A/n: berhubung saya lagi bosan bikin fic dengan pasangan stright dan banyak yang minta fic 'WISH' dibikin sekuel jadi saya buat deh kelanjutan dari fic nista ini. Di chapter ini berisi remake dari fic Wish tapi dalam versi Sasuke, yaaahh… semoga kalian pada suka deh :)
Disclaimer: Naruto dan semua karakter di dalamnya milik om-om bernama Masashi Kishimoto, saya tidak mendapat keuntungan dari cerita ini.
Another Wish © Mbik Si Kambing
Warning: OOC (super duper), ranjau bernama Typo, sho-ai, POV Sasuke, penistaan terhadap karakter dll.
Rate: T (sepertinya ilmu saya belum nyampe ke Rate yang lebih tinggi, deh)
Genre: Friendship/Humor(garing)/Romance?
"..."Percakapan tokoh
'...' Pikiran tokoh
.
.
Let's start!
.
"Sebenarnya…aku… seorang―fujoshi."
Setelah mendengar hal itu barulah aku percaya, bahwa kiamat sudah mulai dekat.
Sebagai seorang laki-laki normal, reaksi apa yang akan kamu berikan ketika teman masa kecilmu, tetanggamu, sekaligus cinta pertamamu mengatakan hal tersebut?
Shock?
Tentu saja! Bagaimana tidak, seorang Hyuuga Hinata yang notabene-nya seorang gadis normal, santun, ramah, murah senyum, dan cantik bisa-bisanya berubah menjadi seorang fujoshi.
Fujoshi saudara-saudara! FUJOSHI! Hinata-ku adalah seorang Fujoshi?!
Well, bukannya mau merendahkan atau apa, tapi aku tidak habis pikir mengapa virus yang menyerang hampir seluruh remaja perempuan di Konoha bisa-bisanya menyerang Hinata.
Hemm… dan sepertinya aku tahu siapa dalang di balik ini semua. Ya. Siapa lagi kalau bukan kedua teman Hinata, Yamanaka Ino dan Haruno Sakura.
Pasti, aku yakin dengan sangat, mereka berdualah yang mencekoki pikiran polos Hinata dengan berbagai film, majalah, maupun hal-hal yang berbau yaoi.
Ohh.. sepertinya aku harus menjauhkan Hinata dari teman-teman serta klub anehnya itu.
Saat ini aku masih terdiam, begitu pun dengan Naruto. Mungkin kau akan tertawa jika melihat ekspresi muka kami; wajah pucat, mata melotot dan dengan mulut mengaga lebar. Namun, belum sembuh rasa keterkejutan kami, gadis bersurai indigo itu lagi-lagi mengucap sederet kata.
"―Dan aku ingin kalian berciuman di depanku?"
Jglerr. Suara petir entah mnegapa tiba-tiba terdengar.
Oh, my… tolong katakan ini hanya mimpi. Enam, iya. Memang hanya enam kata, tapi mampu membuat kami―Naruto dan aku―serasa tersambar petir di siang bolong, menghanguskan kami sampai menjadi abu.
"Sasuke-kun? Naruto-kun?" bibirnya kembali bergerak. Wajahnya diselimuti rasa kebingungan yang tebal. Kadang aku benci dengan sifat Hinata yang satu ini. Bebal, atau lebih tepatnya kurang peka.
Bagaimana bisa ia meminta hal absurd seperti itu. Apa ia tidak tahu bahwa kami adalah pemuda dan―tolong garis bawahi ini, kami masih normal.
Baik aku maupun Naruto belum mampu menggerakkan bibir, rasanya otak kami tiba-tiba bekerja sangat lambat. Kami hanya bisa saling pandang dan berharap itu hanyalah sebuah lelucon konyol yang diberikan Hinata di saat hari ulang tahunnya.
"Ap-apa aku tidak salah dengar, Hinata-chan?" ternyata Naruto yang pertama sadar dari keterkejutannya, walau bicaranya tergagap-gagap layaknya Hinata.
"Tidak Naruto-kun!" Hinata meninggikan nada suaranya, "Aku ingin kalian berciuman…kemudian aku akan mengabadikannya ke dalam selembar foto," lanjutnya sambil memamerkan sebuah kamera digital, senyum cerahnya tak pernah lepas dari wajahnya.
Aku memandang Hinata dengan raut tidak percaya. Kemana Hinata yang selama ini aku kenal? Rupanya otaknya sudah di cuci oleh kedua sahabatnya yang abnormal itu, deh.
"Konyol sekali, aku tidak mau melakukan hal bodoh itu," akhirnya akupun bersuara. Tentu saja aku tidak mau melakukan hal konyol seperti itu, siapa juga yang mau berciuman, apalagi dengan Naruto. Amit-amit jabang bayi!
"Benar! Lagi pula itu ciuman perta―" Naruto tidak mampu melanjutkan, wajahnya memerah layaknya kepiting rebus.
'―tama. Pertama…? Benar! Itu ciuman pertama kami, Hinata. Apa kau tega?!' batinku frustasi.
"Tapi kalian sudah berjanji 'kan?"
Cih, sial! Sepertinya kami harus menelan pil pahit akibat janji kami tempo hari yang mengatakan bahwa kami akan memberikan dan melakukan apa saja sebagai hadiah ulang tahunnya. Siapa yang bakal mengira jika Hinata meminta hal seperti itu.
"Kumohon~" ucapnya dengan suara serta tatapannya yang terlihat sedih, dan mata bulannya yang berkaca-kaca .
Ugh. Kami sungguh tidak tahan melihat wanita pujaan kami seperti itu,"Baiklah," akhirnya aku memutuskannya juga. Disusul dengan ucapan Naruto,"Apa pun untukmu, Hinata-chan."
Terasa mantap ucapan kami kala itu, namun penyesalan datang beberapa menit kemudian.
'Oh… andai kami bisa menarik ucapan kami saat itu.'
.
.
"Letakkan tanganmu di bahu Sasuke, Naruto." Hinata mengambil tangan Naruto dan meletakkannya di bahuku, kulirik tangan kecoklatan tersebut kemudian kutatap wajah pemuda di depanku itu.
Pemuda penyuka ramen itu hanya bisa pasrah dan memasang senyum kecut.
"Sasuke! Pegang kepala Naruto pakai tangan kananmu!" Giliran tanganku ditarik paksa olehnya, aku sama sekali tidak bisa menolak. Gadis Hyuuga itu memerintah kami layaknya diktator Nazi yang kumisnya mirip dengan artis lawak Indonesia itu.
'Kenapa Hinata jadi berubah seperti ini? Apa di klub barunya itu ia diajari hal-hal ekstrim? '
"Dekatkan kepala kalian!" perintahnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih tinggi.
'Huh… sabar Sasuke.' Kesal. Aku sangat kesal dibuatnya, namun aku harus menelan rasa kesalku ini karena janji yang telah aku dan Naruto ucapkan.
Perlahan… dengan sangat perlahan, aku memajukan kepalaku. Naruto juga melakukan hal yang sama. Dapat kulihat sinar keraguan dari mata birunya, samar-samar dapat kulihat bibirnya bergetar dan terkatup rapat, jakunnya juga naik-turun akibat meneguk ludah berkali-kali. Sepertinya pemuda berambut jabrik itu grogi. Pun demikian dengan aku. Keringat dingin mengucur deras dan jantung yang berpacu cepat menandakan aku juga sama groginya dengan Naruto.
Tik. Tik. Tik
Hanya suara detik jam yang terdengar. Kami masih mempertahankan posisi.
Lima sentimeter jarak bibirku dan bibirnya. Dalam jarak sedekat itu, aku bisa merasakan hembusan nafas pemuda tan itu yang menggelitik wajahku. Hangat dan harum.
"Kelamaan!" seru Hinata.
Belum sempat aku menoleh, sebuah tangan pucat tiba-tiba mendorong belakang kepala kami secara bersamaan. Aku menuju ke Naruto, begitu pula sebaliknya.
"Uhmmhh.."
"Uhmmhh.."
Terkejut. Benar-benar terkejut. Mataku membola, dengan jelas aku melihat wajah pemuda berkulit coklat itu. Wajahnya memerah, matanya membesar.
Kami sama-sama melenguh dan meronta-ronta minta dilepaskan, namun tangan Hinata masih mendorong belakang kepala kami dan berhasil membuat bibir kami masuk semakin dalam.
"Diam! Jangan bergerak!" lagi-lagi Hinata mengeluarkan perintah. Aku hanya bisa memberikan tatapan membunuh padanya, berharap nyali si gadis Hyuuga itu menciut. Alih-alih takut, Hinata malah terkekeh melihat ekspresi kami dan semakin gencar mengabadikan moment memalukan ini.
"Tahan sebentar lagi," ucapnya kembali.
Aku melihat Naruto perlahan memejamkan mata, akupun mengikutinya.
Mungkin karena mataku terpejam, aku bisa merasakan sensasi ini. Sensasi basah, lembut dan kenyal dari bibir Naruto. Samar-samar dapat kurasakan rasa manis krim dari kue yang kami makan sebelumnya.
Apakah ini rasanya berciuman? Kenapa terasa begitu nikmat?
"Baiklah, sudah selesai."
Ucapan Hinata membuatku sadar dari pikiran aneh tersebut. Segera kujauhkan bibirku dari Naruto.
"Uahh.."
Wajah merah padam, nafas naik-turun, dan beberapa butir keringat menghiasi dahi kami. Perlahan tanganku meraba permukaan bibirku yang basah, bengkak dan panas. Aku meneguk ludah dan menatap Naruto.
Naruto?
Aneh. Kenapa ketika aku melihat wajah sahabatku ini jantungku berdetak kencang? Kenapa aku merasa Naruto terlihat imut dengan wajahnya yang memerah? Dan kenapa pula jiwaku bagaikan tersedot ke dalam birunya mata rivalku itu?
Deg. Deg.
Kuraba dadaku yang berdetak melebihi kecepatan normal. Ada yang salah dengan diriku. Begitu juga dengan Naruto, karena ia juga memegang bibir dan dadanya sepertiku.
'Oh… Kami-sama. Jangan sampai… jangan sampai kami berubah haluan,' doaku dalam hati.
Sayang sekali tubuhku tidak bekerja sesuai keinginan. Mataku masih terpaku pada pemuda bermanik biru laut itu dan jantungku tidak mau diajak kompromi.
Kringg. Kringg.
Suara panggilan masuk dari handphone Hinata, membuatku tersadar. Aku menoleh ke arah Hinata, si gadis itu hanya bisa meringis.
"Gomenne, Sasuke-kun…Naruto-kun. Aku angkat telepon ini dulu," ucapnya dengan nada menyesal.
Apa-apaan tatapannya itu? Tatapannya terlihat seperti orang yang tidak sengaja mengganggu sepasang kekasih tengah memadu asmara.
Blam.
Terdengar suara pintu tertutup. Hinata keluar kamar dan meninggalkan aku dan Naruto sendiri.
Benar-benar kikuk. Suasana kamar berubah menjadi tegang. Baik Naruto maupun aku terlihat canggung.
"Teme.."
"Dobe.."
Kami serempak membuka suara, kemudian saling pandang dan diam beberapa saat.
"Kau saja duluan."
"Tidak kau saja yang bicara duluan."
"…"
"…"
Lagi-lagi kami terdiam. Kualihkan mataku ke arah pintu yang masih tertutup, berharap Hinata segera datang untuk mencairkan suasana.
"Baiklah kalau begitu, biar aku yang bicara," kataku akhirnya.
Menarik nafas kemudian membuangnya, "Aku ingin kau tahu, Naruto," ucapku sambil menatap Naruto, "ciuman tadi jangan kau anggap serius. Kita hanya mengabulkan keinginan aneh Hinata."
Dengan sangat susah payah aku bicara sedingin es dan menatap Naruto datar, seperti seperti seorang Uchiha tentunya. Berusaha menunjukkan padanya bahwa tidak ada yang spesial dengan ciuman tersebut.
"Hehehe," Naruto kaget dengan ucapanku kemudian disusul oleh tawa kikuk, "Yeah, benar juga katamu." Naruto mengangguk-angguk sambil melipat kedua tangannya.
"Kejadian tadi bukan apa-apa," ucapku meyakinkan.
Tapi mengapa hatiku terasa nyeri?
"Kau masih menyukai Hinata 'kan?" tanyaku. Ia mengangguk.
"Begitupun denganku."
Tapi kenapa ada ragu dalam ucapanku itu?
"Kita lupakan kejadian malam ini, Naruto," ucapku sambil mengulurkan tangan, membuat kesepakatan tak tertulis. Naruto menerima uluran tanganku dan menjabat tanganku dengan erat. Sebuah aliran listrik statis secara ajaib menyentuh pori-pori kulit tanganku dan menjalar ke seluruh tubuh. Aku agak terkejut mendapat reaksi aneh tersebut.
Sebuah cengiran terbit dari sudut bibirnya, cengiran yang biasanya kuanggap menyebalkan mengapa sekarang berubah? Mengapa terlihat begitu indah?
Aku menggelengkan kepalaku dan membuang jauh-jauh perasaan aneh tersebut.
Kemudian tangan kami pun terpisah bersamaan dengan terbukanya pintu kamar Hinata.
Kami berdua menoleh dan mendapati Hinata tersenyum senang sambil duduk di samping kami.
"Arigatou ne, Sasuke-kun… Naruto-kun."
Dengan wajah tanpa dosa bak malaikat, Hinata berterimakasih karena kami telah mengabulkan permintaannya. Aku hanya bisa mendesah dan tersenyum miris.
"Sama-sama, Hinata-chan." Tanpa beban Naruto berkata seperti itu pada Hinata.
Ternyata sikap Naruto tidak berubah. Seolah kejadian tadi tidak pernah ada. Apa aku kesal? Kenapa? Bukannya aku yang mengatakan pada Naruto untuk melupakan ciuman tadi?
Tiba-tiba aku berdiri dan menatap tajam mereka berdua, "Sudah malam, Hinata. Sebaiknya 'kami' harus pulang." Dengan penekan kata 'kami', aku menatap Naruto tajam.
Hinata memandangku penuh arti sambil mengulum senyum. Entah apa arti tatapannya barusan.
Setelah menatapku dan Hinata secara bergantian, Naruto bangkit, "Benar juga kata si Teme ini. Sudah jam setengah sepuluh malam. Kami pulang dulu ya, Hinata-chan."
Kami pun meninggalkan rumah Hinata dan mengucapkan selamat malam. Selama perjalanan dari kamar ke gerbang rumah, Hinata tak henti-hentinya berterimakasih pada kami. Awalnya ia pikir kami akan menolak permintaan gilanya tersebut.
"Mana mungkin kami bisa menolaknya, Hinata-chan. Kami 'kan sudah janji," Naruto menjawab dengan senyum lebar. Kala itu kami sudah sampai di depan gerbang.
"Hati-hati di jalan, ya." Hinata melambaikan tangan dan mengantarkan kepergian kami berdua.
Naruto berjalan di sampingku, matanya menatap lurus ke depan. Menatap jalanan yang tertutupi salju dan menyebabkan kami agak kesusahan berjalan karena es yang tebal. Kalau biasanya Naruto berceloteh tentang ini-itu dan selalu berisik, sekarang pemuda berambut bagai sinar matahari tersebut hanya terdiam dan sama sekali tidak menoleh kepadaku, bahkan sampai kami sudah sampai di depan gerbang rumah masing-masing.
"Selamat malam, Naruto." Karena Naruto tidak juga membuka suara dan hanya bisa menatap pintu gerbang, akhirnya dengan sangat terpaksa aku menguapkan salam.
"Selamat malam, Sasuke," ucapnya lirih sambil membuka pintu. Ia tersenyum tipis dan tertawa canggung, kemudian masuk ke dalam rumah.
Setelah Naruto hilang dari pandangan, barulah aku mengelus dadaku yang lagi berulah.
Rasa nyeri kembali menghadang. Benar-benar sakit yang belum pernah aku rasa sebelumnya. Sebenarnya apa yang terjadi padaku?! Kenapa aku bisa seperti ini?
Dengan sekali anyunan, aku membuka pintu, melangkahkan kakiku ke lantai atas―tepat dimana kamarku berada, kemudian sekali lagi aku membuka pintu kamar dan tanpa berganti baju aku langsung merebahkan tubuhku di atas ranjang.
Tanganku tanpa sadar kembali meraba bibirku, kemudian mengusapnya kuat-kuat berharap sensasi pagutan Naruto itu hilang.
"Ya, Hinata! Ingat Sasuke, kau normal. Kau masih mencintai Hinata, kan?"
Iya kan?
.
.
.
.
.TBC.
Rencananya cerita ini mau saya buat twoshot saja. Berhubung sudah baca, Mbik minta concrit-nya, ya? Onegaishimasu m(_ _)m
