BLEACH © TITE KUBO

Unforgiven Angel

Part #1

.


.

Kebencian tertanam dalam diri Kurosaki Ichigo. Rasa yang mampu menciptakan permukiman bagi para setan di dalam hati manusia. Bukan cerita baru bahwa pemuda itu membenci salah seorang teman sekelasnya.

Ichigo si pembenci Rukia.

Cerita lama yang menerbitkan banyak sumber perihal sebab musabab Ichigo sangat membenci gadis bermarga Kuchiki tersebut. Padahal, ketika keduanya berusia enam tahun, mereka pernah berteman. Pernah.

Mereka melupakan ikatan yang memang terlalu tipis itu, terutama bagi anak yatim Kurosaki. Dia belum bisa memaafkan semua yang terjadi pada ayahnya. Dan mungkin tidak akan bisa, karena—kebencian itu terus berkembang sampai sekarang.

Menginjak usia enam belas tahun. Ichigo dan Rukia bersekolah di tempat yang sama, bahkan satu kelas. Jela saja, Ichigo mengutuk kebetulan tersebut. Kebetulan yang membuat ia harus bertemu dengan Rukia lagi. Setiap hari pula. Ini memuakkan.

Kantin sekolah didatangi beberapa siswa. Selasa pagi mereka sebisa mungkin mengisi perut dengan sarapan sebelum nanti jam pelajaran dimulai. Termasuk Ichigo bersama dua teman dekatnya, Ishida Uryuu dan Ggio Vega.

Saat melangkah mendekati batas kantin, mata Ichigo tertumbuk pada sosok perempuan bertubuh kecil yang kini sedang menikmati roti bakar pesanannya. Rukia duduk sendirian dengan sedikit demi sedikit memotong kecil-kecil roti yang ia santap. Melihat tingkah Rukia, Ichigo mendesis jijik.

Kemudian dengan sikapnya yang sinis. Lelaki berambut oranye itu menghampiri Rukia.

"Kau tahu, aku sangat ingin memotong tubuhmu kecil-kecil seperti roti itu," akunya sambil melewati bangku Rukia lalu duduk di meja di dekat sudut kantin. Mendengar akuan dari Ichigo terang membuat selera makan Rukia menghilang. Ia menunduk sedalam mungkin, menghindari tatapan Ichigo yang seolah ingin membunuhnya.

Rukia membatu. Dia memerlukan ketenangan untuk makan di kantin ini. Sayangnya, Ichigo tidak bisa membiarkan ia menyantap sarapan dengan damai. Lelaki itu selalu berucap sinis, menatap sadis, dan menjahatinya setiap kali ada kesempatan bertemu.

Tak ada kedamaian bagi Rukia, jika Ichigo di dekatnya. Ichigo sangat membencinya. Rukia mengerti itu. Tetapi yang tidak bisa ia mengerti, kenapa kebencian Ichigo padanya tak pernah berkurang? Yang ada, justru bertambah. Hal itulah yang membuat Rukia dihindari teman-teman di sekolah.

Sambil membendung sesak, Rukia menelan roti.

"Kasihan dia. Sampai kapan sih, kau membencinya terus?"

Ishida mencoba menasihati.

"Tidak tahu. Mungkin sampai kiamat."

Ggio menggelengkan kepala, sembari menghirup jus kotak miliknya ia menimpali. "Kuchiki-san selalu gemeteran setiap kali ada kau. Dia seperti kucing kedinginan."

Mendengar ungkapan kucing kedinginan, Ichigo terkekeh. Lalu ketika otaknya bekerja kembali, pemuda itu mengambil gelas di dekatnya yang sudah berisi air. Dia berdiri dari posisi nyamannya untuk sekedar menjalankan ide jahil yang baru saja ia pikirkan.

Saat Ichigo sudah berada di belakang Rukia yang masih menghabiskan rotinya. Seringai kecil terlukis di bibir Ichigo.

Byur.

Ichigo menyiram Kuchiki Rukia dengan segelas air.

"Pantas dari tadi bau amis. Seharusnya kau mandi dulu, sebelum ke sekolah. Gadis Busuk."

Bukan cuma Rukia yang tersentak dengan perlakuan Ichigo padanya. Namun seisi pengunjung kantin pun kaget. Kepala Rukia basah hingga tetesan airnya jatuh mengguyur bagian pundak seragam yang ia pakai. Gadis itu menarik napasnya dalam-dalam kemudian berdiri memunggungi Ichigo yang tersenyum mengejek.

Rukia menutup matanya. Ia berlari meninggalkan sisa rotinya tanpa berpaling lagi. Ini sudah kesekian kalinya pewaris keluarga Kurosaki itu menjahatinya di depan banyak orang.

.

.

Apa dosa bisa diwariskan? Jika memang bisa, Rukia rela diperlakukan sejahat tadi oleh Ichigo. Biar saja. Jika dengan begitu dosa kakaknya bisa diampuni. Sudah lama berlalu, tetapi putra dari dr. Kurosaki Isshin itu belum bisa memaafkan keluarganya.

Rukia mencoba mengeringkan rambut dengan kedua tangan. Seraya membuka loker, ia mengambil handuk kecil yang sengaja ia simpan. Isi loker begitu lengkap. Perlengkapan kesehatan disimpan juga di sana, dua lembar kaos juga seragam olahraga selalu siap di loker. Bukan tanpa alasan Rukia melakukan itu, ia sengaja mempersiapkan semuanya karena setiap hari Ichigo pasti akan mencoba mengerjainya.

Dengan tersenyum pahit, Rukia mengunci kembali loker dan membawa seragam olahraganya menuju toilet perempuan. Dia harus mengganti pakaian jika tidak ingin sakit.

Toilet perempuan sudah sepi dikarenakan jam pelajaran dimulai beberapa menit lalu, dengan begitu Rukia pasti akan terlambat masuk kelas. Sudahlah, Rukia berusaha menerima akibatnya. Ia sudah membayangkan banyak hukuman yang akan ia terima dari Ochi-sensei nanti.

Seragamnya sudah berganti seragam olahraga. Matanya berbinar-binar karena merasa lega, "Untung baju ini kusimpan di loker."

Senyum Rukia memudar. Inoue Orihime, salah satu teman dekat Ichigo tengah menunggunya di depan pintu toilet.

"Maafkan Kurosaki-kun ya, Kuchiki."

"Ya," Rukia menjawab singkat.

Namun, Inoue lagi-lagi menahan langkah Rukia,"Ayo, biar kubantu kau minta maaf pada Ochi-sensei karena terlambat masuk—"

"Tidak perlu."

Rukia menyentakkan tangan Inoue. Mereka berbeda kelas, lagipula, untuk apa Inoue membantunya minta maaf. Masalahnya dengan Ichigo tidak ada hubungan dengan dia, 'kan? Untuk apa dia repot-repot membantunya? Segera saja Rukia berlalu dan kembali ke kelas.

.

.

"Kurosaki, ini berbahaya."

"Tenang saja! Aku hanya akan membuat pipi perempuan itu luka."

"Dia bisa mati kalau panahmu mengenai kepalanya."

"Diamlah Ishida, aku tidak bisa konsentrasi kalau kau bicara terus."

Ichigo bersiap-siapa dengan busur dan panah. Matanya menggelap, memicing tajam, fokus pandangannya tertuju pada Rukia yang tertidur bersandar di sebuah pohon besar milik kebun sekolah.

Ishida meneguk ludah, merasa takut dengan apa yang akan dilakukan Ichigo. Memanah Kuchiki Rukia. Ichigo memang atlet memanah sekolah yang tidak diragukan lagi keahliannya, tetapi bagaiman jika hari ini hari sial seorang Kurosaki Ichigo? Apa yang akan terjadi dengan Kuchiki Rukia nanti?

Blazzz!

Anak panah melesat dari busur. Targetnya? Tepat! Ichigo berhasil memanah target. Targetnya ialah melukai pipi Rukia, dan ia sukes. Anak panah tertancap tepat di pohon sebelah kiri kepala Rukia. Sangat mengerikan karena jika meleset beberapa sentimeter saja, maka kepala Rukia menjadi taruhan.

Merasa ada rasa nyeri menyerang pipinya, Rukia terbangun dari tidur. Jam istirahat cukup lama, makanya dia memutuskan untuk mengisinya dengan tidur sebentar di kebun sekolah yang rindang.

Darah merembes melewati pori-pori kulit pipi Rukia yang mulus. Pi-pinya terluka? Sontak ia mencari-cari sesuatu yang menyebabkan lukan dipipinya. Saat itulah Ichigo tergelak, lalu tertawa keras menertawai raut kebingungan Rukia.

"Berterima kasihlah padaku karena kau sudah kubangunkan! Hahaha."

Rukia mengeluh kesakitan seraya meraba-raba luka di pipi. Darahnya mengalir, walaupun tidak deras tapi darahnya tidak bisa dihentikan dengan tangan kosong saja.

Dia butuh sapu tangan, baru nanti diobati. Cepat-cepat Rukia bangkit dan berlari menuju ruang loker. Diacuhkannya begitu saja Ichigo yang tersenyum-senyum senang. Daripada mengumpat lelaki itu, Rukia lebih memilih menyembuhkan lukanya dulu.

.

.

Seharian berada di sekolah membuat Ichigo kelelahan. Kelopak matanya mulai terasa berat ketika langkahnya sudah meraih handle pintu rumah.

"Aku pulang!"

Rumah itu sudah seperti kepompong, kosong tanpa penghuni rumah. Kedua adiknya bersekolah di sekolah khusus putri yang berasrama. Ibunya dua hari ini pergi ke Paris untuk mengurusi bisnis keluarga mengingat sang ibu adalah tulang punggung keluarga. Sementara ayahnya telah wafat sejak usianya enam tahun.

Mengingat mediang ayahnya wafat dengan cara tragis, kepala Ichigo berdenyut sakit. Ingatan seperti itu memang menyakitkan. Dia ada di lokasi ketika sang ayah tewas tanpa kata-kata terakhir. Membuat otaknya terus membenci hingga sekarang.

Siapa bilang anak usia enam tahun tidak bisa mengingat apa yang terjadi ketika dulu ayahnya ikut terbakar di dalam rumah sakit yang dilahap api? Ichigo mengingat detilnya. Ia sangat ingat. Termasuk seseorang yang menyebabkan ia serta kedua adiknya menjadi anak yatim dan ibunya menjanda.

Ichigo meremas kepalanya yang mendadak pusing. Terseok-seok ia menuju lemari es, mengambil sebotol air dingin di dalamnya lalu menuangkannya ke dalam gelas.

Ponselnya berdering ketika Ichigo baru saja meminum air. Di dalam layar tertera nomor telepon sang ibu yang kini berada di seberang benua.

"Ada apa, Bu?"

"Ichigo! Maaf ya sayang, ibu belum bisa pulang. Minggu depan mungkin ibu akan kembali Jepang."

"Ibu mau kemana lagi?"

"Ada peragaan busana di Italia. Ibu akan ke sana dulu. Bagaimana, kau ingin ibu belikan sesuatu?"

"Tidak usah, Bu. Baik-baik saja di sana. Ibu juga jangan terpikat dengan pria manapun."

"Ahh, Ichigo sayang. Cinta ibu cuma pada ayahmu, kok. Kau juga baik-baik di sana ya."

"Jangan cemaskan aku."

"Sudah ya sayang. Ibu mau menghubungi adik-adikmu nih."

"Oke. Sampai jumpa, Bu."

"Sampai jumpa, darling…"

Tutt.

Panggilan berakhir menyisakan desahan napas dari Ichigo. Dia sendirian lagi di rumah. Kesepian memang sudah jadi sahabat terbaiknya.

.

"Nee-san!"

Rukia menyandarkan sepeda sembari memanggil kakak perempuannya yang sedang melayani pembeli. De Kuchiki Flower's Shop. Gadis belia itu tersenyum sumringah ketika langkahnya tergopo-gopo, Rukia sempat membungkuk memberi salam pada si pembeli yang berpapasan dengannya sembari mengucapkan terima kasih.

"Pelan-pelan dong, Rukia. Kau hampir menabrak pembeli tadi."

"Hampir? Berarti belum terjadi 'kan?"

"Kau ini!"

Kuchiki Hisana adalah kakak perempuan Rukia. Mereka hidup berdua, bersama-sama mengembangkan bisnis toko bunga warisan kakak ipar Rukia yang sudah meninggal dunia. Nama Kuchiki sendiri Rukia sandang demi menghormati keluarga Kuchiki dari kakak iparnya.

"Oh, ada apa dengan pipimu?" Hisana mengernyit, telunjuknya menyentuh pipi Rukia yang tertempel plester luka.

"Bukan apa-apa, Nee. Tadi aku mengusili anak kucing, lalu—grab! Dia mencakarku! Ah sial sekali aku!"

"Benarkah? Kau tidak bohong, 'kan?"

"Benar!" dengan berlagak sibuk, Rukia memalingkan matanya dari Hisana seraya menghampiri jejeran bunga mawar bermacam warna di toko. Matanya dipenuhi kebohongan, bagaimana bisa kakaknya tidak akan tahu? "Ah ya, Nee-san! Tadi ada temanku mau memesan bunga lili putih. Persediaan kita masih, 'kan?" Rukia akhirnya mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.

"Masih. Akan nee-san siapkan besok."

"Dia minta diskon, loh."

"Terserah kau mau memberinya diskon berapa," tunggu—ada yang aneh, Hisana menyoroti adiknya dengan tatapan serius. "Teman? Kau, punya teman?" seraut heran dari Hisana membuat Rukia tersinggung.

"Tentu saja punya! Uhm, bukan teman di sekolah, sih. Dia gadis kecil yang tinggal di ujung gang sana."

"Oh… begitu."

Pukul empat sore. Sebelum toko benar-benar akan tutup, Rukia membantu Hisana membereskan toko. Baru setelah itu mereka menyiapkan lili putih pesanan teman Rukia.

.

.

.

Amat menjenuhkan jika setiap pulang, Ichigo hanya akan menemukan rasa sepi di dalam rumah. Hari itu usai pelajaran usai, ia memutuskan menyelesaikan tugas dari sensei-sensei nya di kelas. Bersama dua temannya, Ggio dan Ishida, mereka menyelesaikan tugas yang semestinya dikerjakan di rumah.

Matematika. Ichigo menyodorkan bukunya pada Ishida, meminta teman pintarnya itu mau membantunya mengerjakan soal. Ggio memang tidak sepintar Ishida dan Ichigo, ia lebih pintar merayu perempuan. Keuntungan baginya bisa berteman dekat dengan Ichigo dan Ishida.

"Aduh! Se-sebentar, aku mau ke toilet dulu," Ichigo dan Ishida melongo ketika Ggio dengan terbirit-birit lari menuju toilet sekolah.

Hening menyergap. Ichigo meneruskan pekerjaannya dengan menulis, seraya memperhatikan beberapa hal yang dijelaskan Ishida.

Ggio Vega berperawakan tinggi, sinar matanya setajam milik Ichigo. Hanya saja kepribadiannya lebih hangat jika dibandingkan dengan kedua temannya. Terbersit rasa ngeri ketika siswa laki-laki itu berada di dalam toilet sendirian.

Setelah keluar dari toilet, Ggio membenahi penampilan. Ia bergegas kembali ke kelas. Sekolah belum sepi sepenuhnya. Menjelang sore seperti ini biasanya beberapa siswa memanfaatkan waktu luang mereka untuk kegiatan ekstra, anggota klub olahraga maupun keterampilan masih melakukan aktivitas mereka di ruang klub masing-masing.

Kaki panjang Ggio menelusuri koridor sekolah yang memisahkan gedung belajar dengan toilet umum. Di saat itulah ia menemukan sosok Rukia tengah berada di kebun sekolah. Rukia tampak sedang menanam batang-batang bunga mawar di sekitar taman kelas. Seringai kecil muncul di sudut bibir Ggio. Siswa flamboyan itu mengalihkan langkah, mendekati gadis Kuchiki yang kini sedang bermain dengan tanah.

"Boleh kubantu?" sembari tersenyum, Ggio duduk di sebelah Rukia yang sedang menggali tanah menggunakan cangkul kecil seukuran lengan.

Sontak Rukia menyingkir lalu berdiri menjaga jarak.

"Kuchiki-san, aku ini bukan monster. Kau tidak perlu ketakutan begitu."

Rukia membisu. Ggio, teman Ichigo, cukup bagi Rukia menjadikanya sebagai alasan untuk menghindari kontak fisik dengan teman Ichigo. Siapapun orangnya.

Ggio mendengus, ia terpaksa ikut berdiri kemudian mendekati keterpakuan Rukia. "Di kelas juga ada Ichigo. Kau tidak takut kalau Ichigo tahu kau ada di sini? Aku tidak akan menolongmu jika dia menjahatimu di saat sekolah sepi seperti ini."

"Aku akan segera pulang," Rukia mengeratkan sarung tangannya untuk menyelesaikan kerjanya yang sempat diganggu Ggio.

Merasa tidak dipedulikan oleh Rukia. Ggio pun menyerah, ia menjauhi area kebun sekolah. Sembari melangkah pergi, dipandanginya tubuh Rukia dari jauh. Lalu mempercepat langkah menuju kelas.

Ggio muncul saat Ichigo dan Ishida sudah menyelesaikan soal ke tiga. Pada akhirnya, ia hanya akan jadi pencontek sejati. Cahaya sore mulai menerebos kaca-kaca jendela kelas, seluet bayangan orang-orang yang berada di dalam kelas menjelma seperti lukisan sore.

"Ichigo, ada mainanmu di kebun sekolah."

Mainan? Ichigo dan Ishida mendelik tak mengerti, "Ah! Maksudmu Kuchiki-san?" Ishida menebak arah pembicaraan Ggio hingga mengundang tatapan sinis dari lelaki di dekatnya.

Ichigo tidak menggubris obrolan kedua temannya mengenai Rukia. Yang jelas, kebenciannya muncul lagi dan kebiasaannya mengerjai Rukia lagi-lagi mencuat di dalam otak liciknya.

"Lihat saja. Jika sepuluh menit lagi aku menemukannya di kebun sekolah. Akan kukerjai lagi perempuan pembawa sial itu. Lihat saja." Ichigo meremas jemarinya, ia bersiap dengan sumpah serapah.

"Hei. Kau tidak berniat mencelakainya lagi, 'kan?" Ishida terlihat cemas, bingkai kacamata yang ia pakai tanpa sadar mengendur hingga ke pertengahan hidung.

"Tidak. Hanya kuliah sore saja untuknya."

Ishida melirik pada Ggio. Mengisyaratkan pada Ggio bahwa apa yang dilakukan Ggio adalah kesalahan besar. Seharusnya Ggio tidak perlu menginformasikan mengenai kesibukan Rukia di kebun sekolah.

Sepuluh menit benar-benar berlalu ketika mereka bertiga menyelesaikan tugas. Perlengkapan belajar sudah tersimpan rapi di dalam tas masing-masing. Ggio tersentak, ia ingat kalau hari ini ia punya janji dengan pacar ke delapannya untuk berkencan. Segera setelah mengingat janjinya, ia melesat pergi, meninggalkan Ichigo dan Ishida melangkah keluar gedung.

Ichigo melihat ke arah kebun sekolah. Benar saja, di sana ada Rukia yang kini sedang merapikan batang-batang mawar yang belum tertanam.

"Ishida. Kau pulang saja duluan, masih ada yang akan kukerjakan," Ichigo tersenyum sinis, matanya fokus hanya pada gadis yang berdiri di kebun sekolah dengan latar langit sore di atasnya.

"Jangan kelewatan menjahatinya, Ichigo. Kau bisa kena karma nanti."

Mendengar peringatan tersebut, Ichigo tergelak. "Karma? Karma seperti apa? Justru gadis itu yang harus mendapatkan karma dariku."

"Terserah kau saja. Aku hanya mengingatkan, jangan berbuat amoral di sekolah."

"Berapa banyak lagi peringatan untukku, sepupu. Huh… menyentuhnya saja membuat bulu kudukku merinding, apalagi harus berbuat amoral. Jaga otakmu itu, Tuan Pintar."

"Sesukamu sajalah. Aku mau pulang."

"Inoue jauh lebih baik darinya!" Ichigo berteriak di saat Ishida sudah berada cukup jauh, hal itu berhasil menarik perhatian Rukia yang semenjak tadi sibuk dengan tanaman-tanamannya.

.

"Sedang apa kau?"

Bayangan tubuh Ichigo yang berdiri di belakang Rukia sungguh menerbitkan ketakutan. Dia sendirian di sini, dan terkutuklah dengan apa yang ia abaikan dari peringatan Ggio tadi. Wujud Ichigo sudah seperti monster bagi Rukia. Tanpa sadar Rukia mencengkram kuat batang mawar yang masih tersisa dalam genggamannya.

Rukia tertunduk. Bahunya bergetar tanpa bisa dikendalikan. Ia mencoba bergerak tapi tidak bisa. Mulutnya keluh, tenggorokan Rukia tersumbat ketika Ichigo menggeser posisi sampai bisa melihat gundukan tanah yang kini ditanami batang mawar.

Ketakutan Rukia memudar berganti keterkejutan lain yang ditunjukkan Ichigo. Lelaki itu dengan beringas menendang batang-batang mawar yang baru saja ditanam Rukia, kemudian menginjak-injak tanaman-tanaman itu seraya tersenyum kejam.

"Bunga-bunga ini tidak akan tumbuh dari tangan pembawa sial sepertimu! Adik dari pembunuh sepertimu, hanya akan membuat bunga ini mati!"

Jantung Rukia berdegup kencang. Matanya mengerut dengan warna sedikit kemerahan. Jantungnya seolah digenggam Ichigo, diremas hingga remuk. Alarm otaknya bergemuruh, menarik-narik pembuluh darahnya sampai mendidih hingga ke ubun-ubun.

"Hentikan! Apa yang kau lakukan? Hei!"

Ichigo berhenti, matanya begitu nyalang memandang Rukia.

"Menginjak tanaman ini sampai mati. Itu yang sedang kulakukan," Ichigo menggeram, menggertakan giginya dengan raut mengancam.

"Tanaman yang kauinjak itu tidak bersalah. Akulah yang berdosa, yah, kakakku yang dipenuhi dosa."

"Pembunuh seperti kalian—"

"Kami bukan pembunuh!" Rukia menjerit histeris, ada kengerian dengan apa yang ingin ia muntahkan pada pemuda di depannya itu, "A-ayahmu yang berusaha menolong. Kami tidak minta tolong padanya! Dokter Isshin mati karena kecelakaan!"

Plak!

Tamparan mendarat di pipi Rukia. Tepat dimana plester luka masih tertempel di sana.

"Kecelakaan kau bilang? ! Berani sekali kau memaki orang yang sudah menolongmu."

Rukia menutup rapat mulutnya. Ia gemetaran. Ia memejamkan mata, berharap dokter penolong yang kini berada di surga mau mengampuni apa yang baru saja ia katakan.

"Apalagi? Semua yang terjadi karena ketidaksengajaan. Kau kira aku senang dengan semua ini, hah?" dengan sedikit keberanian Rukia bicara, memandang tepat pada mata cokelat Ichigo.

"Tidak sengaja? Demi Tuhan! Hebat sekali ucapanmu!"

Ingin sekali menangis, tapi sebisa mungkin Rukia ingin menahannya.

"Gara-gara menolong kakakmu, ayahku mati! Anak-anaknya menjadi yatim piatu, dan ibuku bekerja keras sendirian!" Bagai srigala yang melolong di tengah malam, Ichigo berorator dipenuhi gejolak kemarahan dan luapan dendam. Dia bicara, membakar Rukia dengan kata-kata kejam.

Sambil menggigit bibirnya yang membeku. Rukia melepaskan kalung yang ia kenakan.

Sebuah kalung berantai perak dengan bandul berukiran malaikat cupid. Malaikat dengan sosok anak kecil bersayap memegang busur dan anak panah. Rukia menyodorkan kalung tersebut pada Ichigo.

"Kalung ini—"

Tidak sempat meneruskan penjelasan, mendadak Ichigo merebut kalung berbandul malaikat itu lalu melemparnya ke dalam kolam ikan yang berada di kebun sekolah.

Kluk.

Kolam ikan yang dipenuhi ikan mas dan ditumbuhi teratai kerdil kini ikut terlibat ke dalam situasi buruk itu.

"Simpan saja penjelasanmu untuk dirimu sendiri," seraya mendorong bahu Rukia sampai jatuh terduduk di tanah, Ichigo berlalu—melubangi hati Rukia dengan duka dan rasa bersalah yang semakin melebar.

Rok Rukia dikotori tanah, dan Ichigo kembali melukai tangan Rukia yang sejak tadi menggenggam batang mawar yang berduri.

Telapak tangannya tertusuk duri menembus hingga ke hatinya.

.

.

Matahari tenggelam dalam buaian langit. Sinar yang menerangkan kini menghilang, menghitamkan belahan dunia dimana Rukia berada di bawahnya. Hari sudah beranjak malam. Rukia menyadari hari mulai gelap karena telah melepas petang, namun tubuhnya enggan untuk beranjak dari ayunan di sekitar taman kota.

Pikirannya melayang, mengingat pertengkarannya dengan putra dari dokter Isshin tadi sungguh menambah rasa bersalah. Dia menyesal. Di saat ia mengerjapkan mata, di saat itulah setitik air mata jatuh di pipi Rukia yang terluka.

"Rukia-chan, kenapa kau belum pulang?"

Rukia termangu, belum menyadari ada keberadaan seseorang di depannya.

Seorang gadis cilik berambut pirang menegur Rukia. Dia teman Rukia yang kemarin memesan bunga lili putih. "Rukia-chan, kau menangis," tambahnya seraya menyentuh kedua pipi Rukia hingga menyadarkan Rukia dari ketermanguan.

"Rurichiyo…"

Mereka saling melempar senyum. Seketika anak bernama Rurichiyo itu mampu menghibur hati Rukia. Menunjukkan pada Rukia bahwa ia tidak sendirian, masih ada teman yang mau menghiburnya di saat sesedih ini.

"Ceritakan padaku apa yang terjadi? Kenapa bajumu lembab?" Rurichiyo memegang seragam sekolah Rukia yang memang basah. Gadis kecil berumur sebelas tahun tersebut akhirnya ikut duduk di sebelah Rukia, memandangi Rukia dengan tatapan kasihan. "Pasti ini ulah si pembencimu itu," kata-kata si gadis pirang lagi-lagi mengundang senyum Rukia. Senyuman pahit.

"Rurichiyo-chan, kita ini—berteman, 'kan?"

"Ya, tentu saja."

"Aku ingin menitipkan sesuatu padamu," sedikit tersendat-sendat dengan ucapannya, Rukia mengulurkan sesuatu yang ia genggam. Matanya nanar penuh harap pada mata biru sahabat ciliknya.

"Apa?" Ketika Rukia membuka genggamannya, Rurichiyo tercenung. Sebuah kalung berantai perak hadir di depan matanya. "Cantik sekali," pujinya tanpa sadar, lalu menyoroti mata Rukia dengan tatapan heran, "Ini—emas putih, 'kan? Kenapa kau mau menitipkan ini padaku?"

Rukian mengangguk. Dia berusaha setegar mungkin menyimpan masalah ini. Menyimpan benda berharga, kalung yang mengubah arah takdirnya menjadi semengerikan ini.

Sejenak menghela napas, Rukia mengumpulkan keberaniannya. Keberanian untuk menguak masa lalu terburuknya yang sebetulnya—menyakitkan untuk dikenang. Masa dimana pristiwa itu terjadi. Pristiwanya yang begitu singkat, namun luka yang diakibatkan seolah tak tersembuhkan.

Rurichiyo pun tenggelam dalam cerita sedih Rukia.

.

.

.

Festival Kebudayaan di sekolah menyemarakkan perayaan kelulusan siswa kelas tiga. Semua siswa dinyatakan lulus seratus persen. Maka dari itu sebelum menuju upacara kelulusan dan perpisahan, sekolah menyelenggarakan kegiatan Festival Kebudayaan. Termasuk mengundang sekolah lain untuk ikut meramaikan.

Ichigo sebagai siswa kelas dua mau tidak mau harus ikut menghadirinya. Bersama Ggio, ia berkeliling, melihat-lihat beberapa stan yang berjejeran. Ggio sendiri dengan santainya berjalan sembari terus menebar pesona.

"Kurosaki-kun! Ayo ikut permainan ini!"

Terlihat dari stan permainan memanah, Inoue melambaikan tangan. Di sampingnya ada Ishida yang sedang melayani siswa yang mencoba permainan mereka. Ggio tampak tak tertarik, ia memutuskan untuk berpisah jalan dengan Ichigo. "Kau saja yang kesana, aku masih mau berkeliling," segera Ggio meninggalkan Ichigo, membiarkan Ichigo bergabung dengan Inoue dan Ishida.

.

"Berapa harga mawar ini?"

"Setangkainya lima belas ribu."

Rukia tersenyum pada pembeli pertamanya.

"Andai saja ada pria yang mau memberiku mawar merah ini," si pembeli menggurutu, bibirnya mengerucut lucu.

Dengan terkekeh Rukia menghiburnya, "Pasti ada, Nona. Akan ada seseorang yang mencintaimu."

"Aku tahu. Tapi sebelum itu terjadi, lebih baik aku beli sendiri saja."

Si pembeli dengan kibasan rambut ungunya memperhatikan penuh simpati pada wajah mungil Rukia.

"Terima kasih, ya."

"Sama-sama."

Sambil menepuk-nepuk lembaran uang pada bunga-bunga yang dijual, Rukia kembali menawarkan bunganya dengan berteriak. Membujuk para pengunjung untuk membeli bunga-bunganya.

Stan permainan memanah mendadak ramai. Para pengunjung berdesakan mengerumuni area yang diketuai Ishida itu. Kebanyakan diantara mereka ternyata siswa perempuan. Di sana seorang Kurosaki Ichigo membidik anak panahnya pada target panahan berupa lingkaran dengan jarak tiga meter. Pada lingkaran tersebut tertempel nomor hadiah yang akan dipilih. Ichigo pun berkonsentrasi pada hadiah yang sudah ia pilih.

Siap…

Tiga. Dua. Satu.

Pluk!

Nomor dua!

Hadiah bernomor dua berhasil Ichigo panah. Ternyata, sebuah boneka beruang berukuran sedang sudah didapatkan. Inoue dengan riang menyerahkan boneka tersebut pada Ichigo, gadis itu berharap Kurosaki-kun mau memberikan si beruang padanya.

Ichigo sebenarnya tidak membutuhkan hadiah konyol ini, ia hanya menguji kemampuannya saja. Inoue mengulurkan si boneka beruang, Ichigo ingin menolak atau—diberikan saja pada Inoue? Tetapi, Ichigo mengurungkan niatnya ketika tersirat tatapan tidak suka dari siswa-siswa lelaki di sana. Ahh, Inoue memang populer.

Berat hati Ichigo akhirnya mengambil hadiah boneka miliknya. Seraya mengedarkan pandangan pada kerumunan siswa perempuan, Ichigo memilih-milih diantara kerumunan perempuan-perempuan itu yang akan beruntung mendapat hadiah darinya.

Secara acak, ia menemukan seorang siswa dari sekolah berbeda tengah berdiri di antara kerumunan. Gadis manis berambut keunguan dengan kuncir kuda berpita merah. Ichigo berjalan mendekati gadis asing itu dengan senyum merekah, bersikap seakan-akan ia adalah seorang cassanova kelas paus.

"Boneka ini untukmu. Kau jaga dia baik-baik, ya."

Setelah boneka beruang berpindah tangan, barulah gadis asing tadi mengerjapkan matanya.

.

Dari jauh perhatian Ichigo tertuju pada kesibukan Rukia membereskan stan. Festival kebudayaan telah selesai, memaksa para siswa untuk mengakhiri serangkaian acara di hari itu. Sambil menimbang-nimbang bola bisbol di tangannya, Ichigo mengamati si gadis Kuchiki itu dengan tatapan seperti biasa.

Kemarahan. Benci. Otaknya dibayangi oleh wajah Rukia setiap waktu. Karena itu setiap kali ada kesempatan bertemu, Ichigo tidak bisa mencegah dirinya untuk menghakimi Rukia dengan caranya sendiri.

Ide jahat Ichigo untuk kesekian kalinya muncul.

Seraya memasang seringai hiu, ia membidik Kuchiki Rukia dengan bola bisbol. Ishida yang melihat sudah sangat malas memperingatkan Ichigo. Dia menyerah dengan kejahilan Ichigo pada Rukia yang tanpa ampun dan tanpa mengenal waktu.

Di dalam hatinya. Ichigo menghitung mundur.

Kemudian bola bisbol itu melesat dari genggaman. Melayang menembus udara, menuju pada sasaran—yaitu tubuh mungil Rukia.

"Awas!"

Bamm.

Beruntung bagi Rukia. Siswa yang tadi membeli bunganya—si pembeli pertama –berhasil melindungi Rukia dari serangan bola bisbol, menghalau laju bola dengan tameng punggungnya. Namun dampaknya, justru tubuhnya yang diserang si bola bisbol.

"Senna!" teman dari gadis itu berteriak histeris, ketika gadis bernama Senna tersebut jatuh tertelungkup menimpa Rukia. Rukia tertegun tak percaya. Ia segera menopang tubuh Senna, sebelum akhirnya membawa gadis yang tak sadarkan diri itu ke ruang kesehatan.

Ichigo syok. Di tempatnya berdiri, matanya terbelalak kaget. Di-dia melukai orang lain bahkan sampai membuat si korban pingsan. Ishida mendengus, "Kau salah sasaran Ichigo, sebaiknya segera minta maaf sana."

Ahh sial!

.

Bersambung

.

Saya muncul lagi dengan ide iseng ini, minna-san. Maaf kalau karakter Ichigo dan Rukia selalu OoC begini, semoga Kubo-sama juga memaafkan.

Menurut minna-san, mana yang tepat? Unforgivable atau unforgiven, sih? Mohon diberitahu ya, minna-san kalau berkenan. Terima kasih banyak.