Yoon Jeonghan hanyalah mahasiswa biasa, terlampau biasa malahan. Ia tinggal sendirian di Seoul karena kabur dari rumah—orangtuanya tidak mengijinkannya untuk menempuh pendidikan yang lebih baik. Mereka berpikir bahwa orang desa seperti mereka hanya harus mewarisi ladang tani milik orang tua, menggarapnya dan menjual hasilnya, mewariskannya kembali ketika usia menjelang senja. Begitu terus menerus dan Jeonghan tidak mau hanya berjalan di tempat. Ia ingin sebuah perubahan.

Seoul kota metropolitan. Kota yang tidak pernah istirahat bahkan di saat pintu flat kecil Jeonghan diketuk pada pukul tiga pagi. Jeonghan tahu persis siapa satu-satunya orang yang selalu mengetuk pintu rumahnya di dua pertiga jalannya malam.

Jeonghan bangun dari tidur, tidak peduli dengan rambut panjangnya yang kusut dan menutupi setengah mukanya. Pintu flat dibuka. Jeonghan bicara tanpa minat untuk menambah intonasi.

"Seungcheol, ini terlalu larut dan...terlalu pagi."

Pemuda yang dipanggil Seungcheol hanya menjatuhkan dirinya dan Jeonghan sigap menangkap untuk membantunya tetap berdiri. Seungcheol tidak bicara-hanya menyeringai, namun itu cukup untuk membuat aroma alkohol dari mulutnya menyebar. Jeonghan menghela nafas. Pemuda yang sebaya dengannya itu mabuk lagi.

Setengah membanting, Jeonghan membiarkan Seungcheol memakai kasur sempitnya lagi malam ini. Ia bisa saja tidur di tatami bekas yang diberikan keluarga Soonyoung minggu lalu.

Ujung baju Jeonghan tertahan, pemuda dengan rambut kusut melirik sedikit ke ujung bajunya yang sudah dicengkeram Seungcheol.

Mata Seungcheol terbuka sedikit, "Mendekatlah."

Jeonghan kembali mendekat, sama sekali tidak keberatan. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Seungcheol dan membiarkan bibirnya dicium kasar. Jeonghan sama sekali tidak menunjukkan dominasi, hanya membalas seperlunya. Ia tahu Seungcheol tidak suka dilawan dan didominasi.

Pergerakan bibir pemuda mabuk melemah, kepalanya jatuh kembali ke permukaan kasur Jeonghan yang sesungguhnya tidak terlalu empuk. Jeonghan mengusap bibir dan menyingkirkan tangan Seungcheol dari ujung bajunya. Jeonghan menggelar tatami, berbaring lalu menarik selimut. Ujung bibirnya masih berkedut perih-baik dalam keadaan sadar maupun setengah sadar, Seungcheol tidak pernah bisa lembut.

Jeonghan tidak tahu siapa Seungcheol baginya, Jeonghan yakin Seungcheol pun demikian. Mereka hanya teman, sahabat-yang saling menyentuh, menggagahi dan digagahi. Tiap mengingat hal ini, Jeonghan sedih dengan pikiran yang melayang pada orangtuanya di desa.

Sebenarnya ia dan Seungcheol itu apa?

.

.

Red String © darkestlake

Starring: Yoon Jeonghan, Choi Seungcheol, Hong Jisoo, etc

Beware of typo(s), a lot of OOC-ness, AU, segala kekurangan yang ada dalam fic ini karena pembuatnya hanyalah manusia biasa

.

.

Ps: saya udah kepleset ke dunia berlian, ketemu yayang Hoshi /hush/ dan dek Vernon si kesayangan dan ngeship CheolHan serta Meanie (meski sy belum move on dari CheolYoon, hell). Saya terpesona sama pesona mas Sekop yang—entah kenapa menurut saya rada-yandere-ehm-sado-ehm dibalik mukanya yang murah senyum dan doyan aegyo lol. Seventeen bikin saya gagal hiatus nulis ff. Sheet =)

.

1/2

.

Seungcheol bangun pagi dengan efek hangover yang hebat. Bertengkar dengan Ayahnya kemarin sore saat ia pulang ke rumah membuatnya stress dan memilih klabing sampai mabuk berat. Sialnya, ia tidak bisa pulang ke apartemennya yang cukup jauh karena terlalu teler. Yang tersisa di otaknya hanyalah arah menuju flat bobrok Jeonghan di pinggiran kota yang cukup kumuh.

Seungcheol menutup matanya sekali lagi kemudian berguling, mengubah posisi yang sebelumnya tengkurap menjadi terlentang sambil menjambak sedikit rambutnya—berharap rasa pusingnya segera hilang.

"Kau sudah bangun?"

Seungcheol mengangguk tanpa berniat membuka matanya. Jeonghan meletakkan piring yang diisi dua lembar roti bakar dan segelas susu di meja nakas.

Diluar dugaan, aroma roti bakar berhasil menggugah keinginan Seungcheol untuk duduk dan membuka mata. Meraih satu roti bakar yang masih hangat dan menggigit dalam ukuran besar.

"Sepertinya aku lupa memberimu uang untuk membeli bahan makanan minggu ini."

Jeonghan mendengus, "Berhentilah memberiku uang. Aku bukan pembantumu ataupun pacarmu."

"Ya memang tidak mungkin." Seungcheol meraih lembar roti kedua, "Tapi, aku sering makan disini, aku sering menginap disini, seharusnya kau bisa memberiku makanan yang lebih baik dengan sedikit uang yang lebih."

Lelah mendadak, "Ya, terserah padamu saja."

Seungcheol juga tidak tertarik melanjutkan, baginya asal Jeonghan menurutinya, semuanya akan baik-baik saja.

Susu diteguk separuh gelas, Seungcheol muntah. Pemuda itu langsung lari ke kamar mandi dan Jeonghan mendengus lagi—pekerjaannya bertambah pagi ini. Padahal jam sepuluh pagi dia ada ujian mid-semester.

Seungcheol kembali hanya dengan memakai bawahan. Jeonghan sedang mengganti seprai.

"Rasanya aku ingin mati." Keluh Seungcheol.

"Kau selalu bicara seperti itu, tapi kau juga tidak berhenti mengunjungi kelab malam dan minum alkohol sampai pagi. Sampai kapan kau akan sadar?" Jeonghan sudah seperti berkeluh kesah balik. Seprai bekas muntahan disingkirkan ketika Seungcheol sudah berpakaian—jangan heran karena memang Seungcheol sengaja meninggalkan beberapa pakaiannya disini.

"Kau ada kelas hari ini?"

"Hmn, ujian Sejarah Nasional. Tapi, kau membuat semua hapalanku hilang karena bau muntahan tadi. Selamat, kau berhasil Seungcheol."

"Kuantar kau."

Jeonghan tidak punya pilihan untuk menolak.

.

.

Ketika mobil Seungcheol sampai di area parkir kampus, semua mata menuju ke arah Jeonghan yang keluar dari mobil bahkan tanpa berterima kasih. Terlalu risih, Jeonghan menatap balik pada segerombolan gadis-gadis yang langsung membuang muka.

Jeonghan bukannya tidak tahu rumor apa yang beredar di kampus tentang dirinya dan Seungcheol. Saat pertama mengetahuinya, kepalanya sakit karena terlalu banyak memikirkan kehidupan kampusnya mengingat ia masih termasuk mahasiswa junior.

Semuanya tahu Yoon Jeonghan berasal dari desa, tempat tinggalnya di Seoul tidak lebih baik dari sebuah flat bobrok di pinggiran kota yang kumuh. Semuanya juga tahu kalau Choi Seungcheol adalah putra pemilik yayasan kampus, apartemen yang ia tempati berada di kawasan elit Gangnam, Seungcheol tidak sembarangan berteman dan kendaraan yang ia pakai nyaris selalu berganti tiap hari. Hanya dengan perbedaan itu, melihat keduanya sering bersama di beberapa waktu membuat orang-orang berpikiran negatif curiga bahwa Jeonghan sudah memberikan banyak hal pada Seungcheol. Dan satu-satunya hal yang tersisa pada diri Jeonghan adalah dirinya sendiri.

"Jeonghan-hyung!"

Di saat sulit, Kwon Soonyoung selalu menjadi penyelamat. Sapaan Soonyoung membuat pelaku bisik-bisik negatif pergi satu per satu. Si mata sipit sebenarnya adalah salah satu teman Seungcheol yang mau bergaul dengannya, Jeonghan tidak pernah merasa sungkan dengan Soonyoung, meski bukan berarti ia sangat akrab.

"Berangkat bersama Seungcheol-hyung lagi?"

Jeonghan mengangguk, memperpendek langkah agar Soonyoung bisa berjalan di sisinya, "Ya, dia datang ke flat-ku jam 3 pagi, mabuk berat. Dia muntah di sepraiku pagi ini."

Soonyoung tertawa hingga matanya hanya seperti garis lengkung, "Tapi, dia tidak melakukan hal aneh-aneh kan, hyung?"

Jeonghan mengangguk, "Dia terlalu mabuk bahkan hanya untuk membuka mata."

Di persimpangan koridor, Soonyoung berjalan menuju arah yang berbeda dari Jeonghan. Jeonghan membuat senyum pertamanya pagi ini ketika melambaikan tangannya pada Soonyoung. Senyum kedua muncul saat melewati perpustakaan, ketika melihat sosok kurus berambut karamel fokus membaca sebuah buku sastra romansa klasik. Jeonghan iseng masuk ke perpustakaan, padahal ia adalah tipe yang membenci mata yang memiliki fokus lebih dari seekor harimau milik penjaga perpustakaan.

"Shakespeare lagi?" tanyanya langsung ketika mengambil tempat duduk di sebelah orang itu.

Hong Jisoo sedikit terkejut, melepas kacamata bacanya dan memberikan satu senyuman kalem, "Tugas lagi, untuk karya ilmiah."

Jeonghan berdecak, "Sastra benar-benar rumit ya."

"Yang tertulis di buku tidak akan serumit yang terjadi di kehidupan, Han-ah." Jisoo meletakkan pembatas buku di halaman terakhir yang ia baca, lebih tertarik untuk bicara dengan Jeonghan dibandingkan melanjutkan membaca buku romansa klasik, "Karena penulis sudah bisa menduga akhir dari cerita yang ia tulis, sedangkan kita sebagai penulis kisah kita sendiri tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam durasi satu jam ke depan. Semua hal bisa terjadi. Itu rumit."

"Lebih rumit lagi kalau mendengarmu bicara." Jeonghan mendelik, "Dasar anak sastra."

Jisoo tertawa lagi. Kalemnya sama sekali tidak luntur—dan Jeonghan menemukan dirinya sendiri tersenyum setiap melihat tawa itu.

"Tersenyum lagi seperti orang gila, kau harus ke psikiater lain kali." Jisoo bicara tanpa menoleh ke arah Jeonghan. Jeonghan memukul pundaknya dengan kencang kemudian terkejut dan langsung terburu-buru memakai tasnya kembali.

"Astaga, aku lupa ada ujian hari ini." Jeonghan segera berdiri. Jisoo tertawa lagi melihat wajah panik pemuda berambut panjang.

"Semoga berhasil!"

Jeonghan tidak mempedulikan teriakan Jisoo, mulutnya komat-kamit mengulangi hapalan terakhir yang masih menempel di selaput otaknya.

Hong Jisoo memakai lagi kacamatanya, membuka lagi halaman yang diselipi pembatas buku. Melirik pada sepupunya yang melirik balik di sela-sela rak buku—Seungcheol di luar dugaan menghampiri Jisoo lebih dulu.

"Romeo dan Juliet versi asli, kau benar-benar keren." Jisoo memuji begitu Seungcheol memberikan sebuah buku yang kelihatannya cukup tua, "Kenapa kau bersembunyi disitu tadi? Masih menolak bertemu Jeonghan langsung jika di kampus?"

"Tidak, aku cuma tidak suka melihat mukanya yang berubah jadi begitu jelek ketika melihatku. Mungkin karena aku muntah di kasurnya tadi pagi."

Jisoo tertawa, "Astaga, kau keterlaluan, Seungcheol. Pantas saja Bibi menelepon Ibuku terus semalaman, katanya kau bertengkar lagi dengan Paman."

"Iya, ayahku tahu kalau aku jarang pulang ke apartemen dan dia mulai bertanya-tanya kemana aku pergi selama ini." Seungcheol menatap Jisoo yang seperti memancarkan cahaya kelap-kelip imajiner, "Dan, omong-omong soal Jeonghan, aku selalu heran dengan sikapnya yang gembira setiap berdekatan denganmu."

Jisoo berhenti mengagumi buku untuk sesaat, "Pardon?"

"Dia selalu kelihatan gembira jika berdekatan denganmu." Seungcheol mengulangi.

Si rambut karamel tersenyum, "Ayolah, siapapun tahu kalau dia milikmu." Mengalihkan perhatian lagi ke buku untuk memasukkannya ke dalam tas, "Tapi, kalau dia suka padaku ya aku juga tidak bisa menolak."

Seungcheol dan Jisoo kembali bertatapan, agak lama, sampai Seungcheol menepuk bahu Jisoo.

"Jangan lupa mengganti uangku." Seungcheol berucap sebelum melangkah pergi.

.

.

Jeonghan pulang berjalan kaki sambil menggerutu. Ujiannya tidak berjalan mulus dan sepertinya ia harus mengulang lagi di kesempatan selanjutnya. Seungcheol meninggalkannya di kampus dan lebih sial lagi ia tidak membawa sepeserpun uang untuk digunakan membayar bus ataupun taksi.

Bangunan flat bobrok sudah terlihat mata Jeonghan. Ia bersumpah begitu masuk rumah ia akan langsung tidur.

Jeonghan baru saja masuk rumah ketika suara Seungcheol terdengar.

"Apa kau menyukai Jisoo?"

Jeonghan bersumpah, ia hanya ingin tidur dan pertanyaan Seungcheol terlampau bodoh untuk ia tanggapi. Jeonghan melewati pemuda yang sama tinggi dengannya tanpa berkata apa-apa, tapi Seungcheol menahan pergelangan tangannya.

"Sialan, Seungcheol. Aku hanya ingin tidur."

"Jawab dulu pertanyaanku, sialan!"

"Ada apa sebenarnya? Kalaupun aku suka padanya apa yang akan kau lakukan?!"

"Kau tidak menjawabnya, Yoon Jeonghan. Katakan iya atau tidak!"

"Kenapa kau jadi semarah ini?..."

Suara Jeonghan melunak dan cengkeraman tangan Seungcheol sedikit melonggar.

Seungcheol mendengus, "Maafkan aku."

Jeonghan menyentak tangan Seungcheol, "Kau marah karena aku dekat dengan Jisoo? Itu sangat lucu. Kami cuma berteman biasa, dia selalu jadi tempatku bercerita. Apa mungkin ini penyebabnya kau meninggalkan aku di kampus hari ini?"

Seungcheol tidak mendengarkan, hanya rebahan di satu buah—dan satu-satunya sofa panjang di flat Jeonghan.

Jeonghan juga tidak peduli lagi. Setelah melepas sepatu dan kaos kaki, pemuda berambut panjang segera masuk ke kamarnya dan merebahkan diri di ranjangnya. Baru saja ia nyaris tertidur, seperti ada yang beban lain yang menimpa kasurnya. Seungcheol menciumi tengkuknya dan memeluknya dengan lembut.

"Maafkan aku…"

Hal seperti inilah yang selalu membuat Jeonghan tidak mengerti. Seungcheol selalu bersikap seolah mereka hanyalah teman biasa, terkadang sikap posesif dan tempramen pemuda itu terhadapnya bisa melebihi kadar seorang teman, dan setiap mereka bertengkar, Seungcheol selalu meminta maaf dengan bersikap lembut seolah-olah Jeonghan adalah sesuatu yang sangat berharga dan tidak ingin Jeonghan pergi.

Tapi mereka bukan siapa-siapa. Jeonghan tidak pernah merasakan ketertarikan yang berlebih terhadap Seungcheol—seperti ingin berpacaran dengannya ataupun apa—dan Jeonghan yakin Seungcheol pun demikian. Meskipun mereka banyak melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan teman jika hanya berdua bersama.

Entah kenapa, ciuman lembut yang mereka lakukan sore itu membuat hati Jeonghan terasa ngilu.

"Kau kenapa?"

Pertanyaan itu dilontarkan begitu lembut. Jeonghan semakin merasa sakit. Jemarinya meraih tengkuk Seungcheol dan bibir mereka kembali bersentuhan. Rasanya tidak ada lagi yang diinginkan Jeonghan selain ini.

"Tolong sentuh aku."

Seungcheol mengerutkan dahi, "Bukannya tadi kau mau tidur?"

"Tidak." Jeonghan berbisik, "Apa kau keberatan?"

Laki-laki mana yang keberatan?

"Kau tahu kan bagaimana diriku kalau sudah memulai?" Seungcheol kembali menciumi tengkuk Jeonghan, sampai hingga di bawah telinga dan Seungcheol menghisap hingga menciptakan cupang.

Jeonghan berbalik sehingga mereka berhadapan. Hanya saling menatap sesaat, tanpa anggukan tapi Seungcheol tahu Jeonghan mengijinkan. Keduanya saling memagut bibir dan mengalirkan permulaan kegiatan mereka dengan sebuah ciuman cepat, kasar dan berantakan.

Jeonghan sejujurnya bukan orang yang memiliki banyak inisiatif ketika melakukan seks, tapi ia tidak pernah seberani ini meminta Seungcheol langsung untuk mengerjai dirinya—tidak sama sekali, ditambah dengan kemungkinan Seungcheol yang akan selalu meninggalkan bekas luka di badannya.

Jeonghan hanya ingin dilihat untuk sekarang. Sebetulnya siapakah dirinya bagi Seungcheol?

Tapi, ia tidak berani bertanya.

Meski awalnya Jeonghan yang meminta, tetap saja Seungcheol yang mendominasi. Menyentak kesana kemari sampai akhirnya berbuah desahan meminta lagi. Menciumi leher Jeonghan sementara sentakannya semakin kuat. Punggungnya dicengkeram, tapi ia tahu Jeonghan tidak akan sampai melukainya. Perutnya basah karena hasil tubuh Jeonghan yang sudah keluar beberapa kali.

"Aku mencintaimu…"

Itu adalah kalimat terakhir Jeonghan sebelum ia jatuh tertidur, menahan mati-matian hanya untuk mendengar samar balasan dari Seungcheol yang baru saja tiba di dalam dirinya.

"Aku tahu."

Jadi kau sudah tahu?

Jeonghan ketiduran, masih tetap dengan rasa gelisah.

Hingga matahari sudah seperempat tinggi, Jeonghan masih memejamkan mata. Tirai jendela yang dibuka membuat cahaya matahari masuk dan sedikit merangsang kelopak mata Jeonghan untuk terbuka.

"Pakai ini."

Jeonghan baru saja bangun tidur saat Seungcheol memakaikan sebuah gelang di tangannya. Pemuda itu mengernyit tidak suka—bukan karena gelang itu seperti gelang perempuan, gelang itu terbuat dari kayu beraroma wangi dan setiap manik kayu yang diuntai dibuat dengan ukiran rumit.

"Apa maksudnya ini?" tanyanya.

"Astaga, aku hanya ingin memberimu sesuatu." Seungcheol berkilah, kemudian menjauh untuk berpakaian—sepertinya ia baru selesai mandi.

Jeonghan duduk dengan hati-hati, tapi tetap saja ia meringis. Pinggangnya rasanya seperti patah. Sialnya, Seungcheol malah menyeringai saat melihatnya.

"Apa maksud dari cengiranmu itu? Aku bersumpah kau sangat jelek saat membuat wajah itu." Jeonghan bicara setengah mengomel tapi itu malah memancing tawa Seungcheol.

"Kenapa kau selalu sensitif setiap pagi?" Seungcheol kembali menghampirinya lalu memberikan satu kecupan ringan di bibir yang berhasil membuat Jeonghan membeku seperti berhala.

"Aku akan pulang ke rumah sebentar, Ibuku menghubungiku terus sejak tadi malam. Jika kau ingin membeli sesuatu aku sudah menyimpankan uang di laci nakas." Memakai jaket dengan terburu-buru lalu meraih ponsel di meja nakas. Jeonghan penasaran, sepenting apa urusan yang ingin dibicarakan Nyonya Choi.

"Memangnya ada urusan apa?"

"Anak kenalan Ayahku datang dan ingin berkeliling Seoul. Sepertinya dia akan tinggal di rumah selama beberapa bulan, dan aku disuruh menemaninya."

"Oh." Jeonghan merespon dingin.

Sayangnya Seungcheol tidak tidak menyadari nada dingin itu, "Baiklah, sampai jumpa."

Sepeninggal Seungcheol, Jeonghan mengamati gelang di tangannya. Setahunya, Seungcheol tidak akan semudah—dan sebodoh itu—memilih sesuatu untuk diberikan pada orang lain. Jeonghan tidak tahu apa artinya sebuah gelang, tapi ketika ia melihat sekali lagi pada gelang itu, ia merasa seperti dikekang.

Seperti gelang itu merupakan sebuah borgol yang memiliki rantai yang hanya tersambung pada pemberi gelang itu.

Jeonghan menggigit bagian dalam bibirnya sendiri, kemudian menenggelamkan kepalanya diantara lututnya yang menekuk.

Dia bukan milik siapapun, dia tidak ingin jadi milik siapapun. Jika akhirnya Seungcheol berniat untuk memonopoli dirinya, lalu pada akhirnya ia akan dianggap apa?

Seenaknya dia mengikatku, tapi dia tidak membiarkanku mengikatnya… dia datang ketika aku sudah lelah, tapi ketika ia ingin kuraih, dia kembali menjauh…

Jeonghan beranjak untuk membersihkan tubuhnya, ia ingin makan. Perutnya lapar—baru ingat sejak kemarin sore ia belum makan.

Setelah berpakaian, Jeonghan mengecek laci nakas. Memang benar Seungcheol meninggalkan beberapa lembar won dengan nominal besar. Jeonghan terlihat ragu sesaat, tapi kemudian ia mengambil beberapa lembar untuk pergi ke minimarket. Dia sudah tidak punya bahan makanan apapun di rumah. Hari ini ia ingin bolos kuliah saja.

Ketika berjalan keluar dari gang, Jeonghan terkejut saat melihat sosok Jisoo. Pemuda berambut karamel memakai masker dengan headset menyumpal telinga, berdiri di depan halte bus—sepertinya sedang melihat peta rute daerah sekitar. Jeonghan berjalan mendekat dan menepuk bahu pemuda itu.

Sedikit terlonjak, kemudian bernafas lega saat melihat bahwa yang menepuk bahunya adalah Jeonghan.

"Astaga, kukira kau siapa." Jisoo melepaskan headset-nya.

Jeonghan tersenyum tipis, "Tersesat atau kenapa?"

Jisoo menggaruk kepala, "Aku ingin pergi ke apotek, tapi aku tidak terlalu paham jalanan di sekitar sini. Aku kena flu, jadi bolos kuliah."

Jeonghan mengangguk mengerti, "Aku bisa mengantarkan, apotek disini dekat dengan minimarket dan kebetulan aku ingin kesana. Mau ikut?"

Jisoo tidak banyak bicara tapi tersenyum sambil mengangguk dan mengikuti langkah Jeonghan. Pemuda yang mengenakan masker sedikit mengernyit melihat langkah Jeonghan yang sepertinya sedikit terganggu.

"Jeonghan, kau sakit?"

Jeonghan menggeleng cepat, "Darimana kau bisa menyimpulkan begitu? Aku baik-baik saja." Kilahnya cepat. Menutupi se-natural mungkin bekas bahwa semalam ia sudah digagahi. "Hanya tadi pagi aku terpeleset di kamar mandi dan kakiku sedikit terkilir."

Jisoo bukan orang yang mudah dibohongi, ia tahu persis langkah yang terlihat sulit itu bukan akibat terkilir. Tapi, ia hanya memilih diam—tidak ingin bertanya lebih lanjut dan tidak ingin mendapatkan sebuah jawaban yang sebenarnya sudah ia pikirkan. Jisoo membuang muka dari Jeonghan tanpa sadar. Entah kenapa ia merasa sedikit merasa tidak nyaman.

"Jeonghan-ah…"

Jeonghan berhenti sebentar, menoleh pada Jisoo yang ada di belakangnya, "Ada apa?"

"Boleh mampir ke rumahmu setelah ini? Maksudku…jika kau tidak keberatan." Jisoo hati-hati bertanya.

Diluar dugaan, Jeonghan malah tersenyum, "Tentu saja boleh. Tapi, maaf kalau nanti rumahku tidak akan terlalu membuatmu nyaman."

Jisoo ikut tersenyum, kembali mengikuti langkah Jeonghan di depannya. Secara tidak sengaja kembali melihat gelang yang dipakai Jeonghan, lagi-lagi pemuda itu terkejut.

Seungcheol sudah memonopoli. Jisoo tertinggal selangkah.

.

.

Seungcheol menatap pemuda di depannya dengan pandangan tidak suka.

"Apa kau masih sebenci itu padaku?" pemuda di depannya merespon kalem sambil meminum cappuccino dengan tenang. Jang Doyoon tahu pasti akan sambutan yang diberikan Seungcheol, makanya dia sudah mempersiapkan mentalnya jauh-jauh hari jika ia diharuskan untuk bertemu dengan teman masa kecilnya itu.

Kafe yang mereka kunjungi sedang sepi. Doyoon langsung mengajak Seungcheol untuk pergi ke kafe langganan mereka hanya untuk minum.

"Kenapa mendadak kembali ke Seoul?"

Doyoon tertawa pelan, "Konyol loh! Kau benar ingin tahu alasannya?"

Seungcheol tidak merespon. Doyoon kemudian berdeham dan menampakkan wajah serius, menatap Seungcheol dengan senyum yang terkembang tipis.

"Aku cuma ingin bertemu denganmu."

Seungcheol masih tidak merespon, senyum Doyoon dikulum jadi senyum yang terkesan dipaksa. Pemuda itu buru-buru meminum cappuccino-nya lagi dengan kikuk.

"Ya, baiklah, waktuku untuk berkeliling hari ini tidak banyak. Cepat antarkan aku!" Doyoon berdiri lebih dulu, tapi Seungcheol menahan lengannya.

"Jangan pikir aku akan kembali menyukaimu." Ucapnya pelan, lalu melepaskan tangan Doyoon dan berjalan mendahului pemuda itu tanpa ada sekalipun langkah yang ragu.

Cinta itu omong kosong, cinta hanya media untuk memiliki sesorang. Ucapan cinta sama sekali tidak berarti bagiku…

Doyoon menghela nafasnya. Lalu setengah berlari menyusul Seungcheol masih dengan wajah ceria dan diselingi gurauan. Jang Doyoon tidak akan menunjukkan wajah kecewa, dia sudah ditolak berkali-kali dan memang hati Seungcheol sepertinya sudah mati untuk mencintai seseorang selain Ibunya. Doyoon tidak mau menduga banyak hal, Seungcheol memang tidak pernah mau menunjukkan bahwa ia tertarik pada orang lain tapi Doyoon juga berkali-kali mencegah untuk mengingatkan dirinya sendiri bahwa kesempatan pasti masih ada.

Kesempatan untuk menghidupkan hati Seungcheol.

.

.

Jisoo masuk ke flat Jeonghan dengan dengungan kagum. Flat Jeonghan memang rapi meskipun kecil dan bagian luarnya kumuh. Bagian dalam flatnya begitu bersih dan cukup banyak perabot di dalamnya. Jeonghan sudah buru-buru menuju kamar—bukan berarti ia khawatir Jisoo akan masuk sampai ke dalam kamar, hanya saja mengingat seprai dan selimut bekas kegiatannya dan Seungcheol semalam cukup mengganggunya. Ia belum sempat membereskannya tadi pagi.

Persetan dengan perutnya yang sudah meraung minta diisi.

Jeonghan hanya menggulungnya dan menyembunyikannya di lemari, ia bergegas menuju dapur dan melihat Jisoo masih melihat-lihat ruang tengah flatnya.

"Maaf ya, rumahku cuma segini." Jeonghan meringis. Faktanya ia tahu kalau Jisoo adalah sepupu Seungcheol—sudah pasti sama-sama dari keluarga berada.

Jisoo menoleh padanya, "Ah tidak, aku kesini bukan untuk menilai rumahmu." Lalu mengikuti Jeonghan yang melangkah ke dapur.

Jeonghan hanya menyeduh ramen, "Apa kau sudah makan?"

Jisoo cuma tersenyum dan Jeonghan tahu pemuda itu juga belum makan. Menyeduh lagi satu ramen instan dan menyerahkannya pada Jisoo yang sedang duduk di lantai. Meletakkan ramen di meja depan Jisoo.

"Terima kasih."

Jeonghan mengangguk sekali dan membuka ramennya lebih dulu—tidak sabaran.

"Apa aku boleh menanyakan satu hal padamu?"

Jeonghan masih meniupi ramennya, "Tentu saja, kau mau bertanya apa?"

"Sebenarnya apa hubunganmu dengan Seungcheol?"

Jeonghan berhenti meniup ramen. Telinganya seperti berdenging sesaat, ia menoleh ke arah Jisoo dengan muka bodoh, "Apa?"

"Sebenarnya apa hubunganmu dengan Seungcheol?"

Jeonghan langsung tertawa untuk menutupi rasa panik, "Ahaha, tidak, kami tidak punya hubungan apapun. Sungguh."

"Tapi aku tahu dia sering menginap disini. Dia sering menceritakannya padaku." Jisoo membuka ramennya—meniup sebentar, "Kalau hal yang itu benar kan."

Seungcheol sialan. Jeonghan membatin dalam hati. Kalau ini Jisoo, Jeonghan tidak punya alasan lain selain berkata jujur.

"Ya, dia sering menginap disini. Katanya orang tuanya sudah tahu kemanapun ia pergi jika bersama temannya yang lain."

Jisoo tertawa, "Dia…astaga, kapan dia akan berubah?" menyeruput sedikit kuah ramen, "Dia sama sekali tidak bisa dikontrol."

"Apa maksudmu?"

Jisoo belum menjawab—lebih memilih untuk mengunyah dan menelan lebih dulu, "Dia bukanlah orang yang bisa dikekang, dia tidak bisa dikontrol. Entah bagaimana caranya, tapi bahkan orangtuanya sendiripun kesulitan untuk mengontrol pergaulannya."

Jeonghan seperti disentil. Berpikir apakah sebenarnya Jisoo sedang menyindirnya atau tidak.

"Begitukah?"

"Benar, karena itulah, bagi siapapun yang dia klaim sebagai miliknya, orang itu hanya akan medapatkan kerugian karena dia tidak mungkin memilikinya balik."

Jeonghan memang benar-benar menghentikan makannya, ia menaruh kembali ramen ke atas meja dan menatap Jisoo dengan pandangan yang Jeonghan sendiri tidak tahu sebenarnya untuk apa merasa se-tersindir ini.

"Aku melihat gelang itu, itu pemberian Seungcheol bukan?"

Jeonghan refleks menutupi gelang itu, "Ini bukan urusanmu."

"Jeonghan." Jisoo juga tidak melanjutkan makannya, "Kau harusnya tahu arti sebuah gelang, seperti sebuah borgol yang terikat dengan pemberinya. Dia sudah memonopolimu dengan keinginannya sendiri. Tapi, ingatlah perkataanku, dia memilikimu tapi kau tidak bisa memilikinya balik. Kata cinta sama sekali tidak berarti untuknya."

Dia memilikimu, tapi kau tidak bisa memilikinya balik.

Jeonghan menunduk dengan wajah tidak percaya. Tangan mencengkeram erat gelang kayu itu.

Dia seenaknya mengikatku, tapi dia tidak membiarkanku mengikatnya.

Rasanya Jeonghan seperti ingin menangis saja. Dia sudah mengatakan kalimat cinta yang bahkan Seungcheol tidak membalasnya. Jeonghan sebenarnya tidak mengharapkan ia diakui, tapi, rasa kelu yang menghimpit hatinya seakan-akan minta pengakuan bahwa ia memang sakit hati.

Jisoo menatap Jeonghan dengan pandangan prihatin lalu dengan nalurinya ia melingkarkan lengannya di tubuh Jeonghan—memeluknya lembut.

"Maafkan aku sudah mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak ingin kau dengar." Jisoo berbisik, "Aku hanya tidak mau orang yang aku sukai menderita. Kau tidak seharusnya seperti ini. Bahkan bergaul dengannya saja kau sudah cukup dicemooh. Aku tidak ingin kau diperlakukan seperti itu."

"Hentikan ini, Jisoo." Jeonghan meronta, Jisoo mencengkeram pergelangan tangan yang dilingkari gelang dan berbisik lagi.

"Jika kau ingin melepaskan gelang ini, datanglah padaku. Selama apapun akan kutunggu asalkan kau tidak menolakku. Aku mencintaimu."

.

.

Di persimpangan jalan menuju flat Jeonghan, Seungcheol bertemu dengan Jisoo. Sepupunya itu tersenyum dan menahan lengannya.

Seungcheol mengeryit, "Apa?"

Jisoo mengeluarkan satu amplop cukup tebal dan memberikannya pada Seungcheol, "Uang untuk mengganti buku yang kau carikan. Awalnya aku ingin mengirimnya langsung ke rekeningmu, tapi aku baru sadar kalau aku tidak punya rekeningmu di buku catatan."

Seungcheol menerimanya dengan wajah yang agak curiga, "Jadi darimana kau sebelumnya?"

"Aku berkunjung ke rumah Jeonghan, kupikir kau ada di rumahnya." Jisoo tersenyum lagi, "Baiklah aku duluan."

Seungcheol masih menatap Jisoo hingga sepupunya itu menghilang di belokan jalan. Ia menatap amplop pemberian Jisoo dan berpikir untuk memberikannya pada Jeonghan nanti.

Seungcheol masuk ke flat Jeonghan dan menemukan pemuda dengan rambut dikuncir sedang duduk sambil menyuap es krim ke mulut di depan tv. Acara tv menyajikan berita. Seungcheol berjalan menuju dapur untuk minum.

Jeonghan tahu kalau Seungcheol sudah datang tapi ia berusaha tidak peduli. Sesungguhnya ia benar-benar tidak ingin bertemu Seungcheol sekarang.

Semakin Jeonghan mengatakan pada dirinya sendiri untuk tetap tenang, semakin perasaan merepotkan itu menghantui.

Apa dia hanya dianggap alat? Hanya dianggap boneka?

"Minta es krimnya."

Seungcheol tiba-tiba saja sudah duduk di sebelahnya dan merebut es krim di tangan Jeonghan. Jeonghan meliriknya dengan pandangan mengganggu tapi memutuskan untuk tidak berkomentar.

"Sudah selesai mengajak anak kenalan Ayahmu berkeliling?"

Seungcheol mengangguk acuh, meraih remote untuk mengganti channel tv, "Doyoon cepat lelah, sepertinya ini juga pengaruh dari jet-lag. Dia terlalu memaksakan diri."

Oh, jadi namanya Doyoon? Jeonghan membatin.

"Apa yang dilakukan Jisoo disini?" Seungcheol bertanya sambil menoleh pada Jeonghan. Jeonghan mengendikkan bahunya.

"Dia tidak melakukan apa-apa. Hanya berkunjung saja." –dan menyatakan cinta dengan cara yang sama sekali tidak aku mengerti.

"Oh." Seungcheol merespon singkat.

Jeonghan masih tetap menatapnya hingga beberapa menit kemudian hingga Seungcheol merasa ganjil. Pemuda itu meletakkan es krim di lantai dan menatap Jeonghan balik.

"Ada apa?"

Ditanyai seperti itu Jeonghan kembali bingung. Ia hanya ingin menanyakan sebenarnya apa arti dirinya bagi Seungcheol. Tapi, ia juga takut untuk menerima jawabannya.

Mendapati Jeonghan yang tidak kunjung bicara juga membuat Seungcheol kebingungan, "Hei, sebenarnya ada apa? Apa Jisoo mengatakan hal-hal yang aneh, hm?"

Bukan masalah itu, tapi—

"—sebenarnya aku ini berarti apa bagimu?"

Jeonghan memberanikan diri menatap wajah Seungcheol dan ia melihat betapa pemuda itu terkejut dengan pertanyaannya.

"Untuk apa kau menanyakan hal ini? Bukankah sejak dulu kita selalu seperti ini?"

Jeonghan menggigit bagian dalam bibirnya, "Ya, aku tahu." —tapi apa kau tidak memikirkan perasaanku? "Apa kau keberatan menjawabnya?"

Seungcheol menghela nafasnya, "Katakan padaku apa yang sudah dikatakan Jisoo padamu."

"Dia hanya mengatakan bahwa kau bukanlah orang yang bisa dimiliki tapi kenapa kau memberi gelang ini padaku?!" Jeonghan memperlihatkan gelang pergelangan tangannya, "Apa maksudnya ini? Kau berniat memonopoli aku tapi aku tidak bisa melakukannya padamu!" Jeonghan tersenyum sinis, "Apa memang benar kau hanya menganggapku sebagai alat? Apa bagimu aku hanyalah pelacur yang bisa kau tiduri kapanpun kau mau?"

Seungcheol terdiam. Raut wajahnya mengeras dan tangannya mengepal. Ia tidak tahu kenapa ia bisa semarah ini menanggapi pertanyaan Jeonghan. Menarik nafas dalam-dalam sebelum kemudian menghembuskannya. Seungcheol berusaha setenang mungkin menjawab pertanyaan Jeonghan.

"Ya…" Seungcheol menjawab dingin, "Bagiku kau hanyalah alat. Jangan pernah menanyakan hal-hal seperti itu lagi padaku karena sampai kapanpun jawabanku akan tetap sama."

Kata cinta sama sekali tidak berarti untuknya.

Aku mencintaimu.

Aku tahu…

Bagiku kau hanyalah alat. Jangan pernah menanyakan hal-hal seperti itu lagi padaku karena sampai kapanpun jawabanku akan tetap sama.

Jeonghan tersenyum dengan bibir yang bergetar.

"Tapi aku mencintaimu…"

Seungcheol membuang muka.

"Aku tahu."

Pemuda itu beranjak dari duduknya lalu keluar dari flat Jeonghan tanpa berkata apapun lagi. Seiring dengan suara pintu yang ditutup, Jeonghan meneteskan air mata tanpa isakan.

"Bodohnya aku." Keluhnya pada dirinya sendiri.

Ia membawa es krim yang tersisa untuk dimasukkan kembali ke dalam freezer. Ketika ia menutup pintu kulkas, tubuhnya merosot dan isakannya terdengar.

Kau seenaknya membuatku cinta padamu, tapi kau tidak membiarkanku membuatmu membalas cinta ini…

.

.

-to be continued

.

.

Terinspirasi dari fenomena baper di rpw, lol. Lalu anak-anak rp yang pada sharing ffnya, itu bikin saya kedorong buat nulis lagi (bahkan buat nulis two different juga) hahaha. Padahal niatnya saya mau hiatus sampe tahun baru.

Btw, buat kwa si langit jerok oren sayangku, maaf karena menunda meanie dan malah publish cheolhan dulu. Meanie terlalu unyu untuk dibikin maso /hush

Last, mind to RnR? I'm newbie on Svt's fandom. Bangapseumnida sunbae-nim /?

Tamban, 01 November 2015

darkestlake