-Romance no Kamisama-
Genre: Romance
Pairing: Doumeki x Watanuki
Disclaimer: CLAMP, not this author -,-
a/n fict ini kecetus saking kangennya saya sama PS-1 saya… Judul diambil dari lagu yang ada di game Dance Dance Revolution 5th Mix Home Version (PS-1), yang ternyata di-remake dari lagunya Kohmi Hirose dengan judul sama. Mungkin bakal jadi OOC ato bisa jadi ending bakal saya crossover dengan fandom CLAMP yang lain XD
(saya tidak meng-copas ide cerita dari author manapun, terserah buat yang nge-flame)
First Day: Temple of Love.
Watanuki mengintip langit dari kacamata lensa cekungnya. Di sebelah Baratnya, ia melihat langit berangsur-angsur berubah menjadi kelabu gelap, dan pada inversnya, langit masih terlihat syahdu kebiruan. Watanuki memicingkan matanya dan mengernyitkan dahinya, kemudian bergumam pada dirinya sendiri.
"Kayaknya bakalan turun hujan, nih…", gumamnya, "Tapi Himawari-chan kok belum nongol, ya…?"
"Watanuki-kun!"
Watanuki spontan menengok kea rah sumber suara, karena ia tahu siapa pemilik suara yang memanggilnya tadi. Rasa berbinar-binar tadi langsung sirna seketika begitu ia melihat sebuah sosok lain di sisi Himawari. Ya, siapa lagi kalau bukan DOUMEKI SHIZUKA, manusia yang ia anggap rival terberatnya untuk mendapatkan hati cewek idamannya itu.
"Aah~ Himawari-chan…"
"Umm… Ano… Sebelumnya maaf menunggu lama. Tidak apa-apa Watanuki-kun? Besok ada tes, kan?" tanyanya dengan nada cemas.
"Daijoubu, yo. Nggak terlalu lama, kok.", balas Watanuki penuh basa-basi, "Lagian aku bisa bergadang buat besok. Ngomong-ngomong, kita pulang sekarang, yuk!"
Sekilas Watanuki melihat Doumeki tengah menyeringai penuh kemenangan di balik Himawari. Tapi toh Watanuki gak mau ambil pusing. Peduli amat, iya nggak? Tapi sayangnya, baru saja kegembiraan tertumpah di hati Watanuki, kegembiran itu sukses dihapuskan oleh rasa kecewa seberat-beratnya karena hal itu…
"Demo… Sayangnya aku gak bias ikut kalian pulang bareng. Hari ini aku ada les piano, dan kemungkinan sekarang aku nyaris telat."
Watanuki tercengang, dan di batinnya ia melihat Doumeki menyeringai semakin lebar.
"Mungkin kita bisa pulang bareng besok. Untuk hari ini Watanuki-kun bareng Doumeki-kun saja, ya."
Watanuki semakin terpuruk…
"Jaa… Aku duluan, yaa…!"
Impian Watanuki hancur lebur berkeping-keping entah apa wujudnya sekarang, begitu melihat sosok gadis yang ia puja perlahan berlari menjauh meninggalkannya dengan sang rival. Mungkin satu ungkapan yang cocok untuknya adalah KASIHAN, atau mungkin MIMPI.
Watanuki menggeram dalam hatinya, dan geraman itu akhirnya terlepaskan begitu Doumeki mulai mengeluarkan suara emasnya.
"Ayo pulang…"
"Hei! Kau senang, kan? Puas melihatnya?" emosi Watanuki meluap.
"Nggak." Jawab Doumeki singkat, padat.
"Lantas kenapa tadi kau nyeringai gajes kayak gitu, heh?" Tanya Watanuki, masih dengan emosi yang menggebu-gebu.
"Aku gak nyeringai, kok."
"Halah! Ngibul! Aku gak percaya!"
"Ya udah."
Watanuki langsung menatap lirih ke arah Doumeki dengan keki-nya. Mungkin setelah ini dia akan mengucapkan seribu sumpah serapah khusus untuknya agar menjadi bujang lapuk seumur hidup, sementara ia dan Himawari hidup bahagia sebagai suami istri. Dengan emosi yang masih nyala itu, dia melenggang meninggalkan Doumeki yang daritadi diam-diam saja dengan pikirannya sendiri. Setelah beberapa langkah di depan, barulah Doumeki menyusulnya, tanpa sepatah kata, tanpa sebuah suara.
Selang beberapa meter dari sekolah, mereka berjalan saling berjauhan, seolah tak kenal satu sama lain, meskipun bukan itu kenyataannya. Watanuki masih memikirkan hal yang tadi, meskipun sebenarnya ia ingin membuang jauh-jauh pikiran itu. Toh bukan salah Himawari-chan juga. Mungkin bukan waktunya, batin Watanuki. Lagipula aku gak mesti mikirin ini juga, kan? Besok aku sendiri ada tes. Ada bagusnya juga, deh. Pulang bareng si nyebelin ini, lalu buru-buru belajar.
Watanuki melirik ke arah Doumeki yang sedang berjalan beriringan dengannya. Doumeki masih dengan tenangnya menyusuri jalan kecil yang diatapi hamparan luas langit mendung. Sibuk dengan pikirannya sendiri? Bisa jadi, toh sekarang Watanuki lagi nggak mikirin itu. Sekarang ia fokus untuk tes besok, yang konon katanya bikin mati sambil duduk. Begitu denger teaser-nya dari anak kelas sebelah aja udah sukses bikin Watanuki merinding disko sendiri. Bagaimana kalau dia sendiri yang menghadapi temboknya? Nggak dikasih mati di tempat udah bersyukur banget.
"Hei, langitnya semakin mendung." Suara berat Doumeki memecah keheningan di antara mereka.
"Eeh…",Watanuki refleks menengok ke arah langit yang kian menghitam, dan mendapati hal yang serupa dengan apa yang Doumeki ucapkan tadi, "Iya juga, ya?"
Mereka mempercepat langkah mereka. Layaknya orang nyaris ketinggalan kereta, mereka memperbesar langkah kaki mereka, untuk menghindari resiko lebih besar tentunya. Siapa pula yang mau pulang kehujanan? Terlebih mereka sudah tua, sudah SMA. Apa kata tetangga?
Tapi, beberapa meter setelah mereka mulai berjalan cepat, Doumeki melambatkan langkahnya, dan akhirnya langkahnya terhenti tepat di depan sebuah taman kota. Watanuki yang tadinya sudah membalap Doumeki akhirnya ikut-ikutan berhenti, untuk mengecek ada apa, dan apa yang menyebabkan rivalnya berhenti.
"Ada apaan, sih?", Tanya Watanuki risih, "Udah mau hujan, nih!"
"Kau lihat itu tidak?" Tanya Doumeki sambil menunjuk ke suatu sudut di taman kota tersebut.
"Lho…? Itu rumah kuil, bukan? Rasanya aku gak pernah lihat."
Doumeki dengan cueknya malah berjalan memasuki taman kota tadi, lagi-lagi meninggalkan Watanuki. Lalu dengan sewotnya, Watanuki akhirnya juga ikut-ikutan nyusul ke sana.
"Hei, mau apa kau ke sana?"
Doumeki menoleh seraya melanjutkan 'jalan'-nya, dengan wajah tanpa ekspresi yang sangat dia andalkan.
"Aku mau berdoa."
Jawaban itu tentunya membuat Watanuki tertegun, meski tak secara blak-blakan. Doumeki terus melanjutkan langkahnya, disusul Watanuki di belakangnya. Tumben dia jadi alim begini. Apa emang dia orangnya kayak begini?
Mereka berhenti tepat di depan rumah kuil itu. Dan tanpa dikomando, Doumeki langsung mengambil ancang-ancang untuk berdoa. Tahu begitu, Watanuki segera menggeser posisinya, agar tidak mengganggu Doumeki. Dari posisinya, ia melihat Doumeki begitu khusyuk, terlihat seperti ada komunikasi antara ia dan dewa yang bersemayam dalam kuil itu. Semua gerak-geriknya, terlihat bahwa ia sedang menginginkan sesuatu. Dan bukan hanya sekedar ingin tentunya. Keinginan yang sungguh-sungguh ingin ia capai.
Doumeki selesai berdoa, kemudian beranjak menuju posisi Watanuki sekarang. Ia menatap mata Watanuki dengan dingin, dan menepuk bahunya pelan.
"Baiknya kau juga berdoa untuk keberuntunganmu besok."
Lagi-lagi seolah tak percaya, Watanuki tertegun untuk ke sekian kalinya. Tidak seperti biasanya, di mana ia langsung terketus-ketus begitu Doumeki angkat suara. Kali ini ucapannya benar-benar menentramkan hati. Ternyata benar apa kata pepatah, jangan melihat seseorang dari kotak luarnya. Itulah penilaiannya pada Doumeki sekarang.
Watanuki memutuskan apa yang jadi pilihannya, dan ia memutuskan untuk ikut berdoa di kuil itu.
Dewa… Mudahkanlah aku dalam mengerjakan tes esok hari…
Dewa… Aku ingin menjadi orang yang baik pada orang lain…
Dewa… Mudahkanlah jodohku, dan jauhkan aku dari segala kesulitan di hidup ini…
"Telat 5 menit lebih 35 detik… Berarti kau mendapat hukuman dariku, Watanuki…" ujar Yuuko dari balik ruangannya.
Watanuki menggeser pintu yang jadi pembatas antara ruang tamu dan ruang pribadi Yuuko, dan tanpa berdosanya ia langsung terkapar di atas tatami.
"Hukumannya nanti saja…", Watanuki mengatur nafasnya, "Aku sedang kelelahan…"
"Kukira seorang Watanuki Kimihiro tidak akan pernah lelah…" balas Yuuko dengan nada menyindir.
Yuuko bangkit dari sofa kesayangannya, dan berdiri dengan jarak kurang lebih 2 meter dari posisi terkaparnya Watanuki. Ia menjepit rambutnya secara asal, kemudian beranjak keluar dari ruangannya, namun terhenti pada ambang pintu.
"Dari mana kau?" Tanya Yuuko sambil tersenyum.
"Tidak dari mana-mana… Aku hanya berdoa di rumah kuil tadi."
Yuuko terdiam. Lalu meninggalkan Watanuki yang tengah terkapar di ruangannya.
"Doushite, Yuuko?" Tanya Mokona hitam yang sedari tadi ngumpet di balik pundaknya.
"Sepertinya segel tersebut telah terbuka…"
"Segel apa?"
"Kurasa…", Yuuko mengangkat gagang telepon rumahnya, "Untuk urusan ini biarkan anak itu yang mengatur…"
~TBC~
