Naruto belongs to Masashi Kishimoto. untuk Saisaku eveeenttt! happy reading!
.
.
.
"Lupakan orang yang meninggalkanmu, tersenyumlah dan carilah yang baru."— Chihiro Yuki (Morning Sweet)
.
.
.
Hari itu memasuki penghujung musim semi saat pertama kali Sai (yang tidak sengaja) melihat teman semasa kecilnya sekaligus tetangganya itu menangis sesegukan di dalam kamar. Ia hanya berdiri di depan pintu kamar Sakura yang dibiarkan terbuka begitu saja, sambil berusaha mempercayai apa yang dilihatnya saat ini. Ia melihat Sakura; menangis sesegukan dengan posisi tengkurap, menyembunyikan kepalanya ke dalam bantal berbentuk hati. Sai memang tidak melihat air mata Sakura lantaran gadis itu menyembunyikan wajahnya. Namun isak tangis yang terdengar samar serta bahu yang berguncang membuat Sai yakin Sakura pasti sedang menangis sesegukan. Ia bukan tipe laki-laki yang mudah bersosialisasi dengan keadaan, jadi Sai hanya diam sambil menarik sebelah sudut bibirnya tanpa tahu harus melakukan apa.
Sebenarnya ia merasa sedikit menyesal karena niat awalnya datang ke rumah Sakura hanya untuk mengantarkan bolu cheesecake buatan Ibunya sembari menyapa Sakura, atau mengganggunya mungkin, atau juga membuat putri tunggal Haruno itu kesal. Tapi sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk menjahili Sakura sebab gadis itu tengah menangis entah karena apa. Sai merasa seperti orang bodoh karena berdiri di depan pintu kamar itu hampir 15 menit tanpa melakukan apa pun. Pria berambut hitam eboni itu kemudian menggaruk pipinya yang tidak gatal dan tersenyum canggung.
"Hai, Sakura."Ia menyapa gadis itu dengan suaranya yang sarat akan keraguan. Sakura yang awalnya tidak tahu jika ada eksitensi lain selain dirinya membuatnya mencoba untuk berhenti menangis, mengusapkan wajahnya pada bantal hati pemberian Mebuki beberapa tahun lalu dengan maksud menghapus air matanya. Itu suara pria yang sangat tidak asing di telinganya.
"Sai?" ujarnya sambil mengerutkan dahi. Wajah sembab dengan sepasang mata hijau itu menatap heran ke arah Sai yang hanya diam mematung di depan pintu kamarnya. Sakura mengernyit, ia menyadari sesuatu. "SAI?! Untuk apa kau di kamarku?!" Sakura baru sadar bahwa pria yang berada di kamarnya itu Sai—temannya yang sudah ia kenal hampir sepanjang umurnya itu. Dan lelaki yang sangat menyebalkan menurut Sakura itu kini sedang melihatnya menangis dengan ekspresi yang sama sekali tidak Sakura pahami.
"Tadinya aku ingin menyapamu," Sai berujar santai, memasukan sebelah tangannya ke saku sebelum melanjutkan, "tapi aku justru melihatmu menangis. Dasar gadis cengeng." Wajah Sakura memerah mendengarnya. Selain karena malu dan efek menangis—kini ia tersulut emosi berkat ucapan Sai yang memang selalu asal berbicara tanpa disaring terlebih dulu.
"Salahkan saja dirimu sendiri yang masuk ke kamar orang tanpa mengetuk pintu lebih dulu!" Sakura melemparkan bantal hati itu tepat ke arah Sai dan sukses mendarat di wajah tampan pria itu. Sakura menahan suara tawanya melihat ekspresi Sai yang bodoh-menyebalkan-tapi-sangat-imut itu. Sai mengangkat sebelah alisnya, dan membiarkan bantal hati itu jatuh ke lantai sambil sedikit meringis sebab bantal itu rupanya mendarat cukup keras mengenai wajahnya. Sai memang tak perlu meragukan tenaga Sakura yang sudah sejak kecil ikut kelas bela diri.
"Oke, itu salahku. Tapi aku baru tahu jika Sakura yang selama ini kukenal adalah seorang gadis yang cengeng." Sai tidak berbohong, ia mengenal Sakura selama tujuh belas tahun ini dengan perangai yang galak, suka memukul orang seenaknya serta … em, dan seorang fujoshi tingkat akut yang akan berteriak histeris bila melihat adegan tidak normal antara pria dan pria di depan matanya. Sai tiba-tiba saja ingat saat di mana ia mengantarkan Sakura ke supermarket beberapa minggu lalu dan gadis itu nyaris menjerit jika saja tak menyadari bahwa mereka berada dalam kerumunan orang ketika melihat dua orang laki-laki mendorong troli bersamaan dan saling melempar senyum. Sungguh Sai tidak mengerti apa yang disebut romantis dari tingkah itu—ah ia memang tidak pernah benar- benar mengerti bagaimana sistem kerja otak Sakura.
"Perempuan menangis itu wajar," Sakura mendengus geli. Kehadiran Sai membuatnya mulai melupakan sebab penyebabnya menangis seperti tadi. "Dan aku juga baru tahu jika Shimura Sai yang kukenal selama ini suka mengintip." Sai terkekeh, lalu mendekat pada gadis itu dan duduk di kasur milik Sakura.
"Aku hanya tidak sengaja melihat, itu salahmu yang membiarkan pintu tidak tertutup."
Sakura menggembungkan pipinya, memutar bola matanya malas. "Jangan membuat mood-ku menjadi lebih buruk Sai!" gadis itu berujar sembari bangkit dari kasur. Mebuki tidak akan marah jika ada seorang pria di dalam kamar Sakura—itu karena pria yang berada di dalam bersama Sakura adalah Sai, orang yang sudah mendapat kepercayaan dari Mebuki untuk menjaga putrinya yang emosinya begitu labil. "Kau pasti ke sini memiliki alasan 'kan?" Sai mengikuti Sakura bangkit dari kasur berseprai pink milik gadis remaja itu.
"Cheesecake. Ibuku menyuruhku mengantarkannya untuk bibi Mebuki." Sakura hanya membulatkan mulutnya, lalu meraih tangan Sai, menggenggamnya—membuat si pemilik mengernyitkan alis.
"Ayo kita memakannya bersama-sama." Sakura menarik pria itu sesuka hati, dan Sai hanya membiarkan tangannya ditarik oleh gadis itu. Sakura terlihat melupakan kesedihannya tadi, ia memang tipe perempuan yang mudah berganti-ganti mood.
"Aku sudah mencicipinya saat baru matang tadi," ujar Sai kala mereka menuruni tangga. Kamar Sakura berada di lantai dua, dan kini mereka menuju dapur.
"Please … jangan menolak Sai," suara itu terdengar berbeda dari Sakura yang biasanya—memang parau, namun terdengar jelas penuh harap, juga retak. Perempuan menangis bukan tanpa alasan—apa Sakura butuh pengalihan untuk saat ini? Sai tidak pernah mengerti jalan pikiran wanita, ia hanya cukup diam dan mengangguk pelan. Entah, mungin semacam ikatan batin seorang sahabat, Sai seolah bisa melihat retakan serta kesedihan Sakura.
"Ya, apa boleh buat."
.
.
.
Sai hanya mengamati Sakura yang sedang sibuk mengunyah cheesecake dalam mulutnya. Mereka duduk di meja makan, Sakura mengambil satu potong kue keju itu dan menaruhnya di piring kecil, sementara Sai tak berminat memakan lagi kue buatan Ibunya itu—memilih menemani Sakura dalam dia. Hening, hanya suara dentingan sendok yang bergesekan dengan piring yang memecah kebisuan.
Sakura mencoba untuk melupakan masalahnya yang membuatnya menangis tadi. Ia memaksa kerongkongannya untuk menelan bolu keju yang terasa begitu soft di dalam mulutnya. Rasanya perih, Sakura tahu ia memang ingin menangis saat ini, tapi tidak bisa karena kini ada kehadiran Sai di dekatnya. Selama ini, yang pria itu tahu adalah sosok Sakura yang kuat, tegar—jadi Sakura tidak ingin menunjukan masalahnya. Sai memerhatikan gadis itu sambil sesekali mengetukan jarinya di meja makan kayu. Ia menyadari ekspresi Sakura yang ganjil.
"Jangan kau pikir kau bisa lolos tanpa menjelaskan apapun, Sakura." Sai menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum, namun Sakura tahu itu bukan senyuman dalam arti yang 'bagus-bagus'. Perempuan itu menelan kuenya, menyambar segelas air putih dan menegaknya terlebih dulu.
"Maksudmu? Aku tidak memiliki masalah." Sakura membuang pandang, Sai tahu perempuan itu berbohong.
"Lalu, bisa kau jelaskan padaku mengapa kau menangis, Haruno?" Sai tersenyum, dengan senyum yang tidak mencapai mata, "aku bukanlah orang yang mengenalmu sehari dua hari."
Sakura menunduk kali ini, mengukir senyuman getir. Bertanya-tanya dalam hati apakah ia harus menceritakannya pada Sai atau tidak, "Bukan masalah penting—"
"Kau tidak akan menangis untuk hal yang tidak penting," potong Sai cepat. Sakura mendongak, menatap sepasang lingkar sekelam malam itu.
"Laki-laki tidak akan mau tahu masalah seperti ini, termasuk laki-laki sepertimu."
"Masalah cowok?" Sakura mengangguk ragu. Ia tahu bahwa Sai selama ini tidak mau tahu perihal masalah laki-laki yang hilir mudik dalam kehidupannya, sehingga Sakura tidak pernah bercerita mengenai cinta pada Sai, meski mereka sahabatan—juga satu sekolah.
"Kau tidak pernah tertarik masalah itu bukan?"
"Aku tertarik kali ini. Siapapun pria itu, dia orang yang hebat. Bisa membuatmu menangis," Sai memejamkan matanya, seolah menunggu Sakura untuk memperjelas ceritanya, ia tahu gadis itu sedang berpikir, dan Sai juga tak mengerti mengapa ia tertarik dengan kisah cinta Sakura kali ini.
"Tidak lucu Sai," Sakura kembali memotong cheesecake miliknya yang belum habis, "aku putus dengan pacarku," lanjutnya, Sai tersenyum.
"Sudah kutebak pasti seperti itu." Sai terkekeh, Sakura menelan kuenya jengkel.
"Seharusnya aku sudah tahu kau pasti hanya akan mengejekku." Sai menarik napas, matanya menatap Sakura penuh arti.
"Lanjutkan …."
"Aku tidak mau melanjutkannya jika kau hanya akan mengejekku." Sakura buru-buru menelan kuenya, rasanya memang enak—hanya saja tidak seenak perasaan hatinya saat ini.
"Aku tidak mengejekmu, hanya mengajakmu berbagi padaku," Sakura mengernyitkan alisnya bingung. Berbagi? Gezz, apa kepala Sai terbentur tadi? Pikir Sakura bingung. "Alasanmu putus dengannya?"
"Itu tidak penting a—"
"Menurutku itu penting." Sai tidak pernah ingin tahu seperti ini, Sakura benar-benar yakin pasti kepala pria itu terbentur tadi.
"Dia meninggalkanku, demi perempuan lain—em, bagaimana harus kujelaskan? Intinya seperti itu," ada nada getir yang tersirat di sana, Sakura terkekeh, ingin tertawa, namun air matanya mengalir. Sai melihat air mata itu jatuh dari sepasang lingkar hijau bening milik Sakura. Perempuan itu buru-buru mengusapnya.
"Mau kuberi tahu satu hal?" Sai menyenderkan tubuhnya pada senderan kursi, sedangkan Sakura mengernyit dan kembali menikmati kuenya, meski rasanya tenggorokannya perih.
"Apa?"
"Kau bodoh." Seharusnya Sakura tak melupakan sifat asli Sai yang menyebalkan meskipun laki-laki itu berpura- pura peduli seperti tadi.
"Aku memang bodoh," ia menopang wajahnya dengan pangkuan tangan yang bertumpu di meja, mengalihkan pandangannya ke arah jendela yang berada di samping kulkas, tepat di belakang Sai, melihat tanpa minat pemandangan di luar sana.
"Maka dari itu, berhenti untuk menjadi orang bodoh."
"Kau tidak pernah jatuh cinta, jadi kau tidak tahu bagaimana suka dan dukanya perasaan itu," ucap Sakura sinis.
"Kata siapa aku tidak pernah jatuh cinta?"
"Kataku. Kau tidak dengar tadi?"
"Kau salah. Aku pernah— mungkin saja pernah, hanya baru menyadarinya."
Sakura sudah tidak berminat menghabiskan cheesecake miliknya. Nafsu makanya sudah lenyap entah kemana. Perasaannya kini terselimuti mendung, mengingat bagaimana kisah cintanya yang berakhir begitu saja beberapa hari lalu—ia diputuskan secara sepihak oleh Uchiha Sasuke; pria tampan penuh kharisma yang menjadi incaran banyak kaum hawa dengan alasan karena Sasuke sadar hatinya telah bercabang dan ia tidak mau menyakiti Sakura lebih dari itu. Jadi akhirnya hubungan mereka berakhir. Namun tidak dengan sakit di hati Sakura. Jika ia bisa, ingin sekali Sakura menampar laki- laki itu atau menghajarnya dengan ilmu bela diri yang dimilikinya, sayang sekali Sakura keburu merasa seluruh fungsi sendinya lenyap kala pria itu mengatakan kata putus—Sasuke bilang, hubungan yang diawali dengan baik-baik harus putus secara baik-baik, tapi apakah itu termasuk putus baik-baik? Semua pria memang sulit dimengerti, tentang mengapa mereka bisa menyakiti hati perempuan dengan begitu mudah.
"Benarkah? Siapa perempuan itu?"
"Kau tidak perlu tahu." Sakura tertawa hambar, ia sudah paham mengenai sifat Sai yang memang menyebalkan.
"Jadi intinya, lupakan orang yang meninggalkanmu," Sai berujar, membuat dua pasang mata berbeda warna itu kini saling berpandangan, "tersenyumlah, dan cari yang baru." Sai mengambil sepotong cheesecake itu dan sebuah piring yang memang diletakan di atas meja, beserta sendok.
"Kau bilang tidak ingin memakan kue itu lagi?"
"Habiskan punyamu." Sai tidak menjawab pertanyaan Sakura, justru malah memerintah. Seolah mengerti, Sakura kembali memotong kuenya, menikmati kue itu tanpa harus sembari membereskan serpihan hatinya yang hancur berantakan.
"Mencari yang baru ya? Kau mungkin benar, aku tidak perlu terlalu larut menangis hal yang dibiarkan hancur begitu saja," Sakura menghela napas sebelum melanjutkan, "jadi maukah kau membantuku?"
"Membantu apa?"
"Kata orang obat patah hati ialah jatuh cinta lagi—jadi, mau menjadi obatku?" Sakura mengerling, mengulum senyum, ia melihat Sai yang tersedak oleh kuenya sendiri. Sakura merasakannya, perih di kerongkongan akibat sesuatu yang mengganjal itu seolah sirna entah kemana—kalau dipikir-pikir Sai memang benar. Lupakan orang yang meninggalkanmu dan jatuh cinta lagi? Ah mungkin itu bukan sesuatu yang sulit.
.
.
.
end
note; huhuhuhu maaf atas keababilan cerita ini, segala kesalahan dalam cerita ini murni karna saya. silakan flame, concrit di kotak review ya minna-san :3
