Pengen nulis tema fantasi dari jaman g enak tapi nggak punya ide. Thanks to Nency yang ngasih ide dadakan malem-malem gegara abis baca ff tema Joseon. Hahaha
Dan juga foto-foto fansite master yang luar biasa menggoda pas DE kemarin subhanaAllah~ Wkwkwkwk
Prolog
Berlatar di sebuah kerajaan dengan kekayaan melimpah serta alam yang begitu indah, lahir seorang Putra Mahkota di tengah rusuhnya pemerintahan. Rakyat jelata tak merasakan kemakmuran, aparatur menarik pajak tinggi dan menikmatinya dengan rakus. Petinggi kerajaan yang seharusnya membantu Raja memakmurkan rakyat justru merencanakan propaganda untuk melancarkan akal bulus mereka.
Raja dalam dilema besar ketika putranya menangis dalam gendongan. Ia ingin membuat anaknya kuat dan mandiri hingga tak satu pun orang-orang munafik itu mampu menggoyahkannya. Tapi di lain pihak, dia tidak mau mengorbankan putranya yang masih balita dalam bahaya. Terlalu banyak musuh dalam selimut dan jika dia lengah, seluruh keluarganya bisa habis.
"Apa keputusan Anda, Tuan?"
Di belakang sang Raja berdiri satu-satunya orang kepercayaan Raja selain keluarga yang dia cintai, dia adalah Panglima perang yang selalu siap menjaga keamanan Raja dan keluarganya. Kediaman yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi mereka bisa saja menjadi kuburan karena tahta yang mengikutinya, sang Raja beruntung memiliki seseorang seperti sang Panglima dengan kesetiaan yang tak terbantahkan.
"Istriku melahirkan seorang putri. Putri yang sangat cantik bermata tajam."
Sang Panglima menganggukkan kepala singkat kemudian beranjak pergi, bergegas mengumumkan berita kelahiran tersebut. Meninggalkan Raja yang tengah memeluk putranya dalam diam, mengamati istrinya yang tengah memandang dengan tatapan penuh pengertian.
"Tidak apa-apa, aku tahu kau menginginkan yang terbaik untuknya."
"Maafkan aku, Istriku."
Permaisuri tersenyum lemah sebelum membalas, "Aku yakin dia akan tumbuh secantik diriku tapi memiliki ketegasanmu, jangan khawatir."
Malam itu, hanya Raja, Permaisuri dan sang Panglima yang mengetahui bahwa Jeon Wonwoo adalah seorang Putra Mahkota dan bukan sebaliknya.
Semua berjalan lancar, Permaisuri selalu memandikan Wonwoo dengan tangannya sendiri. Tak seorang pun tahu jati diri Wonwoo, tapi semua menjadi sulit ketika Wonwoo mulai bisa bicara dan mengerti tentang perbedaan antara seorang perempuan dan laki-laki. Dia mulai bertanya kepada sang ibu kenapa rambutnya panjang dan dikepang seperti seorang perempuan. Seorang pelayan menatap Wonwoo dengan bingung sebelum akhirnya sang Permaisuri menggendong Wonwoo menjauh dan menjelaskannya di ruang tertutup dengan suara pelan.
Tentu saja Wonwoo tidak bisa menerima semua itu dengan lapang dada. Dia berontak, Wonwoo akan mengikat rambutnya menjadi sebuah gelungan di puncak kepala saat suhu udara memanas, atau sesekali mengikat rok panjangnya di sekitar paha agar bisa berlari kencang.
Hal itu bukanlah masalah besar karena Wonwoo hanya berlarian di sekitar kediaman Permaisuri atau ruang belajar yang tidak jauh dari kamarnya sendiri. Pemberontakan itu semakin lama semakin hilang dengan sendirinya, Wonwoo menyadari bahwa semua yang telah dia jalani memiliki alasan. Tapi ketika suara Wonwoo mulai berubah, Wonwoo ketakutan dan sama sekali tak berani membuka mulutnya hingga membuat kedua orang tuanya khawatir.
"Ada apa, Sayang?"
Sang Permaisuri tengah memeluk anaknya yang sedang memasang wajah ketakutan, air mata mulai menggenang tapi Wonwoo menahannya dengan sekuat tenaga. Tangannya mengepal sepenuh tenaga hingga ujung jarinya memucat.
"Tidak apa-apa, katakan pada Ibu." Wonwoo menggeleng kuat, wajahnya menunduk dalam pelukan sang ibu.
"Tidak ada siapa pun di sini, kau aman Wonwoo jadi tolong katakan pada Ibu apa yang mengganggumu?"
Wonwoo mengangkat wajahnya lemah, menatap sang ibu dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan sebelum akhirnya memberanikan diri membuka mulutnya.
"Suaraku berubah."
Sang Permaisuri membulatkan matanya terkejut, dia tahu suara Wonwoo lambat laun akan mengalami perubahan tapi tidak seperti ini. Anaknya yang berwajah cantik dan manis ini memiliki suara yang begitu rendah dan dalam, berbanding terbalik dengan penampilan luar yang diperlihatkan.
"Oh ya Tuhan Wonwoo, bagaimana bisa?"
Permaisuri kembali merengkuh Wonwoo dalam pelukan. Kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang harus dilakukannya untuk Wonwoo. Tidak mungkin Wonwoo harus berlagak bisu hingga nantinya menunjukkan jati diri, terlalu menghabiskan banyak tenaga dan sang Permaisuri tidak ingin menyulitkan Wonwoo lebih dari yang sudah ditanggungnya.
"Tunggu, Ibu punya jalan keluar!"
Sang Permaisuri beranjak meninggalkan Wonwoo dan mengacak-acak isi lemari pakaiannya, mencari sesuatu dengan putus asa.
"Ah! Ini dia."
Permaisuri menyerahkan cadar dari satin serta kipas cantik ke dalam genggaman Wonwoo. Wonwoo tahu kegunaan benda-benda tersebut tapi tidak yakin dengan jalan keluar yang akan disarankan ibunya.
"Apa ini bisa membantu?"
"Kau bisa menyamarkan suaramu dengan ini, yang perlu kau lakukan hanya berbicara dengan pelan. Jangan berteriak atau tertawa dengan keras."
Wonwoo mengangguk lemah, baginya ini sedikit mustahil tapi masih lebih baik daripada tak ada jalan keluar sama sekali. Dan sejak saat itu, Wonwoo akan membawa kipas tangan pemberian ibunya kemana pun dia pergi. Hanya saat jamuan besar atau ketika sedang berjalan-jalan di luar kediaman kerajaan Wonwoo akan mengenakan cadar satin untuk menutup separuh wajahnya. Para pelayan memuji kecantikan Wonwoo yang semakin terpancar karena cadar tersebut menonjolkan mata Wonwoo yang indah.
Meski kehidupan yang Wonwoo jalani tidak mudah tapi semua berjalan sesuai rencana. Dia tumbuh dan belajar dengan tenang, terkadang jati dirinya yang harus disembunyikan menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam kehidupan kerajaan yang membosankan. Dia tidak pernah mengeluh dan tumbuh menjadi seseorang yang tenang, anggun tapi cerdik. Hanya tinggal menunggu waktu hingga Wonwoo menunjukkan jati dirinya diumur yang sudah menginjak kepala dua, tapi sepertinya harapan Wonwoo harus kandas karena terjadi pemberontakan besar-besaran di daerah semenanjung. Membuat kerajaan semakin dilingkupi dengan ketegangan dan kecurigaan.
"Wonwoo, dengarkan dan jangan melawan."
Wonwoo menunduk dan mendengarkan ayahnya dengan tenang. Mencoba mencerna dengan pikiran jernih dan tidak gegabah ketika sang Raja memintanya untuk menghadap saat fajar bahkan belum muncul.
"Karena keadaan semakin memburuk, aku tidak bisa membiarkanmu sendirian."
"Aku tahu cara memegang pedang, Ayah."
"Aku tahu kau mencerna pelatihan Panglima Kim dengan baik, tapi itu tidak cukup."
Wonwoo menaikkan pandangannya, menatap sang ayah penuh tanya. Seingat Wonwoo, tak ada orang lain yang tahu jati dirinya selain Panglima Kim, dan Wonwoo juga yakin ayahnya tidak akan mempercayai sembarang orang untuk menjaganya.
"Mulai sekarang, putra Panglima Kim akan menjadi pengawalmu. Dia akan datang dalam beberapa hari setelah menyelesaikan misinya menjaga perbatasan di wilayah Tenggara."
"Apa dia juga tahu kalau aku—"
"Tidak, lebih baik kau tetap merahasiakannya. Meski dia anak kandung Panglima Kim tapi aku belum bisa mempercayainya."
Wonwoo menghela nafas pelan, dalam hati sempat merasa bahagia karena akan memiliki seorang teman. Tapi jika dia harus tetap merahasiakan jati dirinya, itu berati Wonwoo harus menjaga tingkah laku serta membuat batas di antara mereka agar tak menimbulkan kecurigaan.
"Aku mengerti."
Yahoooo~~ (((^^)))
