekikan lain dari sekitarnya.

Gosh.

Terserah saja, memangnya apa yang bisa dilakukan oleh sekelompok anak berusia sebelas tahun? Mereka hanya sibuk menyusun rencana, tak akan ada satupun dari strategi mereka yang mungkin akan terjadi.

Jungkook kembali menjatuhkan diri di atas sofa, derit kecil terdengar begitu menerima bobot tubuhnya. Ia memilih fokus menyaksikan kabar perekonomian dunia di televisi dan menyesap jus jeruknya dalam hisapan pendek.

"Baiklah, sudah diputuskan," Jungkook melirik dari sudut matanya. Sowon berdiri di antara teman-temannya dan seluruh mata tertuju hanya kepadanya, "Kita akan berkumpul di depan rumah itu pukul tujuh malam," ucapnya lugas dengan sorot otoriter; begitu mutlak dan tidak mungkin ditawar-tawar. Sepintas Jungkook dapat membayangkan mereka berada dalam balutan jas hitam, tengah menyusun rencana pembantaian, dengan Sowon sebagai pemimpinnya.

Setelah anggukan konfirmatif selesai diluncurkan, kelimanya bangkit dan berteriak hampir bersamaan, "Terimakasih makanannya, Jungkook samchon!"

Kemudian menghilang begitu saja di balik pintu tanpa menunggu balasan dari pemilik rumah.

.

.

.

Jungkook pikir, tidak seharusnya ia ikut campur dalam rencana anak sekolah dasar. Akan tetapi ia sedikit --benar-benar hanya sedikit-- penasaran dan berakhir duduk di balkon lantai dua rumahnya yang memberikan akses pandang cukup luas untuk mengawasi pergerakan anak-anak itu dari jarak aman.

Berbekal sekotak jus dan setoples kue kering, Jungkook duduk menghadap tepat ke pelataran di samping rumahnya. Jika dilihat-lihat, rumah itu memang sedikit aneh. Tempat sampahnya selalu terlihat penuh meski menurut desas-desus yang beredar, rumah itu dihuni oleh seorang pria. Apa yang dilakukannya hingga menghasilkan tumpukan sampah sebanyak itu?

Dari tempatnya, Jungkook dapat melihat pemandangan di balik rumah itu. Ada banyak sekali tanaman hias dengan kelopak berwarna-warni. Musim semi membuat taman kecil itu tampak begitu indah. Kenyataan tersebut kontan mengikis rasa curiga di dalam kepalanya. Pria menyeramkan macam apa yang membuat kebun bunga di halaman rumahnya?

Setelah beberapa saat menunggu, sekelompok anak-anak terlihat berkumpul di depan gerbang rumah itu. Mereka terlampau berisik untuk ukuran orang yang hendak memata-matai. Sowon mendorong seorang anak laki-laki di antara mereka, diikuti oleh rekan-rekannya yang lain, agar segera menjalankan rencana. Anak laki-laki itu tampak ketakutan, tetapi memilih untuk tetap berjalan masuk dan mengendap-endap seperti pencuri amatiran. Jungkook mendengus geli dan menyesap jusnya seraya bertopang dagu.

Perlahan-lahan, anak itu menghampiri jendela. Mengintip sedikit sebelum menempatkan sebuah kamera di antara pot tanaman hias. Saat akan berbalik pergi, anak laki-laki itu tersandung oleh kakinya sendiri dan jatuh dengan suara menyakitkan. Tiba-tiba lampu teras rumah itu menyala, diikuti suara gerendel pintu yang dibuka.

Anak laki-laki itu bangkit dengan teramat panik. Ia tergelincir beberapa kali sampai benar-benar dapat berdiri tegak. Namun ia spontan menjerit ketika sebuah siluet dan derit pintu menginterupsi langkah kakinya. Anak-anak lain memanggil namanya berulang kali, dan mereka meninggalkan tempat itu segera setelah rekan mereka berhasil selamat.

Jungkook masih di sana. Terpaku dan membaca setiap gelagat yang di lakukan tetangga misteriusnya. Pemuda itu terlihat begitu kecil di dalam balutan hoodie oversized yang menutupi hingga setengah wajahnya, dan Jungkook tidak dapat melihat dengan jelas karena alasan itu.

Lalu, di tengah hening dan gelapnya malam, Jungkook merasakannya.

Sepasang mata menemukan keberadaannya, dan menatapnya teramat lekat.

.

.

.

TBC

Leonpie,

[15 Mei 2018]