S.O.S

Rate: T

Disclaimer: Hiro Mashima

Don't Like, Don't Read

.

.

.

S.O.S

.

.

.

Byurr!

Seorang anak kelas VII disiram dengan seember air dingin. Tampak anak-anak yang baru saja menyiramnya tertawa, seakan-akan itu adalah hal yang lucu bagi mereka.

Gadis yang baru saja disiram itu gemetar. Dia tampak ketakutan. Dia memberikan ekspresi mohon ampun kepada orang yang menindasnya.

"Hen..hentikan..."Lirih gadis itu. Dia benar-benar tampak ketakutan. Mata para gadis yang menindasnya menatap gadis itu dengan ekspresi kesal. "Jadi begitu caramu berbicara dengan kakak kelasmu, hah?!" Seru gadis berambut pendek.

Gadis itu kembali ketakutan. "Kurasa aku harus memberimu pelajaran lagi! Supaya kau bisa tahu bagaimana caranya berbicara dengan kakak kelasmu!"Seru gadis itu sambil menyeringai. Mereka langsung memukul gadis itu membabi buta, tanpa memikirkan gadis itu.

Seorang gadis berambut panjang berwarna biru melihat kejadian tersebut. Segera, dia langsung melangkah ke arah tempat kejadian. Namun, langkahnya tiba-tiba berhenti dikarenakan ada seseorang yang memegang tangannya.

"Jangan Wendy!" Seru gadis berambut pink yang diikat dua. "Chelia.." Lirih Wendy. "Kau akan ditindas jika kau membantu gadis itu! Kau mengerti,kan? Walaupun kita seumuran seperti anak-anak yang menindas gadis itu, tapi tak ada jaminan bahwa kita akan selamat dari mereka!" Jelas Chelia dengan nada yang tegas. Wendy terdiam.

"Tapi, kan, kasihan. Ini tak bisa dibiarkan, Chelia! Gadis itu pasti ketakutan, itu bisa membuat psikologis-nya tergangu." Ujar Wendy dengan tatapan sendu. Chelia menggeleng.

"Sekali tidak, ya, tidak! Sudah, ayo pergi!", Chelia menarik tangan Wendy dan menyeretnya dengan paksa untuk menjauh dari tempat tersebut. Wendy hanya menatap Chelia kesal. Sudah berulang kali Chelia menghalangi Wendy untuk membantu korban penindasan.

Penindasan adalah hal yang umum di sekolah Wendy. Meskipun sudah di peringatkan oleh guru, tapi tetap saja penindasan masih ada. Pihak sekolah menyerah. Akhirnya, penindasan sekali lagi merajalela. Tak hanya di kalangan perempuan saja, tapi juga ada di kalangan laki-laki. Tentu saja, mereka menindas sesama mereka, alias sama jenisnya. Misalnya perempuan ditindas oleh perempuan. Tak jarang, banyak juga para penindas berpacaran dengan penindas lain, baik satu sekolah maupun beda sekolah. Apalagi, mereka juga sama-sama penindas. Jadi, sudah pasti pemikirannya sama.

45% anak di sekolah ini adalah korban penindasan di sekolahnya, 6% adalah pelaku penindasan, dan sisanya adalah murid biasa yang belum menjadi korban penindasan atau bergabung dengan grup pelaku penindasan. Anak-anak yang belum menjadi korban, selalu berusaha untuk tidak membuat ulah dan menghormati para pelaku penindasan, layaknya atasan dan bawahan. Semua ini dilakukan agar mereka tidak menjadi korban penindasan. Toh, pihak sekolah juga tidak bisa membantu. Dan yang menindas pun adalah anak orang kaya bermasalah yang memberikan banyak sunmbangan ke sekolah agar anaknya tidak dikeluarkan. Ternyata uang menang dalam pertarungan hati.

Dan, banyak anak yang pindah sekolah. Namun, ada juga yang masih bertahan sampai lulus. Berharap bisa membuka lembaran baru di SMA lain.

Nama sekolah ini pun namanya SMP Takeda. Sekolah yang di mata masyarakat adalah sekolah yang tidak terlalu menonjol, biayanya murah, dan biasa-biasa saja. Namun nyatanya, sekolah ini penuh dengan penindasan. Tak ada yang tahu tentang kebenaran sekolah ini.

Wendy sendiri masuk ke sini karena biaya sekolahnya murah. Apa boleh buat, keluarganya termasuk kategori menengah. Ayahnya bekerja sebagai pegawai negeri biasa, dan ibunya adalah pejual roti di depan stasiun. Gaji mereka pun hanya seberapa. Setidaknya, mereka bukanlah golongan tidak mampu. Dan Wendy juga tidak ingin menyusahkan kedua orangtuanya dengan masuk sekolah yang biaya-nya mahal.

Wendy sendiri sebelumnya belum tahu kalau sekolah tersebut banyak terjadi kasus penggencetan. Baru setelah masuk sekolah dia tahu.

Wendy, yang sudah ditarik duluan oleh Chelia hanya bisa pasrah. Dia menatap gadis yang ditindas itu dengan ekspresi bersalah.

Gomenne...

.

.

.

Wendy mengetuk-ngetuk pulpennya. Ia masih teringat tentang kejadian tadi. Yah, apalagi kalau bukan penggencetan. Dia hanya menatap papan tulis putih dengan tatapan kosong. Tak ada yang bisa dilakukan, hanya terdiam sambil menatap papan tulis.

Grek!

Pintu kelas terbuka. Tampak, Minerva-sensei berjalan masuk ke kelas dengan langkah anggun. Beliau adalah guru Kesenian yang killer dan dingin. Hukumannya pun berat-berat. Makanya, semua anak berusaha untuk tidak mendapatkan hukuman dari Minerva-sensei.

"Hari ini, aku akan membacakan nilai ulangan kesenian kalian. Buruk! Kalian semua buruk sekali! Apa kalian tidak bisa mendapatkan nilai yang sempurna?! Nilai kalian semua dibawah rata-rata! Dasar tidak tahu malu! Kalian semua, REMEDIAL!" Bentak Minerva-sensei. Semua anak tertunduk. Tak ada yang berani menyela. Memang, semua anak yang ada di kelas Wendy tidak terlalu pintar dalam pelajaran kesenian. Termasuk Wendy.

"Ah, remedial..."Desah Chelia frustasi. Dia benar-benar kehilangan akal, bagaimana caranya supaya mendapatkan nilai yang bagus.

Wendy terdiam. Di kepalanya, hanya ada tentang korban penindasan. Tidak ada yang berhubungan dengan kesenian. Ataupun kemarahan Minerva-sensei.

Chelia menatap Wendy dengan heran. Dilihatnya, Wendy sedang melamun. Entah memikirkan apa.

"Wendy."Panggil Chelia. Namun Wendy masih terdiam. "Wendy!"Panggil Chelia lagi. Wendy masih tidak bergeming. Chelia menatap Wendy kesal. "WENDY!" Panggil Chelia lebih keras. Wendy terkaget-kaget. Pensil yang digenggamnya pun jatuh ke lantai. Dengan wajah tak berdosa, Wendy bertanya kepada Chelia. "Ya, ada apa?", Chelia hanya terbengong-bengong.

"CHELIA! Apa yang kamu lakukan?! Tadi kamu berteriak! Berisik tahu! Apakah kau tidak mendengar yang tadi kujelaskan?!" Seru Minerva-sensei. Para murid menatap Chelia dengan tatapan yang artinya kau harusnya tidak membuat Minerva-sensei marah atau kau akan mendapatkan hukuman yang berat. Minerva-sensei menatap tajam Chelia.

"Ma,maafkan aku sensei. Aku tidak sengaja.." Ujar Chelia takut-takut. Minerva-sensei menghela nafasnya. "Baiklah. Kali ini aku akan memaafkanmu. Tapi kalau kau sampai melakukannya SEKALI LAGI, maka kau akan SIAP menerima HUKUMANKU!" Ujar Minerva-sensei dengan meninggikan suaranya. Chelia mengangguk tanda mengerti.

Wendy menyengir. Apa boleh buat, dari tadi dia memikirkan tentang para korban penindasan. Jadi, Wendy sama sekali tidak mendengarkan panggilan dari Chelia.

Teng! Teng!

Bel pulang sekolah berbunyi. Semua anak mulai memasukkan semua bukunya ke dalam tas masing-masing. Mereka benar-benar bersyukur, karena pelajaran kesenian sudah usai. Dan Minerva-sensei pun sudah keluar.

Wendy merapikan mejanya agar selalu bersih. Pikirannya masih tertuju kepada para korban penindasan. Apakah tidak ada cara lain? Cara untuk menyelamatkan para korban penindasan.

Chelia menghampiri Wendy. Raut wajahnya sangatlah kesal. "Wendy, dari tadi kamu mikirin apa sih?!" Tanyanya dengan nada kesal. Wendy menghela nafas.

"Jangan marah-marah begitu, dong. Oya, aku tadi sedang memikirkan korban penindasan." Jawab Wendy tenang.

Chelia mengerutkan keningnya. "Kenapa kau harus memikirkannya? Itu bukan urusanmu, kan? Lagipula, kalau kau ikut campur, kau hanya akan ikut tertindas!" Ujar Chelia. Wendy tersenyum.

"Justru karena itu kita harus peduli dengan mereka,kan?" Chelia bingung. Sedetik kemudian, dia berlari keluar dari kelas. "Ah, aku tidak peduli!" Teriaknya.

Wendy hanya menatap kepergian Chelia. Chelia, kenapa kau tidak mengerti? Kita tidak boleh membiarkan mereka. Dan aku tidak mau menjadi seperti orang yang menindas. Mengertilah Chelia., gumam Wendy dalam hati.

.

.

.

Tapi Wendy, apakah kau akan menjadi 'korban'?

.

.

.

To Be Continued

.

.

.

Yuhuuu! Syifa kembali lagi! Kali ini bukan cerita oneshoot, tapi multi-chapter! Yeeei...#tepuktangan. Nah, karena ini multi-chapter pertama bagi Syifa, jadi maaf ya kalau nanti update-nya lama. Hehehe...

Mind to review?