"Turnamen basket antar universitas akan segera tiba. Dan aku akan sibuk berlatih. Jadi-"

Min Yoongi yang tengah menyetir mobil, menghentikan ucapannya seraya menoleh pada Jimin yang hanya diam melihat kearah luar jendela.

"Jimin?"

"Hng?" Jimin menyahut pelan sambil mengalihkan pandangan. Dilihatnya Yoongi memutar bola mata.

"Kau mendengar aku bicara tidak sih?"

"Aku dengar, dan aku mengerti. Kau akan sibuk berlatih, itu artinya kita akan jarang berdua kan?"

Yoongi mengernyitkan dahinya.

"Ekspresimu biasa saja? Apa kau tak sedih dengan situasi ini?"

"Kenapa harus sedih? Ini kan memang sudah resikoku berpacaran dengan kapten tim basket yang sibuk." Jimin tersenyum singkat lalu kembali menatap jalanan.

Yoongi diam sejenak. Memang benar sih apa kata kekasihnya , seperti itu saja kah ekspresi Jimin? Tak ada kesedihan atau rasa kecewa sedikitpun tersirat diwajahnya. Dan itu membuat Yoongi sedikit kesal.

"Jangan jangan kau senang ya kalau aku sibuk? Jadi kau bisa berselingkuh dengan fans-fansmu itu..."

Tudingan dari Yoongi sontak membuat Jimin menoleh kembali. Kali ini dengan raut wajah tak senang,

"Apa kau bilang?"

"Benar kan? Semua mahasiswa tahu jika kau ini ulzzang yang punya banyak fans. Siapa tahu jika aku tak disampingmu, kau akan berselingk-"

"Kejam sekali sangkaanmu, Yoongi-a! Kau juga punya banyak fans , tapi aku tak pernah menuduhmu seperti itu!" Balas Jimin sedikit emosi

Yoongi lantas tertawa kecil di situasi yang tak lucu ini.

"Itu karena mungkin kau tak sayang padaku. Jadi kau tak pernah cemburu melihat ku dengan banyak fans." Ucapnya tanpa melihat sang lawan bicara.

Namun tawa aneh itu langsung berhenti begitu Jimin tak merespon apapun. Seketika dia menoleh kearah kekasihnya itu.

"Benar kan kau tak mencintaiku?!"

Jimin terlihat menghela nafas.

"Hentikan, Min Yoongi. Aku tak mau bertengkar karena hal seperti ini."

"Kau yang memulai duluan, Park Jimin!" Yoongi menaikkan nada bicara

"Kenapa kau gampang sekali marah karena hal kecil, sih? Aku salah dimana lagi sekarang?!" Jimin pun sama

"Aku tak suka kalau kau hanya diam saat berdua denganku! Aku membenci ekspresimu yang seolah tak merasa sedih sama sekali karena kita akan jarang bertemu! Kau membuatku kesal Jimin!"

Jimin tak berkedip mendengar jawaban kekasihnya itu.

Memangnya kapan aku melakukan hal yang tak membuatmu kesal?

Aku diam saja, salah.

Aku berkata sedikit, kau akan tersinggung.

Bahkan ekspresi ku pun kau nilai salah.

Kapan kau menilai benar apa yang kulakukan?!

Lagi lagi Jimin menghela nafasnya. Seolah mengontrol emosinya agar tak mengatakan apa yang ada difikirannya sekarang. Karena kalau sampai kalimat itu keluar dari mulutnya, maka pertengkaran ini malah akan berbuntut panjang.

Min Yoongi takkan mau mengalah dan akan terus membalas dengan perkataan yang bukan tak mungkin menyakiti hatinya.

"Tolong jangan seperti anak kecil, Yoongi-a." Pinta Jimin setelah beberapa menit hanya diisi keheningan. "...Baiklah, aku minta maaf kalau apa yang kulakukan membuatmu kesal. Aku berekspresi seperti itu, agar kau bisa leluasa berlatih tanpa memikirkanku. Aku juga sedih jika kita tak punya banyak waktu berdua. Tapi aku tak bisa apa-apa selain menerimanya, karena ini memang resiko kita." jelasnya kemudian.

Untunglah sepertinya Yoongi bisa menerima penjelasan itu.

"...Dan satu lagi, Yoon. Kumohon jangan pernah menuduhku dengan tudingan seperti itu lagi. Kau seharusnya yang paling tahu, aku berada disisimu karena apa. Kau tak perlu menanyakan hal yang sudah kau tahu jawabannya."

"..."

"Aku mencintaimu, Min Yoongi." Pungkas Jimin membuat Yoongi mengalihkan pandangan dari depan dan kembali menatapnya.

"Kau yakin? Kau benar mencintaiku?"

Jimin mengangguk "Yakin. aku mencintaimu." Jawabnya kemudian

"Syukurlah. Semoga benar iya. Semoga perkataanmu bisa dipercaya. Pegang semua kalimat itu dari mulut manismu, karena aku sudah mengunci semuanya dalam hatiku. Dan jika kudapati kau berdusta dengan apa yg kau katakan,"

Yoongi menggantungkan ucapannya , lalu menghentikan laju mobilnya karena mereka sudah sampai didepan gedung apartemen Jimin

"...maka kau akan tahu akibatnya, Park Jimin. Kurasa kau sudah tahu orang seperti apa aku." Tukasnya dengan penuh penekanan.

Jimin hanya terdiam mendengar apa yang Yoongi ucapkan. Benar benar tak punya kalimat halus lagi untuk membalas.

"Turunlah. Besok aku akan menjemputmu jam sepuluh pagi. Jangan lupa."

Jimin mengangguk.

"Hm. Terimakasih sudah mengantarku, Yoongi-a."

Dia hendak membuka pintu sebelum suara Kris menghentikannya.

"Sayang,"

Jimin menoleh lagi,

"Ya?"

Ia cukup terkejut begitu sesuatu yang familiar menghampiri bibirnya.

Cukup lama.

Sebelum akhirnya Yoongi melepaskanya secara perlahan.

"Maaf. aku tak bermaksud marah padamu, Jimin-ie..."

Pemilik marga Park itu mengangguk untuk kesekian kali.

"Tak apa. aku mengerti."


Jangan jangan kau senang ya kalau aku sibuk? Jadi kau bisa berselingkuh dengan fans fansmu itu.

Semoga benar iya. Semoga perkataanmu bisa dipercaya. Pegang semua kalimat itu dari mulut manismu, karena aku sudah mengunci semuanya dalam hatiku. Dan jika kudapati kau berdusta dengan apa yg kau katakan, maka kau akan tahu akibatnya, Park Jimin.

Kurasa kau sudah tahu orang seperti apa aku.

.

.

.

Aku tahu. Bahkan sangat tahu.

Kau itu orang yang sensitif, mudah marah, mudah tersinggung dengan perkataan orang lain, dan kau tak pernah mau mengalah pada siapapun. Lalu kenapa aku harus jatuh pada orang sepertimu Min Yoongi?!

Jimin menghentikan langkah tepat didepan pintu apartemennya. Ia sempat salah dua kali ketika memasukkan password untuk membuka pintunya.

"Ck, ada apa denganku?!"

Sedari tadi ia sudah merasa tak enak badan. Itulah sebabnya dia hanya terdiam selama perjalanan. Dan pertengkaran singkat dengan Yoongi malah membuat kepalanya bertambah pusing tak karuan.

Jimin mencoba menekkan digit sandi pintunya lagi, namun saat pintu berhasil terbuka, tiba-tiba saja pandangannya menjadi gelap dan tubuhnya terasa seperti melayang. Jimin tahu dia akan ambruk sebentar lagi jadi dia buru-buru menjangkau dinding untuk menopang tubuhnya. Denyut di kepalanya bertambah tak karuan, menimbulkan rasa nyeri yang teramat sangat.

Dia tak tau lagi apa yang terjadi ketika samar samar melihat seseorang mendekatinya dan beralih menopang tubuhnya yang benar benar ambruk,

"Jim- whoa Jimin hyung!"

Jimin tak punya waktu untuk sekedar menerka siapa pemilik suara itu, karena kegelapan terlebih dahulu menguasainya.

.

.

.

"Bagaimana? Apa dia baik baik saja, hyung?!"

Orang yang dipanggil 'Hyung' itu melepaskan stetoskop dari telinganya.

"Dia hanya kelelahan saja. Bisa jadi karena banyak pikiran juga. Cukup istirahat beberapa hari dia akan pulih." Jawabnya kemudian.

"Huft~ Syukurlah. Aku sudah takut setengah mati melihatnya pingsan didepan mataku tadi..."

"Tapi, kenapa kau bisa masuk ke kamarnya? Kau tahu kode rahasianya? Oh, apa dia pacarmu? Wah! Kim Mingyu, kau pintar sekali memilih pacar! Dia man-"

"Hyung jangan sembarangan! Dia kekasih temanku tahu!" Mingyu buru-buru membantah "...Tadi aku lewat kemari saat akan berkunjung ke apartemenmu, tapi aku tak sengaja melihatnya hampir ambruk didepan pintu, makanya aku berlari menolongnya. Ternyata pintunya sudah terbuka, yasudah...aku bawa masuk saja dan langsung menghubungimu." Jelasnya kemudian.

Kim Junmyeon tertawa kecil mendengar penjelasan adik sepupunya itu.

"Kkk~ Baiklah aku mengerti. Yasudah, sebaiknya kau tunggu disini saja. Tak baik meninggalkannya seorang diri dalam kondisi demam seperti ini. Berkunjung ke apartemenkunya lain kali saja." Ujar Junmyeon sambil membereskan alat kedokterannya.

"Oh iya, begitu dia bangun, berikan obat ini padanya. Jika ada apa apa, hubungi aku saja. Kau paham?"

Mingyu mengangguk pelan sambil terus menatap Jimin yang masih terpejam.

"Hm. Tapi, pemeriksaan ini gratis kan hyung?" Tanyanya polos, membuat Junmyeon tertawa lagi. Jika ia tak ingat disini ada orang sakit mungkin dia akan terbahak dengan kencangnya.

"Enak saja! Traktir aku makan kapan-kapan, okay?"

"Aish~ hyung ini!"

"Haha~ Yasudah aku pulang dulu. Bye~"

"Terimakasih hyung!"

.

.

.

Jimin membuka mata secara perlahan. Denyut di kepalanya belum hilang betul belum lagi sebuah perasaan sesak yang tiba-tiba memenuhi dadanya.

"Kau sudah sadar, hyung?"

Ia cukup terkejut begitu melihat Mingyu ada di sampingnya. matanya mengitari seluruh isi ruangan.

Ini kamarnya.

"Jimin hyung?"

Sontak Jimin bangkit dari tidurnya, membuat Mingyu sedikit terkejut.

"Kenapa kau bisa ada disini...?" Tanya Jimin bingung

"Eh? Jangan salah paham hyung. Tadi-"

Mingyu pun menceritakan kejadian tadi saat ia menolong Jimin yang terjatuh pingsan di depan pintu apartemennya.

Jimin pun terdiam. Baru mengingat semuanya.

"Ah...benar. Aku baru ingat. Terimakasih sudah menolongku,"

Mingyu mengangguk dan tersenyum tipis.

"Oh iya, tadi dokter menyuruhku untuk memberikan obat ini padamu jika kau sudah sadar. Apa kepalamu masih sakit?"

Jimin mengangguk pelan. Ia pun meminum obat yang diberikan oleh Mingyu.

"Sekali lagi terimakasih atas bantuannya, Mingyu-ya."

"Sama sama hyung. Ohya, apa aku perlu memberi tahu Sugahyung jika kau sakit?" Usul Mingyu

"Ah? Tidak." Tolak Jimin cepat, "...Tidak perlu Kim Mingyu. Kasihan dia pasti lelah."

Mingyu mengangguk paham.

"Tidurlah lagi hyung. Ini sudah hampir tengah malam. Dokter bilang, kau harus banyak istirahat."

Jimin melirik jam dinding. 23.30.

"Kau tak akan pulang kan? Ini sudah larut. pulang besok saja." Sarannya.

Yang lebih muda terdiam tanda berfikir.

Ini memang sudah larut malam. Lagipula, Junmyeon tadi menyarankan hal yang sama agar tak meninggalkan Jimin sendirian.

"Hmm. Baiklah, aku akan menemanimu."


Yoongi belum memejamkan mata. Ia hanya berbaring ditempat tidur, sambil memainkan gadgetnya. Sesekali ia melirik ke arah jam digital yang ada di nakas dekat tempat tidurnya.

"Sebentar lagi..." gumamnya pelan.

Menit demi menit terus berjalan dan Yoongi tetap menatap layar ponsel nya hingga waktu menunjukkan angka 00.00. Itu artinya hari dan tanggal telah berganti.

07 06 2015

"Coba lihat. Kau akan ingat atau tidak? Buktikan saja, apa benar kau mencintaiku...?"

.

.

.

Satu jam sudah berlalu, dan Yoongi belum merubah posisinya sejak tadi. Rasa kantuk tak sedikitpun menghampirinya. Yang ada kini hanya rasa penasaran saja.

"Apa dia benar benar lupa? Atau dia menungguku mengucapkannya duluan?" gumamnya "...Baiklah. Karena aku benar mencintaimu, jadi aku yang akan mengucapkannya lebih dulu..."

Yoongi pun mencoba menghubungi nomor telepon kekasihnya.

Satu kali. Tersambung. Tapi tak dijawab.

"Apa dia sudah tidur?"

Dua kali. Masih tak ada jawaban.

Okay.

Yoongi masih berusaha sabar, walau sebenarnya ia bukanlah seseorang yang penyabar.

Tiga kali. Kali ini dijawab!

"Halo,"

Yoongi menaikkan satu alisnya. Itu bukan suara Jimin. Ia pun melihat layar ponselnya sejenak.

Benar, ini nomor Jimin. Aku tak salah sambung. Lalu suara siapa itu ? Batinnya.

"Halo?"

Suara diseberang sana terdengar lagi membuat air muka Yoongi seketika berubah.

Suaranya seperti familiar...?

Namun bukannya bicara, Yoongi malah menutup sambungan teleponnya begitu saja tanpa mengatakan apapun.

Demi Tuhan. Siapa orang yang tengah malam seperti ini ada bersama kekasihku?!

.

.

.

Mingyu meletakkan kembali ponsel Jimin diatas nakas.

"Aish~ Suga hyung itu kenapa? menelpon tapi tak bicara..."

Sebenarnya Mingyu bukan bermaksud tak sopan dengan mengangkat telepon Jimin sembarangan. Tapi tadi benda itu terus berdering, jadi Mingyu terpaksa mengangkatnya. Apalagi begitu melihat nama Yoongi tertera dilayar. Pemuda bermarga Kim itu pikir, mungkin saja ia bisa sekalian bicara jika Jimin sedang sakit.

Jimin sendiri sepertinya benar benar terlelap tidur setelah meminum obatnya tadi, karena dia sama sekali tak bergerak walaupun ponselnya berdering cukup nyaring.

Mana tega Mingyu membangunkannya?

Mingyu pun kembali duduk di sofa yang ada di kamar ini. Ia ingin tidur, namun takut terjadi sesuatu pada Jimin yang belum pulih betul itu. Jadi ia memilih untuk tetap terjaga. Memperhatikan Jimin yang tengah terlelap.

Dia hanya kelelahan saja. Bisa jadi karena banyak pikiran juga. Cukup istirahat beberapa hari dia akan pulih...

"Banyak pikiran? Apa? sepertinya kau bahagia-bahagia saja hidup dengan Suga hyung disampingmu?" Gumam Mingyu pelan. "Tapi...jika sedang terlelap begini, wajah stresmu memang nampak sekali. Kemana senyumanmu yang manis itu seperti saat sedang bersama Suga hyung?" Lanjutnya.

Namun ia pelan pelan menyadari sesuatu

"Bukan. Bukan saat bersama Suga hyung. Tapi, kemana senyuman tulusmu seperti saat masih bersama...Jeon Jeongguk?" Ralatnya.

Benar.

Ia baru menyadari jika senyuman Jimin saat bersama Jeongguk terlihat jauh lebih tulus dibanding saat bersama sang kapten kini.

"Apa...kau masih mencintai Jeongguk?"


Mingyu membuka matanya perlahan lahan. Sedikit linglung saat yang ia lihat bukan pemandangan seperti biasanya. Ia juga bukan terbaring di spring bed, melainkan sofa.

Tunggu,

Sofa?!

Sedetik kemudian, ia melebarkan mata dan spontan bangkit dari posisi tidurnya.

"Aish~ Aku ketiduran!"

Mingyu baru ingat jika semalam dia menjaga Jimin. Walau akhirnya dia tertidur karena lelah.

"Tapi...kurasa aku tak memakai selimut tadi malam? Apa Jimin hyung yang-huh ? Jimin hyung mana?"

Pemuda itu terkejut melihat tempat tidur yang sudah rapih dan kosong. Ia pun keluar dari kamar sambil memanggil-manggil Jimin. Takut terjadi apa apa dengan hyungnya.

"Hyung? Jimin hyung!"

"Aku disini, kau sudah bangun?"

Jimin terlihat muncul dari dapur kecilnya sambil membawa sebuah nampan berisi dua buah cangkir. Mingyu menghembuskan nafas lega. Kelihatannya sang hyung sudah membaik.

"Hyung, kau sudah baikan?" Tanya yang lebih muda

"Berkat obat yang kau berikan..."Jawab yang lebih tua sambil menaruh cangkir-cangkir itu diatas meja. "...duduklah Kim Mingyu."

Mingyu pun menurut.

"Syukurlah. Maaf hyung, aku malah tertidur bukannya menjagamu."

"Harusnya aku yang minta maaf karena sudah merepotkanmu. Kau pasti lelah. Terimakasih Kim Mingyu. " Ujar Jimin disertai senyuman.

"Ah, iu bukan sesuatu yang merepotkan hyung. Mana tega aku membiarkan orang yang kukenal pingsan didepan pintu dan meninggalkannya di apartemen? sendirian pula. Ohya, terimakasih juga sudah menyelimutiku."

Jimin tertawa kecil.

"Ah, itu bukan sesuatu yang merepotkan Mingyu-ya. Mana tega aku membiarkan orang yang sudah menjagaku semalaman, tidur kedinginan? di sofa pula."

"Huh? Kau meniru ucapanku!"

Jimin tertawa lagi.

"Ini, minumlah. Maaf, aku belum bisa membuat sarapan yang lebih baik dari ini. Tubuhku masih sedikit lemas." ujar Jimin sambil menyodorkan secangkir teh hangat.

Mingyu mengangguk paham.

"Tak , kurasa aku harus membasuh wajahku dulu. Boleh aku ke kamar kecil sebentar?"

.

.

.

"Sekali lagi terimakasih, Jimin hyung! Teh buatanmu itu enak. Kapan kapan aku minta dibuatkan lagi ya? Haha"

Canda Mingyu saat berada diambang pintu apartemen Jimin. Ia harus segera pulang, kalau tidak ibunya akan sangat khawatir karena anak semata wayangnya itu belum pulang juga. Padahal semalam ia hanya pamit untuk berkunjung sebentar ke apartemen kakak sepupunya, Junmyeon.

"Hanya teh saja, tak ada apa apanya dibanding pertolonganmu semalam." Balas Jimin kemudian

"Aish~ jangan membahasnya terus hyung. Sudah ya, aku pulang dulu! Bye..."

Mingyu melambaikan tangannya sambil berjalan menjauh. Jimin membalasnya sekejap, lalu kembali masuk kedalam. Begitu hendak membereskan cangkir teh yang sudah kosong, ia dibuat terkejut karena sebuah ponsel bergetar di meja itu.

"Huh? Ponsel Kim Mingyu? Tsk, bocah itu melupakannya." Ia pun mengambil benda itu.

Incoming Call

Ibu~

Jimin sedikit ragu untuk mengangkatnya. Apalagi disaat bersamaan bel pintunya berbunyi, membuat ia mengurungkan niatnya mengangkat telepon dari Ibu Mingyu itu.

"Pasti itu Mingyu!" Terkanya, lantas beranjak membuka pintu.

"Kim Mingyu, ponselmu-"

Ucapan Jimin terhenti begitu yang ia lihat dihadapannya bukanlah Mingyu seperti yang ia duga. Sosok ini mengenakan topi, memiliki sorot mata lebih tajam, seraya berkata dengan nada amat dingin,

"Kim Mingyu? Apa kau lupa nama kekasihmu sendiri...Park Jimin?"

Dan seketika itu juga, air muka Jimin berubah. Bertambah pucat dari sebelumnya,

"...Yoongi,"

.

.

.

.

.

"Selamat pagi, Park Jimin." Sapa Yoongi sambil tersenyum- yang malah membuat Jimin merasa ketakutan. Ah...ini bukan pertanda baik.

"Pagi Jimin sayang? Kenapa kau tak membalas sapaanku? hm?"

Jimin masih mengatupkan bibirnya. Ia menatap Yoongi seolah-olah lelaki itu adalah tamu yang tak ingin ia temui hari ini.

Sebab memang iya.

"Kenapa kau menatapku seperti itu? Ada yang salah denganku?"

"K-kenapa kau datang sepagi ini?" Akhirnya Jimin membuka suara, dan Yoongi langsung melunturkan senyumannya.

"Kenapa? Apa aku tak boleh mengunjungi kekasihku sendiri?"

"Bukan begi-"

"Oh! Atau kau lebih suka aku berkunjung larut malam hingga pagi hari seperti Kim Mingyu?"

"A-apa? Darimana kau-"

Yoongi memajukan satu demi satu langkahnya, membuat Jimin bergerak mundur. Ia terus menatap mata Yoongi yang mulai memancarkan sesuatu tak beres.

"Apa yang dia lakukan semalaman disini?" desisnya "...Dia menolongmu apa hingga kau mengizinkannya menginap dan membuatkannya teh dipagi hari? Bahkan aku yang kekasihmu pun belum pernah merasakan itu,"

"..."

"JAWABLAH PARK JIMIN!"

BRAKKK!

Pintu tertutup sempurna bersamaan dengan suara Yoongi yang sudah tentu mengagetkan Jimin.

"Y-Yoon, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Semalam dia hanya-"

"Apa dia melakukan ini?"

BRUK!

Ponsel Mingyu yang Jimin pegang terjatuh begitu saja begitu Yoongi mendorong dan membenturkan punggungnya ke dinding dengan lumayan keras. Jimin tak punya kesempatan bahkan untuk sekedar merintih sebab Yoongi dengan segera mengunci mulutnya.

Yoongi mendaratkan sebuah ciuman yang tak bisa dibilang lembut karena ia sama sekali tak memberikan kesempatan untuk Jimin bernafas barang sedetik saja.

Sentuhan ini kacau. Penuh dengan nuansa kemarahan.

Dan itu artinya emosi Yoongi benar-benar sudah ada di puncak. Mau menjelaskan seperti apapun akan terasa percuma.

Kedua tangan Yoongi membingkai -lebih tepatnya mencengkram- rahang Jimin dengan sebegitu kencangnya. Memaksa Jimin untuk membalas, namun yang didapatnya malah pukulan dan dorongan di dada berkali-kali.

Astaga!

Jimin benar benar tak sanggup lagi. Nafasnya serasa sudah berada di tenggorokan dan nyaris habis.

Berbeda dengan Yoongi yang seolah tak lelah sama sekali. Kini bahkan satu tangan lelaki itu menyusup ke balik kemejanya.

Yoongi sudah benar benar marah.

Ia tetap memagut bibir itu, walau Jimin tak melakukan apapun untuk membalasnya. Sang kekasih hanya merintih, mengerang, meminta dilepaskan.

Suara bel membuat Yoongi melepaskan pagutannya dengan terpaksa. Kesempatan itu Jimin gunakan untuk menghirup nafas sebanyak-banyaknya. Ia bahkan ambruk terduduk dengan nafas terengah engah.

Min Yoongi benar benar menyiksanya.

"Sigh. Bocah itu, apa dia cari mati?"

Umpat Yoongi tatkala melihat Mingyu dari intercom. Lantas dia memungut ponsel dilantai yang ia perkirakan menjadi penyebab Mingyu kembali lagi.

Pintu dibuka.

"Jimin hyung, pon-"

"Ponselmu tertinggal?"

Mingyu jelas terkejut

"Huh? Suga hyung? Sejak kapan kau-"

"Hanya tinggal ambil benda ini, lalu segera pergi dari sini" Ujar Yoongi menahan segala emosinya.

Mingyu pun mengambil ponselnya dari tangan sang kapten. Sedikit menatap curiga karena Yoongi hanya membuka sedikit celah pada pintunya. Seolah ada yang ia sembunyikan.

"Tapi...apa Jimin hyung baik baik saja? Dia sedang-"

"Dia sedang mendapat pelajaran dariku. Jadi kau jangan mengganggu, dan segera enyah dari hadapanku sebelum aku benar benar menghajarmu Kim Mingyu!"

.

.

.

BRAK !

.

.

.

Mingyu tak berkedip ketika pintu itu ditutup dengan kerasnya oleh Yoongi. Kebingungan masih melandanya.

Sejak kapan Yoongi berada di apartemen Jimin?

Dia sudah sampai di lantai utama saat ia sadar ponselnya tertinggal, tapi rasanya ia tak berpapasan sekali pun dengan Yoongi.

Dan...

Suara serta raut wajah Yoongi menandakan, jika sang kapten bukan dalam keadaan yang baik baik saja. Oh, yang lebih Mingyu khawatirkan adalah...

...apakah Jimin dalam keadaan baik baik saja?

Yoongi bilang dia sedang memberinya pelajaran?

Apa maksudnya?

"Aish~ Apa keadaan didalam baik baik saja?"


Begitu Yoongi kembali, ia menarik Jimin tanpa basa-basi. Saat Jimin merintih dan tak mampu berdiri, Yoongi semakin dikuasai emosi, maka ia lantas menyeret kekasihnya tanpa perduli.

"Y-yoon,"

Yoongi tak mau mendengar

"Tunggu dulu Yoongi-a," Jimin berusaha melepaskan genggaman itu dan berdiri, "Yoon! akh!"

Yoongi terus menyeret Jimin dibelakangnya, membawanya menuju kamar mandi. Pergelangan tangan Jimin berbekas, merah, tatkala Yoongi melepaskannya dibawah shower.

"bersihkan dirimu," Ujar Yoongi rendah, namun jelas memerintah. Jimin dibawahnya mengernyitkan dahi. kenapa ia diminta membersihkan diri?

Lelaki itu tidak- astaga apa yang Min Yoongi pikirkan?!

"...aku tak bisa menjamin kau dan bocah itu tak melakukan apa-apa setelah berdua semalaman-"

"Yoon, sudah kubilang-"

"-jadi bersihkan dirimu dan pastikan tidak ada jejak apapun yang tertinggal. jika nanti aku menyentuhmu dan mendapatinya meski hanya samar-samar...lihat saja apa yang terjadi, Park Jimin."

Jimin hendak mengatakan sesuatu sebelum tiba-tiba ia dihujani air dingin, membuatnya berjengit. Tak sampai disitu, Yoongi lantas berlutut dan hendak membuka kancing kemeja Jimin.

"A-apa yang mau kau lakukan!?" dengan gemetar Jimin menghempaskan tangan Yoongi, namun kekasihnya itu tak menjawab atau merubah ekspresi. Beberapa bagian tubuhnya terkena cipratan air yang menghujani Jimin, namun ia tak perduli.

Yoongi kembali mencoba membuka kancing kemeja berwarna putih itu, kali ini dengan sedikit paksaan. Sudah tentu Jimin makin kuat menghalangnya. Tidak. ini sudah keterlaluan.

"Yoon-Yoongi-a, please, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Kau- K-kau salah paham,"

Yoongi akhirnya berhenti, menyerah. Ia lantas diam memperhatikan Jimin yang mulai menggigil dan menggeretakkan gigi.

"Kenapa?" Yoongi bertanya, tatapannya jatuh pada jari-jari Jimin yang masih berada pada bagian kancing, menghalangi Yoongi agar tak membukanya "...kenapa kau menghalangiku? kau takut aku melihat jejaknya?"

"Yoon,"

"Sebanyak apa? Sejauh mana?! Sampai tahap mana kau dan bocah itu melakukannya? Kau juga nampak begitu lemas, bahkan tak sanggup berdiri. Jangan-jangan kau sudah tidur dengan-"

"MIN YOONGI!" Jimin menjerit diantara guyuran air, ditengah rasa dingin, sekuat tenaga menghentikan ucapan ucapan Yoongi yang terus berprasangka buruk terhadapnya. "...bagaimana aku...harus menjelaskannya padamu...agar kau mengerti? A-aku dan Mingyu, kami tak melakukan apa apa! Dia hanya menemani-"

"Dia hanya menemani dan memuaskanmu saat aku tak ada disampingmu. Begitu? Sial. bahkan kau tak membalas sedikitpun sentuhanku! Park Jimin, sepertinya kau tak pernah serius mencinta-"

"Berhentilah berpikiran buruk tentangku Yoon! Kenapa kau tak pernah mempercayaiku sekali saja?!"

"Karena kau selalu membuat prasangka buruk itu muncul di otakku! Sekarang kutanya padamu, apa kau bahkan ingat jika hari ini adalah hari anniversary kita?"

Jimin nampak membulatkan matanya.

Anniversary?

"Aku menunggumu semalaman, Jimin-ie." Yoongi mengungkapkan "...aku menunggumu mengucapkannya lebih dulu padaku. Berusaha melupakan jika beberapa jam lalu kita bertengkar didalam mobil. Masih menahan emosiku saat kau tak kunjung menghubungiku. Aku menghubungimu dan mendapati suara orang lain yang mengangkatnya. Dia bahkan bukan orang lain, tapi temanku! Kau telah membuat emosi yang susah payah ku jaga, pecah begitu saja, kau tahu?!"

Jimin lagi-lagi hanya terdiam mendengar penuturan Yoongi. Sungguh, ia benar benar lupa jika hari ini adalah hari Anniversary mereka berdua.

"...Tolong patahkan dugaanku jika kau bahkan lupa hari anniversary kita Park Jimin. Buat aku menghilangkan prasangka burukku tentangmu dan yakinkan padaku jika kau memang mencintaiku!"

Jimin melepaskan tangannya dari kemeja, lantas memberanikan diri menyentuh Yoongi didepannya.

"Y-Yoon,"

Namun Yoongi malah menghindar dan enggan berkontak mata.

"Maaf," Ucap Jimin akhirnya "...a-aku minta maaf," sesalnya kemudian.

Perlahan Yoongi menatapnya kembali. Lurus kearah mata Jimin, seolah mencari sesuatu disana.

"Sebenarnya..." ia menghela nafas sejenak "...sebenarnya, kau artikan apa kebersamaan kita selama ini? Sejauh ini, apa yang belum kuberikan padamu Jiminnie? Apa yang membuatmu tak kunjung mencintaiku?" Yoongi bertanya dengan nada yang sangat rendah, bahkan cenderung putus asa.

"Aku mencintaimu, Yoon-"

"Tapi aku tak pernah menemukan itu di matamu! Tak menjumpai itu disikapmu! Tolong, " Yoongi memohon, "...tolong hilangkan kecurigaanku jika semua yang kau lakukan selama ini hanyalah palsu. Aku sudah mencintaimu sedalam ini Jimin, jadi jangan membuatku kembali berfikir jika..."

"..."

"...Jika dulu kau menerimaku karena terpaksa. Kau menghampiriku hanya karena permintaan Jeongguk saja."

KRAKKK

Entahlah, hati siapa yang terlebih dahulu terbelah.

Jimin yang langsung terdiam dan tak mampu membalas lagi begitu mendengar nama Jeongguk, atau Yoongi yang melihat perubahan raut wajah Jimin begitu nama itu disebut, seolah ia harus menerima kenyataan jika dugaannya tentang perasaan sang kekasih mungkin saja benar.

Lantas keduanya sama terdiam. karena keduanya sama terluka. Nyatanya, nama itu terucap lagi.

Jeon Jeongguk.

"Ternyata benar, ini karena Jeongguk..."

"Cukup Yoongi, cukup! Jangan menyebutnya lagi, please, please..."

Jimin menunduk, serta menutup kedua telinga dengan telapak tangannya. Lambat laun terisak.

Mendengar nama Jeongguk membuat telinganya terasa berdengung. Membuka semua memori yang sudah susah payah ia tutup hingga menganga kembali. Menimbulkan perasaan sesak yang memaksa airmatanya membuncah tanpa bisa ia kendali. Dinginnya air yang menhujani seolah tak terasa lagi.

Jimin tak tahu Yoongi tengah menatap lelah kepadanya.

Dia bertambah muak dengan semua ini.

Mengapa Jimin selalu saja menangis jika ia mulai melibatkan nama Jeongguk?

Oh, lebih tepatnya...

Kenapa nama Jeongguk selalu saja terlibat dalam pertengkaran mereka? Terlepas dari kenyataan jika Jeongguk adalah masa lalu Jimin, lelaki itu seolah telah menjadi sekat dalam hubungan keduanya. Sekat yang tetap saja melekat tak perduli sekuat apapun Yoongi menghancurkannya.

Nama Jeongguk selalu ada, dan selalu menjadi ujung pangkal dari pertengkaran mereka.

"Dulu aku pernah memberimu kesempatan untuk kembali padanya jika memang kau tak bisa menerimaku, Jimin. Tapi kau tetap saja ada disampingku dan berkata ingin belajar mencintaiku." Ujar Yoongi sambil merubah posisi, berdiri. "...Tapi apa kenyataanya? Omong kosong! kau benar benar membuatku muak Park Jimin!"

Hendak beranjak dari sana dan hendak membuka pintu kamar mandi, sebelum sebuah pelukan datang dari belakangnya. membuat bagian punggungnya basah dan terasa dingin.

"Jangan pergi," satu isakkan lolos. "...jangan pergi, Yoongi..."

Yoongi sama sekali tak menyentuh tangan yang melingkar di pinggangnya itu.

"Aku sudah pernah memperingatkanmu, Jika kudapati kau berdusta dengan ucapanmu maka kau akan menerima akibatnya Park Jimin."

Jimin tak mampu menjawab dan hanya bisa terisak, membasahi baju Yoongi dengan airmatanya.

"...Jangan menampakkan tangisanmu jika airmata itu nyatanya kau keluarkan untuk Jeongguk! aku lelah Jimin, aku muak, sungguh."

Entahlah.

Benar, apa yang Yoongi katakan memang benar.

Jimin masih belum bisa melupakan sosok Jeongguk dalam hidupnya. Tapi ia pun kini tak mau jika Yoongi meninggalkannya.

Semenyesal apapun ia saat harus jatuh dipelukan namja ini, semenyebalkan apapun sikap Yoongi, atau sekasar apapun perlakuan yang ia dapat dari Yoongi,

...Jimin tidak mau dilepaskan lagi.

"Kau melukaiku, Jimin."

"Aku tahu,"

Dengan itu Yoongi melepaskan pelukan Jimin dengan kasar, lalu pergi begitu saja. Tak ia hiraukan lagi Jimin yang menangis memanggil namanya,

"Maafkan aku, Min Yoongi...maafkan aku..."

.

.

.

mengertilah, aku tak ingin kau meredup

aku tak ingin kau membeku

cobalah dengarkan aku

maafkan karena ku takkan pernah bisa untuk melupakan dia

sesungguhnya aku sangat mencintaimu

maafkan atas semua yang t'lah kau rasa

hingga buatmu terluka

dengarkanlah, aku hanya ingin kau mengerti...

(plusminus-mengertilah)

.

.

.

First Anniversary yang buruk...


"Hyung! JIMIN HYUNG!"

Jimin menoleh kebelakang saat mendengar seseorang memanggilnya "Mingyu?"

"Hyung!" Mingyu sampai didepannya.

"Ada apa?" Jimin bertanya

"Apa kau baik baik saja?" yang lebih muda balik bertanya

"Seperti yang kau lihat, aku sudah bisa kuliah dan itu artinya aku-"

"Aish~ Bukan itu maksudku hyung!"

"Hn? Lalu?"

"enggg~ Kemarin, aku melihat Suga hyung ada di apartemenmu. Dia bahkan mengembalikan ponselku yang tertinggal. Kalian tak bertengkar kan? kau tak apa apa kan?"

Jimin tak kunjung menjawab pertanyaan Mingyu. Ia malah menanyakan hal yang lain.

"Apa hari ini kalian ada latihan?"

"Ha? A-ada. Tapi hyung-"

"Kalau begitu sampai jumpa disana. Aku harus segera memasuki kelas. Bye Mingyu!"

Mingyu lagi-lagi hanya bisa mengernyitkan dahi melihat sikap Jimin barusan.

Ia jadi bertambah yakin, jika kemarin terjadi sesuatu di apartemen kekasih kaptennya itu.


Changmin menatap heran pada Yoongi yang sedari tadi terus saja mendribble bola dan memasukkannya ke Ring. Padahal ia sudah memberi kesempatan untuk beristirahat beberapa menit. Ia tahu turnamen akan segera tiba, tapi anak itu tak biasanya serajin ini.

Bukan hanya Changmin. Namjun, Seokjin, Jeongguk dan Mingyu serta beberapa pemain cadangan lain pun sama merasa heran.

Kapten mereka tak mengucapkan kalimat apapun sejak latihan dimulai.

Dan keheranan mereka bertambah begitu Jimin muncul, namun Yoongi masih terus saja sibuk dengan bola seolah tak melihat kedatangan kekasihnya itu. Bahkan saat Jimin memanggilnya beberapa kali, Yoongi tak menyahut sedikitpun.

Barulah mereka menyimpulkan bahwa,

Yoongi dan Jimin sedang bertengkar.

"Sudah kuduga, mereka pasti bertengkar! Aku benar benar benci situasi semacam ini" bisik Namjun pada Seokjin yang ada disisinya

"Kau ini, mereka bermesraan kau tak suka, bertengkar pun kau tak suka. Kau maunya apa sih?" Balas Jin sambil meneguk minumnya

"Bukan begitu maksudku. ya, kan kau tahu sendiri sayang, mereka jika sudah bertengkar akan sangat menyeramkan."

Jin membenarkan

"Tapi...Bukankah tempo hari mereka baik baik saja? Kenapa tiba tiba bertengkar?"

Namjun menaikkan bahu, "Yang penting kita berdua tidak lah..." lalu merebut minuman kekasihnya. Jin nampak tak ambil pusing.

Tak jauh darisana, Mingyu terdiam mendengar perbincangan pelan antara pasangan kekasih itu.

Lalu beralih menatap Yoongi yang sedang memasukkan bola ke Ring namun gagal, dan Jimin yang masih berdiri menunggunya di tepi lapangan sana.

Benar dugaannya. Mereka pasti bertengkar.

Apa ini karena aku?, batin Mingyu menerka-nerka.

Lain halnya dengan Jeongguk yang benar-benar tak tahu apapun dan hanya bisa menatap heran pada Yoongi dan Jimin.

"Yoongi-a, berhentilah. Aku ingin bicara sebentar..."

Melihat Jimin terus membujuk Yoongi tanpa mendapat respon sedikitpun membuat Jeongguk kesal juga.

Bola yang gagal masuk ke Ring menggelinding ke arahnya, dan kesempatan itu Jeongguk gunakan agar Yoongi berhenti dengan kesibukannya. Ia pun mengambil bola berwarna jingga itu.

"Kemarikan." Titah Yoongi singkat.

Tapi Jeongguk tak menurutinya.

"Apa kau tuli? kubilang kemarikan bolanya Jeon Jeongguk!"

Jeongguk berdiri, masih sambik memegang bola itu.

"Harusnya aku yang tanya padamu, kau tuli? Apa kau tak dengar kalau daritadi ada yang memanggilmu?"

"Hah~ Bahkan dia yang memanggilku pun tak protes, kenapa kau yang repot? Berikan bolanya!"

"Setidaknya kau temuilah dia dulu. Dia kekasihmu Yoongi-a, tak bisakah kau menghargainya sedikit?!" Ujar Jeongguk sarat akan rasa kesal

Jika Jeongguk yang penyabar saja sudah merasa kesal, apalagi Yoongi yang pemarah. Dia dengan cepat berjalan menghampiri Jeongguk dan merebut bolanya.

"Harusnya dia yang menghargaiku, tak semestinya dia datang dan mengganggu saat aku sedang latihan!"

"Bahkan ini waktunya istirahat, Min Yoongi. Kau jangan keras kepala begitu!"

"Kenapa kau ikut campur sekali bahkan saat kau tak tahu apa apa?!"

"Y-Yoon, sudahlah-" Jimin coba melerai,

"DIAM!" Yoongi malah membentak Jimin, bahkan tak tanggung-tanggung melemparkan bola itu ke arah kekasihnya. Untunglah tak berakibat fatal, namun cukup untuk membuat Jimin shock dan bungkam.

Semua yang ada disana pun hanya bisa menyaksikan ini dalam diam, ikut campur disaat tak tahu apapun memang hanya akan menambah keruh suasana saja.

Namun tidak bagi Kim Mingyu. Dia rasa dia tahu sesuatu, dan dia harus ikut bicara.

"Suga hyung tak perlu membentak Jimin hyung begitu!" Ujar Mingyu seraya berdiri.

"KUBILANG DIAM KIM MINGYU! SEMUA INI GARA GARA KAU JUGA!" Yoongi membentak lagi, membuat semuanya sedikit terkejut.

"Aku? Kenapa kau menyalahkanku?"

Yoongi belum sempat menjawab saat Mingyu kembali berkata,

"Apa karena malam itu aku menginap di apartemen Jimin hyung?"

Yoongi mengepalkan tangannya mendengar Mingyu dengan santainya mengakui hal itu. Bocah itu benar benar menyulut kemarahan yang sudah ia tahan sedari tadi.

BUGGG!

"YOONGI!"

Jeongguk dan yang lain terlonjak kaget begitu Jimin berteriak karena Yoongi tiba tiba saja maju dan memukul Mingyu.

Walaupun hanya sekali.

Dan untunglah yang lebih muda tak membalas.

"Santai sekali kau mengucapkan itu didepanku?! Hah?! Apa kau tak sadar sedang berbicara dengan siapa?!"

"Aku tahu! Aku tahu kau kekasih Jimin hyung makanya aku berani bicara. Kalian tak seharusnya bertengkar hanya karena ini!" Ujar Mingyu sambil memegang sudut bibirnya.

"Kau pikir namja mana yang tak marah saat tahu orang lain menginap di apartemen kekasihnya?!"

"Selain kau!" Balas Mingyu cepat, "...Selain kau yang selalu berpikiran buruk dan akan langsung marah bahkan saat kau belum tahu kejadian yang sebenarnya. Selain kau yang gampang merasa emosi dan seenaknya memukul orang saja! Selain kau, namja manapun kurasa tak akan marah!"

"Shit, rupanya kau sudah pandai bicara. Alasan apa yang bisa membuatku tak marah hah? Katakan!"

"Malam itu Jimin hyung sakit, Kau tahu?! Harusnya kau berterimakasih padaku karena yang menolong kekasihmu itu adalah aku, TEMANMU! oh, bahkan aku tak yakin kau menganggapku teman"

Yoongi terdiam.

Lalu menoleh sejenak kepada Jimin. Benar, wajah kekasihnya masih pucat seperti kemarin. Apa benar yang Mingyu katakan? Apa iya dia sakit?

Namun bukan Yoongi namanya jika begitu saja mengalah.

"Lalu kau merasa apa yang kau lakukan itu benar? kau kan bisa menghubungiku, jadi kau tak perlu semalaman menemaninya!?"

"Jimin hyung yang melarangku!"

nah.

Dengan cepat Yoongi menoleh lagi pada Jimin. Kali ini menatapnya dengan lebih tajam seolah akan menusuknya.

"Ternyata kau lebih senang jika orang lain yg menemanimu,"

"Y-Yoon, bukan begitu-"

"Dia hanya tak ingin mengganggumu hyung, tolong jangan seperti anak kecil! Dia memang kekasihmu tapi bukan berarti kau harus mengekangnya begitu! Ada ya kekasih over protective sepertimu? posesif! Aku jadi ragu Jimin hyung betah denganmu!"

"Hentikan omong kosongmu brengsek!"

BUGGG!

BUGGG!

"MIN SUGA!"

Changmin berlari mencegah Yoongi agar tak memukul Mingyu lagi. Namjun dan Seokjin pun ikut berdiri dan mendekat pada Mingyu, takut anak itu akan membalas. Jeongguk sendiri masih mematung di tempatnya.

"HENTIKAN MIN SUGA! APA KAU GILA?!"

"..."

"...Tolong, jika kalian mempunyai masalah selain urusan basket, jangan pernah membawanya ke lapangan ini! Apalagi sampai bertengkar disini. Selesaikanlah baik baik diluar!" Changmin memperingatkan.

"Terserah kalian saja! Aku muak!"

Yoongi melepaskan tangan Changmin dari bahunya dengan kasar. Lalu pergi begitu saja dengan amarah yang masih membara. Ia bahkan hanya melewati Jimin begitu saja tanpa sedikitpun menyentuhnya.

Seokjin pun menjauh dari Mingyu lalu menghampiri dan merangkul Jimin yang tampak akan menangis itu.

"Sudah Jiminie, jangan menangis" Ucapnya menenangkan.

Jeongguk diam-diam mengepalkan tangannya. Melihat Jimin perlahan menangis membuat dia merasakan sesuatu yang tak nyaman. Ia ingin menghampiri Jimin seperti apa yang Seokjin lakukan, hanya saja...

...ia terlalu pengecut untuk melakukannya.

"Aku...akan menyusul Yoongi dan coba bicara pelan pelan dengannya,"

Jadi ia memilih beranjak pergi. Namun setelah melewati Jimin satu langkah, mantan kekasihnya itu mengatakan sesuatu yang membuat langkahnya spontan terhenti.

"Puas kau Jeon Jeongguk...?"

"..."

"APA KAU SUDAH PUAS MELEPASKU UNTUK ORANG SEPERTINYA DAN MEMBUATKU TERSIKSA BEGINI?!"