No Podras Olvidar [Don't Forget Me]

Disclaimer: Hidekaz Himaruya

From my fic Min Karlek, My Love at my old account

Warning: Adult situation, AU, genderbending, don't like don't read :D

.

.

.

Suasana di ruang kelas saat itu sangat panas, bahkan bisa dibilang membosankan. Di sudut kiri terdapat seorang mahasiswa yang tertidur ketika mendengar penjelasan dosen dan di sudut kanan terdapat beberapa mahasiswi yang sibuk menggosip satu sama lain. Bisa dibilang, suasana kelas tidak kondusif untuk mendengarkan materi yang dijelaskan oleh dosen.

Tetapi tidak bagi Tiina Vainamoinen, suasana hatinya sedang ceria. Bagaimana tidak, karena hari ini yang mengajar materi kelas tersebut adalah Berwald Oxenstierna, dosen yang berasal dari jurusan Interior yang kebetulan juga yang menolongnya dua tahun yang lalu dan kini Berwald mengajar materi untuk jurusan Sosial.

"Miss Vainamoinen," panggil Berwald. "Apa kamu memperhatikan penjelasanku tadi?"

Wajah Tiina memerah dalam sekejap. Sejak awal pelajaran, Tiina sibuk terpesona dengan cara Berwald menerangkan materi walau sebagian teman-teman sekelasnya menguap karena bosan dan Tiina lupa untuk memperhatikan materi yang sedang dijelaskan. "Maksud anda apa, Dr. Oxenstierna?"

"Apa kamu mendengarkan penjelasanku, Miss Vainamoinen?" tanya Berwald sekali lagi dengan nada dingin.

Wajah Tiina semakin memerah dan Tiina hanya menjawab pertanyaan Berwald dengan gugup,"Er, sejak tadi saya memperhatikan Anda."

Berwald berdeham sambil menatap anak didiknya sekaligus kekasihnya tersebut dengan tatapan dingin. "Jelaskan materi yang sejak tadi saya bahas!"

Tiina mencoba mengatakan sesuatu tetapi tidak ada yang bisa Tiina ingat materi yang sedang dijelaskan. Dengan pasrah Tiina menjawab," Maaf, saya lupa."

Beberapa murid tertawa terbahak-bahak, bahkan ada yang bersuit-suit ria dan berseru kencang. "Makanya jangan pacaran terus!" seru Alfred F Jones kepada Tiina. Dengan sukses Alfred mendapatkan tatapan tajam dari Berwald dan dengan cepat Alfred membaca bukunya kembali sebelum Berwald bertambah kesal akan tingkah Alfred.

"Kuharap kamu lebih memperhatikan apa yang sedang diterangkan," kata Berwald ketus. "Sebagai hukumannya, kamu harus mengerjakan laporan di ruanganku."

Ingin rasanya Tiina mencekik Berwald karena telah mempermalukannya di depan semua mahasiswa tetapi mau tidak mau Tiina merasa senang karena ada alasan untuk pulang malam agar tidak perlu bertemu dengan ibunya yang sering melakukan kekerasan terhadapnya dan juga bisa berduaan dengan Berwald.

.

.

"Hm, kamu jahat Ber. Memberikan tugas sebanyak ini," keluh Tiina kesal. "Bahkan kamu juga bukan dosen tetap jurusan Sosial dan hanya pengganti Dr. Kohler saja."

Berwald tidak mengatakan apa-apa pada Tiina dan hanya menatap Tiina yang tampaknya mulai kelelahan dengan tugas yang diberikannya. Tetapi akhirnya Berwald membuka mulut untuk bicara," Kalau dari awal sudah tidak memperhatikan penjelasan dosen. Bagaimana jika ujian akhir."

"Ya, tapi bukan berarti aku harus mengerjakan semuanya," bantah Tiina kesal. "Dan apa reaksi Dr. Kohler bila mendengar hal ini."

"Hmm," gumam Berwald. "Itu untuk melatih otakmu."

"Tidak nyambung sama sekali."

"Maumu apa?"

Tiina hanya tersenyum pasrah sambil mengerjakan beberapa laporan tersebut. "Sebagai gantinya, maukah kamu menemaniku hari Sabtu besok?"

Mau tak mau, suka tidak suka. Berwald luluh akan permintaan Tiina dan mengganguk pelan sebagai tanda persetujuan akan permintaan Tiina. Dengan riang Tiina langsung memeluk Berwald dengan erat. "Makasih, ternyata aku tidak salah memilihmu sebagai kekasih."

Berwald hanya tersenyum kecil mendengar perkataan Tiina dan perlahan-lahan mendekatkan bibirnya ke bibir Tiina yang mungil. Tiina terkejut tetapi membalas ciumannya dengan perlahan-lahan. Hari sudah malam dan ruang kelas yang kosong merupakan saksi bisu akan percintaan mereka berdua. Malam itu merupakan malam yang menyebalkan sekaligus menyenangkan bagi Tiina. Sampai kapanpun, malam itu tidak akan pernah bisa dilupakan oleh Tiina.

.

.

"Darimana saja kau?" tanya Mrs. Vainamoinen dengan wajah penuh kemarahan. "Mengapa tidak menelpon ke rumah?"

Tiina terkejut mendapati ibunya dalam keadaan marah seperti itu dan Tiina sama sekali tidak mengira bahwa ibunya sudah pulang dari dinas. "Ah, cepat sekali mama pulang."

Mrs. Vainamoinen tidak menjawab pertanyaan Tiina dan yang dilakukannya adalah memukul Tiina sekeras mungkin, sama seperti dulu yang pernah dilakukannya ketika Tiina masih kecil. Tiina menjerit keras dan dengan cepat menahan mulutnya sendiri agar tidak berteriak karena Tiina tahu bahwa ibunya akan memukulnya lebih keras lagi bila berteriak. Yang bisa dilakukan Tiina adalah menahan rasa sakit tersebut, sambil mengingat seseorang yang pernah menolongnya ketika kedua tangannya dipukul oleh ibunya sendiri hanya karena kesalahan kecil.

Ber, aku mencintaimu, Tiina membatin. Selalu dilakukannya setiap kali Tiina dipukuli oleh ibunya. Satu-satunya alasan Tiina bisa bertahan akan penyiksaan yang dialaminya. Ada rasa aman setiap Tiina mengingat sosok Berwald yang selalu menolongnya baik secara diam-diam tetapi mengenai penyiksaan yang dialaminya, Tiina sama sekali tidak bisa menceritakannya. Rasa malu dan takut yang mendalam.

.

.

Sementara itu, Berwald sedang menyiapkan bahan materi untuk mahasiswa jurusan Interior di rumahnya sambil memakan sustrommingnya dengan santai. Beberapa saat kemudian, terdapat suara bel yang berbunyi.

Siapa yang membunyikan bel malam-malam begini. Jangan-jangan orang iseng.

Berwald membukakan pintu rumahnya perlahan-lahan dan ternyata bukan orang iseng semata. Melainkan Tiina yang menangis. Tampak dari wajahnya terlihat hancur, entah apa yang terjadi.

"Ber," ucap Tiina lirih. "A-Aku-"

"Ada apa?" tanya Berwald pelan sambil mendekatkan diri ke wajah Tiina yang sedang menangis dan sambil membawa satu tas besar. Tiina tidak menjawab pertanyaan Berwald tetapi malah balik bertanya. "Bolehkah aku tinggal di sini beberapa waktu?"

"Eh?" tanya Berwald bingung. "Mengapa?"

Tiina hanya berkata dengan lirih dan wajahnya penuh dengan air mata. "Aku tidak boleh kesini ya?"

"Bukan begitu, maksudku. Tapi-"

Tiina hanya membalikkan badannya lalu berjalan ke arah pintu keluar. "Kalau tidak boleh, aku pulang lagi saja."

Perkataan Tiina membuat Berwald merasa bersalah untuk beberapa saat. Oleh karena itulah, Berwald memutuskan untuk diam sejenak dan menarik tangan kanan Tiina. Tiina terkejut dan menoleh ke belakang sebentar.

"Tetaplah disini. Maaf, aku tidak bermaksud begitu," ujar Berwald lirih sambil mengajak Tiina masuk ke dalam rumahnya. Tiina hanya diam saja tanpa berkata apa-apa. Pikirannya masih terpaku akan kejadian tadi. Sesuatu yang mengerikan, tidak bisa diceritakan pada orang lain.

.

.

"Sudah agak merasa baikan?" tanya Berwald hati-hati sambil menatap Tiina yang sejak tadi diam saja. "Apa yang terjadi?"

Tiina hanya menghela nafas panjang. "Ada sedikit masalah."

"Masalah apa? Tanyakan saja padaku."

Tiina hanya menggeleng-gelengkan kepala, bingung antara harus berkata yang sebenarnya atau tidak dan perlahan-lahan air mata menetes lagi. "Hanya ada beberapa masalah yang harus diselesaikan sendiri."

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" Berwald bertanya lagi, penasaran akan apa yang terjadi pada kekasihnya.

"Tidak tahu, aku bingung. Aku-rasanya-"

Perlahan-lahan, Berwald mendekatkan bibirnya ke telinga Tiina dan berbisik di sana,"Aku akan membuatmu merasa tenang dan nyaman."

"Eh?" Tiina terkejut. "Apa maksudmu?"

Berwald tidak menjawab pertanyaan Tiina sedikitpun dan perlahan-lahan Berwald mencium bibir Tiina dengan lembut. Pada awalnya Tiina sedikit menolak tetapi akhirnya Tiina luluh juga dan membalas ciumannya. Beberapa lama kemudian, Berwald mulai memasukkan lidahnya ke dalam mulut Tiina. Buru-buru Tiina menarik diri dari Berwald untuk sementara waktu.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Tiina terkejut dan wajahnya memerah seperti tomat milik Lovina Vargas. "Aku tak-"

Kebetulan juga mereka berdua sedang berada di sofa dan dengan cepat Berwald mendorong Tiina perlahan hingga mereka berdua terbaring di sofa tersebut.

"Jag alskar dig, min karlek," bisik Berwald sambil memeluk Tiina dalam pembaringannya. Tiina berusaha menolak tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Sama sekali tidak bisa, ada sesuatu yang menariknya untuk tetap bertahan di tempatnya sekarang. Lagipula, Tiina yakin bahwa Berwald tidak akan berbuat macam-macam terhadapnya. Dan yang Tiina lakukan saat ini adalah meraih wajah Berwald dan mengatakan sesuatu kepadanya. "Mina rakastan sinua."

Dengan cepat Berwald melepaskan pakaian Tiina satu per satu secara perlahan-lahan. Wajah Tiina memerah, kini dia tersadar bahwa dirinya sudah tanpa sehelai pakaian sedikitpun. Berwald pun demikian, melepaskan pakaiannya sendiri dan mulai melancarkan serangan cintanya terhadap Tiina.

Tiina hanya bisa pasrah saja dan tidak bisa menolak. Malam itu menjadi awal yang membahagiakan yang penuh dengan kenikmatan dan rasa aman mulai membuncah di dalam diri Tiina. Rasa aman yang jauh lebih kuat, lebih kuat dibanding ketika berada di rumah. Bersama Berwald, Tiina merasakan adanya sosok yang melindunginya. Sebagai ayah sekaligus kekasihnya.

Rasanya hangat sekali, nyaman. Belum pernah kurasakan selama hidupku. Menyenangkan sekali. Seandainya bisa selamanya seperti ini.

.

.

Pagi harinya, Tiina membuka matanya dan mendapati dirinya sudah berada di tempat tidur dengan keadaan tanpa busana. Wajahnya memerah mengingat apa yang telah mereka lakukan semalam. Antara rasa bersalah maupun rasa senang. Sesaat Tiina merenung di tempat tidurnya dan tidak beranjak dari tempat tidurnya lalu berpikir bagaimana jika ibunya mengetahui bahwa dirinya telah melakukan hubungan terlarang, yang seharusnya tidak boleh dilakukannya.

"Kau sudah bangun?" tanya Berwald yang sudah mengenakan pakaiannya secara lengkap sambil membawakan satu nampan yang berisi makanan. "Sebaiknya kamu bersiap-siap saja sebelum terlambat dan makanlah sedikit."

Tiina masih tidak menjawab pertanyaan Berwald satu patah katapun dan tidak menyentuh makanan sedikitpun. Pikirannya melayang-layang, bagaimana jika ibunya tahu dia semalam kabur dari rumah tanpa pamit dan menginap di rumah seorang pria.

"Apa yang kamu pikirkan? Cepat kenakan pakaianmu atau kita akan terlambat," ujar Berwald dingin. Tiina hanya menurut saja sambil buru-buru mengenakan pakaiannya. Tetap saja, Tiina tidak bisa menghilangkan perasaan bersalahnya sekalipun Tiina sangat membenci ibunya.

"Ber, aku ingin mengatakan sesuatu," akhirnya Tiina berkata.

"Apa?"

"Soal semalam, apa tidak apa-apa?"

"Kurasa tidak apa-apa. Kenapa?"

Tiina mendesah pelan. "Aku merasa bersalah, karena-"

Berwald hanya memeluk Tiina perlahan, memang ada rasa bersalah ketika Berwald menyerangnya semalam. Mengingat semalam Tiina menangis di rumahnya. Maafkan aku, aku tidak bermaksud melakukan hal itu kepadamu. Aku mencintaimu.

.

.

.

Pikiran Tiina penuh dengan kejadian semalam bahkan setelah Tiina berada di kampus. Sesampainya di kampus saja, Tiina hanya melamun saja di kelas. Membayangkan kejadian tadi malam, malam yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya walau Tiina tahu dia tidak boleh melakukannya. Dalam kepala Tiina, tergambar jelas akan perbuatan Berwald semalam, sangat jelas di setiap detailnya dan tanpa Tiina sadari, dia semakin jatuh cinta pada Berwald. Rasa cintanya yang begitu kuat sudah nyaris tidak tertahankan lagi hingga membutakan pikirannya.

Tetapi Tiina tahu, dia harus bisa mengendalikan perasaan ini sebelum bergerak ke arah yang lebih jauh. Dengan kekasih biasa saja tidak boleh seperti ini dan apalagi ini dengan seorang dosen. Dan bila hal ini tersebar, dapat mengancam status Berwald sebagai dosen dan bisa saja dipecat. Selain itu, bisa juga Tiina sendiri dikeluarkan karena Tiina masih satu tahun lagi berada di universitas ini.

"Hei!" sapa Wang Mei. "Kamu tampak muram?"

Tiina menengok sebentar. "Ah, kau mengagetkanku. Aku sedang agak sakit."

"Apa kamu ada masalah lagi dengan ibumu?" Mei bertanya dengan hati-hati.

Tiina hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan pelan sambil tersenyum. "Aku tidak apa-apa. Hanya saja aku sedang memikirkan sesuatu yang lain."

"Semacam apa?"

"Aku tidak bisa mengatakannya," kata Tiina dengan wajah memerah. "Itu karena-"

.

.

.

Perasaan Berwald tidak jauh beda dengn Tiina. Saat itu, Berwald tidak sedang mengajar kelas lain sehingga dia bisa duduk sebentar di ruangannya sendiri sambil melamunkan kejadian semalam. Dia tidak bermaksud mencumbui gadis itu, apalagi gadis itu sedang sedih semalam. Seharusnya dia melindunginya, bukan menodainya. Ada rasa ingin memiliki Tiina seutuhnya, dan hal itu dilakukan hanya ingin membuktikan rasa cintanya yang mendalam terhadap gadis itu. Hal itulah yang membuat dulu Berwald nekat untuk menyatakan cinta kepada Tiina satu tahun lalu, walau Berwald tahu dia akan dicap sebagai pedofil atau semacamnya.

Kira-kira dia sedang apa? Apa dia masih memikirkan kejadian semalam.

"Hej, Beary!" seru Mathias Kohler ceria. Mathias merupakan dosen yang satu tahun lebih tua dari Berwald dan dosen untuk jurusan Sosial. "Kau tampak memikirkan sesuatu?"

"Bukan urusanmu," jawab Berwald sinis.

Mathias tersenyum kecil. "Apakah kau sedang memikirkan kekasih kecilmu itu?"

Berwald menimpuk wajah Mathias dengan buku seraya berkata. "Bukan urusanmu."

"Apa kau sudah lupa mengenai hubunganmu dengan Halldora?" Mathias mengingatkan kembali. Seketika wajah Berwald menjadi sedikit muram.

"Dia sudah menjadi istrimu dan apa yang perlu kau ributkan?" tanya Berwald gusar karena diingatkan mengenai hal tersebut. "Lagipula kami putus karena dia memilihmu."

"Baiklah!" Mathias menghela nafas. "Bagaimana jika kalian tidak pernah putus sama sekali?"

Berwald tidak menggubris perkataan Mathias dan segera meninggalkan Mathias.

"Tampaknya aku membuat dia marah," Mathias berkata pelan sambil tertawa. "Aku harus melakukan sesuatu untuk memastikan bahwa Beary tidak mendekati istriku lagi."

.

.

"Miss Vainamoinen," panggil Mathias. "Bisa kita bicara sebentar."

Tiina yang saat itu sedang mempersiapkan bahan untuk menuju ke kelas berikutnya terkejut. "Ada apa, Mr. Kohler?"

Mathias berdeham. "Aku ingin memberitahumu sesuatu."

"Apa maksud Anda? Apa nilaiku bermasalah?" Tiina bertanya dengan cemas. "Ada apa?"

"Mengenai Berwald Oxenstierna, kekasihmu," Mathias berkata tanpa tedeng aling-aling.

Jantung Tiina berdegup kencang. Ada seseorang yang mengetahui hubungannya dengan Berwald selain mereka sendiri. "Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Dr. Oxenstierna kalau Anda mau tahu."

"Tidak apa-apa, hanya ingin memberitahu saja bahwa dia dulu mempunyai kekasih selain kamu," Mathias tersenyum licik. "Mereka sempat putus tetapi diam-diam mereka sering bertemu."

Tiina tidak mempercayai pendengarannya. Mathias pasti berbohong, tidak mungkin Berwald mengkhianatinya, Tiina membatin.

"Anda bohong," Tiina akhirnya berkata. "Apakah ada bukti mengenai hal itu?"

"Coba saja tanyakan padanya mengenai hal itu. Atau kalau perlu, geledah saja rumahnya, barangkali kamu bisa menemukan foto mereka berdua" Mathias berkata seraya meninggalkan Tiina yang terkejut.

.

.

Dan benar saja. Beberapa hari kemudian, Tiina tidak sengaja menemukan sesuatu di salah satu buku milik Berwald yaitu foto Berwald dengan seorang gadis berambut pirang yang mengenakan jepit biru. Foto itu diambil beberapa tahun lalu dan di foto tersebut mereka tampak bahagia. Hati Tiina merasa sesak ketika melihat foto tersebut. Seharusnya Tiina tahu kini Berwald bersamanya dan lebih mempercayai Berwald dibandingkan Mathias.

"Ber, apakah kamu mencintaiku?" Tiina bertanya dengan nada sedih.

"Ja, tentu saja. Mengapa?"

Tiina memeluk Berwald perlahan. "Apa pernah ada wanita lain selain aku selama kita menjalin hubungan?"

Pertanyaan Tiina tadi membuat Berwald seolah-olah disengat listrik. Darimana Tiina tahu mengenai hal tersebut. Siapa yang memberitahunya?

"Katakan sesuatu, Ber," desak Tiina, masih tetap memeluk Berwald dari belakang. "Jangan membuatku merasa gelisah seperti ini."

Berwald membalikkan badannya sebentar untuk melihat Tiina sebentar lalu memeluknya perlahan-lahan. "Ada sesuatu yang mengganggumu?"

"Er-aku-," Tiina mencoba mengeluarkan kata-kata selagi Berwald memeluknya. "Apa dulu kamu punya kekasih sebelum aku?"

"Ja," jawab Berwald jujur.

"Mengapa tidak pernah mengatakannya?" tanya Tiina gusar sambil melepaskan pelukannya. "Sedikitpun tidak pernah cerita."

"Haruskah," Berwald berkata dengan nada sinis. "Itu masa lalu."

Tiina berusaha mengatur nafasnya agar bisa mengendalikan emosinya supaya tidak menimbulkan keributan,"Kau masih mencintainya?"

Berwald tahu Tiina hanya ingin memastikan bahwa dia sudah memberikan rasa aman atau belum. Lalu Berwald memeluk Tiina sekali lagi,"Kumohon jangan cemburu buta seperti itu."

Tiina memukul-mukul dada Berwald dengan keras. "Aku tidak cemburu buta. Aku hanya ingin tahu-"

"Tahu apa?" Berwald bertanya sambil meraih salah satu tangan milik Tiina lalu menyentuhkannya ke bibirnya yang dingin. Tiina hanya menjerit pelan tetapi perlahan terdiam sejenak dan berkata," Semalaman aku terus bermimpi buruk, bahwa aku kehilanganmu. Aku tak tahu, apa yang terjadi denganku? Yang kutahu adalah aku ingin memilikimu seutuhnya. Hidup bahagia bersamamu."

Berwald tertegun mendengar perkataan Tiina. Selagi Tiina memeluknya dengan erat, perlahan-lahan Berwald membaringkan Tiina ke tempat tidurnya dan menatap mata Tiina lekat-lekat.

"Kau tahu, bahwa aku mencintaimu," ujar Berwald pelan sambil mencium bibir Tiina perlahan-lahan. "Perasaanku juga sama."

"Ber," erang Tiina sambil melingkarkan kedua tangannya ke leher Berwald dengan erat. "Aku tak ingin kehilanganmu. Beberapa hari ini, aku tidak bisa berpikir lagi. Kau membuatku gila."

"Kamu lelah?" Berwald bertanya dengan nada hati-hati ketika melihat wajah Tiina yang tampaknya sudah kelelahan.

"Sedikit, aku sudah mengantuk. Dan aku juga lega mendengar perkataanmu tadi," tutur Tiina sambil tersenyum lembut. "Barangkali malam ini aku bisa tidur nyenyak."

Berwald beranjak dari tempat tidurnya seraya menyelimuti Tiina sebentar lalu mencium kening Tiina perlahan-lahan sebagai ucapan selamat tidur dan terus menemaninya. Tiina tertidur dengan lelap beberapa saat kemudian dan memimpikan Berwald yang berada di sisinya, mungkin untuk selama-lamanya.

Aku belum pernah sebahagia ini ketika bersamamu. Percayalah padaku, karena kau hanyalah satu-satunya wanita yang kucintai seumur hidupku.

TBC


A/N Emang ini editan dari fic saya, nggak bener-bener di edit hanya saja saya juga bingung mau edit bagaimana lagi =w=

Oke, please R n' R and no flame XD