Aku mencoba untuk mencampur-adukkan perasaan pembaca saat mereka mulai masuk ke dalam imajinasi mereka semakin dalam mereka berimajinasi maka semakin dalam pula imajinasi itu membawa perasaan mereka terus terasa seperti nyata, dan saat mereka menutup buku itu mereka akan bertanya apakah dunia ini nyata? Apakah aku sedang bermain drama di dalam sebuah mimpi yang nyata?

Inilah hidup, saat aku menjadi satu-satunya orang bisa membuat itu terjadi maka aku akan kehilangan kendali diri. Aku tidak menginginkan sebuah pujian. Pujian hanya akan membawaku kesatu tempat dimana aku akan dibutakan oleh pujian-pujian lain dan seluruh karyaku akan luntur keasliannya karena aku termakan pujian-pujian itu.

Untuk diriku, seratus tahun yang akan datang mungkin aku akan tetap menulis hingga dunia berubah, tapi kau harus tahu aku tidak akan pernah bosan untuk menulis. Sebuah kalimat aneh dan sebuah kejadian menegangkan bisa menjadi sebuah cerita lain. Aku akan menulusuri dunia dengan tulisan, bukan aku yang akan pergi melihat dengan mataku sendiri tapi karya-karyaku. Mereka akan tersimpan disetiap ingatan manusia di seluruh dunia.

Tapi aku agak sedikit takut, jika aku menulis dan lupa tentang dunia apa yang harus aku lakukan? Jika aku harus melakukan 'itu' pun aku harus bagaimana nantinya?

Crimson Sacrifice oleh Naoya Yuuki

VOCALOID © Yamaha, Crypton, etc.

Aku memang punya cita-cita menjadi seorang penulis seperti Kakakku, cerita yang dikarangnya membawa khayalanku terbang entah kemana seperti mimpi, aku merasa bahagia saat membaca karyanya. Tapi, itu dulu. Sudah sangat lama sekali sebelum dirinya termakan oleh mimpi dan tenggelam di dalam alam dunia antah-barantah. Mimpiku sebagai penulis termakan oleh mimpi buruk orang-orang disekitarku karena dirinya. Dan juga tubuhku terasa semakin melemah.

"Malam ini," ujarnya dari sudut ruangan gelap dengan hanya sebuah cahaya lilin yang menerangi. "Aku tidak yakin..." suara itu mengecil. Kemudian hening. Aku tidak mendengar suara apapun, hanya tarik dan hembusan nafas yang masih dapat kudengar dengan telingaku. Semakin lama terasa semakin berat.

Aku melirik kearahnya ragu, tubuhnya terlihat tak bernyawa. Aku kasihan padanya. Melihatnya termakan oleh mimpi buruknya sendiri. Aku tidak bisa berbicara, bukan karena aku takut atau apa, aku memang tidak bisa—karena aku ragu. Aku selalu berharap keajaiban datang padaku memberikanku keberanian untuk mengatakan sepatah atau duapatah kata kepada orang-orang yang telah merawatku. Tapi aku tak bisa.

"Kau di sana?" dia bersuara kembali. Aku menganggukkan kepalaku ragu walau aku tahu cahaya lilin itu hanya dapat menerangi sedikit ruangan saja dan sebagian dari diriku dililit bayangan hitam. "Kemarilah," dia memanggilku datang, melambai-lambaikan tangannya agar aku mendekat. Awalnya aku ragu tapi kemudian aku mendekat ke arahnya.

Aku memperhatikan cahaya lilin yang menerangi ruangan itu bergerak kesana kemari, mencoba untuk menghindari kontak mata dengan kakakku sendiri adalah hal yang sulit, apalagi dia adalah orang yang sangat baik padaku.

"Aku suka menulis," katanya. "Menulis adalah bagian dari hidupku, sedetik saja aku berhenti menulis maka aku merasa aku telah menyia-nyiakan hidupku," dia mencoba mengelus kepalaku dan dengan senang hati aku menerima elusan tangan itu. "Juga, menulis membuatku lebih nyaman."

Dia berhenti berbicara cukup lama, membuatku sedikit penasaran dan menoleh ke arahnya. Dia tersenyum sedih sambil memperhatikan sebuah pena berwarna merah di tangan kanannya.

"Dengan ini…" dia mengangkat pena itu jauh keatas. "Crimson Sacrifice akan dimulai kembali…" entah mengapa aku menangkap firasat buruk dari ucapannya barusan, crimson sacrifice adalah semacam ritual mistis yang aku sendiri tidak mempercayainya—tapi seberapa besarpun rasa ketidak percayaanku ritual itu benar adanya. "Kenapa aku juga harus melakukannya?" tanyanya pada dirinya sendiri. Aku terdiam.

Legenda mengatakan bahwa dulu hidup seorang penulis dengan perasaan yang mengalir di dalam tulisannya, penulis itu memiliki orang yang dia sayangi. Namun, orang itu harus mati karena pembunuhan tragis di desanya. Sang penulis yang mengetahui kejadian itu membuat sebuah perjanjian berdarah kepada orang-orang mati di desa itu. Perjanjian itu mengharuskannya menukar tempat dirinya dengan orang yang disayanginya. Dia mulai menulis ulang tragedi pembunuhan dan pembantain desa dengan menempatkan orang yang disayanginya ketempat yang aman dalam ceritanya. Namun sebagai gantinya dia harus mati. Untuk memulai ritual dia harus menyiapkan darahnya sebagai tinta untuknya menulis dan wadahnya adalah pena merah hasil perjanjian. Ritual itu juga disebut dengan Crimson Sacrifice.

"Ah, aku mengatakannya?"

Aku mencoba mengambil pena itu dari tangannya, dia tidak boleh melakukan ritual bodoh itu. Namun dia segera menghindariku. "Jangan. Ini untuk ritual," dia menjauhkan pena itu dari hadapanku.

Kakakku adalah orang yang aku miliki satu-satunya saat ini. Jika dia mati maka aku akan tinggal sendirian, semua orang dirumah ini bodoh. Mereka melakukan ritual itu tanpa sepengetahuanku dan akhirnya mereka mati, untuk apa mereka melakukannya? Menyelamatkan orang yang mereka sayangi? Siapa? Apa aku juga akan melakukannya?

"Suatu saat nanti," kalimat itu keluar dari mulutnya, dia bangkit dari duduknya memindahkan lilin yang ada di dekatnya, dia menarikku keluar dari dalam ruangan itu meninggalkannya sendirian di sana.

Aku ketakutan, tubuhku menggigil. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam sana, yang aku tahu hanyalah dia sedang melakukan ritual Crimson Sacrifice! Dia sedang menulis sesuatu tentang seseorang yang disayanginya, tepatnya dia sedang memutar balikkan fakta dari balik tulisannya—jika orang itu mati maka dia akan menulis selamat dan hidup—konyol. Aku bahkan tidak pernah melihatnya bersama orang itu.

Suara berisik terdengar dari ruangan tempat Kakakku mengurung dirinya, aku masih terpaku diluar ruangannya saat dia mengeluarkanku dengan paksa. Sekarang aku masih di sana terdiam mendengar suara-suara berisik itu mengganggu pendengaranku. Aku penasaran! Berbalik dan mendobrak pintu ruangan itu adalah salah satu cara agar rasa penasaranku terjawab. Tapi jika aku melakukannya dan ritual itu sedang dalam pertukaran nyawa, maka—

Membayangkan kelanjutannya saja sudah membuatku semakin takut dan merinding. Suara dibalik ruangan itu semakin terdengar mengganggu, sudah cukup! Aku tidak peduli jika aku harus terkena kutukan atau apa. Aku ingin melihat apa yang sedang terjadi.

Kuputar kenop pintu ruangan itu perlahan, aku mengintip dari celah-celah pintu yang mulai terbuka, terus melebar dan pandanganku juga terus meluas. Mataku terbelalak, satu-satunya yang kuingat dari ruangan ini adalah Kakakku yang selalu berdiam diri dan mengurung dirinya di sini—maksudku dia masih ada di sana terakhir kali aku melihatnya. Dan apa yang aku lihat sekarang ini hanyalah sebuah ruangan kosong tanpa apapun, hanya ada selembar kertas dengan tinta merah yang menghiasinya dan sebuah pena berwarna merah didekatnya, selain itu aku tidak menemukan apapun.

Aku melangkah mundur, tubuhku yang terasa sangat berat kini terasa semakin ringan. Aku merasa beban-beban yang ada didalam diriku terangkat dan hilang entah kemana. Mataku tertuju kepada pena berwarna merah didekat kertas bertuliskan sebuah cerita berwarna merah. Aku menggerakkan tanganku ragu untuk mengambil pena itu. Aku tidak bisa mengambilnya, tanganku terhenti begitu saja. Mataku tertuju pada kertas yang bertuliskan sebuah kisah yang telah diputarbalikkan kejadiannya. Semakin lama aku menatapnya huruf-huruf itu menyatu dan menjadi aneh.

Aku menghelakan nafasku berat, aku harus pergi dari tempat ini! Meninggalkan rumah ini, aku sudah bebas karena sudah sendirian. Setidaknya aku bebas dari peraturan rumah, tapi aku tidak terbebas dari peraturan alam. Aku berlari menjauhi rumahku sendiri. Jauh. Jauh. Aku berumur lima tahun ketika melarikan diri dari rumah dan tidak memiliki siapa-siapa lagi.

Jauh di dalam sana aku bertanya pada diriku sendiri kenapa aku melarikan diri?

ooo

Sebelas tahun telah berlalu sejak saat itu, aku pergi jauh dan sampai di Tokyo seorang diri. Di sini aku dibesarkan oleh sebuah keluarga yang pada saat itu mereka mengatakan bahwa mereka kasihan melihatku dan mengapdosiku sebagai anak mereka. Aku tidak peduli. Dan aku beruntung mereka mengasihaniku dan memberikanku kehidupan layak hingga sekarang, kejadian sebelas tahun yang lalu masih sangat berbekas dimemoriku—semuanya.

Aku sekarang bersekolah di Sekolah Menengah Atas di Tokyo, kelas 3. Setelah tamat dari SMA nanti aku akan berpisah dari orang tua angkatku dan menghidupi diriku sendiri—setidaknya itu lebih baik dari pada aku menyusahkan orang lain seperti ini. Aku ingin masuk jurusan sastra tapi aku akan mengambil jurusan lain jika saja kenangan buruk itu tidak menghantuiku mungkin aku sudah mengambil jurusan itu.

Aku mengusap kepalaku hingga dagu lalu menguap lebar di jam pelajaran Sastra Klasik, membuat teman sebangkuku menyenggol sikuku dan berbisik ditelingaku.

"Jangan lakukan hal yang bodoh."

Aku tertawa dan mengabaikannya. Pelajaran Sastra Klasik? Aku sudah mengusainya diluar kepalaku. Tanpa harus memperhatikan guru itu menjelaskannya aku sudah tahu apa yang dimaksud dengan ini dan itu dan bagaimana cara membuatnya menjadi menarik. Nilaiku sempurna, khusus untuk Sastra Klasik. Dan karena kesempurnaan nilaiku, aku menyombongkan diri khusus dipelajaran ini.

Mataku memperhatikan seorang gadis yang duduk di depan sana, dia begitu memperhatikan guru itu menjelaskan dengan seksama. Dia membuatku muak. Aku bangkit dari dudukku. Semua mata tertuju padaku.

"Pertarungan sastra!" teriakku. Pemilik mata-mata itu mencoba mengartikan maksud dari dua kata yang terucap dari mulutku. Tanpa menunggu respon mereka aku menunjuk gadis yang duduk di depan sana. "Aku ingin gadis itu bertarung denganku! Dan Sensei yang akan menjadi jurinya!" Jariku berpindah ke arah guru Sastra Klasik di depan sana.

Dia tersenyum. "Baiklah, Megurine-san. Saya tahu Anda sedang bosan dengan kelas Saya dan melakukan ini untuk mengusir kebosanan itu, ya setidaknya tidak apa jika kita melakukan pertarungan sastra untuk kali ini saja."

Yes! Aku pasti menang. Dia bukanlah siapa-siapa kecuali gadis biasa yang hanya suka mencari perhatian dengan memperhatikan, setiap buku catatannya pasti kosong. Aku punya banyak kesempatan untuk menang darinya.

"Lakukan!" aku menyunggingkan senyum kemenangan sebelum bertanding. Memegang sebuah pena dan selembar kertas dengan percaya diri.

"Kalian cukup membuat sebuah paragraph tentang apapun. Waktu kalian hanya lima belas menit."

Mudah! Aku melirik kearahnya, cukup tenang. Dia bahkan tidak ketakutan sedikitpun. Apakah itu hanya taktiknya agar aku tidak bisa menang? Hah, bodoh sekali.

"Dimulai!" guru sastra klasik itu meneriaki kata mulai dan mulai menghitung waktu pertandingan tak resmi ini. Walaupun yang diajarkan adalah sastra klasik, tapi pertandingan ini tidak menggunakan unsur klasik sedikitpun.

Aku dengan santainya menulis apa yang mengalir di dalam otakku hanya dengan memikirkan apa yang tak aku sukai. Dan dengan mudah semua itu teracik menjadi sebuah karya yang indah. Aku memberikan karyaku tepat dimenit kesepuluh. Aku melirik kearah lembar kertasnya, baru dua baris. Apa dia kesulitan memilih kata-kata kiasan? Kenapa dia tidak menulis saja dan pasti kata-kata itu akan terukir diotaknya 'kan?

Tinggal lima detik lagi dan dia bangkit memberikan lembar kertasnya. Dia sudah selesai? Aku pasti menang. Biar saja aku percaya diri kali ini, karena memang begitulah adanya.

"Apa ini?!" guru sastra klasikku membelalakkan matanya.

Aku menoleh memperhatikan guru sastra klasikku sambil tersenyum kemenangan. Ekspresi itu tak lebih dari sebuah rasa kaget dan kagumnya setelah membaca hasil karyaku. "Ada apa, Bu Sakine?" tanyaku sekedar berbasa-basi.

Dia kemudian tersenyum, aku mempunyai firasat baik saat itu. "Crimson sacrifice…" ucapnya perlahan, kemudian aku menundukkan kepalaku. "Aku tidak tahu kalian tidak menyukai ritual itu, memang sih itu ritual mematikan. Dan juga ritual yang paling romantis yang pernah aku dengar."

Ah … crimson sacrifice … ritual berdarah pemutar balik fakta. Aku kehilangan seluruh anggota keluargaku karena ritual itu, tapi aku tidak tahu kepada siapa mereka melakukan ritual itu. Sebuah pertanyaan yang terus menggores dihatiku. Kepada siapa ritual itu dilakukan keluargaku? Ibuku mencintai dan menyayangi Ayah, tidak mungkin Ibu akan melakukan ritual itu keorang lain jika dia tidak menyayanginya. Dan juga tidak ada kabar berita duka darimanapun saat dia melakukan ritual itu. Begitu pula dengan Ayah, dan Kakak perempuanku. Jadi …

Kepada siapa mereka melakukan ritual itu?

Dan kenapa Hatsune Miku juga menulis hal yang sama denganku? Ada hubungan apa dia dengan ritual itu?

"Megurine-san, Hatsune-san. Kalian berdua menang!" teriak Sakine-sensei kegirangan tapi aku sudah tak mempedulikannya. Aku malah memikirkan ritual itu. Hatsune Miku, keluargaku. Aku harus mencari tahu tentang ritual itu dan menghentikannya sebelum ritual ini menjadi legenda bodoh yang memakan lebih banyak korban jiwa!

to be continued!