Heartbreaker
Disclaimer: Hidekaz Himaruya
Sweden x femFinland
AU, OOC, adult situations :) don't like don't read.
From my old fic, Eternal Flower.
.
.
.
Berwald Oxenstierna, sang detektif handal yang bekerja di agen mata-mata terbesar milik Mathias Kohler, berdiri di ruang kerjanya, menghadap ke arah jendela dengan perasaan galau. Dia teringat lagi kenangan yang memilukan sambil memandangi gedung-gedung tinggi lainnya. Dan hanya dari jendela ruang kerjanya yang berada di lantai dua puluh lebih. Perasaannya terasa campur aduk sejak kejadian setengah tahun lalu, tepatnya pada malam tahun baru bersama adiknya, Halldora. Di mana dia menolak Tiina Vainamoinen dengan kasar.
"Ber.. ," erang Tiina ketika Berwald mencium bibirnya dengan keadaan mabuk. "Kau mabuk.."
Berwald masih tidak peduli. Ciumannya semakin dalam, membuat Tiina lemas karenanya tetapi Tiina sama sekali tidak menolaknya. Mungkin ini saatnya bagi Tiina untuk mengakui perasaan cintanya terhadap Berwald.
Ya, sejak dulu Tiina mencintai Berwald. Sosok yang selalu dianggapnya kakak sekaligus pelindungnya. Walau perbedaan usia mereka berkisar hingga sebelas tahun tetapi hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk mencintai Berwald sepenuh hati. Sifat stoic yang dimiliki pria itu, tidak membuat Tiina menyerah terhadapnya. Cintanya terhadap Berwald semakin kuat.
Tetapi kini yang berada di hadapannya adalah Berwald yang mabuk. Dan ada kemungkinan Berwald sama sekali tidak sadar apa yang dilakukannya.
"Hentikan!" seru Tiina dan mendorong Berwald ke sofa dengan keras. "Aku tahu, itu bukan maumu."
Secara bersamaan,perlahan-lahan pengaruh alkohol yang mendominasi Berwald perlahan-lahan mulai menipis dan dia mulai mencoba mengingat-ingat apa yang telah dilakukannya tetapi tidak berhasil.
"Apa yang kulakukan padamu?" tanya Berwald gusar sambil memegangi kepalanya. "Ada sesuatu?"
Wajah Tiina memerah. "Er, tadi kau menciumku. Dengan paksa."
"Oh, begitu. Bagaimana perasaanmu?" Berwald balik bertanya tanpa berani menatap Tiina.
Tiina mengigit bibir bawahnya dengan gemetar. "Aku mencintaimu, sejak dulu. Kalau kau ingin tahu."
Berwald bangkit dari sofanya lalu mendorong Tiina ke arah tembok. Mata hijau Berwald menatap mata ungu Tiina dengan tatapan tajam. "Dengar, aku tidak pernah tertarik dengan gadis ingusan sepertimu. Kau tidak pernah menarik sebagai seorang wanita bagiku."
Tiina tercengang mendengar perkataan Berwald. Berwald tidak pernah biasanya bicara kasar padanya, sejak dia berumur sepuluh tahun. Tetapi Berwald yang di depan matanya begitu menakutinya. Lebih tepatnya, takut jika Berwald mengetahui perasaannya.
Sekarang ketakutannya menjadi nyata, Tiina ditolak secara kasar. Air matanya menetes perlahan-lahan. Berwald memang jarang berbicara kepadanya, tetapi sekali dia berbicara cukup panjang, dia berkata hal yang menyakiti Tiina. Tiina merasa patah hati. Rasanya hari itu merupakan malam tahun baru terburuk untuknya.
Tiina tidak akan bisa melupakan malam itu. Malam yang menyenangkan sekaligus terburuk.
Berwald memandang Tiina yang kini terluka. Ingin mencoba meminta maaf tetapi Berwald mengunci mulutnya. Masalah harga diri pria, pikirnya.
"Memikirkan apa?" tanya Halldora, adiknya, dengan tatapan heran.
Berwald terkejut dan menoleh lalu balas menatap adiknya dengan tatapan tajam. "Kau.."
Halldora mundur selangkah. "Kenapa? Ada sesuatu?"
"Bukan urusanmu," jawab Berwald ketus. "Kembali ke pekerjaanmu."
"Aku tahu, kau sedang memikirkan Tiina kan," tebak Halldora. " Ja! Ja! Ja!"
Berwald tersedak mendengar ucapan Halldora. Rupanya adiknya bisa menebak pikirannya dengan jelas. "Bukan dia."
"Lalu apa?" Halldora semakin ngotot. "Aku kan adikmu."
Berwald memberikan death glare mautnya pada Halldora. Halldora hanya tersenyum miris dan buru-buru kabur dari tempat itu sebelum Berwald melempari dia sesuatu.
Tetapi tak lama, Halldora kembali ke tempatnya. "Ngomong-ngomong soal Tiina, sekarang dia sedang pacaran dengan seorang laki-laki seumurnya. Dia adalah seorang pemuda Estonia. Namanya Eduard von Bock."
"Benarkah? Seperti apa orangnya?" Berwald bertanya dengan nada penasaran sekaligus kesal. Seharusnya Berwald tidak peduli akan Tiina lagi. Bukankah Berwald memang menganggap Tiina sebagai adiknya, bukan sebagai kekasih. Tetapi perasaannya berkata lain, Berwald merasa cemburu akan pria yang mendekati Tiina saat ini, walau dia belum pernah bertemu dengan pria itu.
Halldora tersenyum licik dan meninggalkan Berwald yang penasaran, "Dia cukup tampan dan berkacamata sepertimu. Ya sudah, si Mathias kambing itu memanggilku."
"Kenapa begitu?"
"Tiina sudah berusia delapan belas tahun, wajar kalau dia sudah mulai berhubungan dengan teman lelakinya. Cemburu?" tanya Halldora memancing.
"Tidak," jawabnya kesal. "Aku tidak cemburu padanya. Teserah."
"Jangan membohongi perasaanmu sendiri. Nanti kau menyesal," Mathias menerobos masuk ke ruangan dan tiba-tiba berkata. "Kupikir kau menyimpan perasaan khusus padanya."
Mathias benar, Berwald memang menyimpan perasaan khusus pada Tiina tetapi Berwald selalu menyangkalnya. Terlebih lagi Tiina masih sangat muda bagi Berwald.
Berwald tidak tahu harus berkata apa dan meninggalkan Mathias ataupun Halldora yang berada di ruangan kerjanya. Mau apa mereka mencampuri urusanku saja, gumam Berwald kesal di dalam hatinya.
Tetapi Berwald mendapatkan ide bagus, mungkin sementara dia akan pulang ke Finlandia untuk beristirahat sejenak. Dia baru saja ingat bahwa Mathias menyuruhnya ke Finlandia untuk melakukan pengawasan terhadap Universitas Helsinki, tempat kuliah Tiina. Mungkin dia bisa memperbaiki hubungannya yang sempat merenggang. Sekaligus mencari tahu siapa kekasih Tiina saat ini.
Berwald masih ingat ketika beberapa tahun yang lalu, ketika dia menjalin dengan seorang wanita yang berasal dari Seychelles. Bukan hubungan serius, melainkan mereka berhubungan karena sama-sama mencari pengganti seseorang. Wanita itu merupakan pengganti Tiina dan harus diakui wanita itu jauh lebih cantik dan menarik dibandingkan Tiina. Dan tak lama wanita itu meninggal karena terbunuh.
"Aku ini pengganti siapa?"
Bayangan itu selalu menghantui Berwald. Tetapi tetap saja, Tiina selalu menempati urutan ke atas di hati Berwald. Sampai kapanpun.
Tiina Vainamoinen, yang kini sudah duduk di bangku kuliah tampak menikmati kehidupannya sebagai mahasiswa. Dia memiliki prestasi bagus selama di sekolah menengahnya dan dengan mudah masuk ke universitas negeri ternama di Finlandia, Universitas Helsinki. Hidup Tiina sepertinya juga menyenangkan bagi kebanyakan orang karena Tiina juga memiliki kekasih yang baik dan berpotensi, Eduard von Bock.
Tetapi tidak ada yang tahu bahwa Tiina hanya menjadikan Eduard sebagai pelarian semata. Di dalam hati Tiina, Tiina masih mencintai Berwald dan tetap berharap Berwald membalas cintanya pada suatu hari nanti, walau hal itu sangat tidak mungkin.
"Halo, Tiina," sapa Eduard ceria. "Tidak ke kelas hari ini?"
Tiina menghela nafas panjang. "Hari ini kelas diliburkan karena dosen kami sedang tidak masuk. Bagaimana denganmu?"
Eduard nyengir. "Aku bolos karena bosan di kelas. Dosennya menyebalkan."
Tiina tertawa geli. "Nanti nilaimu jelek baru tahu rasa."
Wajah Eduard berubah menjadi sedikit cerah dan membelai wajah Tiina dengan lembut. "Kau manis kalau sedang tertawa."
Tiina merasa bersalah karena telah membohongi Eduard. Sejak SMA, Eduard selalu mengejar-ngejar Tiina tetapi Tiina selalu menolaknya. Tiina baru menerima cinta Eduard pada bulan Januari, beberapa minggu setelah Berwald menolak cintanya.
"Terima kasih," kata Tiina tersenyum sedih sambil menggengam tangan Eduard dengan perasaan bersalah berkecamuk di dalam hatinya. "Kau baik."
Berwald mendatangi rumah Tiina dengan tergesa-gesa. Perlahan-lahan Berwald mengetuk pintu rumah Tiina tetapi tidak ada siapa-siapa di rumah. Apa dia sedang kuliah, pikir Berwald. Mungkin sebaiknya aku menunggunya sebentar lagi.
"Ber!" panggil Tiina dengan nada terkejut ketika Berwald menunggu di depan rumahnya."Mengapa kamu ada di sini?"
Berwald menoleh ke belakang dan hatinya menjadi panas ketika melihat seorang lelaki remaja muda yang ikut bersama Tiina. "Bos menyuruhku."
Sesaat suasana berubah menjadi canggung. Akan tetapi Eduard memecah keheningan di antara mereka berdua. "Halo, saya Eduard von Bock. Saya adalah kekasih Tiina Vainamoinen. Anda paman dari Tiina?"
Berwald menatap Eduard dengan tatapan sinis sekaligus tajam. "Bukan."
Eduard ngeri, tatapan Berwald membuatnya mati kutu. "Maaf," tambahnya gugup. Perasaan Eduard tidak enak, sepertinya Berwald tidak menyukainya atau bahkan membencinya.
"Jangan begitu," tegur Tiina. "Kau membuatnya takut."
Berwald tidak menggubris perkataan Tiina. Entah mengapa Berwald tidak bisa menyukai kekasih Tiina yang baru walau tampaknya Berwald jauh lebih baik daripada Eduard. Eduard adalah pria yang ceria sedangkan Berwald adalah pria yang kaku. Wajar jika Tiina pada akhirnya lebih memilih Eduard dibandingkan dengan dirinya. Fakta sungguh menyebalkan.
Tiina menggerutu kesal," Mau apa kau kesini?"
"Haruskah kukatakan?" Berwald balik bertanya. "Ada sesuatu yang penting."
Eduard menatap Berwald dan Tiina dengan tatapan bingung, tetapi Eduard merasa ada sesuatu di antara mereka. Tak berapa lama, Eduard pamit untuk pulang agar tidak mengganggu.
"Gara-gara kau," keluh Tiina kesal, teringat lagi kejadian di malam tahun baru. "Bukankah kau sibuk bekerja?"
"Kau masih marah?" tanya Berwald memancing Tiina.
Tiina tidak bisa berkata apa-apa. Wajahnya memerah, antara menegang ataupun malu. Ini akan menjadi hal terburuk selama Berwald di sini. Tiba-tiba, terlintas ide jahat di otak Tiina. Tiina harus membalas dendam pada Berwald dan membuktikan pada pria itu bahwa Tiina bukan gadis yang bisa dipermainkan seenaknya. Terlebih kejadian malam tahun baru itu sangat menyakiti hatinya teramat dalam dan menghancurkan cintanya dalam semalam.
.
.
.
Tiina membaringkan diri di tempat tidurnya dan menghela nafas panjang di kamarnya dengan perasaan galau. Belum pernah dia segalau ini. Sejak bertemu lagi dengan Berwald beberapa jam yang lalu, Tiina mulai merasa gelisah dan tidak nyaman. Tiina memang masih mencintai Berwald tetapi mengingat perlakuan pria itu terhadapnya membuat Tiina sakit hati dan merasa tidak berharga.
Apalagi perkataan yang dilontarkan olehnya. Sangat menyakitkan.
"Dengar, aku tidak pernah tertarik dengan gadis ingusan sepertimu. Kau tidak pernah menarik sebagai seorang wanita bagiku."
Peruntungannya memang buruk, dan hari itu dia nyaris bertengkar dengan Berwald. Tidak tahu karena apa.
"Kau bersama dengan pria ingusan itu?" tanya Berwald sinis. "Secepat itukah berpaling?"
Tiina mendengus. "Apapun yang terjadi itu bukan urusanmu?"
"Tentu saja itu urusanku," balas Berwald.
"Terus apa? Kau kira aku ini mainanmu!" Tiina membalas. "Jika berpikir seperti itu cari saja orang lain."
Berwald meninggalkan Tiina tepat di depan rumahnya. "Cih, teserah!"
Tiina memandangi kepergian Berwald dengan wajah muram dan air matanya menetes perlahan-lahan. "Pergi dan jangan pernah kembali lagi."
Tak berapa lama, Tiina menangis di tempat tidurnya. Benci karena Tiina harus mengingat kenangan buruk itu lagi dan Tiina gemetaran di depan pria itu. Lalu Tiina menelpon Halldora, adik Berwald.
"Halo, ini aku, Tiina," kata Tiina lirih. "Berwald datang ke tempatku lagi. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi."
Halldora mendengarkan cerita Tiina dengan seksama. Setelah Tiina berhenti berbicara, barulah Halldora mengatakan sesuatu,"Kupikir dia mencintaimu, jadi dia berbuat seperti itu."
Nafas Tiina tercekat. "Tidak mungkin dia mencintaiku, aku bukanlah tipenya."
"Aku mengenal kakakku lebih daripadamu. Aku bisa jamin seratus persen. Yang harus kaulakukan adalah terus mengamatinya. Semuanya akan terlihat jelas."
Tiina mengucapkan salam perpisahan pada Halldora dan menutup teleponnya. Tak berapa lama, suara bel pintu berbunyi. Tiina membukakan pintunya dan terkejut mendapati Berwald di depan rumahnya, sambil membawakan satu kantong besar yang berisi makanan.
"Kau lapar?" tanya Berwald. "Aku belikan makanan untukmu."
"Terima kasih atas perhatiannya dan mau apa kau?" tanya Tiina gemetaran. Tanpa diminta Berwald menerobos masuk ke rumahnya dan meletakkan kantong besar tersebut di ruang tamu.
"Aku ingin mengatakan sesuatu. Penting," kata Berwald sambil mendorong Tiina ke sofa. Tiina terbaring di sofanya, begitu juga dengan Berwald. Hidung mereka kini bersentuhan satu sama lain.
"Kau pikir apa yang kau lakukan!" bentaknya tetapi Berwald menahannya dengan erat. Tiina tidak bisa menolak ketika Berwald memainkan bibirnya dengan lembut. Ini tidak bisa ditolaknya, akal sehat Tiina ingin menghentikan semua kegilaan ini tetapi Tiina tidak bisa, tubuhnya menginginkannya dan bergairah kepada Berwald.
"Kau sadar bahwa kau begitu memabukkan," Berwald mulai meracau, masih tetap memainkan bibirnya. "Seandainya bisa kulakukan padamu, akan kulakukan sekarang juga."
Nafas Tiina memburu. "Apa maksudmu?"
"Kau sudah dewasa," jawab Berwald. "Tentu saja kau tahu."
"Apa?" tanya Tiina penasaran.
"Bercinta denganmu," katanya sambil mencium dahi Tiina dengan penuh hasrat mendalam. "Itu maksudku."
Tiina baru menyadari bahwa ini pertama kalinya ia melihat bukti hasrat pria. Buru-buru Tiina bangkit dari pembaringannya. "Maaf aku sama sekali tidak bisa."
Berwald terbangun dan menatap Tiina penuh arti. "Kau mencintaiku."
"Aku bukan anak kecil yang menganggap seks sama dengan cinta," Tiina berkata, tanpa berani menatap Berwald sedikitpun.
Dalam hati Berwald merutuki diri sendiri yang tidak bisa mengendalikan hasratnya. Tetapi Tiina yang masih berusia delapan belas tahun begitu menggodanya, hingga Berwald memimpikannya nyaris tiap malam. Tetapi Berwald tidak akan mengatakannya pada Tiina.
Tidak akan pernah karena Berwald tidak mau terikat dengan siapapun.
Sepertinya hari sial Tiina terus berlanjut. Beberapa hari kemudian, Berwald menjadi tamu penting di Universitas Helsinki dan itu cukup membuat Tiina kesal karena dia mengajar di salah satu kelasnya sebagai dosen tamu untuk beberapa minggu.
Ini memang agak melenceng dari tugas Berwald sesungguhnya yaitu mengawasi keamanan di kampus Tiina, tetapi tidak apa-apa karena Berwald bisa berdekatan dengan Tiina.
"Kau tampak kesal dengan Dr. Oxenstierna," kata Eduard ketika melihat ekspresi Tiina yang berubah ketika melihat Berwald. "Ada apa?"
"Tidak apa-apa," jawab Tiina ketus. "Dia hanya orang yang menyebalkan."
Eduard tersenyum penuh arti. "Aku mengerti jika kamu membencinya. Tapi kenapa?"
"Dia besar kepala dan perayu ulung," Tiina menjawab dengan asal. "Dia cuma mengganggu hidupku saja."
"Siapa yang seperti itu?" tanya sebuah suara secara tiba-tiba dari belakang. Tiina dan Eduard menoleh, Berwald berdiri di belakang mereka.
"Halo, Dr. Oxenstierna. Aku Eduard von Bock," katanya dan memperkenalkan diri sekali lagi dengan tubuh gemetar. "Senang bertemu denganmu."
Aku tidak sudi berkenalan dengan bocah sepertimu. Jauh-jauh dari Tiina, kau menyebalkan.
Berwald menatap Eduard dengan tatapan mematikannya dan menggandeng tangan Tiina dengan erat. "Aku ada perlu dengan Miss Vainamoinen, sebentar."
"Apa maksudmu?" tanya Tiina kesal.
"Mengenai laporanmu," jawab Berwald sambil menggengam tangan Tiina dengan erat. "Kau harus bertemu denganku untuk membicarakannya."
"Kau hanya dosen tamu. Jangan sok," ujar Tiina kesal, berusaha melepaskan diri dari Berwald. Berwald tidak mengacuhkan Tiina dan tetap menyeret gadis itu.
Eduard hanya memandangi Tiina dan Berwald dengan tatapan bingung. "Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa jadi sekacau ini?"
Rupanya Berwald hanya beralasan saja pada Eduard agar bisa membawa Tiina ke suatu tempat yaitu hutan di belakang kampusnya yang sangat luas dan dipenuhi dengan bunga-bunga indah di dalamnya. Jarang ada orang yang mau beristirahat di sana karena kabarnya tempat itu berbahaya, Melihat bunga-bunga tersebut, kemarahan Tiina terhadap Berwald perlahan-lahan meleleh.
"Bunga yang indah," kata Tiina ceria sambil memetik satu tangkai bunga lily dan menciumnya dengan lembut. "Ini bunga kesukaanku."
"Kau tidak berubah," kata Berwald, mencoba mengatakan sesuatu.
Jantung Tiina berdegup kencang, Tiina memang masih marah terhadap Berwald tetapi hatinya mulai melunak sedikit demi sedikit. "Memang."
"Aku suka kamu yang seperti ini," kata Berwald dan menarik Tiina ke dalam pelukannya dengan erat. "Kalau kau ingin tahu."
"Eh, mengapa?" tanya Tiina dengan nada gemetaran di pelukan pria itu. "Kau membenciku."
Berwald membaringkan Tiina ke rerumputan hijau dan mencium bibir Tiina yang lembut itu dengan perlahan, "Kau ingin tahu bagaimana perasaanku padamu?"
Tiina terkejut. "Apa yang mau kau lakukan padaku?"
Berwald tidak menjawab pertanyaan Tiina sama sekali dan mencium leher Tiina dengan bibirnya yang dingin. Tiina menggeliat kesakitan, air matanya keluar. Lalu yang dilakukan Berwald setelah itu adalah melepas kemeja dan rok yang dikenakan Tiina dan meraba-raba di bagian situ.
"Ber.. hentikan. Kumohon," isak Tiina perih ketika Berwald menciumi tubuhnya dengan sedikit kasar. "Tidak seharusnya kita melakukan ini."
Tetapi Berwald sama sekali tidak peduli dan melepaskan sedikit celananya. Semakin lama hasrat yang dimiliki Berwald semakin menggebu. Tangisan Tiina pecah dan Tiina menjerit, menyayat hati.
"Kita tidak seharusnya melakukan ini," kata Tiina dengan nafas tertahan dan air mata mengalir deras di wajahnya. "Aku tidak mengerti mengapa?"
"Ini bukti cintaku padamu," kata Berwald. "Tahanlah sebentar lagi."
Mata Tiina mulai nanar,tidak mampu berpikir apapun lagi. Dunia terasa gelap, tepat saat Berwald sudah mulai mencapai klimaks.
Tubuh Tiina melemas, serangan yang diberikan pria tersebut terlalu kuat. Dengan tenaga yang ada, Tiina menampar Berwald sekuat tenaga.
PLAK!
Tamparan itu menyadarkan Berwald akan perbuatannya. Tiina mengambil pakaiannya sendiri dan mengenakannya dengan perlahan. Rasa malu menghinggapi diri Tiina. Miliknya yang berharga direnggut secara paksa, tanpa adanya peringatan sedikitpun.
Berwald mengumpulkan akal sehatnya dan baru disadari, bahwa dia melakukan hal yang tidak termaafkan pada Tiina, gadis yang selalu dia jaga dan dilindunginya sejak kecil. Darah memerciki rerumputan hijau tersebut. Yang merupakan hasil perbuatannya sendiri.
Apa yang kulakukan padanya. Aku sudah merenggut Tiina. Jika terjadi apa-apa, ini semua salahku.
"Tiina, aku-"
Tiina tidak menjawab perkataan Berwald. Setelah Tiina selesai mengenakan pakaiannya, Tiina meninggalkan Berwald dengan perasaan terluka, malu dan kotor.
Aku sudah tidak bisa menjadi seorang istri dari siapapun. Aku sudah tersentuh, tidak bisa.
.
.
.
Berwald merenungi perbuatannya tadi siang. Tidak pernah dia sangka bahwa dia bisa melakukan perbuatan sekejam itu pada Tiina. Sejak awal kedatangannya, dia sudah cukup membuat Tiina sakit hati dengan perbuatannya di masa lalu dengan ucapannya dan sekarang, dia telah merenggut milik Tiina yang paling berharga. Tangisan dan tamparan yang diberikan gadis muda itu menyadarinya.
"Aku bukan milikmu dan juga bukan sebagai pelampiasan nafsumu," kata Tiina terisak-isak setelah menampar pipi Berwald. Wajahnya memerah antara malu sekaligus terkejut. Tiina tidak menduga bahwa Berwald akan menyerangnya di siang hari seperti ini. Kejadian itu terlalu cepat. Rasa sakit di bagian intim miliknya sangat terasa. Darah mengalir deras.
Sakit, tak tertahankan. Buah dari pemaksaan.
Dia sama sekali tidak menginginkannya.
Berwald merutuki kebodohannya sendiri. Seakan-akan tersadar dari perbuatannya. Bagaimana mungkin dia melakukan hal ini pada gadis yang dicintainya. Berwald memang sejak dulu memiliki ketertarikan pada Tiina dan bahkan mencintainya tetapi karena Berwald menganggap Tiina masih anak-anak, dia berusaha meredam perasaan itu. Seiring bertambahnya umur, gairahnya terhadap Tiina semakin membesar. Tidak cukup hanya mencintai Tiina tetapi ingin menyentuh Tiina, memilikinya sekaligus bercinta dengan Tiina. Setelah melakukannya, Berwald sama sekali tidak merasa adanya kepuasan tetapi terluka karenanya. Dia sudah menghancurkan perasaan cinta yang dimiliki Tiina.
Pikirkan dulu sebelum berbuat, bodoh.
Berwald tahu seharusnya dia tidak melakukan hal itu karena dia bukan milik Tiina tetapi ada sesuatu yang menganggunya, pria Estonia itu, Eduard von Bock. Dia telah merebut Tiina ketika Berwald memutuskan untuk pergi ke Stockholm karena pekerjaan.
Kesalahanmu adalah kau tidak mengakui perasaan cintamu terhadap gadis itu. Lihatlah, begini jadinya. Dasar tidak jujur.
Dia bukan tipe orang yang bisa mengungkapkan perasaannya secara gamblang. Bisa dibilang, Berwald cukup gengsi untuk mengakui bahwa sebenarnya dia sudah mencintai Tiina ketika Tiina menyatakan cintanya pada Berwald untuk pertama kali. Saat itu Berwald sedang mabuk sehingga dia tidak bisa mengontrol ucapannya yang sembarangan itu. Betapa menyesalnya mengingat apa yang telah dilakukan pada Tiina.
Tiina memandangi tubuhnya di cermin dengan tatapan pucat. Kejadian siang hari membuatnya trauma teramat dalam. Terlebih lagi, Tiina tidak siap ketika Berwald mencumbuinya dengan cepat sekaligus kasar. Dia berharap kejadian tersebut hanya mimpi semata.
Sayangnya itu bukan sekedar mimpi, itu adalah kenyataan.
Tubuhnya masih terasa sakit akibat serangan itu. Dia ragu akan masa depannya, bagaimana jika Eduard sampai tahu hal ini. Apakah dia akan meninggalkannya, atau menghujatnya sebagai wanita murahan dan sebagainya.
Sesungguhnya itu bukan masalah yang benar-benar dia pikirkan. Yang hanya Tiina pikirkan hanya satu hal, apakah Berwald mencintainya atau Tiina hanya pelampiasan nafsu semata karena Halldora pernah berkata bahwa dulu Berwald mempunyai kekasih dari Seychelles dan gadis itu meninggal karena kecelakaan kerja. Tiina tidak tahu apa-apa dan jika dulu Berwald melakukan itu padanya, Tiina akan menganggapnya sebagai bentuk cinta.
"A.. aku.. ," kata Tiina tergagap, tidak berani menatap cermin lagi. "Sudah ternodai.. "
Air mata menetes di bola mata ungunya yang cantik. Hatinya terasa sesak, tidak mampu berkata apa-apa lagi. Segalanya sudah berakhir. Cintanya. Masa depannya.
Semua terasa gelap.
Sejak saat itu, Tiina selalu menghindari Berwald dan mencari alasan agar tidak menghadiri pertemuan bila Berwald berada di sana. Sudah cukup Berwald menginjaknya seperti ini, batin Tiina geram.
"Hei!" sapa Eduard ceria. "Belakangan ini kau tampak sedih?" tanyanya ketika melihat wajah Tiina yang suram. "Ada sesuatu yang menganggumu?"
Tiina menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, aku hanya stress."
"Apa tugasmu terlalu banyak?" Eduard bertanya dengan lembut sembari membelai wajah Tiina perlahan.
Tiina menghela nafas. Eduard begitu perhatian padanya, tetapi Tiina tidak bisa mencintai Eduard. Baginya Eduard hanya teman saja. "Maafkan aku," gumamnya lirih.
"Loh," kata Eduard, terkejut mendengar gumaman Tiina. "Ada apa?"
Tidak apa-apa. Nanti aku akan bilang jika sudah saatnya. Maafkan aku.
Eduard berpikir sejenak. Sejak Berwald datang ke Helsinki, sikap Tiina berubah drastis. Tiina berubah menjadi pendiam dan cenderung menghindarinya. Ada sesuatu yang aneh mengenai Tiina dan Berwald, batin Eduard. Mungkin Eduard akan mulai mencari tahu tentang kejadian yang sebenarnya.
Hari Jumat merupakan hari yang terburuk untuk Tiina. Dosen yang biasa mengajar kelas mereka sedang sakit dan digantikan oleh orang yang paling Tiina ingin hindari di muka bumi ini, Berwald. Di kelas, Tiina memperhatikan penjelasan Berwald dengan malas. Sikap Tiina membuat Berwald gemas dan pada akhirnya Berwald sengaja memberikan pertanyaan sulit pada Tiina, Tiina tidak bisa menjawabnya sama sekali.
"Darimana saja ketika aku menerangkan materi ini?" tanya Berwald dingin. "Jangan terlalu banyak pacaran."
"Ma.. maaf, Dr. Oxenstierna, " kata Tiina pelan sekaligus tersedak. "Aku kurang mengerti materi ini."
Yeah, kalau kau kira aku bisa dikerjai olehmu kau salah besar. Aku benci padamu. Dan pasti aku akan mendampratmu ketika pelajaran ini sudah usai. Dr. Berwald Oxenstierna.
Selesai pelajaran, Tiina ingin segera kabur dari ruangan itu tetapi tidak bisa karena Berwald menghukumnya karena Tiina tidak bisa menjawab pertanyaan di kelas tadi. Amarah Tiina mulai meledak dan dia terpaksa harus berduaan dengan Berwald. Ini lebih dari mimpi buruk bagi Tiina.
"Kau pikir apa yang kau lakukan, manusia kejam tidak berperasaan!" bentak Tiina gusar. "Eduard sudah menungguku di luar."
Berwald mendengus. "Biarkan saja pacarmu yang kekanakan itu."
"Dia bukan kekanakan," tambah Tiina emosi. "Dibandingkan dia, kau jauh lebih kekanakan, bahkan tidak berperasaan."
"Yeh," gumam Berwald datar. "Kau benar."
Tiina masih ingin membentak pria itu tetapi segera tersadar bahwa mereka berdua masih berada di satu ruangan. Bisa jadi ada dosen lain yang mendengar pertengkaran mereka lalu Tiina akan dicap sebagai murid yang kurang ajar.
"Teserah kau ingin mengatakan apa," kata Tiina lemah dan memalingkan wajahnya ke arah lain. "Sudah cukup aku merasa tersakiti seperti ini. Aku sudah muak."
"Seperti apa?" tanya Berwald memancing. "Kejadian yang kulakukan padamu sebulan yang lalu."
Tiina memerah, kejadian itu tidak ingin dia ingat lagi. Itu merupakan kenangan buruk sekalipun Tiina memang mencintai Berwald. Perutnya terasa mual-mual ketika berdekatan dengan Berwald.
Berwald berdeham dan melanjutkan perkataannya,"Itu lumrah dilakukan di Barat. Masa kau tidak mengerti. Kau bukan anak kecil lagi."
Jadi memang benar dia hanya menjadikan aku sebagai pelampiasan nafsunya saja. Aku tidak percaya ini. Ternyata dugaanku benar, Berwald tidak pernah mencintaiku. Aku salah menilainya.
"Aku mengerti," kata Tiina bergetar, nafasnya terasa sesak. "Aku tidak akan meminta pertanggung-jawaban padamu jika aku sampai mengandung anakmu. Sebagai hasil perbuatanmu waktu itu," tambahnya dingin.
"Lalu? Memangnya aku peduli," tambah Berwald ketus.
PLAK.. Satu tamparan mendarat di wajah Berwald yang tampan. Wajah itu kini tidak terlihat kaku lagi melainkan sedikit kemerahan. Tiina menatap Berwald dengan tatapan penuh benci. "Aku menyesal dulu pernah mencintaimu," katanya lirih lalu meninggalkan Berwald di ruangan itu.
"Sial," rutuk Berwald setelah Tiina meninggalkannya. Mengapa aku tidak bisa jujur sedikit saja padanya. Aku mencintainya sepenuh hati. Tiina tidak pernah berbicara kasar pada orang lain tetapi kepadaku dia berubah menjadi kasar.
Beberapa hari kemudian, Berwald mendatangi rumah Tiina sambil membawa satu buket bunga lily putih yang dibelinya di toko bunga terbaik di Helsinki. Sebagai tanda permintaan maaf sekaligus pernyataan cintanya pada Tiina. Berwald berjanji, ini yang terakhir kalinya dia menyakiti Tiina. Untuk seterusnya, dia akan selalu menjaga Tiina dan memperlakukan Tiina layaknya seorang kekasih.
Tetapi itu tidak berjalan mulus, ada Eduard di sana sedang mencium kening Tiina dengan lembut. Tiina terkikik geli, wajahnya bersemu merah. Hati Berwald terasa panas, api cemburu yang berada di dalam dirinya tidak tertahankan lagi.
"Tiina," katanya dingin dan tanpa sengaja menjatuhkan satu buket bunga lily putih yang tadinya akan diberikan pada Tiina. "Kukira kau serius dengan perkataanmu."
Tiina melepaskan diri dari Eduard dan wajahnya terkejut melihat Berwald yang berada di depan rumahnya. Begitu juga dengan Eduard.
"Apa maksudmu?" tanya Tiina bingung.
Rupanya dia sudah lupa, batin Berwald kesal. Apa sih yang ada di pikiran Tiina.
"Kau mencintaiku," kata Berwald gemetar. "Kau mengatakannya di depanku, beberapa hari yang lalu."
"Kurasa hal itu sudah tidak usah dibahas lagi, Berwald."
"Perlu," ujar Berwald tegas, merasa terluka atas perkataan Tiina lalu meninggalkan Tiina dan Eduard. "Yang kuperlukan hanyalah meninggalkan wanita plin-plan sepertimu."
"Tunggu!" bentak Tiina ketika Berwald menjauhinya. "Kau tidak seharusnya membuatku seperti ini!"
"Persetan!" gerutu Berwald. "Aku tidak peduli padamu."
Mereka berdua saling menyumpah-nyumpah satu sama lainnya. Eduard sekarang mengerti apa yang terjadi sebenarnya pada mereka berdua, pertengkaran itu sudah cukup membuat Eduard paham sepenuhnya. Pantas saja Tiina menolak perasaan cintanya selama bertahun-tahun. Tiina tentu mengenal Berwald sejak kecil dan mencintainya. Kini dia tahu apa yang harus dilakukannya, melepaskan Tiina untuk Berwald.
"Aku memang mencintaimu, tetapi sudah tidak lagi!" seru Tiina. "Dan jangan harap aku mau kembali padamu. Pulang ke Stockholm dan jangan pernah ganggu kehidupanku lagi!"
"Bagus itu!" balas Berwald. "Aku tidak perlu kembali ke Helsinki untuk melihat pemandangan memuakkan seperti itu."
"Du är hjärtlös våldtäktsman. Och jag önskar ingen annan vill gifta mid meg dig!" 1)
Perkataan Tiina yang terakhir itu membuat dada Berwald terasa sesak. Teringat akan perbuatannya waktu itu dan kini Berwald merasa bersalah. Mengabaikan Tiina yang masih terus berseru kepadanya, Berwald segera memanggil taksi dan memutuskan untuk kembali ke Stockholm besok pagi. Sesuai dengan keinginan Tiina.
Nafas Tiina tersengal-sengal. Tubuhnya ingin memuntahkan sesuatu, sudah satu bulan dia selalu seperti itu dan haidnya terlambat. Satu hal pasti, Tiina mengandung anak Berwald tetapi Tiina tidak berani mengeceknya. Tidak mungkin karena Tiina berusia delapan belas tahun.
Di belakang Tiina, seseorang menepuk bahunya dengan lembut. Eduard berdiri di belakangnya dan menatap Tiina dengan lembut. "Aku terkesan denganmu," kata Eduard tulus. "Kau berani membentak pria itu dengan bahasa asal pria itu. Pria itu berasal dari Swedia, bukan?"
Tiina mengangguk. "Aku tidak peduli dia berasal dari mana."
"Kita masih bisa jadi teman, kan?" tanya Eduard sambil mengulurkan tangan pada Tiina. "Kurasa perasaan itu lebih cocok untuk ditujukan pada pria itu."
Tiina membalas uluran tangan Eduard dengan kaku, lalu menjatuhkan tangannya kembali. Tak berapa lama Eduard mohon pamit untuk pergi.
Tiina menangis di depan pintu rumahnya. Berwald benar-benar akan meninggalkannya. Mengapa semuanya sekacau ini, aku tidak pernah menginginkan hal ini. Memuakkan. Semua tetangga jadi tahu kejadian ini. Buruk.
TBC
1) You're heartless rapist and I wish nobody else marry you.
