悪ノ物語
=x=x=x=x=x=
The Evil Series (original) © Akuno-P/mothy
Vocaloid © Yamaha dan beberapa perusahaan lainnya
UTAUloid © Creator masing-masing
=x=x=x=x=x=
Rillianne Lucifen d'Autriche: Kagamine Rin
Allen Abaddonia: Kagamine Len
Arth Lucifen d'Autriche: Big Al
Anne Lucifen d'Autriche: Sweet Ann
Kyle Marlon: Kaito
Charttetto: Kasane Teto
Ney Futapie: Akita Neru
Elluka Clockworker: Megurine Luka
Gast Venom: Kamui Gakupo
Guumilia Clockworker: Gumi
Pico Clockworker: Utatane Piko
Shola: Suiga Sora
Sarah: Suiga Sara
Yvonne: Keine Ron
=x=x=x=x=x=
~悪ノ娘~
Semua orang, bahkan yang tinggal di daerah terpencil, mengenal Lucifenia, sebuah negeri yang sangat indah, makmur, dan damai. Negeri itu dipimpin oleh seorang raja yang sangat bijaksana, Arth Lucifen d'Autriche dan permaisurinya, Anne Lucifen d'Autriche. Lucifenia merupakan salah satu negara terbesar yang ada di dunia ini. Negara itu juga mempunyai hubungan baik dengan dua negara besar lainnya, Elphegort dan Marlon.
Akan tetapi, kebahagiaan dan kemakmuran rakyat Lucifenia itu hanya sampai ketika Raja Arth, yang kemudian disusul oleh Ratu Anne, meninggal dunia. Karena itu, putri mereka satu-satunya, Rillianne Lucifen d'Autriche, yang masih berumur 14 tahun, menjadi ratu di negeri tersebut. Lucifenia pun tidak lagi seperti dulu. Rillianne, yang menjadi seorang ratu di usianya yang masih muda, hanya memikirkan kemewahan untuk dirinya sendiri. Ia menarik pajak yang besar, tidak peduli itu rakyat kalangan atas atau kalangan bawah. Selain itu, orang-orang yang menentangnya pun akan dipenggalnya. Meski begitu, Rillianne tidak sendiri, ia mempunyai seorang pelayan―yang entah kenapa berwajah mirip dengannya―yang setia padanya, Allen Abaddonia.
.
.
.
Di atas singgasana yang mewah, aku duduk dengan angkuh. Tangan kananku memegang kipas bulu cantik berwarna kuning, sementara tangan kiriku menopang kepalaku. "Allen!" seruku, memanggil pelayanku yang setia. "Allen!"
Tap tap tap
Laki-laki berambut pirang itu akhirnya muncul di hadapanku. Ia lalu membungkukkan tubuhnya padaku dan bertanya dengan wajahnya yang datar seperti biasa, "Ada apa, Yang Mulia?"
"Huh, lama sekali kau, Allen." gerutuku.
Allen membungkukkan tubuhnya lagi, meminta maaf.
"Aku menginginkan seekor kuda!" ujarku setelah mendengus sebentar. "Sekarang, cepat carikan aku seekor kuda berwarna putih yang cantik!"
"…" Allen terdiam sebentar, seperti ingin mengatakan sesuatu.
"Ada apa?" tanyaku. Ya, tentu saja aku tahu, Allen yang seperti ini, pasti ingin mengatakan sesuatu padaku. "Katakan saja."
Allen menghela nafas sebentar dan bertanya, "Bukankah sudah ada Josephine, Yang Mulia?"
"Dia sudah tua," responku. "Dia tidak berguna lagi. Aku mau kuda baru yang masih muda dan kuat!"
"Tapi―"
"Kau mau melawanku, Allen?" tanyaku, menatap tajam Allen.
"… T-tidak…" jawab Allen pelan seraya mengalihkan pandangannya dariku, takut. Ia lalu membungkukkan tubuhnya dan berkata lagi, "Baiklah. Perintah Anda akan segera saya laksanakan."
"Bagus."
Tap tap tap
Setelah mengucapkan itu, Allen berjalan meninggalkanku, keluar dari ruang utama kastil ini.
"Hm," aku menyunggingkan sebuah senyum kecil, tersenyum puas. "Kau tahu, Allen? Ini adalah alasan kenapa aku paling menyukaimu di antara pelayan-pelayanku yang lainnya."
=x=x=x=x=x=
Tep
Allen kembali berdiri di hadapanku, di depan singgasanaku. Aku tersenyum, menunggu kabar yang akan diberikannya.
"Bagaimana?" tanyaku. "Kau sudah mendapatkan kuda baru seperti yang kuminta?"
"Saya sudah menemukannya, Yang Mulia," jawab Allen. "Tapi…"
Kata 'tapi' itu membuatku mengernyitkan dahiku, heran. "Apa maksudmu dengan 'tapi'?"
Allen menarik nafas sebentar sebelum akhirnya ia menjawabku dengan wajah datarnya. "Pemilik kuda itu, Pico, tidak menjual kudanya."
"Apa! ?" Spontan, aku berdiri dari singgasanaku, menatap Allen dengan kesal. "Apa kau sudah mengatakan pada orang itu, bahwa itu adalah perintah dariku, ratu negeri ini, Rillianne Lucifen d'Autriche! ?"
"Sudah, Yang Mulia," jawab Allen, masih dengan wajah datarnya. "Tapi―"
"Apa kau yang berbohong padaku, Allen?" tanyaku, sengaja menyela ucapannya. "Kau mengatakan hal itu karena sebenarnya kau belum menemukan kuda yang kuinginkan, huh?"
"…"
"Kau tahu sendiri 'kan? Tidak ada yang pernah berani melawanku!" seruku lagi, melipat kedua tanganku di depan dadaku.
"…"
"Kau mendengarku, Allen?"
Allen mendongakkan kembali kepalanya. "Tentu saja saya sudah mengatakan bahwa ini adalah perintah dari Yang Mulia Rillianne," jawabnya kemudian. "Lagipula, tidak mungkin saya berbohong kepada Anda."
"Apa itu benar?" tanyaku lagi, memastikan bahwa ia tidak berbohong padaku.
Allen meresponku hanya dengan sebuah anggukan kecil, tapi itu cukup membuatku merasa semakin kesal. "Tidak tahu diri benar orang itu!" seruku. "Allen, antarkan aku menuju tempat orang itu! Biar kuhukum dia karena berani melawanku!" perintahku seraya berjalan keluar dari ruang utama kastil ini. "Sekarang juga!"
"…" Allen terdiam sesaat, tapi kemudian, ia segera berlari menyusulku.
Kami lalu menuju ke arah desa dengan kereta kuda milikku. Shola, kusir kerajaan, mengantar kami ke sana, sementara Allen yang menunjukkan jalan.
Di dalam kereta kuda, aku terus mengepalkan kedua tanganku, menahan amarah yang nantinya akan kutumpahkan pada orang tidak tahu diri yang berani melawanku itu. Bagaimana bisa, ia―seorang rakyat jelata―melawanku yang seorang ratu di negerinya sendiri! Ia akan mati di tanganku!
Toplak
"Sudah sampai, Yang Mulia," suara Shola membuatku kembali sadar ke dunia nyata. "Silahkan." ujarnya sopan seraya membukakan pintu untukku.
Klek!
"Hmph." responku angkuh, menuruni kereta tersebut dengan hati-hati.
Tep
Seketika itu juga, pandangan orang-orang langsung tertuju padaku. Sebagian dari mereka menatapku dengan takjub dan heran, sebagian lagi membisikkan sesuatu―seperti sedang membicarakanku. Tapi aku tidak peduli. Yang kuinginkan saat ini hanyalah kuda baru dan memenggal orang tidak tahu diri itu!
"Yang Mulia Rillianne," panggil Allen. "Di sini."
Aku menoleh pada Allen. Ia berdiri di depan sebuah tenda besar berwarna ungu gelap. Tenda besar yang terbuat dari kain yang lembut.
Seorang peramal, huh?
"Seorang peramal?" tanyaku. Entah kenapa, saat memikirkan hal itu, nyaliku seakan menciut dan aku merasa takut. Tapi aku tetap memasang wajah angkuhku, aku tidak ingin terlihat seperti seorang pengecut di depan Allen, Shola, juga rakyat kerajaan ini!
Apa ini berarti, aku hanya seorang ratu sombong yang berlagak berani…?
Tidak! Aku adalah ratu yang berkuasa di negeri ini! Aku tidak takut dengan rakyatku sendiri!
"Bukan. Orang yang mempunyai kuda itu hanya bekerja di tempat ini."
Jawaban Allen itu membuatku merasa tenang. Aku pun menghembus nafas lega dalam hati dan kembali tersenyum angkuh. "Baiklah kalau begitu," ujarku. "Suruh orang itu keluar!"
"Baik." Allen membungkukkan tubuhnya, lalu berjalan memasuki tenda itu.
Tidak lama kemudian, terdengar suara teriakan seorang laki-laki dan dua orang perempuan, diikuti suara Allen yang terdengar tenang. Allen kembali menampakkan dirinya di hadapanku, kedua tangannya menahan tangan seorang laki-laki berambut putih yang kelihatannya tidak lebih tua darinya. Di belakangnya, ada dua orang perempuan mengikutinya. Yang satu berambut panjang warna merah muda, yang satunya lagi berambut hijau pendek.
Rambut panjang berwarna merah muda… Dia Elluka Clockworker, seorang peramal yang terkenal di negeri ini.
"Lepaskan! Jangan sakiti Pico!" seru si rambut hijau. "Kami 'kan sudah membayar pajak bulan ini!"
"Apa maumu! ? Lepaskan aku!" seru si rambut putih. Kelihatannya, dia adalah 'Pico' yang dimaksud Allen tadi.
"Ini perintah Yang Mulia Rillianne."
"Apa yang―"
Benar… Dia adalah 'Pico'…
"Allen, lepaskan." perintahku begitu Pico sudah berada di hadapanku.
"Baik." respon Allen seraya melepaskan tangannya dari tangan Pico.
Brugh!
"Ugh!" Pico jatuh tersungkur.
"Pico!" seru si rambut hijau spontan, berlari mendekati Pico dan membantunya berdiri.
"T-terima kasih, Guumilia…"
Jadi, si rambut hijau itu namanya 'Guumilia'? Aku―Kenapa aku merasa pernah mendengar namanya?
"… Apa yang Anda inginkan, Yang Mulia Rillianne?" tanya Elluka, menatap tajam kedua mataku.
"Aku tidak mempunyai urusan denganmu, Elluka," jawabku seraya mengalihkan pandanganku ke arah Pico. "Tapi dengan dia."
Pico mendongakkan kepalanya, menatapku dengan tajam. "Apa maumu! ?" bentaknya.
Aku mengangkat dagu Pico dengan kipasku, membuat kedua mata kami bertemu, "Kau tidak tahu siapa aku, huh? Aku ratu negeri ini, rakyat jelata! Bersikaplah yang sopan di depan ratu negerimu sendiri!"
"Kau…!"
"Guumilia, tenang!"
"Tapi, Kakak―"
"Aku yang akan mengurusnya."
"Eh?"
Tap tap tap
Elluka berjalan mendekati Pico dan kemudian menyingkirkan kipasku dari lehernya. "Kalau Anda menginginkan sesuatu, katakan pada saya! Jangan libatkan adik-adik saya!" serunya.
Hmph, berani juga dia…
"Kakak!"
"Tidak apa-apa," sahut Elluka pelan seraya menoleh sebentar ke arah mereka dan tersenyum kecil, menanggapi Pico dan Guumilia tadi. "Aku akan baik-baik saja."
"'Kakak', huh?" tanyaku, sengaja memancing amarah Elluka. "Bukankah mereka hanya pekerja di tempatmu, hei, Elluka?"
"Saya sudah menganggap mereka seperti adik saya sendiri." jawab Elluka datar, sama sekali tidak takut padaku, membuatku semakin kesal.
"… Hmph, menarik," tapi aku tertawa kecil, meremehkannya. "Baiklah, kalau begitu, posisi 'adikmu' itu akan kugantikan denganmu."
"Silahkan. Saya rela mengorbankan nyawa saya, asal adik-adik saya bisa terus hidup."
"Jangan, Kakak!" seru Pico tiba-tiba, memeluk Elluka dari belakang. "Jangan! Dia pasti mau memenggalku, Kak! Jika Kakak menggantikan posisiku, maka―"
"Aku tidak peduli," Elluka memejamkan kedua matanya dan menjawab dengan tenang. "Aku tidak peduli dengan apa yang akan terjadi pada diriku. Karena bagiku, nyawamu, juga nyawa Guumilia, jauh lebih penting daripada nyawaku sendiri."
Hmph, bodoh! Di dunia ini, yang paling penting adalah nyawa diri kita sendiri! Berikutnya, adalah harta dan kekayaan, juga kekuasaan! Nyawa orang lain tidak pernah menjadi hal terpenting!
"Tapi, dia hanya menginginkan kudaku, Kak!" seru Pico lagi. "Kalau hanya itu, asal Kakak bisa selamat, aku akan memberikan kudaku padanya!"
"… Kudamu itu, hadiah dari Tuan Kyle 'kan? Bukankah kau juga sudah berjanji pada Tuan Kyle, bahwa kau akan menjaga dan merawat kuda itu dengan baik?"
"I-iya," Pico menundukkan kepalanya sebentar, lalu mendongakkan kembali kepalanya dan berkata, "Tapi aku tidak peduli! Nyawa Kakak jauh lebih penting!"
"Jangan egois, Pico."
"Bagaimana dengan Tuan Gast, Kak?" tanya Guumilia, menatap Elluka dengan sedih. "Tuan Gast sangat mencintai Kakak! Tuan Gast juga sudah merencanakan pernikahan kalian!"
Elluka mengepalkan kedua tangannya, lalu berkata, "… Katakan padanya, kalau aku juga sangat mencintainya selama ini. Tolong sampaikan juga permintaan maafku padanya, karena aku tidak bisa menepati janjiku untuk menikah dengannya."
"Tapi―"
"Cukup!" seruku tiba-tiba, sengaja menghentikan adegan memuakkan itu.
Yang benar saja, mereka mau membuatku menunggu di tempat kumuh seperti ini? Huh?
Allen, Shola, Elluka, Pico, dan Guumilia langsung menoleh padaku. Aku mendengus kesal. "Shola, masukkan wanita itu ke dalam kereta!"
"Ba-baik, Yang Mulia!" Shola pun segera menghampiri Elluka dan membawanya masuk ke dalam kereta kudaku.
"… Selamat tinggal, Guumilia, Pico…" sahut Elluka pelan, tersenyum kecil pada kedua 'adiknya' itu, sebelum akhirnya ia masuk ke dalam kereta.
"Hmph." Aku mendengus puas. Aku lalu melangkah masuk ke dalam kereta. Allen berjalan di belakangku, lalu duduk di hadapanku setelah menutup pintu.
Cklek!
"Jalan, Shola!"
"Baik! Hiyah!"
Ketoplak ketoplak ketoplak
Shola mulai menjalankan kereta ini. Sementara di belakang, aku melihat kedua 'adik' Elluka menangis, berlari mengejar kereta kuda ini. Beberapa orang menghampiri dan menghibur mereka yang akhirnya berhenti berlari mengejar keretaku.
"Hmph." Aku tersenyum puas.
Sudah kubilang, bukan? Tidak ada yang bisa melawanku!
=x=x=x=x=x=
Setelah puas menyaksikan hukuman pancung bagi Elluka, aku berjalan memasuki ruang makan di kastilku. Sekarang sudah waktunya makan siang.
"Selamat datang, Yang Mulia!" sambut Sarah ramah.
"Cepat siapkan makan siangnya! Aku sudah lapar!" perintahku.
"Baik!" Sarah lalu masuk ke dalam dapur.
Allen yang berjalan mengikutiku, menarik kursiku dan mempersilahkanku duduk.
Tidak lama kemudian, Sarah keluar dari dalam dapur, tangan kanannya membawa sebuah nampan. Charttetto berjalan mengikutinya di belakang. Allen mengambil nampan itu dan meletakkannya di atas meja makan di depanku.
"Apa-apa'an ini! ?" tanyaku kesal begitu mendapati para pelayan hanya menyiapkan sedikit makanan untuk makan siang. "Kenapa kalian hanya membuat sup jagung dan roti untukku! ? Apa kalian tidak bisa memasak! ?"
"B-bukan begitu, Yang Mulia…" respon Sarah pelan. "S-sebenarnya―"
"'Sebenarnya' apa, huh! ?" tanyaku kesal. "Apa kau mau bilang, Yvonne, koki baru itu, sakit! ?"
"Bukan, Yang Mulia," sahut Charttetto. "Sebenarnya, bahan makanannya―"
"Ada yang mencurinya," ucap Yvonne tiba-tiba, membuatku mengalihkan perhatian padanya. "Sepertinya, saat malam hari, di saat Yang Mulia Rillianne, juga kami semua, sudah tertidur lelap." ujarnya lagi dengan datar.
Grek!
"Apa! ?" Spontan, aku berdiri dari kursiku. Aku lalu menoleh pada Allen. "Allen! Cari tahu siapa pencuri itu dan bunuh dia!"
Berani sekali dia mencuri dari seorang ratu!
"Apa harus saya bawa dia ke sini terlebih dahulu, Yang Mulia Rillianne?" tanya Allen.
"Tidak," jawabku seraya berjalan meninggalkan ruang makan. "Aku sudah lelah mengurusi orang tidak tahu diri seperti itu! Kau saja yang mengurusnya!"
"Baiklah." Allen membungkukkan tubuhnya.
"Yang Mulia Rillianne." panggil Charttetto, tepat sebelum aku meninggalkan ruang makan.
"Apa?" Aku menghentikan langkah kakiku, tidak menatap pelayan berambut merah itu.
"Belakangan ini, rakyat mengeluh soal harga roti. Mereka bilang, harga roti di pasar terlalu mahal, mereka tidak sanggup membelinya…"
"Hm, begitukah?" responku. Aku lalu menoleh pada Charttetto dan tertawa. "Bodoh! Kalau mereka tidak bisa membeli roti, beli saja kue! Ahahaha!"
Drap drap drap
Tidak lama setelah aku meninggalkan ruang makan, Ney berlari menghampiriku. Dia membawa sesuatu, seperti sebuah surat undangan. "Yang Mulia Rillianne," panggilnya. "Ada surat undangan pesta dari Yang Mulia Kyle Marlon, raja negeri sebelah." ujarnya lagi seraya memberikanku surat undangan yang tadi dipegangnya.
Aku mengambil surat itu, membuka amplopnya yang berwarna biru, dan kemudian membacanya."…!"
Salah satu kalimat yang tertulis di surat undangan tersebut membuatku tersenyum lebar.
"Ada apa, Yang Mulia?"
"Tuan Kyle!" seruku senang. Dia adalah pria yang kusukai selama ini. Aku mencintainya. "Tuan Kyle mengundangku ke pesta ulang tahunnya!"
"Bukankah itu bagus, Yang Mulia?" tanya Ney, tersenyum kecil, hanya basa-basi.
"Sangat bagus!" jawabku. "Allen!" Aku menoleh ke arah ruang makan. "Allen!"
Tap tap tap
Allen datang menghampiriku dan bertanya, "Ada apa, Yang Mulia?"
"Nanti malam, sekitar jam tujuh, aku mau pergi ke Marlon. Suruh Shola bersiap-siap untuk nanti malam!" Aku lalu menoleh pada Ney. "Ney, suruh Charttetto dan Sarah menyiapkan gaun, sepatu, dan perhiasan yang terbaik untukku! Aku harus tampil cantik di hadapan Tuan Kyle!"
"Baik!" Allen dan Ney membungkukkan tubuh mereka, lalu melenggang pergi meninggalkanku.
Aku tersenyum kecil. "Tuan Kyle~"
-To be Continued-
Mwahaha! Otan-ome, Teme! 8D
Sori telat... Eto... 10 hari! XD -kicked-
Salahin ujian segala macemnya ya, Tem ==d -double kicked-
Bagian 'Daughter of Evil' sudah selesai. Karena satu chapter-nya kepanjangan (7000 words lebih, gara-gara keenakan ngetik OTZ), jadi dipisah-pisah.
Fanfic ini untuk hadiah ulang tahun Teme saya tersayang -cuih-, Ryuuha Yuna :D
... Yang tanggal 6 Maret kemarin... Maaf... OTZ
Fanfic ini terinspirasi dari 'The Evil Series'-nya Akuno-P a.k.a mothy. Nama karakter-karakternya saya ambil dari novel buatannya juga.
Ada beberapa karakter tambahan yang aslinya tidak ada di dalam novel itu, seperti Utatane Piko, Keine Ron, juga Suiga Sora dan Sara.
Maaf kalau saya seenaknya menambahkan hints pair GakuLuka di sini OTZ
Maaf juga kalau alur ceritanya terlalu cepat dan tidak jelas. Saya tahu, saya memang sangat payah ._.
