"Sasuke-kun, lihat! Kau akan terlihat tampan dengan tuxedo ini."

"Ah, tidak, Sakura-chan! Teme, coba kau lihat yang berwarns jingga itu!"

"Naruto! Kau mau membuat para tamu Sasuke-kun buta karena jas yang terlalu terang itu?"

"Heh, dari pada pilihanmu. Kau mau membuat Teme terlihat seperti banci dengan warna merah muda?"

"Apa kau bilang?"

"Seperti banci"

"APA? Awas kau Naruto! Kau tak akan mendapatkan jatah makan siang dariku hari ini!"

"Eh, EH—SAKURA-CHAAAAAAN!"

.

Disclaimer: All character belong to Masashi Kishimoto. But this story purely mine. I don't take any profit from this work. It's just because I love it.

Warning: AT, miss-typo, miss-OOC(?), purely friendship Team-7. Jadi, kalian tidak akan mendapati pair romance antara NaruSakuSasu disini. It's about their friendship and their relation each other.

Side storyof Trois (I, Both, Us!)—akan lebih baik dibaca prekuelnya dulu supaya bisa lebih dapet feel friendship mereka

©LastMelodya

.

Trois

Chapter 1: Sasuke's Wedd

.

Sun and rain, so different. Yet, only by working together do they create harmony and life,—Fa Zhou (Mulan II)

.

"Aku ambil yang hitam saja."

Kedua kepala beda warna yang tengah berdebat tanpa kenal usia itu segera menghentikan kegiatannya. Naruto dan Sakura menatap Sasuke dalam-dalam dengan pandangan yang sulit diartikan, setelah akhirnya sama-sama mendecih pelan.

"Cih, apanya yang meminta bantuan kalau gitu."

"Poor you, Sasuke-kun."

Sedangkan yang disindir hanya mendelik pelan kearah mereka berdua, dan tanpa merasa bersalah sedikit pun, ia melangkah pergi menuju kasir untuk membayar pesanannya.

Keduanya akhirnya hanya pasrah mengikuti sahabatnya itu. Menyusuri lorong penuh dengan berbagai macam baju pengantin yang begitu indah. Bangunan khas kerajaan klasik mendominasi butik sederhana di perbatasan antara kota Suna dan Konoha ini. Sakura yang merekomendasikannya. Dulu, saat ia masih bersama Gaara, pemuda itu sering mengajaknya pergi ke Suna dan melewati butik ini. Melihat koleksi baju-baju pengantin indah yang dipajang di depan kotak kaca bening, membuat gadis itu ingin sekali memasukinya.

Dan sekarang, keinginannya itu pun terwujud.

Namun, ia harus menerima bulat-bulat kenyataan bahwa ia pergi ke tempat ini bukan untuknya. Namun, untuk sahabat baiknya.

Sasuke.

"Kukira kau akan membelinya bersama Ino, Teme."

Sayup-sayup gadis itu mendengar percakapan antara kedua sahabat baiknya. Emerald-nya berpendar, menerawang pada setiap gaun yang terpajang di sekelilingnya.

Sebagai seorang wanita normal, pastilah ia memimpkan sebuah gaun pengantin indah. Yang nantinya akan terpasang pas pada tubuh rampingnya. Ditemani oleh seseorang yang ia cintai disebelahnya.

Ah, betapa indah impiannya itu.

Namun Sakura tersenyum kecut. Hei, itu adalah mimpi yang aneh. Mimpi yang entah kapan akan terwujud akhirnya. Bahkan, kekasih saja ia tak punya.

"Sakura?"

Gadis itu menoleh cepat keasal suara, di dapatinya Sasuke yang sudah berdiri tepat di belakangnya. "Ya, Sasuke-kun?"

"Aku sudah selesai." Jawab pria itu pelan.

Sakura tersenyum tipis, kemudian mengangguk pelan dan segera melangkah mendekatinya. "Pulang?"

"Bukankah kita memiliki jadwal khusus hari ini, Sakura-chan?" sang pria bermata sapphire muncul dari arah punggung Sasuke. Tersenyum lebar kearah Sakura.

"Hn. Makan es krim seharian."

Dan setelah itu, yang Sakura rasakan adalah genangan air pada kedua matanya yang seakan siap tumpah saat dirasa kedua tangannya digenggam pada waktu yang bersaamaan oleh kedua pria di sisinya.

"Tak ada yang perlu ditangisi, Sakura." Bisik Sasuke pelan.

"Masih ada aku, Sakura-chan."

Bulir-bulir air itu pun mengalir. Membasahi kedua belah pipi sang gadis yang memerah. Kedua tangannya mencengkeram erat telapak tangan dalam genggamannya masing-masing.

"Kau bilang seperti itu—" Sakura terisak. "kau bilang seperti itu, padahal setelah ini kau juga akan meninggalkanku, Naruto."

Ada yang bilang, hati wanita itu lebih lembut dibandingkan kapas. Ada yang bilang, mereka hidup dengan lebih banyak air mata di bandingkan para adam. Ada yang bilang, mereka lemah.

Sakura tahu, diantara Naruto dan Sasuke, ialah yang lebih sering menangis—tentu saja. Lalu, biasanya mereka berdua akan mencak-mencak pada siapapun yang telah membuatnya menangis. Naruto bahkan akan menghajarnya jika itu perlu.

Sasuke lain lagi, pria itu memang tak seberisik Naruto. Ia menjadi pihak penenang, yang akan menemani Sakura hingga tangisannya reda. Memeluknya sampai malam tiba dan kantuk mendera.

Sakura tahu, hampir sebagian hidupnya sudah terisi oleh kebersamaan mereka. Sepuluh tahun terakhir ini. Dan sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ia ingat ada masa dimana mereka bertengkar mengenai hal-hal kecil. Naruto yang selalu ingin mencolok, seolah tak pernah akur dengan Sasuke yang tenang. Jika sudah seperti itu, ialah yang akan menjadi pihak penengah. Tak jarang ia tak memihak siapa pun. Tak Naruto, tak juga Sasuke. Ia lebih sering memberi gagasan baru yang mau tak mau harus disetujui keduanya. Dan Sakura senang akan hal itu.

Ia merasa, seolah ia menjadi si langit—

—yang telah berhasil merengkuh matahari dan hujan secara bersamaan.

Naruto dan Sasuke adalah kelemahannya. Namun mereka jugalah kelebihannya.

Mereka begitu berbeda. Namun jika bersama-sama, akan memberikan sebuah harmoni di dalam hidupnya.

"Tak ingin kedalam, Sakura-chan?"

Sakura mengerjap. Merasakan air mata kembali mengalir pada belah pipinya. Tak disambutnya pertanyaan Naruto. Namun tak pelak, ia merasakan telapak tangan besar nan hangat itu menyentuh wajahnya—menghapus genangan air disana.

"Mereka sudah resmi. Barusan saja. Harusnya kau melihat bagaimana kakunya Sasuke mencium seorang wanita, Sakura-chan."

Sakura dapat merasakan Naruto terkekeh pelan disebelahnya. Namun ia bergeming. Kedua binernya masih menerawang ke depan sana. Entah sudah berapa lama ia disini, berada ditaman belakang keluarga Yamanaka sendiri. Sebelum akhirnya Naruto datang menghampiri.

Ia tak mengerti, bagian mana yang terasa sakit. Ia meyakini diri sendiri bahwa ia bukanlah seperti seorang gadis yang ditinggal menikah oleh kekasihnya. Namun, ada perasaan sesak yang menjalar saat melihat Sasuke bersama Ino.

Perasaan yang sama saat ia melihat Naruto bersama Hinata.

Ia tahu ia egois. Ia sudah terbiasa memiliki keduanya. Dan ia tak mau berbagi pada siapa pun.

"Sakura-chan?"

Sakura menoleh, menangkap tatapan lirih Naruto. Wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya. Tak ada lagi ekspresi konyol dan cengiran rubah yang biasanya. Hanya sendu.

"Apa kau juga akan seperti ini di pernikahanku nanti?" lanjutnya lirih. Sebelah tangan ia ulurkan untuk menggenggam telapak tangan gadis di sebelahnya itu.

"Aa—"

"Kau tahu tidak Sasuke merasa tersiksa?"

Biner Sakura melebar sesaat. Kali ini ia menatap Naruto baik-baik, seolah menunggu ucapan selanjutnya dari sahabat pirangnya itu.

"Dan aku juga akan merasa seperti itu jika kau seperti ini, Sakura-chan." Lanjutnya seraya tersenyum samar.

"Naruto…"

"Kami—laki-laki, mungkin memang tidak mudah mengumbar kesedihan. Biar bagaimana pun juga kami ini tidak ingin terlihat lemah." Naruto melepaskan genggamannya, tangannya terangkat untuk menyentuh pipi Sakura dan mengelusnya pelan. "Tapi kami juga merasakannya."

Lagi-lagi air mata mengalir.

"Kau tahu, Sakura-chan? Bahkan semalaman aku terpikirkan tentang diriku tanpa kalian. Siapa yang akan membangunkanku nanti? Siapa yang akan menjadi partner main game-ku nanti? Siapa yang akan memasak makananku nanti? Siapa yang akan mengajariku pelajaran sulit nanti…"

"Masih ada Hinata, kan?"

Naruto menoleh lagi, kemudian kembali tersenyum. "Hinata mungkin memasak, tapi ia tidak akan memukulku jika aku tak bisa bangun. Hinata tidak akan menemaniku bermain game bersama. Hinata tidak akan mengajariku tentang hitungan perpajakan yang sulit karena itu bukan bidangnya."

Terdengar suara terisak.

"Lalu, aku memikirkanmu. Bagaimana jika kau menikah nanti." Naruto kembali menghapus genangan air matanya. "Bukankah rasanya lebih sulit untuk kami?"

"—sangat sulit."

Keduanya serentak menoleh kearah asal suara. Sasuke berdiri disana. Di sebelah pintu belakang rumah keluarga Yamanaka. Kemudian dengan langkah tenang, ia mendekat.

"Hidup itu berubah, Sakura." Ujar Sasuke pelan. Pria itu berdiri di sebelah keduanya sebelum akhirnya merengkuh Sakura ke dalam pelukannya. "Tapi kita tidak akan berubah."

Dan akhirnya Sakura mengerti. Ada beberapa hal yang berjalan statis atau pun berubah. Ada sesuatu yang akan bertahan, atau pun berpindah pada masanya.

Ia hanya terus meyakinkan diri, diantara perubahan-perubahan itu, lingkaran dalam persahabatan mereka akan tetap bertahan. Ia akan terus menjadi langit, juga bunga sakura. Ia akan terus memiliki Naruto dan Sasuke. Lepas dari semuanya.

"Dan malam ini, sepertinya aku akan menunda acara malam pertamaku." Ujar Sasuke melepaskan pelukan Sakura seraya mengacak helaian merah mudanya lembut.

"AH! Itu baru yang namanya sahabat, Teme!" Naruto mengepalkan telapak tangannya dan meninjunya ke udara. Membuat kedua makhluk di depannya tersenyum, mau tak mau.

Sekali lagi, Sakura meraih mereka berdua. Membawanya ke dalam pelukan ringkihnya. Dan berharap segalanya akan tetap seperti ini.

Terima kasih, Naruto, Sasuke-kun.

.

.

-FIN-

.

.

OMAKE

.

"Sial! Apanya yang 'menghabiskan malam bersama sahabat'. Pada akhirnya mereka memiliki bersama para gadisnya masing-masing."

Gadis berambut merah muda itu melangkah terseok-seok dengan gaun putihnya. Ia terus saja menggumam tak jelas diantara perjalanannya keluar dari pekarangan rumah keluarga Yamanaka.

"Bahkan mereka membiarkanku pulang sendiri. Astaga, aku baru mengerti susahnya hidup single tanpa mereka berdua."

Sakura berhenti di depan pagar. Kakinya terasa sakit akibat heels yang dipakainya hari ini. Jika sudah berada di dalam taksi nanti, ia bersumpah akan mencopotnya.

"Hei, Haruno."

Merasa di panggil, nama keluarganya dipanggil menoleh kearah asal suara.

Seorang pria berkuncir tinggi berdiri disana. Badannya tinggi dan tegap—tipe lelaki idaman. Raut wajahnya datar, namun, hei—ia tampan.

"Sasuke memintaku mengantarmu pulang."

Sakura masih berdiam diri di tempat. Menatap pria semampai itu dengan wajah bingung. Sebelum akhirnya merasakan sebelah tangannya di tarik paksa oleh pria itu.

Kalau tak salah, namanya Nara Shikamaru.

.

.

-End of This Chapter-

Author's note:

Hello, LastMelodya disini. Nah, chapter satu selesai. Ini akan menjadi threeshot yang setiap chapternya menceritakan pernikahan mereka bertiga.

Untuk chapter selanjutnya adalah Naruto's Wedd.

Maaf untuk segala kekurangan yang ada. Akhir kata, RnR?

LastMelodya