Disclaimer : Vocaloid – Yamaha & Crypton

Warning : Typo(s), Alur berantakan, OOC, EYD, Gore(s), Dan lain-lain

Red Yard

Chapter 1 – Dua Saudara

.

.

Seorang gadis menggeliat perlahan dalam selimut tebal yang menyelimutinya. Matanya mengerjap perlahan menandakan bahwa ia telah mendapatkan kembali kesadarannya akan tidur nyenyaknya. Dirinya merasa malas untuk menyambut pagi hari, ingin rasanya untuk lebih lama berada di tempat tidur. Jika saja ia tidak memiliki kewajiban yang harus ditanggungnya. Gadis itu kini beranjak malas dari tempat tidur. Ia berjalan linglung menghampiri jendela kamarnya. Disibaknya gorden yang menghalangi sinar Sang Mentari di pagi hari. Cahaya emas segera menyelimutinya, memberikan rasa hangat yang nyaman. Tak puas, kini gadis itu mulai membuka jendela kamarnya. Udara segar pagi hari segera menyambut paru parunya, membuat ia menghembuskan nafas panjang yang menurutnya hal tersebut merupakan sebuah kenikmatan.

Merasa sudah segar kembali. Gadis itu segera mempersiapkan dirinya. Ia mengganti piyamanya dengan pakaian tunik sederhana berwarna cokelat. Dilihatnya pula pantulan dirinya di cermin lemari. Rambut pirang sebahunya sangat berantakan, segera diambilnya sisir untuk merapikannya.

"Baiklah." Ujar gadis itu semangat, merasa puas dengan tampilannya yang cukup sederhana. Wajar, ia bukanlah seorang gadis feminim yang gemar bersolek.

Setelah melakukan kegiatan tersebut, gadis itu mulai melangkah menuju keluar kamarnya. Sebuah ruangan besar dengan meja kayu berukuran panjang dan kursi kayu sederhana menyambut pemandangannya dari balik pintu kamar. Dilihatnya juga seorang lelaki tengah duduk di sana sambil membaca lembaran lembaran halaman dari sebuah buku yang disinyalir merupakan sebuah jurnal.

"Eh? Tidak biasanya kakak bangun lebih dulu." Ucap gadis itu kepada satu satunya makhluk yang berada di ruangan itu.

"Tidurmu nyenyak? Kurasa kau harus melihat sekarang jam berapa, Rin." Sindir satu satunya kakak laki laki Rin, Rinto. Rin yang menyadarinya hanya tersenyum canggung seraya berlalu menuju dapur.

"Bagaimana dengan toko, kak? Kurasa kau membuka jurnalmu lebih awal." Ucap Rin sambil bersiap membuat sarapan untuk Rinto.

Semenjak kepergian kedua orangtuanya. Rin dan Rinto hanya tinggal berdua. Sebagai penyambung hidup, Rinto mendirikan toko senjata buatannya. Ia juga menawarkan jasa menempa senjata. Kemampuan Rinto diakui seluruh warga desanya, desa Red Yard. Rin juga terkadang membantu kakaknya dalam menempa. Aneh memang, tapi bagi Rin hal tersebut merupakan kegiatan yang menyenangkan. Saat gadis lain seusianya mulai mencemaskan keindahan tubuhnya, Rin justru tidak memikirkan hal itu. Sejak kecil Rin memang seorang gadis yang tomboi. Kakaknya seringkali merasa keheranan dengan tingkah laku adiknya.

Rinto menghela nafas panjang, "pendapatan kita menurun dari bulan lalu. Logam logam pun masih tersisa banyak." Kata Rinto dengan nada kecewa. "Apa para warga menganggap kemampuanku sudah menurun?"

"Eh?! Tidak mungkin!" Pekik Rin, "kita memang sedang tidak untung saja. Kurasa kita harus berhemat. Jangan khawatir, kita tidak akan kehabisan uang!"

"Untung saja adikku ini tidak perlu membeli perhiasan dan pakaian mahal." Kata Rinto geli.

Rin tidak menggubris perkataan kakaknya. Ia menuangkan sup yang sudah matang ke dalam mangkuk untuk disantap mereka berdua. Ia juga mengambil dua potong roti dan mulai menghidangkannya ke atas meja. Rinto menyatap dengan lahap masakan buatan adiknya, walaupun sering melakukan pekerjaan kasar seperti menempa, Rin sangat ahli dalam memasak.

"Kak…" Panggil Rin disela sela makannya, "jika ada waktu tenggang, bolehkah aku berlatih tanding dengan kakak lagi?"

Rinto yang mendengarnya segera menyemburkan sup yang setengah jalan menuju tenggorokan, ia kaget bukan main saat mendengar ucapan adiknya itu. "Hah?! Sudah kubilang jangan berlatih menggunakan pedang lagi. Kau itu perempuan, Rin!" Seru Rinto, "Ayolah… apa yang salah dengan otakmu? Disaat gadis lain seusiamu berlomba lomba menarik hati bangsawan. Kau malah ingin menjadi prajurit, atau kesatria?! Rin, kau ini seorang gadis cantik loh!"

"Hei! Bukankah kakak yang mengajariku seni berpedang?!" Sergah Rin tidak terima dengan ucapan Rinto.

"Saat itu kita masih anak anak, Rin. Itu hanyalah Per-Ma-In-Nan!" Ucap Rinto dengan penekanan.

Almarhum ayah mereka adalah seorang prajurit kerajaan, wajar bagi Rinto untuk mengagumi sosok ayahnya itu. Maka sejak kecil, Rinto sangat senang ketika ayahnya mengajarinya seni berpedang. Dan Rinto memang sering mengajak Rin kecil untuk bermain pedang pedangan dengan kayu. Ia juga menurunkan ilmu seni berpedang kepada adiknya itu. Saat kemampuan Rin sudah dinilai cukup lumayan, Rinto mulai mengajaknya latih tanding. Tapi siapa sangka, adiknya ternyata sangat menyukai hal tersebut! Rin bahkan bertekad untuk menjadi seorang prajurit! Maka sejak saat itu Rinto bertekad untuk menghentikan segala kegiatan itu demi masa depan adiknya.

"Kemampuanku sudah hebat loh!" Ujar Rin yang tidak mengindahkan protes kakaknya, "aku sering berlatih sendirian akhir akhir ini."

"Aku ingin membuka toko dulu." Rinto berdiri dengan cepat, "hari ini mungkin akan sibuk jadi tidak ada latih tanding. Dadah!" Kata Rinto seraya berjalan menuju tokonya yang terletak tepat disebelah rumah mereka.

"Tunggu kakak… Kakak!" Rin mencoba menarik perhatian kakanya. Namun semua itu hanyalah berupa angin lalu ketika Rinto sudah menutup pintu rumah yang tersambung dengan toko.

Rin menghela nafasnya. Moodnya menurun akibat perlakuan kakaknya tadi. Hal ini memang sering terjadi, dan selalu berakhir dengan Rinto yang menghindari segala permintaanya tadi. Rin segera membereskan sisa sisa sarapan mereka berdua. Mengingat hari masih terlalu pagi dan tidak banyak yang bisa dilakukan Rin di toko, dan juga ia merasa sebal kepada kakaknya, maka Rin memutuskan untuk berjalan jalan di sekitar desa.

Desa Red Yard adalah tempat tinggal Rin dan Rinto. Sebuah desa luas yang berada di ujung selatan provinsi Areolla. Nama Red Yard sendiri diambil dari tumbuhan mawar merah yang menghampar luas di penjuru desa tersebut. Rin sangat mengaggumi keindahan desanya itu, keindahan taman taman mawar merah selalu membuatnya berdecak kagum. Sayang sekali bahwa Red Yard bukanlah objek wisata unggulan, mengingat letak desa ini sangat terpencil.

Rin berbelok mengambil jalan memutar menuju rumahnya. Beberapa penduduk desa menyapanya ramah yang dibalasnya dengan senyuman. Hamparan mawar merah masih menyambut langkah langkahnya. Senandung pelan ia lontarkan dari mulutnya seiring langkah kecilnya menapak. Dan sudah tak terasa rumahnya kini berada dalam jarak pandangan mata.

Rin melihat toko Rinto yang sedang dikunjungi pelanggan. Segera ia mempercepat langkahnya menyadari bahwa mungkin kakaknya itu membutuhkan bantuannya. Saat berjarak tak jauh dari toko baru Rin menyadari siapa pengunjung toko itu. Ia mengenalinya, seorang pria bernama Len yang merupakan tetangganya. Rin menyipitkan matanya, berpikir. Sudah berapa lama ia terakhir kali ia melihat Len?

Menurut Rin, Len adalah sosok pria muda yang sangat misterius. Len sangat sering berpergian keluar desa dalam waktu yang lama, entah apa yang dilakukannya. Yang jelas kegiatan tersebut– berpergian keluar desa dengan waktu yang lama– sangat jarang dilakukan oleh warga desa yang lain. Dan yang lebih parah, ketika Len pergi, ia bisa menghabiskan waktu sampai berbulan bulan untuk kembali!

Rinto sendiri sering mengejek Rin dengan mengatakan bahwa Rin dan Len terlihat cukup mirip. 'oh kau begitu mirip dengan pria itu. Mungkinkah ia adikku juga? Atau jangan jangan aku dan dia adalah saudara yang tertukar? Lalu siapa sebenarnya aku!' Rinto sering sekali mengeluarkan guyonan itu dengan nada yang menyebalkan, membuat Rin merasa ingin menjotos mukanya.

Tapi harus diakui, Rin merasa ia cukup mirip dengan Len. Rambut mereka sama sama berwarna honey-blonde dengan mata berwarna biru cerah. Len sendiri berpostur cukup tinggi– lebih tinggi dari Rin namun sedikit lebih pendek dari Rinto– dan tegap, berdada bidang, dan berkulit kecoklatan. Rambutnya yang panjang dan sewarna dengan milik Rin diikat ponytail rendah, sedangkan rambut bagian depannya terlihat berantakan.

Sejenak Rin tertegun dengan paras pria itu. Jika diperhatikan lebih lanjut, pria itu cukup tampan.

'Apa yang baru saja kupikirkan?!' Rin merasakan wajahnya memanas. Ia menggelengkan kepalanya mencoba menghilangkan pikirannya barusan. Menyadari bahwa ia sudah terpaku begitu lama, Rin kembali bergegas untuk membantu Rinto.

Bunyi dentangan dan bau besi segera menyambutnya ketika memasuki toko. Ia melihat kakaknya sedang menempa sebilah pedang. Rin mencoba menawarkan bantuan, namun ditolak dengan halus oleh Rinto. Ia mengatakan bahwa pekerjaannya sebentar lagi akan selesai. Bilah pedang yang masih membara dicelupkan Rinto kedalam air, membuatnya berdesis dan mendidihkan air tersebut. Uap panas juga menguar di udara.

Rinto mengamati hasil kerjanya, ia mengangguk puas kepada sebilah pedang mengkilap yang digenggamnya. Kemudian ia berjalan mendekati Len dan memberikan pedang tersebut.

"Kerusakannya tidak begitu parah. Mengingat ini adalah pedang dengan logam Varanium. Aku justru heran, mengapa pedang ini bisa memiliki goresan goresan seperti itu. Pertempuran sedahsyat apa yang kau alami?" Rinto menjelaskan dengan nada kagum. Kilatan semangat terpancar dimatanya, entah ia tertarik kepada pedang milik Len atau sejarah goresan di pedang tersebut.

Len berdecak kagum melihat hasil pekerjaan Rinto, dikeluarkannya beberapa keping perak dari kantungnya dan menyerahkannya ke Rinto. Kemudian ia menyarungkan pedangnya ke sarung pedang yang berada di punggungnya. "Pertempuran berat." Jawab Len sekadarnya.

Rinto mendengus, tidak puas dengan jawaban Len. "Lagi pula ini sudah dua tahun semenjak kepergianmu, lebih lama dari biasanya, eh?" kata Rinto. Rin sendiri bahkan tidak tahu bahwa Len pergi selama itu! "Senang melihatmu baik baik saja. Dan selamat datang kembali."

"Terima kasih." Ucap Len, "Dan juga berhati hatilah." Lanjutnya kemudian sebelum pergi meninggalkan mereka.

Rinto menghela nafas berat, "Benar benar pemuda yang misterius. Aku rasa tidak akan mudah untuk akrab dengannya. Lagi pula apa yang dilakukannya selama dua tahun?!"

"Mungkinkah ia seorang petualang, atau mungkin prajurit bayaran?" Rin menebak asal.

"Entahlah." Rinto mendengus sebal, "dan apa maksudnya untuk 'berhati hati'?" Rinto mengacak acak rambutnya, bingung. "Bukan hanya misterius, tapi juga aneh."

Rin merasa bahwa ia setuju dengan perkataan Rinto barusan.

Matahari kian beranjak menuju cakrawala. Rin mendengus bosan menyadari bahwa tokonya kini sepi pengunjung. Kemudian ia teringat sesuatu, bahan persediaan makanan mereka telah menipis! Ia harus membeli persediaan makanan lagi. Jika tidak, malam ini bisa dipastikan mereka tidak akan mendapatkan makan malam. Maka ia pamit kepada kakaknya untuk pergi berbelanja.

Butuh waktu cukup lama baginya untuk pergi ke toko yang menjual persediaan makanan. Tapi meskipun begitu, semuanya terbayar dengan hamparan bunga mawar merah di sepanjang perjalanannya. Setelah sampai, Rin membeli beberapa potong roti dan sayur sayuran. Ia harus memastikan bahwa tidak membeli daging, mengingat keluarganya harus berhemat. Ia melihat beberapa selai buah apel yang dijual murah. Tergiur, Rin memasukannya ke dalam daftar belanjaannya. Sesaat ia tersadar, bahwa sekarang sedang penghujung musim panen apel sehingga selainya sedang diobral.

Merasa sudah cukup, Rin memutuskan untuk kembali. Sejenak Rin merasa bahwa Red Yard sangat sepi siang ini. Tidak ada anak anak yang bermain, ataupun orang tua yang sedang meladang. Mungkin karena terik sinar mentari membuat mereka malas untuk berada di luar rumah. Langkah langkah kecil Rin seketika terhenti. Ia melihat sesuatu jejak di tanah. Jejak yang memanjang, seperti sesuatu yang terseret. Tetesan darah menghiasi jejak tersebut, membuat Rin semakin penasaran.

'Ular yang besar?!' Pekik Rin dalam hati. Ia melonjak kegirangan ketika rasa penasarannya mulai menguasai dirinya. Maka ia pun mengikuti jejak tersebut. Jejak itu membawanya menuju bagian desa yang sepi, tempat dimana tidak ada yang bermukim disini. Kemudian jejak itu menyambung menuju hutan. Yakin bahwa buruannya berada di sana, maka Rin berjalan dengan mengendap endap.

Dan apa yang dilihatnya benar benar berbeda dari yang diinginkannya. Dan itu jauh lebih mengerikan dari bayangannya.

(-)

Len menyeka keringatnya. Kejadian siang ini membuatnya begitu lelah. Baru selesai ia menempa pedangnya, sekarang bilah pedang mengkilap itu telah ternoda dengan warna merah. Warna merah darah.

Darah dari pria tua yang kini berbaring dihadapannya.

Luka tusukan pada perutnya bahkan tidak membunuh pria tua itu. Len kemudian menyeretnya, membawanya ke tempat yang sepi, seperti hutan di pinggiran desa. Meskipun terdapat luka tusukan yang menembus perutnya. Pria tua itu masih memberontak sambil mendesis marah. Ada yang aneh dengan pria tua itu, dan Len menyadarinya.

Rasa cemas yang berada di dalam benaknya kini benar benar telah mewujud. Ketika Len pergi berjalan jalan, menikmati pemandangan desa Red Yard. Seorang penduduk menyerangnya, membuat Len memberikan perlawanan dengan menusuk perut pria itu. Beruntung baginya mendapati keadaan sekitar yang sepi, Len kemudian membawa pria itu dengan menyeretnya ke hutan di pinggiran desa Red Yard. Dan ketika berada di hutan, tanpa disangka pria itu ternyata masih hidup. Membuat kecemasan Len semakin menjadi jadi. Pria itu mencoba menyerangnya lagi, membuat Len harus mengikat pergelangan tangan dan kakinya ke pepohonan.

"Demon… jadi benar mereka telah berada di sini. Firasat burukku terhadap desa ini kini telah terbukti benar." Gumam Len, "mereka mengambil alih tubuh penduduk. Ini gawat."

Pria yang disebut Len sebagai Demon kini mulai memekik marah. "Desa ini sudah tidak aman lagi… apakah Demon ini mengikutiku sampai sini? Betapa cerobohnya diriku." Len berdecak kesal, "Demon ini kasta rendah. Ia tidak mengerti bahasa manusia. Aku tidak akan mendapatkan informasi dari dirinya. Sial, apakah Demon juga akan membumi hanguskan tempat ini."

Pria itu mulai menunjukan gejala gejala aneh. Kulitnya berubah menjadi sisik, dari dahinya mencuat tanduk yang melengkung, bibirnya tertarik sampai pipi memperlihatkan gigi giginya yang tajam. Tangannya penuh cakar alih alih kuku.

Len yang melihatnya menyipitkan matanya, merasa jijik akan pemandangan di depan matanya. Ia mengangkat pedangnya, dan menghujamkannya ke jantung Demon itu. Demon itu memekik kesakitan dan sesaat kemudian wujudnya berubah menjadi pria tua tadi.

Seseorang mengeluarkan teriakan tertahan, membuat Len mengalihkan fokusnya. Dan ketika ia berbalik, alangkah kagetnya ia mendapati seseorang berlari menjauhi dirinya. Orang itu melihat apa yang telah dilakukannya!

(-)

Rin membanting pintu dengan keras, raut panik menghiasi wajahnya. Nafasnya memburu, dan kulitnya pucat. Peluh kini telah membanjiri wajahnya.

Rinto yang mendengar bantingan pintu melonjak kaget, dan keheranan dengan aksi adiknya itu. "Ada apa, Rin?!" tanyanya khawatir ketika melihat kondisi adiknya.

"Len…" Rin tidak mampu menyelesaikan ucapannya. Ia terlalu lelah, dan kejadian tadi membuatnya sangat syok.

"Ada apa dengan Len?!"

"Dia…" Rin mencoba mengatur pernafasannya hingga kembali normal, kemudian ia berbicara dengan suara lantang. "Dia membunuh seorang penduduk desa!"

Dan ucapan Rin sukses membuat Rinto sangat terkejut.

TO BE CONTINUED

.

.

Pojok Author :

Hanya selingan.

Saya akan berterima kasih atas review yang diberikan.