Yohaa~ Bertemu denganku di kisah setelah satu bulan lewat dalam kisah Blue Devil berakhir~ Apa ada yang masih ingat tentang Blue Devil? Aku tak yakin sih masih ada yang mengingatnya~ Tapi jika ada yang belum pernah membacanya, silahkan dilihat list my stories-ku~
Plot kali ini mengenai valentine dan juga kejadian dimana ayah Hinata melihat Naruto untuk yang kedua kalinya setelah memberikan restu untuk menjaga Hinata. Tapi kali ini Hiashi melihat Naruto di dalam kamar Hinata! Sudah begitu tak terasa lagi kalau Naruto datang ke rumahnya! Ya jelas! Naruto di sini 'kan dewa~ Dia bisa masuk ke rumah orang tanpa dirasakan oleh siapapun.
Nah hal itu yang sudah pasti membuat Hiashi terkejut karena diam-diam Hinata membawa laki-laki masuk ke kamarnya. Nah.. Bagaimanakah tanggapan Hiashi? Lalu.. Kisah valentinenya akan berakhir seperti apa? Disini juga wujud Naruto akan ketahuan oleh Hiashi! Beserta dengan kesalahan Naruto saat di dunia bawah dulu juga akan terkuak!
Jadi, selamat membaca~ Inilah sequel Blue Devil setelah sekian lama fic-nya tamat yang mengungkapkan misteri tentang kesalahan yang dilakukan Naruto dahulu.
::
::
::
Saat ini, kota sudah dipenuhi dengan hiasan berornamen coklat dan warna pink. Hari ini adalah dua hari tepat sebelum hari valentine tiba. Kemudian, disinilah kisahnya dimulai. Kisah cinta antara manusia dengan dewa..
"Naruto-kun mau coklat apa saat valentine nanti?" Hinata yang sedang asyik melihat-lihat majalah KonoGirls yang memuat artikel mengenai coklat menanyakannya pada Naruto. "Mau yang manis, atau pahit?" tanya Hinata lagi.
Sudah satu bulan lebih sejak Naruto menjadi kekasihnya tepat di hari ulang tahunnya. Oleh sebab itu, Hinata tidak merasa malu membuatkan coklat valentine untuk Naruto. Tetap membolak-balik majalahnya, Hinata saat ini sedang bingung ingin membuat dekorasi coklat seperti apa untuk Naruto.
"Valentine? Apa itu?" Hinata menegadahkan wajahnya, menatap Naruto. Tunggu sebentar, Hinata hampir saja lupa. Naruto itu dewa, dewa mimpi Aoi Kami, tepatnya campuran antara Morfeus dan Fobetor. Lalu, selalu bekerja di dunia mimpi setiap manusia pada malam hari, tidakkah itu bukan hal yang aneh apabila Naruto tidak mengerti akan valentine?
Sejak meninggalkan olympus, entah mengapa Naruto jarang menggunakan kekuatannya. Paling banyak digunakan untuk mengubah dirinya menjadi Naru-chan. Tapi, tinggal di dunia bawah, mungkin memang membuat Naruto tidak mengerti akan hal itu.
Menutup majalahnya, akhirnya Hinata menatap Naruto yang juga tengah menatapnya dengan tatapan bingung. "Valentine itu hari dimana para gadis memberikan coklat pada laki-laki yang disukainya. Atau lebih tepatnya, waktu yang sangat tepat untuk menyatakan perasaan melalui coklat." membuat tangannya menunjuk langit kamar seakan sedang menjelaskan, Hinata menatap Naruto. Apa Naruto akan mengerti dengan mudah?
"Oh.. Jadi.. Kamu mau memberiku coklat, Hinata?" Naruto yang sudah mengerti langsung merasa semangat, senyum terukir di wajahnya. Mendengar pengertian dari valentine, entah mengapa Naruto senang sekali karena hal itu menunjukkan bahwa Hinata menyukainya.
"Iya. Makanya aku bertanya mau coklat manis atau pahit?" Hinata kembali bertanya. Seorang dewa, apakah dia pernah mencoba kekenyalan dan kelembutan tekstur coklat? Yang Hinata tahu, Hinata hanya pernah melihat Naruto memakan makanan dunia dua kali. Es serut dan ramen. Iya, saat dirinya pergi berlibur dengan keluarganya.
Kembali mengingat hal itu, wajah Hinata langsung memerah. Saat dimana kedua bibir mereka bertemu walaupun Naruto berwujud kucing. Tapi, rasanya masih memalukan apabila diingat. Kalau diingat-ingat lagi, selama mereka menjadi kekasih, mereka tak pernah berciuman. Kecuali saat di pantai, tapi itu tak dihitung karena saat itu Naruto sangat membutuhkan makanannya. Tapi setelah itu, rasanya Hinata sama sekali tidak pernah melihat Naruto kelaparan lagi.
Melihat Hinata yang tenggelam dalam pemikirannya dengan wajah memerah, Naruto tersenyum jahil. Mendekatkan wajahnya pada Hinata, "Hayo.. Sedang berpikir apa? Mau kuciu.."
BRAK
"Hinata! Dengarkan ayah!" dengan seketika pintu kamar Hinata terbuka dengan keras. Membuatnya terbentur dengan dinding sebagai penyangganya.
Hal itu tentu membuat Naruto, Hinata, dan juga Hiashi terkejut. Saling bertatapan satu sama lain, semuanya diam membisu. Apalagi saat melihat posisi anaknya dengan laki-laki yang telihat ingin menciumnya. "Hi.. Hinata.. Ke.. Napa dia ada di kamarmu?" menunjuk Naruto, Hiashi benar-benar merasa syok. Anak yang dahulu itu.. Yang Hiashi berikan kepercayaan untuk menjaga Hinata.. Tapi, sekarang dia dalam posisi seperti itu dengan anaknya?
"A.. yah?"
Ya, bagaimana Hinata harus menjelaskannya ya?
Blue Devil : Next Story
Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto-sensei
Blue Devil : Next Story © Haruta Hajime
Pairing : Naruto Uzumaki & Hinata Hyuuga
Genre : Romance
Rated : T
::
"Ayah?" Hinata menatap ayahnya dengan takut. Bagaimana ini? Naruto masih berwujud manusia! Dan sepertinya ayahnya salah sangka dengan kejadian ini! Bagaimana ini? Bagaimana Hinata harus menjelaskan?
Hinata tidak dapat berkata-kata. Bagaimana ia harus menjelaskan hal ini? Ya hanya ini yang terlintas dikepalanya. "Ayah.. Ini bukan seperti apa yang ayah pikirkan." bangkit dari duduknya, Hinata berusaha menjelaskan pada Hiashi. Kalau Hiashi sampai marah, bisa gawat.
"Hinata, duduk!" mendengar perintah Hiashi, Hinata yang sempat berdiri dengan seketika langsung duduk dengan kaku. Tentu Hinata tidak dapat melawan perkataan ayahnya.
Sedangkan Naruto, jujur ia sangat terkejut. Apalagi Hiashi melihat dirinya yang ingin mencium Hinata. "Om.. Maaf, tolong jangan salah paham dulu." Naruto yang tidak bergerak dari posisi duduknya di ranjang menatap Hiashi dengan senyum takut.
"Dengarkan saya ya. Bukan berarti karena saya menitipkan anak saya kepadamu, kamu dapat berbuat seenaknya dengan anak saya." Hiashi menyilangkan tangannya. Menatap Naruto dengan tatapan menelaah siap memberikan berbagai pertanyaan kepada Naruto. Tentu saja untuk menjelaskan apa yang belum lama ini dilihat olehnya.
"Maaf om. Saya benar-benar minta maaf. Om sebagai laki-laki pasti mengerti maksud saya 'kan?" menyatukan kedua tangannya dan menundukkan sedikit kepalanya, Naruto memohon maaf. Mungkin tidak seharusnya seorang dewa memohon maaf pada manusia. Tapi, saat ini sosok yang digunakan oleh Naruto adalah manusia, kekuatan sang Morfeus.
Jika ditelaah lagi, Naruto tidak yakin apa dia masih menjadi dewa atau tidak. Jelas saja saat ia pergi meninggalkan olympus, Naruto berkata lebih baik meninggalkan jabatannya sebagai dewa mimpi dan hidup dengan manusia pilihannya. Sama seperti seorang dewa yang dulu menjadi seniornya.
Kembali lagi, Hiashi menatap Naruto dengan tatapan datar. "Hinata tetap di kamar, kau.." Naruto meneguk ludahnya. Diberikan tatapan sedikit tajam itu cukup membuat Naruto merinding. "Ikut aku." dan hal itu membuat keringat mengalir di pelipis Naruto.
Hiashi itu memang baik pada anaknya, tapi jika anaknya didekati oleh laki-laki, pasti sifatnya berubah sangat jauh. Itu yang diketahui oleh Naruto selama ia tinggal satu atap dengannya. Akhirnya, dengan langkah terhuyung Naruto mengikuti Hiashi. Meninggalkan Hinata yang tetap harus berada di kamar.
"Naruto-kun!"
Mendengar panggilan dari Hinata, Naruto pun membalik wajahnya. "Mau manis atau pahit?" lagi-lagi pertanyaan itu yang keluar. Berpikir sementara, Naruto pun menjawab "Sedang saja." dan kemudian Naruto pun kembali melangkahkan kakinya.
Sampai sudah Naruto di ruangan kerja Hiashi. Diperintahkan duduk, Naruto duduk. Sungguh suasana yang sangat mencekam dikala Hiashi memberikan tatapan seramnya pada Naruto.
"Jadi, kalian sudah menjadi sepasang kekasih? Kenapa saya tidak tahu?" Hiashi menyilangkan tangannya dan bersandar pada kursinya. Kali ini Hiashi harus bertanya serius mengenai hubungan anaknya. Tapi penjelasannya tidak diberikan Hinata, melainkan Hiashi ingin mendengar penjelasan langsung dari sang lelakinya.
"Iya om. Kalau soal itu, maaf karena saya tidak memberitahukannya. Tapi saya juga tidak menyangka Hinata tidak bercerita pada om." sedikit tertawa dan menundukkan kepalanya, Naruto membuat sedikit kebohongan layaknya manusia nyata. Soalnya, Naruto 'kan selalu bersama dengan Hinata, jadi tentu saja Naruto tahu kalau Hinata belum mengatakannya. Jadi, untuk saat ini boleh 'kan menggunakan kebohongan sebagai jawaban?
"Soal itu tidak masalah. Saya tahu kalau kau anak baik dan Hinata juga menyukaimu. Tapi yang saya permasalahkan.." Naruto mengangkat wajahnya. Ia yakin nih, pasti pertanyaannya mengenai hal itu. "Dari mana kau masuk ke kamar Hinata dan saat saya masuk, posisi apa itu?" tepat sesuai apa yang diperkirakan. Hiashi benar-benar menanyakan tentang permasalahan itu.
"Aa.. Soal masuk dari mana.. Mungkin saat saya memberi salam, om tidak mendengar. Lalu soal posisi itu, maafkan aku. Habisnya Hinata manis sekali, jadinya aku tidak dapat menahan diriku. Hehe." Naruto tertawa tipis, dan meletakan sebelah tangannya di belakang kepalanya. Sedikit menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Naruto berharap Hiashi dapat mengerti.
"Baiklah, soal kedatanganmu, tidak akan saya permasalahkan lagi. Lalu soal keinginanmu mencium putri saya, saya dapat mengerti. Habisnya, dia sama cantiknya dengan ibunya. Jadi, saya memaafkanmu." Naruto langsung tersenyum mendengar perkataan Hiashi. Mendengar hal itu, itu berarti hubungan mereka sudah disetujui 'kan? Bukankah itu hal yang sangat bagus?
"Terima kasih om!" menjabat tangan Hiashi, Naruto menggoyang-goyangkannya kencang. Sungguh amat luar biasa menyenangkan jika hubungan keduanya sudah direstui. Jadi, tidak ada yang perlu disembunyikan lagi 'kan?
"Baiklah, sekarang kamu pulang. Tidak perlu berbicara pada anak saya lagi, saya yang antarkan menuju pintu depan." Hiashi bangkit dari duduknya. Bukannya Hiashi tidak ingin mempertemukan Naruto pada Hinata, tapi jam juga sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Lagi pula, Hiashi tahu pasti Hinata sedang melakukan sesuatu.
"Nanti saya yang katakan pada Hinata bahwa kau sudah pulang. Besok datanglah lagi kesini setelah pulang sekolah, saya mau bicara serius." setelah sampai di depan pintu, Naruto pun mengucapkan salam perpisahan. Menutup pintu rumahnya, Hiashi berbalik dan segera ingin memasuki ruang kerjanya lagi.
Tok. Tok.
Mendengar suara ketukan pintu, Hiashi pun kembali berbalik. Membuka pintu rumahnya, "Apa ada yang tertinggal?" tanya Hiashi. Hiashi kira, yang mengetuk pintu itu adalah Naruto. Tapi ternyata, tidak ada siapapun di depan rumahnya.
"Dewa.. Kau sedang mencoba menakutiku ya?" mencoba menenangkan dirinya, bisa-bisa Hiashi akan merinding jika ia beranggapan yang mengetuk pintunya adalah hantu. Tapi pemikiran itu disingkirkannya jauh-jauh.
"Miaw~" mendengar suara tersebut, Hiashi pun menundukkan kepalanya. "Oh Naru-chan. Kukira siapa, ayo masuk." kembali menutup pintunya, ternyata yang mengetuk pintu barusan adalah Naruto yang sudah menggunakan kekuatan Fobetor untuk berubah wujud menjadi kucing.
Naruto pun pergi mendahului Hiashi. Hiashi yang masih terdiam hanya berpikir. "Suara ketukan pintu Naru-chan kok seperti manusia ya? Harusnya 'kan kucing.. Menggesek pintu dengan kukunya jika ingin masuk."
::
::
"Jadi Hinata, kenapa kamu tidak menceritakan pada ayah tentang kekasihmu?" Hiashi menyilangkan tangannya dan menyandarkan pundaknya pada sofa di ruang keluarga. Saat ini Hiashi sedang mengintrogasi Hinata, sedangkan Hanabi dia bermain bersama Naru-chan dan Shiroku.
"Maaf ayah, bukannya aku tidak ingin menceritakannya. Hanya saja.." Hinata menundukkan wajahnya, memainkan jarinya, Hinata benar-benar malu. "Hanya saja aku malu bercerita pada ayah." Hinata bersemu. Membicarakan kisah cintanya kepada ayahnya sungguh hal yang memalukan. Bukan memalukan dalam arti buruk, tapi malu karena ya malu. Tidakkah seharusnya tanpa dijelaskan kalian juga tetap mengerti?
"Yah.. Ayah tidak mempermasalahkan itu sih." menyandarkan kepalanya, Hiashi menatap langit ruangan. "Tadi sebenarnya ayah masuk ke kamarmu karena ada hal yang ingin ayah sampaikan." kembali duduk dengan posisi yang benar, Hiashi melihat Hinata yang sudah menatapnya. Itu berarti, Hinata ingin tahu apa yang ingin Hiashi sampaikan.
"Bukan hal yang penting juga sih. Tapi, untuk coklat valentine, ayah ingin yang rasanya sedikit pahit. Mencoba sensasi baru tidak ada salahnya juga." Hiashi mengelus dagunya, berpikir. Mungkin berlebihan karena hanya ingin mengatakan hal itu sampai mendobrak pintu kamar Hinata. Bahkan Naruto yang mendengarnya pun langsung kesal karena acaranya dengan Hinata jadi terganggu.
Tapi untungnya, Hinata itu gadis yang baik. "Baiklah ayah. Nanti akan kugunakan dark chocolate yang dicampur dengan sedikit karamel." Hinata tersenyum pada ayahnya, tentu ia tidak mempermasalahkan hal itu. Setiap tahun Hinata memang selalu memberikan coklat kepada ayahnya. Jadinya, tidak aneh jika Hiashi meminta Hinata untuk dibuatkan coklat seperti apa.
"Oh ya, sebelum kamu tidur, ayah jadi mengingat satu hal." Hiashi kembali menatap Hinata. Tapi kali ini, tatapannya lebih serius dari sebelumnya. Hal itu membuat Hinata terbingung dan juga berdebar takut karenanya.
"Setelah diperhatikan, dia, kekasihmu. Dia mirip dengan dewa di lukisan yang kau tunjukan dulu.. Dewa mimpi."
Glek!
Hinata terkejut. "Eh.. Tidak ayah! Ayah salah, dia tidak mirip dengan di lukisan kok!" Hinata menggelengkan kepalanya, mencoba menghilangkan pemikiran ayahnya mengenai hal itu. Jika seperti itu, pasti ayahnya berniat untuk memperhatikan lukisan itu sekali lagi.
"Kalau begitu, sekarang dimana lukisannya? Ayah mau melihatnya lagi."
Kena sudah. Tidak mungkin 'kan Hinata berkata kalau lukisannya berubah menjadi sesosok manusia yang ternyata dewa? Tentu saja hal itu pasti tidak akan dipercayai oleh Hiashi. Lagipula, Hinata tidak yakin apa ia harus mengatakan mengenai hal itu atau tidak.
Menatap Naruto yang juga sama terkejutnya, Hinata seolah memberikan telepati pada Naruto. 'Bagaimana ini?' dari raut wajah Hinata, Hinata seakan berkata hal itu.
'Tenang saja, katakanlah apa yang ingin kau katakan.'
Hinata mengangguk, menatap ayahnya. "Ayah.. Sebenarnya lukisannya.."
"Hina-nee.."
Mendengar panggilan Hanabi, Hinata pun menghentikan pembicaraannya. Menatap Hanabi, "Kenapa?" kenapa Hanabi menghentikan pembicaraannya? Padahal tadi Hinata bermaksud meluncurkan sebuah kebohongan. Tapi dalam hati, Hinata bersyukur karena tidak jadi berbohong.
"Kenapa saat ditanya mengenai lukisan, kenapa Hina-nee menatap Naru-chan? Memangnya ada apa dengan Naru-chan? Wajah Hina-nee seakan bertanya pada Naru-chan dan setelah seperti mendapat jawaban, Hina-nee mengangguk."
"Ah..?" Hinata terkejut. Hinata lupa jika disana sudah pasti Hanabi memperhatikan gerak-gerik mereka. Kenapa Hinata malah melakukan hal berbahaya, dan kenapa Hanabi dapat berkata hal itu? "Tidak, Hina-nee hanya merenggangkan kekakuan kepala saja Hanabi." Hinata tersenyum kaku. Padahal Hinata kira dia tidak perlu berbohong. Tapi pada akhirnya, dirinya benar-benar harus meluncurkan sebuah kebohongan. Kalau begitu, bisa-bisa Naruto meninggalkannya karena Hinata tidak menjadi anak baik lagi 'kan?
Sedangkan Hanabi, terdiam sementara, akhirnya Hanabi mengakhiri kata-katanya. "Oh begitu." kemudian Hanabi sibuk dengan pekerjaannya lagi.
"Jadi Hinata, bagaimana dengan lukisannya." kembali bertanya, Hiashi menatap jam dinding. Beberapa detik setelahnya, Hiashi langsung bangkit dari duduknya. "Baiklah anak-anak. Kita akhiri pembicaraan ini." Hiashi menepuk tangannya pelan dan menatap Hinata. "Besok ayah mau berbicara dengan Naruto lagi. Makanya, sekarang kamu tidur. Besok 'kan sekolah." Hinata mengangguk. Semoga saja setelah ini Hiashi tidak akan pernah menanyakan lagi mengenai lukisan dewa mimpi itu. Hinata beruntung karena sekarang sudah malam.
Kembali menuju kamarnya, Naruto pun mengikuti Hinata. Sedangkan Hiashi, ia kembali menuju ruang kerjanya sebelum pada akhirnya menuju kamarnya. Lalu Hanabi, bersamaan dengan Shiroku, mereka berdua menuju kamarnya juga.
Jadi saat ini, di kamar Hinata, Naruto tengah duduk di ranjang Hinata dengan wujud Morfeus dan menatap lantai. "Besok saya ingin bicara serius denganmu." mengingat kata-kata Hiashi, Naruto jadi sangat terpikirkan. Apa yang ingin dibicarakan ayah Hinata dengannya? Kenapa Hiashi terlihat begitu serius? Apakah pembicaraannya lebih serius dibandingkan pembicaraan hari ini?
Tapi, dari kata-kata Hiashi, ada satu yang menyangkut di kepalanya. "Aku tidak sekolah. Bagaimana aku bisa datang menemui ayah Hinata setelah pulang sekolah?" Naruto tetap menatap lantai kamar. Sedangkan Hinata, ia sedang di kamar mandi sementara untuk membersihkan giginya. "Dan sekarang.. Terlalu banyak berpikir malah membuatku lapar." Naruto memegang perutnya dan membaringkan tubunya di ranjang Hinata. Memejamkan matanya..
"Yah lihat saja nanti."
::
::
"Naruto-kun, seperti biasa jangan ke sekolah ya. Nanti menarik perhatian." seperti biasa, sebelum berangkat sekolah, Hinata memperingatkan Naruto apa yang tidak boleh dilakukan oleh Naruto selama Hinata tidak ada di rumah.
Tapi mengingat sifat Naruto, tentu saja Naruto tidak akan menuruti kata-kata Hinata. Hanya dengan berkata, "Baiklah, aku akan tetap disini." maka semuanya akan selesai. Hinata pun keluar kamar dan berangkat sekolah.
Disaat seperti itu, ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu. Atau lebih tepatnya, melanggar kata-kata Hinata. "Aku ke sekolah Hinata saja deh. Baiklah! Aku akan bersekolah!" Naruto pun bangkit dari duduknya. Rasanya Naruto seperti memiliki ide sangat bagus.
"Haha, dengan begini, aku bisa menemui ayah Hinata saat pulang sekolah 'kan."
::
::
"Ohayou Hinata-chan." setelah sampai di sekolah, secara tidak sengaja Hinata bertemu dengan Sakura di gerbang. Benar-benar suatu kebetulan yang jarang terjadi.
"Tumben bisa sampai secara bersamaan. Jangan-jangan akan ada hal yang berbeda nih." Sakura mengutarakan kata-katanya. Habisnya, ini pertama kali di saat mereka dapat memasuki kelas bersama-sama.
"Haha, berbeda bagaimana Sakura-chan. Oh ya, jadi belanja bahan coklat 'kan?" tanya Hinata memperingatkan. Sebelumnya, tepatnya kemarin saat bersekolah, Sakura mengajak Hinata untuk berbelanja perlengkapan pembuatan coklat bersama. Oleh sebab itu Hinata memperingatkan lagi, barangkali Sakura lupa dengan kata-katanya sendiri.
"Ah benar juga ya. Aku lupa nih, payah banget sih aku." memukul kepalanya pelan, seakan memperimut tingkahnya, Sakura meledek dirinya sendiri. "Tapi tenang saja Hinata, aku bawa uangnya kok. Tehe.." yah.. Dan berlanjutlah seperti itu, Sakura bertingkah aneh karena merasa malu besok adalah hari valentine.
"Oh ya, bagaimana dengan Naruto? Sudah sembuh dari sakitnya?"
"Eh?" Hinata menatap Sakura bingung. Naruto sembuh dari sakitnya? Maksudnya apa?
"Kenapa terkejut begitu Hinata-chan? Hinata-chan sakit ya?" memegang jidat Hinata, Sakura mencoba mengetes suhu tubuh Hinata. "Tapi tidak panas." Sakura kembali menurunkan tangannya.
"Bukan itu.. Tadi maksud Sakura-chan, Naruto-kun.. Sakit?" memasuki loker sekolah, Hinata melepas sepatu luarnya dan digantinya dengan sepatu ruangan. Tapi kata-kata Sakura benar-benar tidak dimengerti oleh Hinata.
"Dia dua hari tidak sekolah 'kan?" Sakura juga mengikuti langkah Hinata dan menutup lokernya. Sakura merasa aneh, apa Hinata yang gantian sakit?
"Mak.. Maksud Sakura-chan?" kali ini Hinata benar-benar tidak mengerti. Kenapa Sakura berkata seakan Naruto bersekolah di sekolahnya?
"Hinata-chan sedang amnesia dadakan ya? Ini lho." menunjuk loker sepatu, yang tertulis disana adalah nama Naruto. "Ah, dia sudah datang ya. Ternyata teman masa kecilmu sudah sehat." Sakura pun menutup loker Naruto setelah membukanya.
"Sakura-chan. Tunggu, maaf. Aku tak mengerti. Bisa Sakura-chan jelaskan mulai dari teman masa kecil sampai sekarang?" Hinata memegang kepalanya. Kenapa kejadian di pagi ini sangat aneh? Naruto dewa dan dia tidak bersekolah di sana 'kan? Tapi kenapa sekarang ada loker sepatu yang tertuliskan namanya?
"Hinata-chan bagaimana sih? Jelas-jelas Hinata-chan yang bercerita mengenai teman masa kecil itu. Terus, bukankah kemarin Hinata-chan bilang mau memberi coklat padanya?" dan setelah itu, Hinata pun hanya dapat membalas perkataan Sakura dengan anggukan saja. Menuju ke kelas, Hinata berpikir sangat keras. Apa jangan-jangan Naruto telah melakukan sesuatu dengan sekolahnya? Kekuatan dewa, untuk melakukan hal ini tidak sulitkan.
"Memanipulasi ingatan. Benar! Kenapa aku tidak kepikiran!" Hinata menepuk tangannya. "Maaf Sakura-chan, aku duluan!" berlari meninggalkan Sakura, Hinata sangat ingin mendengar penjelasan dari Naruto.
"Sebenarnya apa yang ingin kau lakukan dengan melakukan semua ini Naruto-kun?" Hinata harus segera sampai di kelasnya. Kalau Hinata tidak salah, sudah pasti Naruto akan memanipulasinya dengan menjadi anak di kelas yang sama dengan Hinata. Bukan itu saja, Hinata bingung, Naruto tidak pernah menggunakan kekuatannya untuk hal ini.
"Naruto-kun.." Hinata membuka kelasnya, sudah diduga. Dengan napas yang sedikit terengah, Hinata sudah menemukan Naruto yang tepat duduk di samping kursinya.
Setelah napasnya teratur, berjalan menuju kursinya, berdiri di hadapan Naruto, menatapnya, "Apa yang Naruto-kun lakukan dengan sekolah ini?" Hinata membutuhkan kepastian, kenapa Naruto melakukan hal seperti ini? Jika dirumuskan secara logis, ini seperti perbuatan tidak baik 'kan?
"Ah.. Hinata, kamu marah?" sedangkan Naruto, melihat Hinata yang seperti itu, Naruto merasa tidak enak.
"Aku hanya ingin bersekolah. Soalnya, ayahmu berkata temui dirinya lagi setelah pulang sekolah." melipat tangannya, wajah Naruto terlihat murung. "Makanya, aku berbuat hal ini. Memanipulasi ingatan, ingatan tidak beda jauh dengan bayangan 'kan? Nah, itu sama seperti mimpi. Makanya aku dapat melakukan hal ini." ya, Naruto hanya ingin bersekolah. Supaya ia dapat melakukan seperti apa yang ayah Hinata inginkan.
Mendengar penjelasan dari Naruto, Hinata menghela napasnya. Tersenyum, "Begitu ya. Jadi karena Naruto-kun tidak ingin mengecewakan ayah." Hinata sungguh merasa lega. Ternyata perbuatan Naruto tidaklah buruk, hanya saja Naruto melakukannya dengan cara yang sedikit berbeda. Hinata mengerti itu, Naruto itu dewa yang baik kok.
"Iya, makanya aku ingin sekolah." Naruto menundukkan kepalanya. Rasanya Naruto menyesal telah melakukan hal ini.
"Tidak apa Naruto-kun. Naruto-kun tidak salah kok." Hinata meletakan tasnya di kursinya dan kembali menatap Naruto. "Aku senang karena Naruto-kun seperti ini." Hinata kembali tersenyum. Tidak apa, untuk saat ini, biarlah seorang dewa menentukan jalannya.
"Benarkah? Rasanya senang sekali." membalas senyum Naruto, sekarang yang ada dipikiran Naruto adalah perutnya yang keroncongan.
"Aduh.. Setelah lama tidak lapar, sekarang aku lapar."
Ya, apa dengan coklat saja dapat menghilangkan laparnya?
To Be Continue
(Ch. 1, end)
Yohaa~ Padahal diriku bilang mau hiatus sementara. Tapi malah dapat ide buat saquel Blue Devil, sudah begitu bersambung lagi #plak
Sebenarnya diriku sedikit lelah membuat fic panjang, tapi entah mengapa ide di kepala tidak membiarkanku berhiatus~ Jadi, setelah sekian lama, diriku memiliki ide untuk membuat sequel ini deh..
Yah mungkin tidak akan panjang.. Sekitar 3-4 chapter.. Kuharap kalian suka dengan kisah ini.. Kalau begitu, sampai jumpa di chapter berikutnya~
::
Haruta Hajime
Blue Devil : Next Story 1
Selasa, 14 Juli 2015
