Mencari di antara tumpukan mayat-mayat amanto yang baru mereka kalahkan, Katsura dan Takasugi dengan khawatir mencari-cari Gintoki.

Mereka ingat tembakan asing tiba-tiba barusan, dimana Gintoki mendorong Takasugi mengenai Katsura, menjatuhkan keduanya sekaligus bersamaan dengan menghindarkan mereka dari meriam tersebut.

"Gintokii! Oii!" seru Katsura. Takasugi melempar pandang ke sekelilingnya dengan lelah. Tatapannya berhenti di salah satu tumpukan reruntuhan kapal, ada anak kecil di sana.

Adanya anak kecil di medan perang memang aneh. Namun yang lebih aneh lagi adalah anak itu memakai pakaian putih kelonggaran. Juga rambutnya yang perak berantakan, untuk beberapa alasan terasa akrab di mata Takasugi.

"Zura, ke sana," Takasugi memimpin jalan. Terlepas dari siapa anak itu, meninggalkannya sendiri di lahan bekas pertempuran ini tentunya tidak mungkin.

Katsura dan Takasugi berdiri di depan bocah itu, yang mengucek mata dengan ekspresi malas familiar. "Yo, Takasugi, Zura," sapanya, suara anak kecil yang berasa seperti nostalgia.

"Gi, Gintoki? Kenapa?" keduanya kehabisan kata-kata.

"Eh?" di sisi lain, anak itu juga seperti baru sadar dengan kondisinya, memeriksa kedua tangannya dengan bingung. "Wah, ini seperti yang terjadi pada Shouyo dulu." Gintoki celingukan, menoleh ke kapal yang tadi menembakkan meriam, dimana Tatsuma sudah membelahnya jadi dua.

"Tunggu, apa? Sensei?" ulang Katsura dengan gagap, kurang yakin dengan pendengarannya.

"Sensei pernah mengalami hal seperti yang terjadi padamu sekarang?!" Takasugi yang pembawaannya tenang ikutan rada-rada histeris.

"Yup," Gintoki dengan datar mengiyakan. "Pertama, bantuin aku melepas pelindung besi ini, gila, berat banget, gimana aku bisa bergerak."

Sementara Katsura dengan hati-hati membantu Gintoki melepas piring besinya, Sakamoto bergabung dengan mereka, hanya tertawa bermenit-menit melihat versi kecil Gintoki sampai Takasugi memukul perutnya agar dia diam.

Pada akhirnya Gintoki hanya memakai haori putihnya yang cukup menutup sampai betis, membiarkan Sakamoto membawakan celana, piringan besi dan logam-logam pelindung lainnya. Dia berjalan melenggang bertelanjang kaki, memimpin paling depan.

"Jadi, gimana kau kembali ke tubuh aslimu?" tanya Takasugi sambil memperhatikan bahwa Gintoki bertingkah seperti tubuhnya terlalu ringan.

"Menunggu," jawab anak itu singkat.

"Menunggu?" tiru Takasugi, mengharapkan penjelasan lebih detail.

"Menunggu." ulang Gintoki, mata merahnya yang sayu sekilas berkelip, seolah memperkirakan reaksi lanjutan lawan bicaranya.

"Iya, menunggu, berapa lama, hah?!" geram sang komandan Kiheitai. "Kau sengaja kan?!" kewibawaannya langsung menguap kalau berurusan dengan teman-teman masa kecilnya.

"...Hm," Gintoki tersenyum kecil. Sesekali melompat kecil dalam langkahnya. "Waktu itu Shouyo hanya sekitar 3 hari atau seminggu, aku lupa. Tapi Shouyo itu kan monster, siapa yang tahu berapa lama efeknya pada tubuh yang berbeda."

"Monster? Nah, kurasa kau juga memenuhi kualifikasi untuk julukan itu, Kintoki," sela Sakamoto.

'Monster dan anak monster tidak ada bedanya.'

Gintoki tiba-tiba terdiam untuk sesaat, sebelum kembali melanjutkan lompatan-lompatannya sambil membalas pernyataan Sakamoto, "Jangan sembarangan ngomong, Tatsuma. Ogah banget, lagian tu orang beda level dengan kita-kita." Tapi Katsura yang melangkah hampir sejajar dengannya bisa melihat sepersekian detik ekspresi suram di wajah Gintoki.

"Aku jadi heran seberapa kuat guru kalian itu. Bisa melahirkan murid-murid semacam kalian... Dia pasti luar biasa." Tatsuma kadang bertanya-tanya kenapa ketiganya seolah sepakat bahwa Yoshida Shouyo berada di level kekuatan jauh di atas mereka. Dan tanpa alasan yang jelas juga. Dia pun hanya bisa menyimpulkan bahwa dia hanya bisa menilainya begitu bertemu langsung dengan pria itu. Kemudian entah sejak kapan dia juga ikut menanti-nanti hari dimana guru murid itu bertemu.

"Shouyo itu laki-laki, Tatsuma. Dan kami gak dilahirkan olehnya." sangkal Gintoki yang otaknya sedang nggak nyambung.

"Ahahaha...itu juga aku sudah tahu, Kintoki." sahut Sakamoto.

"Cih," Gintoki membuang muka. "Gimana menurutmu, Zura?"

"Bukan Zura, ini Katsura." komentar singkatnya tidak bermakna apa-apa selain membenarkan nama.

"Ngomong-ngomong, Gintoki. Jangan terlalu senang dengan tubuhmu sekarang. Kau akan kesulitan kalau kembali ke ukuran semula nanti." Takasugi mengingatkan.

"Siapa juga yang terlalu senang?!" protes Gintoki. "Aku harus menghindari pecahan pedang, bodoh!"

"Gak terlihat seperti itu," Takasugi menampilkan senyum mengejeknya, tidak percaya dengan alasan Gintoki. "Kalau iya, naik sini, aku bisa menggendongmu, pendek."

"..." Gintoki menatap Takasugi dengan tatapan ogah. "Siapa juga yang butuh bantu..." kata-katanya terhenti.

"Jangan memaksakan dirimu, Gintoki, saat ini fisikmu hanya anak kecil," tegur Katsura.

"Jangan terlalu meremehkanku, Zura." Gintoki kecil menyeringai, "Kalau fisik anak kecilku seperti yang kau pikirkan, aku tidak ada di sini sekarang." dengan begitu dia meneruskan langkah.

"Apa Kintoki sekeras kepala itu di masa lalu?" tanya Sakamoto, berbisik pada Katsura.

"Bukannya dia memang selalu begitu, bahkan di masa sekarang." jawab Katsura singkat. Takasugi menatap diam-diam pemandangan medan perang di hadapannya, teringat sesuatu secara tiba-tiba.

'Untuk hidup, untuk bertahan hidup, dia dipaksa untuk menjadi lebih kuat.'

Saat itu Takasugi tidak terlalu memikirkannya. Toh kebanyakan kata-kata Shouyou janggal untuk orang yang belum mengenalnya.

"Woi, napa malah pada bengong?!" Gintoki yang berjarak sekian meter dari mereka menolehkan kepala. "Cepetan balik ke markas, gak lapar apa?" Katsura, Takasugi dan Sakamoto bergegas menyusul langkah anak itu yang belakangan jadi terlalu lincah.

Sampai di markas, Gintoki disambut tatapan heran para Jouijishi. "Siapa sih anak ini?" pertanyaan itu terpampang jelas di wajah mereka.

Tersenyum jahil, Sakamoto melempar peralatan Gintoki yang dari tadi dibawanya pada Katsura, dia sendiri berdiri di samping Gintoki, menepuk-nepuk kepalanya dengan sebelah tangan. "Lihat, lihat, bocah ini mirip Gintoki bukan? Coba pikir, kemungkinan apa yang dilakukan Shiroyasha tengah malam?"

"Hah, dia anak haramnya Gintoki-dono?" gumam orang-orang.

"Masa? Di umur semuda itu Gintoki-san sudah..."

Perempatan siku-siku imajiner tercetak jelas di dahi Gintoki, menjatuhkan Sakamoto dengan sekali tendang, dia mengacungkan pedangnya pada para prajurit Joui yang langsung mundur. "Menurut kalian siapa yang sedang berdiri ini?"

"Gintoki-san...kan ya?" Kurokono angkat bicara saat yang lain mematung diam. "Tapi bagaimana...?"

"Kalau masih gak percaya, maju sini. Beradu satu atau dua kali pedang kayaknya bisa jadi bukti?" aura menakutkan Gintoki membuat mereka memilih tidak berkomentar lebih banyak.

"Temperamenmu memburuk, Shiroyasha." Itu Takasugi yang maju. "Ayo beradu satu atau dua kali pedang denganku."

"Takasugi!" tegur Katsura tidak setuju.

"Boleh juga," Gintoki nyengir, memasang kuda-kuda. Takasugi mengambil jarak yang cukup dan memasang posisi yang sama.

Trang! Keduanya saling membenturkan pedang. Takasugi menyesuaikan titik fokusnya, dia biasa bertarung melawan Gintoki yang hampir sama tinggi dengannya.

"Keren, Komandan seperti pelatih dojo!" komentar salah satu anggota Kiheitai melihat perbedaan tinggi keduanya.

"Hahaha, sepertinya itu memang Shiroyasha-san, siapa lagi bocah yang bisa mengimbangi gerakan Komandan!" tanggap yang lain.

"Nah, ini sudah lebih dari satu atau dua kali," Katsura melerai Gintoki dan Takasugi, menyeret keduanya masuk ke markas untuk perawatan dan istirahat.

Sakamoto memperhatikan bagaimana Gintoki langsung mengambil posisi berbaring di lantai dan memejamkan matanya, jatuh dalam tidur yang nyenyak dengan cepat.

"Zura, apa tidak apa membiarkannya langsung tidur gitu?" tanya Sakamoto, beralih pada Katsura yang sedang menempelkan beberapa koyo ke punggung Takasugi.

"Yeah, letakkan saja air di dekatnya," instruksi Katsura. "Selain itu, bersihkan luka luarmu, Sakamoto."

Takasugi memainkan jarinya selagi menunggu Katsura selesai. "Kau kelihatan gelisah," gumam Katsura. "Kau mengajaknya duel barusan untuk menghilangkan keraguan rekan-rekan kita yang lain kan."

"...Ya," dengan berat Takasugi membenarkan. "Aku harus menyesuaikan ketinggiannya di beberapa pukulan pertama, tapi dia tidak." ujarnya pelan. "Dia menghadapiku tanpa kesulitan dari pukulan pertama, dengan tubuh begitu..."

"Itu mengganggumu?" tanya Katsura. "Kalau dipikir benar juga... Kita biasa melawan amanto yang ukurannya lebih besar sih, tapi sensasinya tentu berbeda ketika melawan manusia,"

"Hahaha, Takasugi cuma tidak biasa dengan musuh yang lebih pendek bukannya? Karena biasanya selalu..."

"Kelihatannya kau terlalu lelah hari ini, Tatsuma. Kenapa gak coba tidur saja?" Takasugi melotot padanya dengan suara dingin, seolah dia akan mencincangnya tanpa suara.

"...Ahaha, oke, oke, aku akan tidur." tertawa lirih, Sakamoto beringsut ke samping Gintoki.

"Tapi, kalau begitu, bukannya, mungkin..." Sakamoto bergumam tidak jelas, "Dia sudah biasa bertarung melawan orang dewasa saat masih anak-anak?"

"Lagipula," lanjut Sakamoto. "Bukannya caranya memegang pedang agak terlalu mudah? Anak-anak biasanya hanya menenteng pedang kayu kan? Tapi dia dengan santai mengayunkan pedang asli seperti tidak ada perbedaan berat."

Katsura tercenung, "Soal itu, dia memang sudah membawa-bawa pedang asli sejak dulu. Kelihatannya Sensei mengizinkannya begitu."

"Hoo," Sakamoto dengan iseng mengacak rambut Gintoki yang tidur membelakanginya.

Katsura dan Takasugi terdiam, lalu ruangan itu tiba-tiba saja menjadi hening untuk beberapa menit. Keduanya dari awal tahu ada beberapa hal aneh pada Gintoki yang sepertinya sangat dipahami Shouyo, tapi mereka tidak tahu penjelasannya. Dan tanpa disadari, alih-alih mencari tahu, mereka malah terbiasa dengan itu.

"Ah, aku akan memanaskan soba." Katsura berdiri.

"Tunggu," Takasugi menarik tangan Katsura, membuatnya kembali duduk. "Kenapa kau gak beresin dulu luka di lengan kananmu?"

•~•

Shouyo dan Gintoki berjalan melalui pinggiran medan perang. "Sembunyi, Gintoki," Shouyo menariknya ke bawah pohon ketika melihat beberapa amanto berjalan ke arah mereka.

"Kenapa harus lewat sini, sih?" gumam Gintoki berbisik.

"Nah ya, inilah jalan yang mungkin tidak sedang dilacak Naraku." jelas Shouyo sambil merapatkan ikatan tali capingnya.

"...Oh," Gintoki mengangguk bosan. Para amanto itu lewat tanpa menyadari keberadaan mereka.

"Gintoki, kau tahu senjata yang belakangan ini populer dalam perang? Para amanto sedang doyan menggunakan meriam Shota. Itu akan mengubah wujud orang dewasa kembali jadi anak-anak." tutur Shouyo saat mereka kembali melanjutkan perjalanan.

"Apa untungnya mengusili orang separah itu?" cetus Gintoki.

"Menjadi anak-anak dalam situasi perang, orang normal akan panik," Shouyo menggerakkan tangannya, seperti ketika menjelaskan di depan kelas. "Bayangkan tanganmu yang mengecil, pedang akan terasa berat. Pakaian besi juga akan menyulitkan bergerak. Anak-anak lebih mudah mati dengan satu atau dua infeksi, mereka bahkan sulit bertahan dari demam dan dehidrasi. Daya tahan menurun drastis." paparnya panjang lebar.

"Wah, bahaya juga." Gintoki bergidik. "Sulit ya, menjadi anak-anak."

Shouyo mengetuk kepalanya, tidak terlalu keras untuk membenamkannya ke tanah. "Kau itu juga anak-anak." Shouyo melirik ke kiri, menyadari kilatan cahaya tiba-tiba. Itu meriam yang diaktifkan otomatis dengan mengatur timing. "Awas, Gintoki!" dengan scene yang mirip dengan bagaimana Gintoki mendorong Takasugi, Shouyo melakukan hal yang serupa bertahun lalu.

Asap melingkupi Shouyo untuk beberapa saat, dan saat perlahan menipis, Gintoki melihat sosok gurunya lenyap, digantikan tampilan bocah yang paling hanya 2 tahun lebih tua darinya.

"Sho...Shouyo?" Gintoki menghampirinya dengan gugup. Mengabaikan pakaiannya yang kelonggaran, Shouyo yang kini memiliki mata tanpa cahaya tiba-tiba saja malah menarik pedangnya.

"Siapa kau?" gumamnya dingin, tanpa kepercayaan pada orang lain.

Gintoki diam tak bergerak, sebelah tangannya memegang gagang pedang, siap menghunuskannya jika Shouyo melanjutkan perlawanan. Keduanya diam begitu sampai bermenit-menit, pada batasnya Gintoki mengambil langkah, menjatuhkan pedangnya.

"Aku tidak berniat menyerang," tegasnya. "Uh, apa dulu aku securiga itu juga ke orang?" keluhnya. "Lagian Shouyo! Tidak hanya jadi anak kecil, kenapa otakmu ikutan direset juga?!" sergahnya kesal, tidak peduli meski Shouyo maju selangkah lebih dekat ke arahnya masih dengan tatapan dingin.

"Tidak berniat menyerang?" ulang Shouyou, tertegun sejenak mengamati sekeliling. "Mana kayu tempatku biasa diikat?"

"Hah, siapa yang melakukan hal semacam itu padamu?" tanggap Gintoki.

"Penduduk desa..."

Gintoki terdiam, sadar bahwa Shouyo sedang berbicara tentang masa kecilnya. "Baiklah... Kalau begitu ayo lari sekarang, dari para penduduk desa itu." Gintoki mengikuti jalan cerita Shouyo.

"Jadi siapa kau?" Shouyo mengerjabkan mata merahnya. "Dan dimana ini?"

"Daripada itu, bereskan bajumu. Apa aku boleh tertawa?"

•~•

"Gintoki," itu suara Katsura yang memanggil.

"Oi, bangunlah. Kau bahkan belum minum dari siang tadi. Akan repot kalau anak-anak sepertimu dehidrasi di tengah suasana begini." Katsura bersikeras membangunkan rekannya.

"...Apaan, ternyata Zura." Gintoki setengah membuka matanya. "Jam berapa sekarang?" sambil duduk, dia meraih wadah berisik air yang diletakkan di sampingnya.

"Hampir malam, mungkin sekitar pukul 6. Bagaimana rasanya tubuhmu?" ada kekhawatiran tersirat di sorot matanya.

"Hm, begitulah. Mana si Takasugi?"

"Apanya yang begitulah? Dan Takasugi sedang patroli di sekitar. Harusnya dia sudah kembali sekarang..."