Bagian Satu

Matahari, Cermin, dan Para Pengkhianat

.

.

.

Alkisah, di suatu kerajaan nun jauh, hiduplah seorang yang teramat rupawan. Ia gemar berpakaian seputih salju. Keseluruhan penampilannya pun senantiasa berkilauan, layaknya matahari yang menerangi bumi.

Dia memberi kebahagiaan. Dia menawarkan kehangatan. Setiap manusia dan makhluk hidup di kerajaan tersebut sangat mencintai dirinya.

Kecuali satu orang ...

.

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

Animasi "BoBoiBoy" beserta seluruh karakter di dalamnya adalah milik Animonsta Studios/Monsta©

Fanfiction "Solar White" ditulis oleh kurohimeNoir. Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun atas fanfiction ini.

SnowWhite!AU. Maybe OOC. Untuk event #BBBTwistedFolktales #BBBDongengDunia

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

.

.

"Wahai Cermin, siapakah yang paling hebat, paling rupawan, paling berkilauan di seluruh negeri?"

Sosok berpakaian megah itu berucap di hadapan cermin besar seukuran tubuhnya. Bukan cermin biasa, ia adalah harta pusaka kerajaan yang telah berabad-abad usianya. Tanyakan apa saja padanya, dan jawaban yang akan didapat senantiasa kebenaran.

"Tentu saja," suara lembut terdengar dari sang Cermin, sedikit bergema seperti dari dunia lain yang sampai ke telinga, bukan seperti suara laki-laki maupun perempuan, bukan pula seperti orang dewasa maupun anak-anak. "Itu adalah Anda, Yang Mulia—"

"Apa yang kaulakukan?"

Suara lain menginterupsi jawaban jujur Cermin Ajaib. Sosok berpakaian megah berbalik dari sang Cermin, lantas menghadapi sang pemilik suara dengan senyum terkembang. Orang yang baru datang itu, seorang pria muda bermata tajam, dengan iris merah darah yang tampak mengintimidasi, masih meneruskan ucapannya.

"Bukankah seharusnya kau menemui guru beladirimu sekarang, Pangeran Solar?"

Solar, sang Putra Mahkota kerajaan saat ini, masih belum membiarkan senyum meninggalkan paras rupawannya.

"Pamanda Raja," dia berkata kepada pria berambut ungu tua di hadapannya. "Maaf. Aku akan segera ke sana."

Sang Raja bergeming mengawasi punggung kemenakannya yang beranjak menjauh. Hingga sosok itu menghilang di ujung lorong, barulah ia mendesah samar. Lantas ditatapnya cermin ajaib berukir indah. Saat ini, ia layaknya cermin biasa, yang memantulkan bayangan dirinya sendiri dalam balutan pakaian mewah dominan biru tua.

"Wahai Cermin, siapakah yang akan menjadi Raja terhebat di kerajaan ini?"

Ditanyakannya juga pertanyaan yang ia sudah bisa menduga jawabannya. Sampai beberapa tahun yang lalu, sang Cermin selalu memberinya jawaban yang sama, "Tidak lain adalah Anda, Yang Mulia Kaizo."

Itulah jawaban yang menjadi penentram jiwanya selama bertahun-tahun, bahkan ketika anak itu—sang Putra Mahkota—lahir enam belas tahun yang lalu. Namun, anak itu terus tumbuh dewasa. Makin bercahaya. Makin berkilauan. Sampai kemudian, jawaban sang Cermin berubah. Dan jawaban itulah yang juga didapatnya hari ini. Seiring dengan sosok 'calon Raja masa depan' yang bayangannya muncul di dalam cermin, menggantikan pantulan dirinya.

"Raja paling hebat, paling agung, paling bijaksana yang akan dimiliki negeri ini dalam beberapa tahun ke depan, tidak lain adalah Pangeran Solar."

Ya, bukan dirinya.

Bukan Kaizo.

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

"Aku memang keren! Aku memang genius! Aku memang hebat!"

Fang menatap datar kepada sosok berpakaian serba putih yang berputar-putar dengan senyum penuh percaya diri menghias wajah. Sosok yang—harus diakuinya dengan hati dongkol—paling populer di negeri mereka saat ini.

"Pangeran," berkata Fang. "Sudah cukup 'kan, mengagumi diri sendiri seperti itu?"

Solar berhenti berputar, senyumnya masih belum pudar. Dengan aksen-aksen warna emas di pakaian serba putihnya itu, ia memang menawan hati siapa pun yang melihatnya. Kemudian, tawa lembutnya berderai.

"Apa salahnya menghargai diri sendiri," ia berkata lugas, "Paman?"

Desah lelah terlepas dari Fang.

"Iya, iya." Jeda sedetik, sebelum netra beriris merah itu menajam. "Tapi sudah berapa kali kubilang? Jangan panggil aku 'Paman'! Umurku hampir sama denganmu!"

"Ha ha ha ... Aku cuma bersikap sopan. Kau 'kan memang adik dari Paman Kaizo. Jadi kau itu memang pamanku, Fang."

Fang hanya memutar bola mata.

"Terserah kau saja."

Dari balik kacamatanya, Fang menatap berkeliling. Mereka berdua kini tengah berdiri di sebuah tanah lapang, tepat di halaman belakang bangunan Istana nan megah.

"Hari ini Laksamana Tarung tidak bisa melatihmu," Fang berkata kemudian. "Sebagai gantinya, kita akan latih tanding hari ini."

"Hmm? Aku melawanmu?"

"Kenapa? Takut?"

Senyum Solar terbit kembali. Masih jenis senyum yang sama, yang menyiratkan rasa percaya diri tinggi. Terkadang, Fang merasa terusik tiap kali melihat senyum itu.

Padahal aku yang lebih kuat!

Pemikiran itu selalu memantik kekesalan di hati Fang. Apa pun yang dilakukannya, tetap saja, pemuda di hadapannya inilah yang lebih populer di mata semua orang. Dari pejabat, prajurit, dayang-dayang Istana, sampai rakyat biasa. Semua orang memuja Pangeran Solar.

Apa-apaan itu? Seolah-olah anggota keluarga kerajaan yang lain tidak ada artinya.

"Kaupikir di kamusku ada kata 'takut'?"

Ucapan sedikit angkuh itu kembali menggelitik hati Fang. Ia pun mendengkus spontan.

"Kalau begitu, coba kalahkan aku!"

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

Kaizo menyusuri lorong Istana, diikuti dua prajurit pengawal di belakangnya. Ia baru saja menghadiri pertemuan dengan para menteri di Balairung. Pertemuan yang biasa, di mana ia bisa memastikan bahwa semua orang masih tunduk kepadanya.

Namun, sampai berapa lama lagi? 'Ramalan' Cermin Ajaib itu makin mengusiknya dari hari ke hari. Seiring usia sang Pangeran yang terus beranjak dewasa.

"Hm?"

Pandangan Kaizo tertumbuk kepada satu sosok yang tengah duduk sendirian di dekat Taman Istana. Sosok yang mewarisi warna mata dan rambut yang sama dengannya. Sebagaimana darah yang mengalir di dalam urat nadi. Darah yang diturunkan dari ibunda mereka.

"Fang."

Panggilan Kaizo menyentak pemuda enam belas tahun itu sedikit.

"A-Abang?" ia tergeragap, sebelum akhirnya mampu menguasai diri kembali. "Maksudku, Yang Mulia Raja."

Seraya bangkit berdiri, Fang memberi hormat dengan takzim. Sementara, Kaizo memberi isyarat ringan supaya kedua pengawalnya memberi mereka sedikit ruang. Dua prajurit terpilih itu pun mundur, bersiaga pada jarak yang masih memungkinkan untuk melindungi junjungannya.

Kaizo mendekat ke ambang selasar yang membatasi lorong istana dengan taman. Ia memandang jauh ke arah bebungaan aneka warna. Namun, pandangannya tidak benar-benar jatuh di sana.

"Apa yang mengganggu pikiranmu?" Kaizo bertanya tanpa basa-basi.

Pertanyaan yang terlalu tak terduga, terlalu tiba-tiba, sehingga Fang kebingungan untuk menjawabnya.

"Itu ...," ragu tersirat di dalam sahutan Fang. "Laksamana ada tugas mendadak, beliau tidak bisa melatih Pangeran hari ini. Jadi, aku dan Pangeran hanya berlatih tanding saja."

"Hoo ..." Kaizo mengawasi sang adik yang terus mengalihkan pandang darinya. "Biasanya kau yang menang, 'kan?"

"Ya ..."

Fang menghentikan ucapannya dua-tiga detik. Kaizo menaikkan sebelah alisnya. Ia berpikir dirinya akan kaget jika mendengar bahwa akhirnya, hari ini, Pangeran Solar mampu mengalahkan Fang di dalam duel satu lawan satu.

"Hari ini juga aku yang menang."

Selama keheningan beberapa detik setelahnya, Kaizo mendekati salah satu tiang besar yang menopang serambi Istana. Kemudian bersandar ke sana dengan kedua lengan terlipat di dada.

"Lantas," ucapnya, "apa yang membuatmu gusar?"

Terkadang Kaizo benci melihat keraguan yang sering kali menodai sorot mata adiknya.

"Aku merasa," saat mengucapkan kalimat ini pun, Fang masih dibayangi keraguan yang sama, "Pangeran terus bertambah kuat. Dari waktu ke waktu."

"Semua orang begitu. Dan kau juga, bukan?"

Fang terdiam. Kali ini ia tidak lagi menolak bertatapan dengan sang kakak.

"Fang, mendekatlah."

Pemuda itu menurut. Hingga ia berdiri pada jarak dua langkah tepat di hadapan Kaizo.

"Kau tahu, apa yang membuat Pangeran Solar tampak begitu berkilauan?" sang Raja bertanya.

Fang hanya menggeleng.

"Selain memang cerdas, dia percaya diri dan tidak takut gagal." Kaizo menatap adiknya dalam-dalam. "Kecerdasan tak ada artinya tanpa kepercayaan diri. Rasa percaya diri tidak akan tumbuh jika seseorang terlalu takut akan kegagalan. Kau mengerti?"

Sejenak, Fang merasakan kehangatan di dalam hatinya. "Mengerti, Yang Mulia."

Senyum tipis yang sangat jarang diperlihatkan Kaizo, tampak menghias wajahnya. Sedikit sinis di mata Fang.

"Kau juga seorang pangeran," sang Raja masih melanjutkan ucapannya. "Kakakmu adalah Raja yang bertakhta saat ini. Ayah kita adalah Raja terdahulu, sebelum beliau mewariskan takhtanya kepada kakak tiri kita, yaitu ayah kandung Pangeran Solar."

Hanya sampai di situ ucapan Kaizo. Namun, Fang memahami kalimat-kalimat lain yang mungkin takkan pernah terucap. Ayah Pangeran Solar adalah putra Permaisuri. Begitu pula Pangeran Solar. Sedangkan dirinya dan Kaizo hanyalah anak selir.

Perbedaan yang berarti segalanya.

"Aku hanya memegang takhta untuk sementara, sampai Putra Mahkota layak dinobatkan sebagai Raja."

Ucapan Kaizo setelahnya terdengar diliputi kepahitan, setidaknya di telinga Fang. Kakak beradik itu saling pandang lama, saling mengerti tanpa kata-kata. Sampai Kaizo memberi isyarat supaya Fang mendekat selangkah lagi.

Sang Raja menegakkan tubuh, mencondongkan badan hingga bisa berbisik di telinga adiknya. Bisikan yang membuat dada Fang berdesir tajam.

"Kecuali jika kita melenyapkan dia."

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

Fang masih merasa seperti berada di antara mimpi dan kenyataan. Raganya berada jauh dari Istana, dan langkahnya menapaki jalanan setapak yang kadang curam, kadang terjal. Namun, hati dan pikirannya masih tak bisa meninggalkan tempat itu. Saat itu.

"Aku punya tugas untukmu."

Bahkan kata-kata Kaizo yang terus bergema di dalam otak Fang saat ini, masih membuatnya gemetaran.

Bagaimana bisa?

Bagaimana bisa Kaizo memberinya perintah seperti itu?

"Aku akan mengizinkan Pangeran Solar pergi mengunjungi tempat-tempat yang diinginkannya. Temani dia. Laksanakan tugasmu tanpa kesalahan."

Bagaimana bisa Fang melakukan hal seperti itu?

"... Fang?"

Bukankah ini sama artinya dengan pengkhianatan?

"Halooo ... Faaang?"

Tidak, tidak, tidak. Ini tidak benar!

"OI, FANG!"

"WAAAH—!?"

Solar tergelak ketika Fang terlonjak tiba-tiba ke belakang, hingga jatuh dengan bokong duluan menghantam tanah. Berkat sang Pangeran yang mendadak berteriak di depan wajahnya.

"Apa, sih?!" Fang bersungut-sungut spontan, sementara Solar masih betah menertawainya.

Meskipun kesal, pada akhirnya Fang ikut tersenyum tipis. Melihat sosok Solar yang tertawa lepas seperti ini, rasanya bisa menyembuhkan setiap hati yang terluka. Bahkan hati Fang yang memiliki niat jahat terhadap Solar sekalipun.

"Ngapain senyum-senyum?" Tahu-tahu Solar sudah berhenti tertawa, sementara matanya berkilat menatap Fang. "Aaah ... Aku tahu, kok, aku ini memang keren. Nggak usah memuji lagi, tapi terima kasih."

Fang mendengkus. Bahkan hewan-hewan di hutan yang sedang mereka jelajahi ini pun pasti akan setuju, betapa konyolnya omongan Solar tadi.

"Siapa juga yang mau memujimu?"

Solar memamerkan senyum berkilauan andalannya itu lagi. Diulurkannya tangan untuk membantu Fang bangkit kembali.

"Apa yang kaupikirkan?" tanya Solar begitu Fang sudah kembali berdiri tegak. "Serius banget kelihatannya."

"Bukan apa-apa."

"Hmmm ...?"

Mengabaikan rasa penasaran Solar, Fang meneruskan perjalanan. Solar segera menyamai langkahnya dalam waktu singkat, sementara mereka terus masuk lebih jauh ke dalam hutan.

Fang merasakan seluruh bagian tubuhnya otomatis lebih waspada daripada biasanya. Namun, Solar malah berjalan dengan santai sambil bersenandung. Pemuda yang hari ini pun mengenakan pakaian serba ungu itu, hanya bisa mendesah lelah.

Percaya diri sih percaya diri, tapi di medan seperti ini harusnya bocah itu lebih sadar diri, dong!

"Jangan khawatir, Fang. Aku bisa menjaga diriku sendiri."

Fang tersentak. Masih berjalan di sebelahnya, Solar kembali bersenandung kecil.

"Siapa yang khawatir?" Fang menyahut. "Daripada itu ... sebenarnya apa, sih, yang ingin kaulakukan di tempat seperti ini?"

Fang memandangi Solar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Niat sekali bocah itu hari ini. Pakaiannya masih didominasi warna putih seperti biasa, tetapi lebih 'sederhana' daripada biasanya. Baju putih, celana panjang paduan abu-abu dan jingga, masing-masing terhias aksen emas di sana sini. Begitu pula topi putih yang dipakainya dengan dimiringkan ke kiri. Ditambah kacamata gaya berwarna jingga, melengkapi keseluruhan penampilannya.

Masih mencolok untuk ukuran orang normal. Tapi percayalah, ini sudah termasuk 'sederhana' bagi seorang Solar.

"Ada yang ingin kucari di sini." Solar mengacungkan tiga jari tangan kanannya, terarah lurus-lurus ke lebatnya hutan nun jauh. "Dan memang hanya ada di sini."

"Oh ya? Sampai harus pergi ke hutan yang berbatasan dengan negara tetangga?"

"Hm-mm."

"Sungguh luar biasa, Yang Mulia Raja bersedia memberimu izin."

"Paman Kaizo memang sangat mengerti aku."

"Biar kutebak. Kau mau mencari bahan-bahan aneh lagi untuk risetmu?"

Solar tidak menjawab. Namun, cengiran penuh kepuasan yang ditunjukkannya setelah itu, sudah cukup untuk membuat Fang menghela napas panjang.

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

"Pangeran Solar?"

"Hm?"

"Aku mengerti tujuan kita berada di sini."

"Bagus kalau begitu."

"Tapi kenapa kau harus menipu para pengawal sampai mereka tertinggal jauh di belakang?"

Solar terkekeh dengan gaya angkuh khasnya, setengah berkacak pinggang.

"Soalnya merepotkan kalau ada mereka."

Sungguh kalimat paling tak bertanggung jawab yang bisa diucapkan oleh seorang Putra Mahkota. Fang hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Ya sudah," Solar berucap tegas. "Aku akan mencari tanaman langka itu di sini. Kau bisa pergi berburu atau apalah, terserah padamu."

Fang mengerutkan kening. "Kau tidak mau minta bantuanku untuk mencarinya?"

"Tidak perlu. Bisa kucari sendiri."

Sebelum Fang sempat membantah lagi, Solar sudah berbalik pergi. Fang hanya bisa mendesah lelah saat melihat sosok Solar menghilang di balik sesemakan.

"Dasar!" Fang bersungut-sungut sendiri.

Pemuda itu terdiam lama setelahnya. Di sekitarnya hanya ada pepohonan lebat. Yang menemaninya dari kesunyian hanyalah suara hewan-hewan liar yang terdengar jauh, kecuali beberapa serangga yang mungkin bersembunyi di balik dedaunan atau bebatuan.

Dia sendirian.

Pangeran Solar juga sendirian.

Fang menahan napas. Detak jantungnya menguat setingkat, kemudian menguat lagi. Ditariknya napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Sementara, satu kesadaran perlahan mengisi nurani.

Benar.

Barangkali inilah satu-satunya kesempatan yang dia punya!

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

Fang bergerak nyaris tanpa suara, meleburkan diri dengan bayangan, dengan seisi hutan yang kini seolah berpihak kepadanya. Mengikuti arah perginya Solar, tak butuh waktu lama sampai ia berhasil menemukan anak itu.

Pangeran Solar sedang berjongkok di dekat semak-semak. Mencari-cari entah apa di baliknya, dengan kedua tangan yang terlindungi sarung tangan kesayangan berwarna putih. Tak lama, pemuda itu berdiri kembali. Lantas berkacak pinggang sambil memandang berkeliling.

"Di sini juga nggak ada. Nah, sebaiknya cari di mana lagi sekarang ...?"

Fang, dengan konsentrasi penuh kepada targetnya, mampu mendengar setiap kata yang diucapkan Solar dengan jelas. Ia sendiri masih menyembunyikan diri dengan cermat di balik pohon besar. Pada jarak yang aman, tetapi juga sudah cukup dekat.

DEG!

Debaran menyakitkan itu sudah cukup memberitahu Fang, bahwa hati nuraninya masih menolak untuk melakukan ini. Namun, ia bersikeras untuk membungkam suara-suara memberontak di dalam dirinya.

Dia harus melakukannya. Untuk Kaizo. Dan untuk dirinya sendiri.

Benar.

Fang tidak mau terus menjadi bayangan Solar. Selama masih ada bocah itu, orang-orang yang berada di dekatnya tidak akan bisa bersinar!

Tenanglah, Fang. Ini mudah.

Fang berbicara kepada hatinya sendiri.

Sudah diketahui umum, anggota keluarga kerajaan ini secara turun-temurun mewarisi kekuatan tertentu. Termasuk Kaizo, dan juga Fang. Orang-orang di negeri ini menyebutnya sebagai 'kuasa'. Seharusnya Solar pun memiliki kekuatan semacam itu. Namun, hingga detik ini, kekuatan itu belum bangkit.

Saat ini, Solar tidak akan bisa melindungi diri, jika Fang memutuskan untuk menyerang dengan kuasa yang dimilikinya.

Di balik pohon besar itu, Fang mulai mengkonsentrasikan kekuatan yang mengalir di dalam dirinya. Partikel-partikel hitam berkumpul di sekitar pijakan Fang. Kemudian bertambah, terus bertambah hingga menyelimuti seluruh tubuhnya.

Tekad Fang sudah bulat. Dia tidak bisa mundur lagi.

"Gerakan Bayang," Fang berucap dalam bisikan.

Digerakkannya tubuh memelesat tepat ke arah Solar yang berdiri membelakanginya. Hanya dalam dalam dua-tiga detik, ia sudah berada di belakang punggung Solar, tanpa disadari oleh siapa pun.

Tusukan Jari Bayang!

Diserukannya nama jurus itu di dalam hati. Partikel gelap yang menyelubungi tubuh Fang bereaksi, bergerak sangat cepat, memadat dan memanjang dengan sisi runcing mengarah kepada Solar. Lantas tepat menusuk tempat yang diincar oleh Fang tanpa keraguan.

Namun, detik itu pula, Fang tersentak. Seluruh gerakannya terhenti. Partikel hitam yang merupakan wujud kekuatannya juga terhenti. Sementara, detak jantungnya kembali tak beraturan. Diangkatnya tangan kanan, yang ternyata gemetaran.

Pemuda itu terkesiap, refleks menatap ke depan. Tubuh Solar masih bergeming di tempat, dengan materi hitam menembus tubuhnya. Ketika kesadarannya telah penuh, Fang cepat-cepat menarik kembali Jari Bayang miliknya. Tubuh Solar pun jatuh di depan matanya, seperti dalam gerakan lambat.

Waktu Fang seolah nyaris terhenti, seiring kesadaran bahwa dirinya baru saja melakukan dosa tak terampuni.

Sepasang netra merah bergetar di balik kacamata. Menyaksikan tubuh kerabat dekatnya yang tumbang oleh tangannya sendiri. Lalu memudar, dan perlahan menghilang ...

"Hah?!"

Fang tersentak. Ia mengerjap, memastikan dirinya tidak tertipu mata sendiri. Memang benar, tubuh Solar benar-benar hilang begitu saja.

"Pembiasan cahaya."

Sekali lagi, Fang tersentak, lebih keras daripada sebelumnya. Suara Solar terdengar jelas dari balik punggungnya. Namun, ketika ia berbalik, tak ada siapa pun.

"Karena itulah, aku bisa menipu matamu. Seranganmu hanya mengenai bayanganku."

Lagi-lagi dari belakang. Fang berbalik secepat mungkin, tapi sosok Solar tetap tak tampak di mana pun.

"Menyerang dari belakang, dan langsung mengincar jantung, ya ..."

Dada Fang berdesir tajam. Sekali lagi, suara Solar terdengar di belakangnya. Kali ini lebih dekat. Lebih nyata.

Ini tidak masuk akal! Bagaimana ... Bagaimana bisa Solar bergerak secepat itu?!

"Kau kejam juga, Fang."

Suara Solar masih terdengar dari arah yang sama. Fang berbalik perlahan, dan segera menemukan Solar yang tengah berdiri tak sampai lima langkah di hadapannya.

"Sejak kapan?" Tatapan Fang menajam. "Sejak kapan kau tahu?"

Solar menghela napas samar. "Aku tahu hal seperti ini mungkin akan terjadi. Cepat atau lambat. Apa Paman Kaizo yang memerintahkanmu?"

Fang tidak menjawab. Namun, kekuatan yang masih menyelimuti tubuhnya menguat sekali lagi.

"Kau ..." Saat ini, bermacam-macam perasaan tengah berkecamuk di dalam diri Fang. "Kuasamu ... ternyata sudah bangkit. Kau menyembunyikannya dari semua orang?!"

"Hanya guruku, Laksamana Tarung, yang tahu," jelas Solar. "Aku meminta beliau tidak mengatakannya dulu kepada siapa pun, sampai aku benar-benar bisa menguasai kekuatan ini."

Fang menggeretakkan rahang. Berpikir tak punya pilihan lain, ia membiarkan kekuatannya meluap nyaris liar.

"Hentikan," Solar berkata. Tidak membentak, tetapi mengandung wibawa tersendiri.

"Aku ... sudah tidak bisa mundur lagi! Harimau Bayang! Serang!"

Kekuatan Fang mewujud dalam sosok harimau hitam bermata merah menyala. Makhluk itu langsung berlari ke arah Solar yang masih tenang-tenang saja. Sang Pangeran bahkan tak beranjak selangkah pun. Ia hanya menggerakkan tangan kanannya, tiga jari diacungkan ke arah Harimau Bayang. Cahaya berkumpul dengan cepat di ujung jari Solar, lantas ditembakkan ke arah makhluk bayangan itu.

Hati Fang tergetar. Harimau Bayang musnah begitu saja di depan matanya.

"Sayang sekali, Fang." Solar berkata tanpa pretensi apa pun di matanya, begitu pun di dalam nada suaranya. "Cahaya menciptakan bayangan. Dan cahaya juga yang mampu melenyapkan bayangan."

"Kuasa cahaya," ulang Fang. "Jadi itu kekuatanmu?"

Solar diam, sementara Fang mendengkus samar.

"Sayang sekali," kata Fang lagi. "Sepertinya aku tidak beruntung."

Ya.

Jika dilanjutkan, maka peluang Fang untuk menang, memang kecil. Meskipun begitu, Fang tahu, dia tidak bisa berhenti.

Solar tersentak ketika merasakan kekuatan Fang justru menguat. Di balik kacamata jingga, sepasang netra keemasan itu berkaca-kaca.

Padahal tadinya ia berharap Fang akan menyerah.

"Apa boleh buat." Solar memposisikan kedua telapak tangannya mengarah lurus-lurus kepada Fang. "Letupan Cahaya!"

Tepat ketika Fang hendak memelesat maju, cahaya dari tangan Solar sudah lebih dulu memancar terang, nyaris membutakan. Fang terpaksa menutup mata rapat-rapat, seluruh gerakannya terhenti. Dan ketika ia membuka mata kembali, sisa-sisa cahaya masih ada. Begitu pula kekuatan bayangan miliknya yang memudar, dan akhirnya menghilang.

Fang terpaku di tempatnya berdiri, cukup terpukul saat mendapati kuasa bayang miliknya sama sekali tak berdaya di hadapan kuasa cahaya Solar. Namun, sang Pangeran belum berhenti.

"Tembakan Solar Gerhana!"

Fang bisa merasakan aliran kekuatan yang luar biasa, ketika Solar menggerakkan kedua tangan dengan anggun di depan tubuhnya. Ia pun bisa melihat aliran cahaya yang begitu indah. Bagai matahari yang tertutup gerhana, tetapi energi luar biasa tetap tersembunyi di baliknya.

Tanpa sadar, Fang mundur dua langkah. Jantungnya menderu. Keringat dingin mengalir, seiring gemetar yang mulai merajai seluruh tubuhnya. Dia bisa mencoba lari, tapi di dunia ini tak ada yang bisa menandingi kecepatan cahaya.

Sampai di sini sajakah?

Fang mendengkus sinis, membiarkan seluruh tubuhnya melemas. Tidak berusaha melakukan apa pun lagi.

"Sudah menyerah?"

Fang tersentak. Ia membuka mata lagi, memandang ke depan lagi. Energi luar biasa yang menekan itu sudah tidak lagi terasa. Solar sudah menghentikan apa pun yang hendak dilakukannya tadi. Bahkan sampai detik ini pun, tatapannya yang terarah kepada Fang, masih tampak lembut.

"Apa yang kaulakukan?" Entah mengapa, kekesalan Fang justru terpantik. "Kenapa tidak diteruskan? Kau mengasihaniku?!"

Solar tersenyum tipis. "Aku hanya tidak punya alasan untuk meneruskannya—"

"Aku sudah berusaha membunuhmu!"

"Oh, ya? Aku tidak tahu soal itu."

"Kau—!"

Ucapan Fang terputus. Ia menggeretakkan rahang, sementara kedua tangannya terkepal erat.

"Fang ... Kau dan Paman Kaizo ... adalah satu-satunya keluarga yang masih kumiliki."

Fang terdiam. Ada rasa hangat mulai menyebar di dalam dadanya, walau masih saja terasa menyesakkan.

"Ya sudahlah."

Nada suara Solar mendadak ceria. Fang tidak bisa tidak merasa bingung.

"Kau pulang saja ke Istana. Katakan pada Paman Kaizo hal yang ingin dia dengar."

"Apa?"

"Kalau dia meminta bukti ... Hmmm ..."

Solar berpikir sebentar. Ia lalu mendekati Fang, dan tiba-tiba melepas kacamatanya. Belum hilang kekagetan Fang, Solar menjatuhkan kacamata itu, hingga jatuh menghantam batu besar di dekat mereka.

"A-Apa yang—"

Kata-kata Fang kembali terputus. Solar mengambil kacamatanya dengan tenang, lantas memberikannya pada Fang.

"Aku tidak akan memaafkan orang yang sudah merusak kacamataku!" seru Solar tiba-tiba sambil mengacungkan tiga jarinya ke arah Fang.

Fang pasang tampang datar seketika. "Kau sendiri yang merusaknya ..."

"Berikan itu pada Yang Mulia Raja." Solar mengabaikan ucapan Fang. "Dia akan berkata, 'Solar tidak mungkin membiarkan kacamatanya rusak, juga takkan membiarkan kacamatanya jatuh ke tangan orang lain. Kecuali jika dia sudah tidak ada di dunia ini.' Nah, seperti itulah."

"... Baiklah."

Fang menyimpan kacamata rusak itu ke dalam tas selempang kecil yang sejak tadi dibawanya. Saat ia kembali memfokuskan pandang kepada Solar, ternyata pemuda itu sedang memakai kacamata lain yang sama persis.

"Apa?" kata Solar ketika menyadari tatapan datar Fang terarah padanya. "Aku selalu bawa kacamata cadangan."

Fang menghela napas pelan, sempat mengulum senyum samar. "Lalu ... bagaimana denganmu?"

Ditanya begitu, Solar tersenyum lebar.

"Kebetulan sekali," katanya, "aku sedang ingin berpetualang."

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

"Pangeran Solar tidak mungkin membiarkan kacamatanya rusak. Dia juga takkan membiarkan kacamatanya jatuh ke tangan orang lain. Kecuali jika dia sudah tidak ada di dunia ini."

Fang sangat tergelitik ketika ia telah berada di hadapan kakaknya, dan kacamata rusak itu sudah berada di tangan sang Raja. Sedikit takjub ia, Kaizo benar-benar mengatakan hal yang sama seperti perkiraan Solar.

Pemuda nyentrik itu sungguh menakutkan.

"Katamu, kacamata ini jatuh ketika kalian bertempur?" kata Kaizo. "Baik. Kalau begitu, sekarang istirahatlah, kau pasti lelah."

"Ya."

Setelah memberi hormat, Fang segera undur diri. Di sepanjang perjalanan menuju biliknya, pemuda itu kembali teringat segala kejadian belum lama berselang. Tentang Solar, tentang pengkhiatannya, tentang pertarungan mereka yang berat sebelah.

Ternyata memang dirinya hanyalah bayang-bayang dari sang Pangeran.

Fang mendengkus samar. Mendadak pikirannya dipenuhi semua kenangannya tentang bocah itu.

"Fang ... Kau dan Paman Kaizo ... adalah satu-satunya keluarga yang masih kumiliki."

Ucapan Solar yang satu itu tak bisa lepas dari pikirannya. Bahkan dirinya yang seperti ini pun bisa merasakan betapa tulusnya Solar ketika mengatakannya. Karena itulah, kata-kata Solar mampu menyentuh hatinya.

"Solar," Fang bergumam. "Baik-baiklah, di mana pun kau berada sekarang."

.

.

.

Bersambung ...

.

.

.

* Author's Note *

.

Hai, haiii~! Apa kabar semuanya? \(^o^)

Kali ini Noir datang dengan fic untuk #BBBTwistedFolktales dengan lakon Snow White alias Putri Salju. Berhubung Noir lagi tergila-gila dengan Solar, kali ini dialah tokoh utamanya~ XD *applause*

Pembaca yang budiman udah pada tahu 'kan, di sini Solar, Kaizo, dan Fang berperan sebagai siapa aja di dongeng aslinya? uwu

Okeee ... Least but not last, tunggu saja kisah selanjutnya. ;-)

Oh ya, buat yang belum tahu event-nya, #BBBTwistedFolktales adalah event yang digagas oleh saya sendiri. Kalau ada yang mau ikutan, ayok ramaikan~! Di bawah ada penjelasan singkatnya, yah.

Ciao~! 😊👌

.

Regards,

kurohimeNoir

15.05.2019

.

.

.

Event "BoBoiBoy Twisted Folktales".

.

Ketentuan:

1. Mengambil konsep cerita dari dongeng-dongeng dunia yang sudah ada.

2. Genre fanfiction bebas.

Boleh sama dengan cerita aslinya. Boleh juga berupa parodi, atau diubah ke genre lain (misal cerita aslinya fluff, dibuat jadi angst, atau sebaliknya).

3. Masukkan 'twist' tertentu ke dalam fanfiction.

Boleh dengan mengubah karakter, genderbender, mengubah plot, atau bahkan mengubah ending, dsb.

4. Boleh one-shot maupun multi-chapter, selama dipublikasikan di dalam rentang waktu yang ditentukan.

5. Sertakan tagar #BBBTwistedFolktales dan #BBBDongengDunia di summary/keterangan disclaimer/Author's Note fanfiction kamu.

6. Boleh disatukan dengan event lain.

7. Event diadakan pada tanggal 9 Maret s.d. 9 Juni 2019.