Gloomiest Day

_Chapter 1_

The cast are member and ex-member of EXO:

· Park Chanyeol

· Byun Baekhyun

· Oh Sehun

· Kim Junmyun

· Lu Han

Caution:

· GS Fanfiction

· Teen

· Little fantasy

· Typo

Disclaimer:

Member EXO dan seluruh karakter disini hanya milik Tuhan yang dititipkan pada orang tuanya. Saya selaku author hanya meminjam namanya (atau sosoknya) untuk melengkapi cerita fiksi buatan saya ini. Meskipun begitu, cerita ini tetap buatan saya dan murni hasil otak saya. So, don't copy my story! (kecuali izin terlebih dulu)


Kalimat per kalimat terus berbunyi dari sebuah bibir merah muda milik seseorang. Ya, seorang gadis diatas kasur dengan posisi tidur menyamping, tapi ia tidak tidur.

"You're awful!" Gadis itu terus meracau tidak jelas. Hingga suara pintu terbuka, racauannya terhenti. "Mom?!" Panggilnya dengan refleks. Seseorang masuk kedalam kamarnya tanpa mengetuk pintu. Seorang pria dengan tuxedo, pria itu tersenyum, selalu tersenyum. Setelah menutup pintu, pria itu mendekati gadis yang refleks memanggilnya dengan sebutan 'mom'.

"What your problem, sir?"

"Don't call me 'sir'!"

Gadis itu bangkit dari kasurnya, lalu berdiri dihadapan pria dengan tuxedo berwarna hitam itu. Tatapan tajam gadis itu hanya dianggap angin lewat oleh pria bertuxedo dihadapannya. "Can you knock my door before you come here?" Pria bertuxedo itu menaruh segelas susu di nakas dekat tempat tidur gadis tadi dan tidak memperdulikan pertanyaan gadis itu.

"Sleep!"

Dengan seketika tubuh gadis tadi melemas, matanya dengan perlahan menutup, orang tadi menahannya dan membawanya kembali ketempat tidur. "What my problem? You're my problem!" Pria itu membisikkannya tepat ditelinga gadis bergaun putih pendek yang sudah tertidur.

"Apa kamu tidak lelah? Terus seperti ini? Biarpun seluruh keluargamu telah tiada, bisakah kau kembali hidup seperti normal? Jangan terlarut dalam kesedihanmu! Gadis yang malang." Orang itu menatap kosong kearah jendela. Pikirannya melayang entah kemana. Kepalanya terasa pusing, tapi ia tidak mengeluhkan rasa itu.

Hingga sesuatu membuyarkan lamunannya. Seseorang muncul dihadapannya dengan cara yang ganjil, "tolong jaga gadis itu untuk kami! Jangan pernah sakiti dia! Dia sudah lemah setelah kehilangan kami semua. Kami mempercayaimu!" Orang tadi menghilang. Orang yang berkata barusan tidak nyata, itu hanya sebuah halusinasi.

Pluk!

Pria bertuxedo merasakan sebuah tangan melingkari pinggangnya dari belakang, ia tahu bahwa ada seseorang yang memeluknya dari belakang. Saking herannya, ia menolehkan kepala kebelakang tubuhnya.

"Ya ampun! Kenapa kau?" Geramnya pada gadis yang memeluknya, gadis yang enam tahun lebih muda darinya. Tapi ia selalu dipanggil dengan sebutan 'pak' oleh gadis itu.

Gadis itu adalah tanggung jawab lelaki yang didekap gadis ini. Pria yang begitu menyayanginya seperti seorang kakak pada umumnya. "Hei!" Pria itu membalik tubuhnya dan menemukan gadis berambut cokelat sebahu tadi tengah menangis.

"Jangan menangis, Baek! Katakan padaku ada apa?" alisnya bertaut. "Ja-jangan memaksaku untuk tidur! Aku selalu memimpikan itu.. hikshiks.." gadis itu sesegukan. Poni yang menutupi dahinya telah berantakan.

"Ya... tentu" Kalimat yang dilontarkan pria itu terdengar ragu, namun gadis polos ini tetap ingin memeluknya dengan erat. "Maaf Baek, mungkin sihirku membuatmu menderita, tapi aku tidak tahu bagaimana cara untuk mengatasimu lagi. Tolonglah, jangan berlarut dalam kesedihan.."

Gadis bergaun putih itu mendongak, menatap manik mata pria dihadapannya dengan sendu. "Aku.. aku akan berusaha. Tapi aku tidak mau jika kamu terus memakai sihirmu untuk memaksaku." Gadis itu merengek.

"Aku juga akan berusaha tidak memakai sihirku. Maka dari itu, jangan selalu murung!" Gadis yang dipanggil 'Baek' oleh pria itu kembali memeluknya erat.

"Seminggu lagi liburan musim dingin akan berakhir, apa kamu akan selalu seperti ini? Liburanmu selama sebulan penuh hanya kau habiskan dengan mengurung diri dikamar. Sekarang, dalam seminggu kau harus berubah! Kau harus melupakan kejadian itu, Baek!"

"Bisakah kau juga ikut sekolah? Temani aku…" mohon gadis bergaun itu dengan nada memelas. Pria tadi menggeleng. "Aku sudah lulus, untuk apa sekolah lagi?" elak pria itu dengan nada 'benar-benar tidak ingin'. "Berarti kau bukan kakakku, begitu?"

"Baiklah, tuan Junmyun. Sekarang, tinggalkan aku sekarang juga?!" Lanjut gadis itu, sungguh kalimatnya bukan percandaan, ia tidak pernah bercanda semenjak kejadian yang menimpanya sebulan lalu. "Tidak usah marah Baek, aku sudah mempercayakan seseorang untuk menjagamu, tenang saja." Ucap pria yang dipanggil Junmyun oleh gadis bernama Baek.

"Siapa?"

"Lihat saja nanti"

"Katakan padaku, siapa orang itu?"

"Mulai besok, Luhan akan mengajakmu jalan-jalan. Jika ingin tahu siapa orang yang kumaksud, kau harus ikut Luhan jalan-jalan, tidak boleh menolak!"

"Luhan eonni?" Tanya gadis itu memastikan. "Ya, kau harus ikut! Ia sudah rela kemari jauh-jauh hanya untuk mengajakmu jalan-jalan." Jelas Junmyun tegas seolah tahu kapan adiknya akan mengelak. "Baiklah, hanya sehari kan?" mendengar penuturan itu, Junmyun menautkan kedua alisnya. "Tentu saja seminggu."

"Ok. Tidak masalah." Gadis dengan gaun putih itu tidak berkata jujur, ia berbohong. "Perjalananmu dimulai besok, bersiaplah! Aku keluar dulu." Pria yang dipanggil Junmyun pamit. Ia mengacak rambut Baek dan berlalu keluar dari kamar Baek.

Baek terduduk ditepi kasurnya. Ia menatap lurus kedepan dengan pandangan kosong. Matanya kembali berkaca-kaca. Ia membuka laci di meja belajarnya dan menemukan sebuah surat dengan kertas berwarna hitam, tulisan dikertas itupun ditulis dengan tinta berwarna putih agar tulisannya terlihat.

Bae membaca kata-perkata didalam surat itu untuk yang entah berapa kali. Membacanya dengan wajah datar dan mata yang berkaca-kaca, meskipun ia tahu pandangannya sudah memburam akibat air matanya sendiri yang telah membendung dipelupuk matanya, tapi ia tetap ingin membaca surat itu.

Mencoba mengerti apa yang dimaksud dalam surat itu, meskipun ia tahu otaknya begitu tumpul untuk mengerti isi surat digenggamannya. Seiringan dengan suara petir yang menyambar, ia menaruh surat itu kembali ditempatnya semula. Ia bersandar di kepala ranjangnya, menatap kedepan dengan tatapan kosong.

Diluar sana sedang badai salju, udara begitu dingin, tapi dengan bodohnya gadis itu tidak mengenakan pakaian hangat. Baek menekuk kedua lutut dan memeluknya, separuh wajahnya dipendam disana.

"It's gloomiest day when you do not come back to me. I miss you and i hurt because you .Can you treat my pain? If you can, can I meet you back?" liquidnya terjatuh bersamaan dengan kalimat akhirnya. Ya, hanya sekedar kalimat dan bukan sebuah pertanyaan karena tidak ada sebuah jawaban yang terdengar.


Seorang gadis berkuncir kepang memasuki rumah dengan wajah cerianya seperti biasa, namun seketika ia pucat. Pucat karena apa yang ia lihat saat ini. Ibunya, ayahnya, kakeknya dan neneknya. Terkapar dengan tubuh Berlumuran darah. Gadis itu membekap mulutnya, syok.

Ia mulai gemetaran. Ia menangis, terduduk didepan pintu. Sangat lama ia menangis.

"Hey semua, Boo sudah pulang. Apa ini kejutan kalian?" ucapnya dengan suara bergetar.

Samar-samar ia melihat keberadaan seseorang. Orang yang sedang mengintip dari celah pintu kamar saudara kandungnya, Bee!

"SURPRISE!"

Gadis itu terkejut ketika seluruh keluarganya bangkit kembali.

"Ini hari ulang tahunmu yang ke 14, nak!"

"Ah, kalian semua mengagetkanku saja."

"Oh ya, ini kuenya."

"Thank you mom, dad"

Dibalik kebahagiaan itu, seorang gadis yang sangat mirip dengan gadis berkepang tadi, terdiam menatap setiap detik kejadian itu dengan miris. Ia tidak pernah dikejutkan seperti itu. Ia tidak pernah diberi kebahagiaan.

Sejak tadi ia menatap dari celah pintu kamarnya. "Aku sangat membenci ini." Ia merapatkan pintunya lalu membanting dirinya kekasur. "padahal hari ini juga hari ulang tahunku". Ia memejamkan matanya.


"Wahh.. cantik sekali anakmu. Siapa nama mereka?"

"Rayn Boo dan Rayn Bee, mereka baru saja lulus JHS."

"Owh, pasti mereka pintar-pintar kan?"

"ya tentu,"

"Tunggu, ini Bee teman sekelas Hunie, kan?"

"Ya, memang apa yang salah?"

"Tidak ada yang salah, hanya saja Hunie pernah bilang bahwa ia memiliki teman yang sangat cantik dikelasnya namun temannya itu selalu mendapatkan peringkat kelas paling bawah setiap kali sehabis tes, apa benar Bee yang Hunie maksud, anakmu?"

"Yaaaa, mungkin saja. Tapi, Bee tidak se-bodoh yang orang-orang kira."

"Ahh, jika itu bukan Bee aku minta maaf, aku hanya bertanya."

"Ya, tidak apa"


"BEE! MOM SUDAH LELAH BERBOHONG KEPADA TEMAN-TEMAN MOM BAHWA KAU PINTAR!"

Yang diajak bicara hanya menunduk dan menitihkan air matanya diam-diam, takut wanita dihadapannya makin marah.

"Tolong, kau berusaha seperti kakakmu. Jangan hanya bermalas-malas dikamarmu!"

"Mom, maafkan aku. Tapi aku sudah berusaha."

"Pergi kekamarmu!"

"Ti-tidak! Aku tidak ingin dikunci dikamar, mom!"

"CEPAT!"

"Mom…" ucap Bee lirih, dengan perlahan ia berjalan kekamarnya diikuti Sang Ibu dari belakang. Ketika Bee sudah masuk, ibunya segera menutup pintu kamarnya dan menguncinya dari luar.

Bukankah itu sangat sakit? Sakit untuk diambil hati.


"BISAKAH KAU BERPRESTASI SEDIKIT? SEDIKIT SAJA!"

"AKU DAN BOO BERBEDA!"

"TAPI, BISAKAH KAU BERUSAHA UNTUK SEPERTI DIA?!"

"AKU SUDAH BERUSAHA, MOM!"

"BERUSAHA APANYA? BERUSAHA SECANTIK BOO? HANYA MIMPIMU, BEE! AKU MENYESAL SUDAH MELAHIRKANMU!"

"LALU JIKA KAU MENYESAL KENAPA KAU TIDAK MELENYAPKANKU SAJA DARI DUNIA INI? KENAPA KAU TETAP MEMPERTAHANKAN ANAKMU YANG BODOH INI? KENAPA?! KAU MASIH MENGANGGAPKU ANAK KAN? Hiks..hiks…"

"Perhatikan bahasamu, Bee! Aisssh, aku muak selalu menyebut namamu!"

"Baiklah, jika kau benar-benar muak padaku, kenapa kau tidak melenyapkanku saja dari hadapanmu? Apa perlu aku yang melakukannya sendiri?"

"AKU YAKIN KAU TIDAK AKAN PERNAH BERANI MELAKUKAN ITU!"

"BAIKLAH, AKU AKAN PERGI. JANGANKAN MOM MENYESAL TELAH BERBICARA SEPERTI ITU PADAKU!"

"JANGAN HARAP!"

"BAIKLAH!"

DUAAAAKK!

"BEE! RAYN BEE! BUKA PINTUNYA! JANGAN BERANI-BERANINYA KAU!"

Cklek

"Berani apa? Aku hanya pergi."

"Kau tahu bukan, apa yang akan terjadi apabila salah satu anggota keluarga ini pergi dengan disengaja?"

"Ya, aku tahu. Tapi aku sudah terlanjur sakit hati. Permisi…"

"OWH JERK!"


Potongan-potongan ingatan masalalunya muncul saat ia tertidur. Baek terbangun. Air matanya berlomba-lomba untuk turun karena mengingat kalimat itu. "A-aku brengsek? Apa aku benar-benar brengsek?".


"Permisi, apa ada Tn. Suho disini?" Tanya seorang laki-laki berumur sekitar 16 tahun dengan kemeja hitam polosnya kepada seorang wanita berseragam. "Ia sedang ada di ruangannya. Ada keperluan apa?" Tanya wanita itu dengan sopan dan ramah.

"Saya Park Chanyeol, Ingin berbicara penting dengannya, ia tadi yang memanggilku untuk kemari." Jelas laki-laki bernama Park Chanyeol dengan sopan dan hati-hati. "Baiklah, tunggu sebentar. Saya hubungi ia dulu." Izin Si wanita berseragam dibalik meja berwarna cokelat yang menutupi tubuhnya hingga dada.

Anak lelaki itu menyapu pandangannya, tidak menyangka sahabat lamanya memiliki perusahaan seluas ini. Suho sudah seperti kakaknya sendiri semasa ia kecil. Saat ia memiliki masalah dengan teman-temannya waktu sekolah dasar, Suho selalu membantunya untuk menyelesaikannya.

Suho sangat baik, maka dari itu ketika ia dipanggil ke perusahaannya, ia langsung pergi menurutinya bahkan sebelum ia tahu ada apa, dan apa yang terjadi.

"Maaf, tuan?" panggil wanita berseragam tadi. Chanyeol menoleh, seolah menunggu wanita itu berbicara. "Ia sedang berbicara dengan seseorang, mungkin anda harus menunggu beberapa menit lagi." Ucap si wanita dengan ramah.

"Baiklah, tidak apa-apa. Tapi, bolehkah kabari aku jika Suho sudah selesai?" Chanyeol menatap wanita itu seolah memohon agar permintaannya diizinkan.

"Tentu saja, tolong catat disini nomor telepon anda." Perintah wanita dibalik meja cokelat setinggi dadanya itu sambil menyodorkan sebuah kertas dan pulpen. Chanyeol menuliskan nomor teleponnya disana.

"Ini, terimakasih dan maaf telah merepotkan anda." Ucap Chanyeol lalu pergi meninggalkan tempat itu untuk sementara. Ia hanya ingin membeli minum di café. Chanyeol berjalan menuju café diseberang, sedangkan mobilnya masih terpakir di tempat pemarkiran gedung perusahaan Suho.

Setelah mendapatkan tempat duduk yang dirasanya nyaman, Chanyeol menyapu pandangannya. Dan seketika ia membeku, tepat ditempat duduk sebelah kanannya terdapat dua orang perempuan yang salah satunya sangat familiar.

Ia berjalan mendekati meja itu. "Luhan noona?!" Pekik Chanyeol begitu tahu bahwa benar dugaannya. Perempuan itu Luhan, sama seperti Suho, Luhan sudah ia anggap kakaknya sendiri. "Chanyeol?!" Pekik Luhan senang, wanita itu berdiri dari tempat duduknya. Memekik sembari memegang kedua bahu Chanyeol.

"Tinggi sekali kau!" Ucap Luhan sambil memandang Chanyeol dari bawah keatas. "Tentu saja" Chanyeol berucap seolah ialah yang memiliki tubuh paling tinggi. "Jangan sombong!" Luhan mengibaskan tangannya yang sudah tidak memegang bahu Chanyeol.

Setelah reuni mendadak itu berakhir, Chanyeol menoleh ke perempuan yang satunya. Perempuan yang saat ini sedang menatap minumannya dalam diam. Luhan yang menyadari arah pandangan Chanyeol pun menghela nafas, bahunya merendah.

"Sejak tadi ia seperti itu." Jelas Luhan sendu seolah tahu apa yang dipikirkan Chanyeol. "Siapa dia?" Dengan wajah polosnya Chanyeol bertanya. "Teman sekolah dasarmu kan? Apa kau lupa?" Luhan memastikkan. "Siapa? Teman yang mana?" Luhan menepuk dahinya malas.

"Rayn Bee?" ucap Luhan dengan satu alis terangkat. "Rayn Bee?" Chanyeol balik bertanya dengan alis bertautnya. Luhan mengangguk dengan polos. "Hei, noona! Jangan memanggilku ataupun menyebutku dengan nama itu! Aku ini Byun Baekhyun, bukan Rayn Bee." Masih dengan pandangan yang tertuju pada minumannya yang utuh. Baek menegaskan nama aslinya yang sekarang.

"Maaf Baekkie, aku hanya ingin mengingatkan temanmu ini." Ucap Luhan dengan nada memelas, takut adiknya itu bertambah sedih karena nama masa lalunya diucapkan. "Maksudmu ia kembarannya Boo?" Tanya Chanyeol mencoba mengingat. Luhan mengangguk. "Jangan keras-keras, hatinya sedang sensitif." Bisik Luhan.

"Baiklah. Tapi, kenapa?" alis Chanyeol kembali bertaut. "Apa kau sudah menemui Suho?" bukannya menjawab, Luhan menanyakan sesuatu lagi kepada Chanyeol. "Katanya aku harus menunggu selama beberapa menit, ia sedang berbicara dengan orang lain diruangannya." Jelas Chanyeol acuh.

"Tapi itulah alasan kenapa Suho memanggilmu." Luhan kembali duduk ditempatnya, ia menyeruput segelas cokelatnya. "Ia ingin menceritakan sesuatu yang penting padamu" lanjut Luhan acuh tanpa menatap Chanyeol yang sedari tadi menatap Luhan dengan tatapan menagih untuk dijelaskan.

"Sesuatu apa-" baru saja ingin menanyakan sesuatu pada Luhan, telepon Chanyeol berdering. "Halo" sapanya dengan seseorang diseberang sana.

"…"

"Oh ya, baiklah. Terimakasih." Chanyeol memutuskan panggilannya. "Aku sudah dipanggil untuk kesana." Ucap Chanyeol menunjuk gedung diseberang cafe.

"Baiklah, sampai jumpa." Ucap Luhan dengan senyuman bak malaikat miliknya. Chanyeol keluar dari café dengan hati kecewa. Kecewa karena ia belum sempat memesan segelas minuman yang sejak tadi ia idam-idamkan.

"Apa dia Si Gendut Chanyeol?" Tanya Baekhyun dengan dingin. "Ya." Jawab Luhan singkat sambil memainkan ponselnya. "Pasti sekarang ia bertambah gemuk. Benar bukan?" ucap Baekhyun dengan nada mengejek. "Salah besar kau Baek!" sergah Luhan masih dengan tatapannya yang tertuju pada ponselnya.

"Setidaknya ia memiliki tubuh yang sama bukan seperti dulu?" Tanya Baekhyun lagi sekedar untuk membela dirinya sendiri. "Kenapa kau tidak ingin melirik dia? Pasti kau langsung jatuh cinta pada lirikan pertama." Goda Luhan sambil menatap Baekhyun.

"Kau berbohong!"

Dan yang perlu dijelaskan, sejak tadi dengan posisinya yang sama dan dengan arah pandangan yang sama, Baekhyun berbicara dengan nada datarnya. Tatapannya yang dingin seolah dapat membekukan siapa saja yang menatapnya. Tapi sejak tadi ia tidak mau memandang seseorang.

Sekali saja dan sekejap saja, ia hindarkan.

"Baekhyun, sampai kapan kau terus seperti ini, hah!" Bentakan Luhan yang secara tiba-tiba berhasil membuat Baekhyun mendongakkan kepalanya kearah Luhan yang duduk dihadapannya.

Tatapannya datar, tapi sekilas ada kilatan kesedihan dimatanya. "Maaf, aku refleks. Tapi bisakah kau berubah semenjak kejadian itu? Sedikit saja" Luhan membuang muka, matanya berkaca-kaca.

"Tapi, bukankah mereka menuduhku sebagai pembunuh?" Tanya Baekhyun dengan datar, kali ini tatapan matanya selalu tertuju pada Luhan. "Hentikan berkata seperti itu, Baekhyun!" Luhan membentaknya lagi, matanya memerah. Luhan marah.

"Bagaimana aku bisa berhenti, sedangkan orang tuaku saja tidak bisa berhenti menuduhku!" Dengan satu tarikan nafas, Baekhyun mengeluarkan uneg-unegnya. Bukan lagi dengan suara datar dan tatapan tajam, tapi dengan suara khas orang putus asa dan tatapan sendunya.

"Itu adalah kesalah pahaman, Baek!" sergah Luhan, berusaha menenangkan hati Baekhyun. "Lalu, apa maksudnya pisau yang berlumuran darah itu berada ditanganku?" Luhan membelalakan kedua matanya. "Bukankah kau yang bilang bahwa kau tidak tahu apa-apa saat itu?" Luhan menatap Baekhyun putus asa.

"Ya. Aku tidak tahu apa-apa. Tapi, bukti bahwa aku iri dengan prestasinya dan kemudian menikamnya dengan pisau seolah itu memang bukti yang benar. Aku pembunuh." Baekhyun menunduk, tangisannya pecah, tubuhnya bergetar. Luhan terdiam memandang Baekhyun.

"Lebih baik kita pulang saja ke hotel. Sebaiknya kau istirahat. Ayo!" Luhan membantu Baekhyun berdiri dan membawanya ke mobil. Baekhyun hanya menunduk dan menangis, pasrah akan semuanya yang telah terjadi.


Seorang lelaki jangkung dengan kulit albino keluar dari sebuah ruangan yang disisi atas pintunya tertuliskan nama 'Kim Jun Myun'. Dengan tubuhnya yang tegap ia meninggalkan ruangan itu. Bersamaan dengan itu, Chanyeol melewati lelaki itu dengan acuh begitu juga sebaliknya. Seolah diantaranya tidak pernah bertemu.

Chanyeol memasuki ruangan yang tadi sudah ditunjukan oleh wanita berseragam rapi dibalik meja berwarna cokelat itu. Tepatnya ruangan yang dipintunya terdapat tulisan 'Kim Jun Myun' itu.

"Ah, kau Chanyeol! Kau sangat berubah sekarang. Silahkan duduk disana!" ucap Suho ketika tahu siapa yang masuk ke dalam ruangannya lalu memberi isyarat kepada Chanyeol untuk duduk berhadapan dengannya.

"Kau juga, aku tidak menyangka kau memiliki perusahaan." Ucap Chanyeol sembari duduk dan menyapu pandangannya keseluruh ruangan Suho yang rapih. "Ada apa kau memanggilku kesini, hyung?" Chanyeol membuka percakapan.

Aura Suho seketika berubah. Tidak ada wajahnya yang selalu tersenyum. "Sebenarnya aku butuh bantuanmu, Yeol. Tapi sebelumnya aku akan menceritakan sesuatu kepadamu." Suho berkata dengan nada memelas, melihat itu alis Chanyeol bertaut.

"Maksudmu sesuatu itu, apa yang tadi dimaksud Luhan noona ketika di cafe?" tebak Chanyeol begitu ingat apa yang dikatakan Luhan padanya. "Kau sudah bertemu dengan Luhan rupanya. Jadi kau sudah melihat gadis yang bersamanya?" Suho sedikit tersenyum, setidak Chanyeol sudah melihat gadis itu, pikir Suho.

"Ya, gadis yang diam menatap minumannya." Seketika Suho menurunkan bahunya, ia kira Chanyeol akan ingat dengan gadis itu, namun ternyata diluar dugaan Suho. "Hei, dia teman masa kecilmu bodoh! Apa kau tidak ingat?" ucap Suho jengkel. Chanyeol mengangguk lalu menggeleng. Suho menghela nafas.

"Ia gadis yang selalu bermain bersamamu disekolah" ucap Suho akhirnya dengan pasrah, pandangan matanya turun ke permukaan mejanya. "Yang aku ingat, ia Rayn Bee saudara kembar Rayn Boo. Yang lainnya aku tidak ingat." Chanyeol akui bahwa ia masih mengingat nama itu, nama unik itu.

"Ya. Ia Rayn Bee, teman sekolah dasarmu. Tapi sekarang, jangan sekali-kali kau panggil ia Rayn Bee, namanya sudah ia ganti menjadi Byun Baekhyun. Karena ada suatu kejadian yang begitu berat untuk anak se-naif dia." Jelas Suho.

"Tunggu, apa ia 'Baby Bee' ku? Dan aku adalah 'King Bear' nya?" Tanya Chanyeol, matanya melebar begitu mengingat panggilan konyol itu. Suho mengangkat satu alisnya. "Sebutan macam apa itu?" Tanya Suho heran, dengan senyumannya seperti biasa. Ia menatap Chanyeol yang sepertinya akan bercerita.

"Dulu karena tubuhnya begitu mungil aku menyebutnya 'bayi lebah' dan karena tubuhku yang gemuk, ia memanggilku 'raja beruang'. Bukankah ia gadis yang kumaksud?" Tanya Chanyeol dengan matanya yang entah kenapa berbinar.

"Ya." Meskipun Suho tidak terlalu yakin dengan jawabannya, tapi setaunya Baekhyun pernah bercerita tentang 'Raja Beruang' kepadanya. Entah orang yang dimaksud Baekhyun siapa, tapi didalam cerita yang Baekhyun lontarkan saat ia masih anak-anak, orang itu memiliki tubuh yang gemuk seperti beruang, dan berkacamata.

Setau Suho, Baekhyun satu sekolah dengan Chanyeol dan Chanyeol kecil saat itu memiliki tubuh yang gemuk dan mengenakan kacamata. Jadi mungkin memang benar jawaban Suho.

"Oh ya ampun, kenapa ia bisa menjadi seperti ini, hyung?" Tanya Chanyeol frustasi. Senyuman Suho lenyap, bagaikan dibakar api lalu menjadi abu saat itu juga. Ia hanya kasihan apabila mengingat masa-masa kelam adiknya itu. Meskipun hanya adik angkatnya, tapi Suho begitu menyayanginya.

"Saat baru lulus JHS, Baekhyun mengalami pertengkaran hebat dengan ibunya. Dan berakhir dengan Baekhyun yang pergi dari rumah dengan meninggalkan marga keluarganya. Ia pergi karena sakit hati, sakit hati karena keluarganya selalu membanding-bandingkannya dengan Boo. Boo pintar sedangkan Baekhyun tidak."

Jelas Suho sebagai permulaan ceritanya. Pria itu menarik nafasnya dalam-dalam. "Ia ditemukan oleh keluarga Byun di sebuah lorong sempit diantara dua bangunan, saat itu mereka kebingungan mencari keluarga Baekhyun karena Baekhyun tidak tahu apa-apa saat itu apalagi kondisi Baekhyun juga sedang buruk, dan kau tahu? Ternyata Baekhyun lupa ingatan."

"Tapi mengapa ia bisa kembali bertemu denganmu? Dan kemana keluarga Byun itu?"


"Baek?" panggil Luhan halus. Baekhyun tetap pada posisinya, menunduk dengan pandangan kosong. Menyadari Baekhyun tidak bereaksi apa-apa, Luhan menghembuskan nafas pasrah. "Ayo makan!" ajak Luhan dengan nada yang ia buat seceria mungkin. Tetap seperti tadi, Baekhyun hanya diam.

Sejak mereka kembali dari café, Baekhyun langsung duduk di tepi ranjangnya dan menunduk. Sama sekali tidak bereaksi. Dengan gemas, Luhan langsung menarik lengan Baekhyun dan mengajaknya ke ruang makan. Baekhyun hanya terdiam menurutinya. "Kau duduk disini ya!" ucap Luhan sambil menekan bahu Baekhyun agar terduduk dikursinya. "Eonni, aku…" ucap Baekhyun menggantung.

"Hm? Kenapa?" Tanya Luhan heran melihat raut wajah Baekhyun yang Nampak resah. "Emmm, apa maksud sleepwalking?" Tanya Baekhyun polos. Luhan menegang seketika. "Kau ini, kenapa bertanya tentang itu! Ayo makan!" ajak Luhan dengan wajah yang ia buat seolah habis diajak bercanda.

"Tapi, aku menemukan selembar kertas diruang tamu rumah kemarin, dan disana tertuliskan aku mengalami sleepwalking. Apa ia sejenis penyakit? Kenapa didalam tubuhku banyak sekali penyakit, eonni?" baru saja Luhan akan menyuapkan satu sendok makanan, mendengar itu membuat cacing-cacing didalam perut Luhan pergi.

Luhan menurunkan alat makannya, ia menghela nafas. Melihat tatapan Baekhyun yang mengintimidasinya ia segera menarik nafas untuk menjawab pertanyaan Baekhyun yang menurutnya begitu sulit untuk dikemukakan. "Itu bukan penyakit, Baek. Itu syndrome, dan…" belum selasai berbicara, kalimat Luhan terlebih dahulu dipotong oleh Baekhyun. "Aku mengalaminya, iya kan? Kalian merahasiakan ini dari ku kan?" tanya Baekhyun sinis. Lagi-lagi Luhan menghembuskan nafasnya.

"Ya. Kau selalu berjalan dan melakukan sesuatu saat jiwamu berada dialam bawah sadar. Kau membuka pintu, ataupun buang air kecil di toilet bahkan dengan dirimu yang masih tertidur, atau bahkan kau makan saat tidur dan…" lagi dan lagi, kalimat Luhan selalu terpotong karena ucapan Baekhyun, "Membunuh seseorang saat aku dialam bawah sadar, iya kan? Aku yang membunuh Boo, kan?" mendengar nada Baekhyun yang sedikit meninggi, Luhan mengerjapkan matanya.

"Tidak Baekhyun! Kau tidak membunuhnya!" bentak Luhan. Baekhyun bangkit dari kursinya dan berlari kecil menuju kamar tidurnya. "Hhhhhh, kenapa kau begitu sensitive, Baek!" ucap Luhan frustasi dimeja makan kamar hotelnya.


Seorang pemuda dengan tubuh tingginya masuk dari pintu kaca yang terbuka secara otomatis. Dengan wajah kelelahannya, ia berjalan dengan langkah lemas menuju bar yang disana terdapat minuman yang berbaris rapih. Tangan kanannya meraih salah satu minuman kaleng disana, lalu ia kembali berjalan lemas kearah kasir untuk membayar minuman yang tadi ia pilih.

"Harganya 10 won" ucap petugas kasir wanita itu. Pemuda tadi memberikan uangnya kepada wanita itu dan mengambil kembaliannya setelah itu pergi dari tempat itu melalui pintu tempat ia masuk tadi.

Pemuda itu membuka tutup minuman kaleng digenggamannya dengan kasar kemudian meneguknya hingga habis. "Sehun!" merasa dipanggil, pemuda itu menolehkan kepala keasal suara.

Diseberang jalan, gadis yang ia cintai melambaikan tangan kepadanya dengan gembira, hal itu membuat pemuda bernama Sehun itu menyunggingkan sebuah senyum tulus kepada gadis itu sebelum sebuah mobil hitam menghalangi gadis diseberang itu dan berlalu membuat gadis tadi menghilang dari pandangan Sehun.

Wajah Sehun kembali menjadi datar dan terdapat kilatan kesedihan juga disana. Ia sadar, bagaimanapun caranya ia tidak akan bisa bertemu dengan pujaan hatinya lagi. Dan ia sangat membenci siapa saja yang telah memisahkannya dengan gadis yang sangat ia cintai itu.


"Bagaimana?" Tanya Suho begitu sampai dikamar hotel Luhan yang letaknya berada dilantai lima. Luhan hanya merendahkan bahunya dan menunduk lemah. Melihat reaksi yang Luhan berikan, Suho menghampiri tempat tidur Baekhyun.

"Baekkie…" Panggil Suho berlutut disisi ranjang Baekhyun, meskipun ia tahu memanggil Baekhyun adalah hal yang begitu sulit setelah 'peristiwa' itu terjadi. Dipanggil beribu-ribu kalipun Baekhyun tidak akan bereaksi, kecuali jika orang itu langsung menyatakan kalimat yang ingin dikatakannya.

"Baekhyun… itu sebuah kecelakaan yang tidak bisa dihindarkan, jangan salahkan dirimu sendiri." Hibur Suho dengan lembut sambil mengelus helaian rambut Baekhyun. Posisi Baekhyun saat ini terbaring menyamping dan membelakangi Suho. Luhan hanya menatap dengan sendu.

"Baek, kau tidur ya?" Tanya Suho berusaha mencairkan suasana. Suho menatap Luhan seolah meminta bantuan padanya, namun ketika Suho kembali berbalik menatap Baekhyun sebuah tangan melingkar dibahunya dengan sangat erat dan tiba-tiba.

Disitu Suho sadar, Baekhyun butuh tempat bersandar dikala psikologisnya down, dan ia maupun Luhan tidak akan selalu berada disamping Baekhyun karena mereka juga memiliki tugas lain yang tak kalah penting dari Baekhyun.

Suho menggerakan kedua tangannya untuk mendekap Baekhyun sekaligus menenangkan Baekhyun. Luhan hanya termangu melihat pemandangan itu, Baekhyun yang menangis lalu mendekap Suho secara tiba-tiba dan tangisannya semakin menjadi-jadi ketika ia memeluk Suho, itu sangat langka terjadi.

"Tenanglah Baek, jangan menangis seperti itu. Kau tidak sendirian disini, aku dan Luhan sangat menyayangimu. Lupakan semua orang-orang yang membencimu, karena masih banyak orang-orang yang menyayangimu atau bahkan mereka takut kehilanganmu. Percayalah kepadaku, kebahagiaan itu pasti tidak hilang tapi hanya tertutup oleh kesedihanmu. Kau tahu? Sebuah gunung akan menghilang bukan jika tertutup kabut dimalam hari ataupun dini hari, dan gunung itu adalah kau, Baekhyun. Kau yang saat ini ditutupi kabut itu, kau yang selalu merasakan gelapnya malam hari. Aku tidak ingin disekitarmu terdapat kabut!" tangisan Baekhyun mereda, namun dekapannya masih seerat saat pertama kali gadis itu memeluk Suho.

"Jangan kau pikir bahwa hari termuram itu akan bertahan pada dirimu selamanya, jangan pernah sekali-kali berpikir seperti itu. Dengarkan aku, kematian mereka itu suatu takdir, Baek. Tuhan sudah menetapkan semuanya." Baekhyun melonggarkan dekapannya dan menatap Suho sendu.

"Hapus air matamu setelah itu kita makan bersama-sama, ok?" Baekhyun hanya mengangguk samar, ekspresi wajahnya masih datar. Suho bangkit lalu menuntun tangan Baekhyun lembut dan mengajaknya ke meja makan untuk makan bersama.

"Oppa, maafkan aku telah merepotkanmu,"


Matahari tersenyum dengan sinar lembutnya kepada dunia. Senyumannya yang hangat telah mengusik mimpi setiap orang yang merasakannya, termasuk pemuda berkulit pucat ini.

"Sehunna! Bangun! Ayo kita habiskan hari ini dengan berjalan-jalan! Ayolah, jangan seperti lembu yang selalu tidur!" Ajakan gadis itu, ajakan yang selalu dilontarkannya dengan nada bersemangat dan penuh harap kepada pemuda dihadapannya.

Pemuda berkulit pucat perlahan membuka matanya karena mendengar suara bising. Dengan mata yang masih menyipit, samar-samar ia melihat seorang gadis tengah mengobrak-abrik isi lemarinya lalu melihat-lihat beberapa baju, seperti sedang memilih baju mana yang cocok untuk dipakai.

"Sehun! Kau sudah bangun rupanya. Menurutmu, hari ini kau akan memakai baju yang mana?" dengan wajah cerianya, gadis itu menatap seluruh baju-baju yang sudah dijajarkan dihadapan gadis yang tengah duduk berlutut dilantai kamar pemuda itu.

Melihat itu, pemuda berkulit pucat ini tersenyum dan mengubah posisinya menjadi duduk. "Bagaimana jika yang ini?!" ucap gadis itu sambil menunjukan salah satu baju yang ia lebarkan ditangannya dan menunjukannya kepada pemuda diatas kasur itu.

Pemuda berkulit pucat itu tersenyum dan mengangguk lemah, melihat reaksi pemuda dihadapannya, gadis berkuncir kuda dengan poni yang rapih didahinya itu tersenyum lebar dan menggantung baju lelaki itu di knop lemari milik pemuda itu.

"Sehun, kau tidak sakit, kan?" Tanya gadis itu dengan nada khawatir karena melihat keadaan pemuda dihadapannya yang Nampak begitu kacau. Pemuda yang mengenakan kaus putih polos dihadapan gadis itu mengangguk dengan senyum paksanya. "Bolehkah aku mengatakan sesuatu kepadamu?" Tanya gadis itu, tubuhnya mendekat ke pemuda yang sedang duduk diatas kasur.

Dengan posisinya yang masih berlutut, ia menunduk dengan resah. Pemuda itu tetap terdiam pada posisinya, menunggu gadis dihadapannya berkata.

"Aku mencintaimu"

Pemuda itu tersenyum tulus seiringan dengan kepala gadis itu yang makin mendongak berusaha menatapnya. Kedua tangan pemuda itu menangkup kedua sisi kepala gadis itu dan mendekatkan wajahnya kewajah gadis itu. Semakin dekat, hingga jarak mereka hampir habis.

"Kau tidak bisa melakukan ini, Sehun!" cegah gadis itu setelah sadar apa yang akan dilakukan mereka. "Kenapa?" Tanya pemuda itu pada akhirnya. "Karena tidak bisa," ucap gadis itu terisak. "Kenapa tidak bisa?" Tanya pemuda itu karena heran. "Aku hanya halusinasimu, Sehun." Gadis itu menghilang perlahan bagaikan tersapu angin.

Pemuda itu mengacak-acak rambutnya frustasi. Selama setengah tahun ini, ia selalu mengalami halusinasi yang sama. Ia benar-benar merindukan gadisnya.

Lemarinya yang terbuka, baju-bajunya yang berserakan, dan barang-barangnya yang tidak ditaruh ditempatnya. Itu ulahnya, bukan ulah gadis itu. Ia bangkit dan berjalan menuju bajunya yang tergantung diknop lemarinya. Mengambilnya dengan hati-hati, dan tersenyum.

"Aku akan memakainya demimu."


To be continued


Hi, CBHS! I am new author in FFN, Park Jiah ibnida ^-^

This is my first fanfic about ChanBaek that I publish in FFN. And I hope you enjoy when reading this fanfic.

Jiah akan sangat senang jika kamu dengan senang hatinya meng-review fanfic buatan Jiah. So, berikan tanggapan untuk Jiah, ya! Biar fanfic ini terus berlanjut hingga akhir cerita.

Salam kecup,

Park Jiah