Pernahkah kau mendengar Paradoks Kapal Therseus?

Kalau sudah, bagus. Kau memiliki hak untuk melewati sekumpulan omong kosong di bawah ini.

Kalau tidak, atau pun sudah tahu namun penasaran bagaimana aku mendefinisikannya, silakan korbankan waktu kalian untuk membaca beberapa paragraf yang entah mungkin atau tidak akan menjadi petunjuk bagi kalian ke depan.

Mudahnya, mari katakan ada sebuah kapal besar.

Anggap kapal layar galleon berbahan dasar kayu yang banyak digunakan penjelajah pada abad pertengahan.

Warna cokelat keemasan pada lambungnya yang terbuat dari olahan pohon terbaik.
Layar raksasa pengendali angin dengan warna putih yang mulai menguning dimakan waktu.
Kepala kapal yang berwujud ukiran tiga dimensi luar biasa indah khas tangan telaten ahli.

Sudah?

Jadi, misalnya, kapal ini digunakan untuk mengelilingi dunia, sebagai bagian dari percobaan untuk membuktikan hipotesa kalau planet yang kita tinggali ini sebenarnya berbentuk bulat.

Mereka ingin memastikan apakah betul kita bisa sampai ke tempat semula bila terus melaju ke depan. Sama sekali tak aneh, kalau sepanjang perjalanan yang panjang, kapal ini mengalami banyak kerusakan, bukan?

Misal, tiang layar yang berdiri dengan gagah perkasa akhirnya tumbang dan hangus, disambar petir pada suatu malam di mana badai hujan penuh gemuruh menghantam lautan.

Kemudian, lambung kapal yang dipercaya takkan kalah walau diterjang ombak sekuat apa pun tetap rusak dan robek, menabrak karang di dasar laut yang ujung atasnya menjulang di luar prediksi mereka yang berada di atasnya

Layar raksasa yang membuat mereka mampu mengendarai angin justru robek oleh terjangan angin, serta burung-burung berparuh lancip yang dengan seenaknya menerjang dan menembus, bagaikan jarum pada kain.

Dek kayu yang mulai melapuk secara perlahan diganti dengan yang baru.
Kaca di jendela yang pecah oleh satu dan lain hal pun diperbaharui.
Bahkan para awaknya juga tak luput silih berganti sepanjang perjalanan.

Satu persatu bagian kapal yang rusak pun digantikan. Hingga pada akhirnya tak ada satu pun bagian dari kapal lama yang tersisa, hingga kau tak bisa lagi mengenali kapal itu seperti saat pertama kali kau naiki

Di sini pertanyaannya—

Apa kau masih bisa mengatakan kalau kapal ini adalah kapal yang sama?

Jika kau adalah para penjelajah itu, di akhir penjelajahanmu, saat kau menatap kapal yang seutuhnya terdiri dari bagian-bagian baru tersebut dan membandingkannya dengan sebelum digunakan, apa kau bisa menyebut ini tetap kapalmu yang dulu?

"..."

Bingung?

Masih ada hal yang lebih membingungkan lagi.

Jika misalnya ada orang yang mengumpulkan bagian-bagian asli kapal yang rusak tersebut, dan secara ajaib bisa memperbaiki dan membangun ulang kapal tadi seperti aslinya—

Lalu kapal mana yang asli?

'Kapal lama' yang tersusun atas bagian-bagian baru?
Atau 'kapal baru' yang tersusun atas bagian-bagian lama?

"..."

Ah, kepada kalian yang dengan serius memikirkan jawaban, aku mohon maaf. Kau tidak perlu melakukannya.

Tak peduli logika macam apa yang kau gunakan, tak ada yang mengharapkan jawaban dari pertanyaan barusan.

Karena seperti yang namanya sendiri implikasikan, ini adalah paradoks; dan paradoks tak mengharap jawaban. Keduanya benar di saat yang sama, juga salah di saat yang sama. Dari dulu, cara menjawab pertanyaan ini tak pernah beda.

Sama seperti pertanyaan 'antara perisai yang tak bisa ditembus oleh apapun dan tombak yang bisa menembus apapun, mana yang menang?'.

Kau cukup mengangkat bahu, dan kemudian menertawakan betapa konyol pertanyaan ini.

Tapi sayangnya, kali ini berbeda.

Kau tidak bisa begitu saja menyerah memberi jawaban, dan jangan harap ini bisa jadi lelucon sederhana yang di kemudian hari bisa kau lupakan dan tertawakan.

Kisah kali ini adalah cerita yang demikian.

Tentang asli dan palsu.
Asli yang kehilangan diri.
Palsu yang menyerupai asli.

Identitas. Jati diri.

Lalu yang paling penting—

—masa lalu.


(o) —


.

.

.

Vocaloid © Yamaha, Crypton
(tiada keuntungan yang diraup dari fanfiksi ini)

.

.

.

Ini adalah jilid ketiga dari serial mystery game—sekaligus jilid kedua dari (semoga) duologi OPERA.

Yep, bisa dibilang ini sekuel.

Jadi bagi yang belum membaca Saat Boneka Menari, silakan baca yang itu dulu.
Karena kejadian-kejadian di sini kebanyakan merupakan late-arrival spoiler untuk endingnya.

Happy reading, people.

.

.

.

— Saat Laut Menangis —
— EPISODE 0:
The Ship's Arrival

.

.

.


— (o) —


Bunyi ombak malam ini terdengar begitu lembut. Halus, mendesir di telinga.

Jikalau bunyi aliran darah kita yang mengiang tatkala cangkang kerang didekatkan ke kuping adalah sebuah eargasm yang mampu menenangkan jiwa, maka suara debur laut yang menghantam pinggir dermaga ini bahkan mungkin beberapa level di atasnya.

Walau sudah memasuki musim dingin dan salju mungkin saja akan turun dalam beberapa hari ke depan, bintang-bintang yang membentuk berbagai macam rasi masih tampak mengagumkan, memenuhi kubah hitam pekat dunia.

Pelabuhan yang lokasinya berada di pinggir laut otomatis membuatnya agak terpisah dengan bangunan-bangunan pencakar langit yang biasa ada di pusat kota. Hasilnya, langit di wilayah ini, sedikit banyak terhindar dari polusi cahaya yang memakan satu dari sekian keindahan semesta raya yang mulai berkurang secara perlahan.

Bulan terlihat melingkar sempurna, pertanda kalau satelit alami planet kita itu telah memasuki fase purnama. Warna pucat yang memantulkan cahaya mentari dari sisi lain Bumi itu tampak tak dikekang waktu, tetap sama sepanjang masa, memberi kesan misterius yang menimbulkan gidik bulu roma.

Sama seperti pasang-surut yang dipengaruhi oleh fase bulan, mungkin sebagian manusia, sama seperti hewan tertentu, masih memiliki sisa gen pendahulu yang menimbulkan fenotipe berupa kepekaan terhadap perubahan fase bulan.

Di pinggiran dermaga, banyak manusia berkumpul, seolah menunggu kehadiran kendaraan transporasi laut datang menjemput. Walau jam sudah hampir menunjukkan pukul sekitar sepuluh malam, pelabuhan kota Vokazuri terlihat sedikit lebih ramai dari yang biasanya.

Kita bisa dengan mudah membagi dua mereka-mereka yang berdiri di pinggir laut ini—antara calon penumpang kapal yang memegang koper dan tas, serta para manusia yang tak punya hal lain untuk dilakukan dengan kamera digital atau ponsel cerdas bermode kamera di tangan, siap memotret.

Bunyi peluit kapal pesiar terdengar, seperti terompet raksasa yang menggema dengan langit malam sebagai auditorium.

Beberapa dari para 'wisatawan' yang sengaja datang demi menyaksikan kedatangan kapal tersebut spontan menutup telinga, tak menduga kalau bunyi semacam itu akan terdengar.

Beberapa yang lain, yang punya pengetahuan sedikit lebih banyak, juga mereka yang kebetulan sudah mengantisipasi tanpa sadar, sudah menyiapkan penyumbat telinga berupa alat salur musik berbentuk kecil yang menempel di lubang telinga.

Sedikit informasi tambahan demi menambah rincian, dari sekitar 30 orang yang berjejer di pinggir dermaga, tempat kapal berlabuh dan diturunkannya landai untuk jalan masuk orang, ada 18 yang berdiri di sana cuma demi melihat kehadiran kapal pesiar yang sedang menuju ke sini.

Dari 18 orang itu, 6 di antaranya memakai earphone (antara mengusir kebosanan dan demi terhindar dari bunyi peluit), dan tiga di antara enam orang itu sedang mendengarkan dentingan piano lagu klasik yang mungkin bahkan anak-anak kenali—Canon in D, lantunan nada hasil gubahan Johann Pachelbel yang sempat terlupakan selama nyaris tiga abad.

Kapal pesiar besar yang melaju perlahan itu mendekat ke pelabuhan secara pasti. Ujung melancip bagian depan lambung kapal yang bersentuhan dengan air tampak seperti membelah lautan menjadi dua, menimbulkan busa putih sebagai efek tambahan.

Wujud akbar yang sebelumnya tampak kecil oleh perbedaan jarak antara mata dan objek yang dipandangnya, kini mulai menampakkan kemegahan dan keperkasaan dalam hal ukuran.

Putih polos yang mewarnai seluruh eksterior cruise liner mewah itu menimbulkan kesan bersih yang luar biasa. Jika boleh diuangkapkan secara hiperbolik, rasanya seperti butuh mata yang ahli dan telaten untuk menemukan bahkan setitik debu.

Kira-kira, berapa biaya yang dihabiskan cuma untuk pembersihan rutin? Berapa kali lipat dari gaji bulanan pegawai kantoran biasa?

Menghabiskan banyak biaya dan sumber daya, kapal ini, selayaknya rumah istana, merupakan suatu perwujudan dari kekayaan. Hasil dari tidak tahu mau dikemanakan lembaran uang yang melimpah ruah, tidak muat ditaruh dalam brankas.

Namun kapal ini dibuat bukan sebagai layanan bagi orang-orang kaya. Beda dari Titanic yang tenggelam pada tahun 1912, pesiar raksasa ini tak didatangkan demi menjemput ratusan orang kaya yang ingin menikmati perjalanan laut kelas tinggi.

Kapal ini didedikasikan untuk sebuah insiden. Dibeli oleh seorang milyader yang hidupnya dipengaruhi secara besar-besaran—tak salah bahkan bila kata 'dipengaruhi' tadi diganti 'berubah'—oleh peristiwa yang dimaksud.

Insiden yang lumayan terkenal di kota Vokazuri ini, yang mampu membuat 18 orang penghuni kotanya rela keluar rumah, menggigil di pinggir pelabuhan laut demi menyaksikan kedatangan kapal ini. Entah demi ikut mengilas balik kejadian tersebut, atau sekadar demi melihat kebesaran sang kapal saja.

Insiden itu terjadi pada 2012 lalu, tepat tanggal 12 Desember. Menjadikan tanggal unik serba 12 tersebut sebagai pengenang memori buruk yang mungkin akan selamanya berbekas di Kota Vokazuri.

Tragedi mengerikan yang menyebabkan tewasnya tiga orang konglomerat beserta satu orang pelayan, dibawanya seorang saksi mata ke rumah sakit jiwa, dan dikenalnya dua buronan tingkat nasional yang masih dalam pengejaran.

Kejadian kontroversial di mana sesaat setelah terjadinya peristiwa itu, terbitlah buku yang dikatakan merupakan apa yang sebenarnya terjadi di tempat kejadian perkara, ditulis langsung oleh tangan dingin pelaku sendiri.

Sebuah buku yang ditulis atas nama OPERA.

Sebuah buku yang diberi judul Saat Boneka Menari.

Sebuah buku yang memulai perdebatan mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 12 Desember 2012—membuat apa yang tadinya 'cuma' kasus pembantaian dan pembunuhan massal biasa jadi bagian dari sejarah kota.

Tragedi Vila Boneka.

Melibatkan seluruh generasi kedua dan ketiga keluarga Kagamine, membuat keluarga yang tadinya pemegang saham mayoritas perusahaan boneka terbesar di dunia menjadi tinggal nama—menyisakan satu anggota di rumah sakit jiwa dan dua lainnya menghilang entah ke mana.

Mencabut nyawa yang tak bersalah, dan meninggalkan luka mendalam yang merubah hidup mereka yang berhasil keluar setelahnya.

"..."

Seorang laki-laki menekan tombol shutter pada kamera digital yang sengaja ia bawa, menangkap sosok kapal pesiar besar yang mungkin akan segera berlabuh dalam hitungan menit.

Jaket kelabu bertudung miliknya tak terkancing, menampilkan pakaian di dalam yang berupa kemeja polos kuning tua. Di saku dada, sebuah music player kecil bertengger manis, terhubung dengan earphone yang terhubung ke kedua lubang telinga.

Melihat foto yang berhasil ia tangkap melalui layar digital kamera, lelaki itu memutuskan untuk menyudahi perannya sebagai satu dari delapan belas orang tanpa hal lain untuk dilakukan yang menyambut kapal itu.

Mencabut earphone yang memutar playlist berisi beberapa aransemen Canon—baik yang masih berbau klasikal dalam instrumen piano dan biola hingga modern seperti gitar elektrik—secara beruntun, dia menarik napas panjang.

"Akhirnya tiba juga."

Senyum sinis terbentuk di bibir, menunjukkan taring yang bersembunyi di pinggir gigi seri, membuat bentuk mulut lelaki itu lebih mirip cengir serigala yang akhirnya bertemu mangsa yang ia kejar sepanjang malam.

Memakai tudung jaketnya untuk menutupi rambut dan kepala, laki-laki itu berbalik, berjalan meninggalkan keramaian dengan langkah pelan yang konstan.

"Ayo kita selesaikan semuanya... OPERA."


— (o) —


"Halo, hai, selamat malam dan salam sejahtera untuk rekan-rekan sesama pecinta kisah misteri di mana pun kalian berada, kembali lagi di sini, di mana lagi kalau bukan di acara bincang monolog mingguan favorit kalian, DJ Dell Mystery Corner!"

Dalam ruangan yang gelap, suara penyiar dari saluran radio lokal bercampur dengan suara gelombang air laut dari luar jendela.

Walau tirai jendela ruangan ini terbuka, sinar bulan masih kesulitan masuk ke dalam, mengingat kuantitas dan kualitas sinarnya yang tak begitu banyak dan terang. Sumber cahaya yang menerangi tempat ini cuma berasal dari lampu meja yang menyinari meja di mana si pemilik ruangan sedang berkutat.

Meja kerja orang itu miring nyaris 30 derajat. Sekilas, bentuknya mirip seperti meja yang biasa digunakan oleh arsitek atau penjahat utama untuk mendesain bangunan atau rencana jahatnya di film-film lama.

Namun yang berserakan di atas sana bukanlah kertas blueprint, melainkan sekumpulan HVS biasa. Sebagian penuh coretan dan tulisan, sebagian yang lain berada dalam wujud gumpalan, pertanda diisi oleh kegagalan.

Sepertinya alasan ia tak menggunakan kertas biru adalah demi menghemat biaya—rasanya sia-sia bila ia menghabiskan banyak uang cuma demi kertas mahal yang sebagian besar akan dicoret-coret atau ditransformasi menjadi gumpalan.

"Masih dengan saya, DJ Dell, dan dan rekan saya—oke, saya tak punya. Makanya sesi ini disebut Bincang Monolog. Hiks. Kalau ada yang tertarik, silakan mendaftar ke nomor telepon yang akan disebutkan di akhir acara. Perempuan diutamakan, berpenampilan menarik dan usia di bawah 25 tahun. Belum lulus SMA lebih bagus."

Jika kita mencoba menyorot wajah sang pemilik kamar, semisal, dari arah tangannya, maka kita akan kesulitan menangkap rupa wajahnya. Kepalanya tepat berada di atas lampu yang tepat mengarah ke bawah—membuat ekspresi mau pun bentuk mukanya sulit untuk diterka.

Jangankan jenis kelamin, bahkan apakah ia benar-benar memiliki wajah atau di sana cuma ada polos tanpa rupa semacam hantu jangkung bertuksedo dari negeri seberang masih merupakan pertanyaan.

Mengambil kertas lain dari tumpukan HVS di dekat kaki kursi untuk ditaruh di atas meja, dia menaruh ibu jemarinya di dekat mulut, menggigiti ujung kuku. Sementara tangannya yang lain lasik memutar-mutar pensil 2B, membuat alat tulis sepanjang lima belas senti itu menari-nari di sela jari.

Bisa dibilang, kedua-duanya adalah kebiasaan pribadi yang keluar saat sedang berpikir keras, sama seperti bunyi yang terdengar dari mobil tatkala mesinnya dinyalakan.

Pen-spinning, entah orang itu tahu atau tidak, tak seperti kelihatannya sama sekali bukanlah seni yang sepele. Memutar benda panjang di antara jemarimu sama sekali tidak mudah. Butuh konsentrasi, keahlian, dan sense of balance yang cukup mumpuni untuk membuat sebatang pensil bisa berputar dengan indah tanpa terjatuh dari tangan.

Namun pemilik jemari-jemari tersebut bahkan tidak memfokuskan pikiran. Imajinya bergerak liar ke segala penjuru alam khayal, bersama bongkah otak kanannya yang memutar gir sekencang mungkin demi secangkir ide untuk dituangkan ke atas kertas.

"Hari ini, menyambung topik minggu lalu, kita akan kembali membahas mengenai insiden penuh misteri terbesar dekade ini—yep, apalagi kalau bukan Tragedi Vila Boneka, yang terjadi di kota asal penyiar, Vokazuri. Yang kebetulan, dalam beberapa hari lagi, akan kita peringati."

Tangan yang menarikan pensil itu seperti makhluk yang memiliki kehendak sendiri. Menjadikan pensil itu seperti tongkat dalam tontonan aksi bela diri atlet wushu profesional. Jikalau dalam frasa asing ada istilah finger dancing, kenapa tiada finger martial arts?

Kelihaiannya dalam bermain jari seperti menimbulkan pertanyaan konyol, apa jangan-jangan identitas tangan kanan itu sebenarnya adalah alien parasit dari planet lain yang gagal menyerang otaknya, dan harus bisa pasrah menguasai tangannya saja?

"Jadi, pertama-tama, informasi utama adalah—baru saja, beberapa menit yang lalu, saudara-saudaraku, kapal pesiar H. M. Opera yang didedikasikan untuk mengenang Tragedi Vila Boneka telah berlabuh di Pelabuhan Vokazuri Baru. Wuoh, benar-benar disayangkan aku tidak bisa ke sana sekarang karena sedang siaran."

Mendengar informasi yang diberikan oleh si penyiar barusan, si pemilik kamar yang masih asyik berpikir menghentikan tarian bela diri tongkat yang dilakukan oleh jari-jarinya.

'Sudah berlabuh, ya... pantas rasanya kamar ini tidak bergerak lagi.'

Berdiri dari bangku putar berbusa empuk yang ia duduki sedari tadi, orang itu berjalan ke arah jendela bulat besar yang ada di sisi kamarnya, jendela yang baru ia ingat masih dalam keadaan tirai belum tertutup.

Tapi sepertinya ia tak peduli. Toh, posisi jendela ini mengarah ke laut.

Walau di pelabuhan ada banyak orang yang berkumpul ingin menyaksikan kedatangan kapal yang diam-diam salah satu kabinnya sedang dihuni oleh orang ini, mereka tak akan bisa menangkap wujud 'misterius' yang sedang berdiri di depan jendela.

Dia juga tak perlu takut ada yang naik ke kapal untuk melihat-lihat isinya—sudah ada petugas yang berjaga di dek atas, dan kalau tangga landai jalan naik ke kapal saja tak diturunkan, bagaimana bisa mereka naik ke sini?

"Untuk kalian, para gadis yang bertanya-tanya dengan suara imut, 'apakah aku bisa naik ke atas kapal?', sayang sekali sayangku, jawabannya no. Menurut informasi dari akun sosial media resmi pemilik kapal, cuma orang-orang tertentu yang berhak naik ke sana."

'Tentu, tidak akan menyenangkan bila yang akan ikut berlayar bersamaku cuma orang biasa yang ingin coba-coba,' ujarnya dalam benak, sedikit bernada congkak bila disuarakan.

Ia ingin para penantang intelek sungguhan untuk diajak naik ke kapal ini bersamanya, bukan orang awam yang bangga bisa menjawab pertanyaan variabel apel-anggur-pisang yang belakangan populer di internet.

"Tapi tenang! Syarat untuk bisa naik ke kapal bukan harus orang kaya atau konglomerat, apalagi berdarah Kagamine. Untuk bisa ikut berlayar bersama kapal H. M. Opera dalam acara Memorial Tragedi Vila Boneka, kita cukup bersaing dengan cara yang semua pecinta misteri suka."

Merasa sudah puas menangkap pemandangan langit berbintang ke dalam matanya, si pemilik kamar menutup tirai jenelanya. Ia kembali duduk di atas bangku putar, menghadap ke arah meja tempatnya mendesain apa yang sedang ia kerjakan.

Kalau kau tanya apa yang sedang ia buat, simpelnya, itu adalah rencana. Skenario. Prediksi. Dia membayangkan berbagai skenario 'kasus' yang terlihat mustahil dan bagaimana cara ia bisa melakukannya—persis seperti pesulap yang mencoba memikirkan trik baru.

"Apa lagi kalau bukan, oh, riddle—teka-teki! Yep, teman-teman perjaka dan gadis-gadis pecinta misteri sekota Vokazuri, untuk mendapat tiket ke kapal H. M. Opera, kalian harus memecahkan riddle yang dibuat oleh pihak penyelenggara! Dan untuk kalian yang sudah tak sabar, inilah isinya—"

"Untuk apa kau mendengarkan stasiun bodoh seperti itu?"

Bunyi derit pintu berengsel logam yang terbuka sedikit mengejutkan si penghuni kabin yang sibuk memikirkan rencana-rencana di atas kertas HVS. Memutar kursi, ia menghadap ke arah orang yang berdiri di depan pintu.

Pria tua. Umurnya mungkin sudah 80 tahunan. Milyader yang tak tahu mau memakai uangnya yang berlebih untuk apa—orang yang membakar uangnya demi membeli kapal ini atas nama mengenang Tragedi Vila Boneka.

Ngomong-ngomong, derit pintu tadi sedikit mengganggu jiwanya. Ia membuat catatan pribadi ke diri sendiri untuk menyuruh anak buahnya meneteskan minyak ke sana sebelum 'acara' nanti. Semoga ia ingat.

"Jangan bilang begitu," jawab si penghuni kabin yang masih asyik menikmati kelembutan kursi putar empuknya. "Walau bodoh, radio itu juga bagian dari skenario. Lebih banyak yang tahu, lebih bagus."

"Skenario... skenario, ya," pria tua itu mengulang kata terakhir yang diucapkan lawan bicaranya, "Sungguh, kenapa kalian yang bersembunyi dibalik nama OPERA sangat suka dengan skenario?"

Mengangkat alis karena tertarik dengan apa yang baru saja ia dengar, si lawan bicara meminta pria dalam balutan jas mahal di depannya itu untuk melanjutkan opini yang barusan dia utarakan.

"Pembunuhan yang terjadi di Tragedi Vila Boneka berdasar pada skenario permainan detektif buatan Kagamine Kagahiko—kalau kau penggemar buku itu, kau pasti sudah tahu, 'kan?"

"Oh, itu. Sayangnya, aku sedikit berbeda," ia melanjutkan, "Ah, mungkin bukan sedikit. Aku berbeda. Sangat berbeda. Aku tidak punya rasa sentimentil seperti remaja labil yang dibutakan oleh cinta itu."

Memutar kembali kursinya ke arah meja, ia menebarkan arah pandangannya ke berbagai kertas berisi rencana yang mungkin akan ia pakai dalam 'permainan'.

"Aku memasukkan variabel yang lebih penting—emosi. Skenarioku tak lebih dari kerangka dasar, cuma konsep. Tak lebih dari silabus, kalau diibaratkan. Pada akhirnya, semuanya bergantung pada pilihan 'Opera' terpilih nanti."

Bunyi ombak yang bergoyang pelan mengisi telinga. Pria tua itu memilih untuk tetap diam. Ia merasa tak ada artinya membalas kalimat angkuh orang yang ia 'sewa' untuk berpartisipasi sebagai penyelenggara dalam acara ini.

Ia sama sekali tak mengurus atau bahkan memikirkan apa yang mungkin saja akan orang itu akan lakukan. Selama tujuannya tercapai, semuanya cukup.

Selama ia bisa bertemu kembali dengan perempuan terkutuk yang telah memaksa hidupnya untuk melewati masa tergelap sebagai kejaran tangan keadilan, ia sama sekali tidak peduli pada hal lain.


BERSAMBUNG


Catatan Penulis:

Hello, beautiful people. Elpiji di sini.

Lama tak sua, kabar kalian baik semua?

Saya enggak, btw. Kelas tiga SMA, UN tinggal enam bulan lagi, dan di saat author seumur saya yang lain mulai hiatus demi mengkondisikan diri dengan materi kelas satu dan dua sebagai persiapan, saya malah mau nekat nulis fanfik ini sebagai NaNoWriMo personal saya.

Yep—jika semuanya berjalan lancar, saya bakal namatin fanfik ini dalam waktu sebulan, dengan planning ngetik dua ribu kata sehari. Updatenya tetep (semoga) seminggu sekali tapi, lol.

Ah, pertama-tama, saya mau ucapin terima kasih kepada yang sudah baca Saat Boneka Menari sampai tamat. Makasih juga kepada kalian yang rela mengorbankan diri untuk ikut bermaso ria bersama fanfik misteri penuh derita (karena nunggu apdet) saya. Lagi.

Eniwei, tentang fanfik ini.

Jadi, simpelnya, fanfik ini adalah gabungan dari tiga inspirasi—gaya alur Dangan Ronpa, latar 9 Hours 9 Doors 9 Persons, dan seperti biasa, 'teks kebenaran'-nya Umineko.

Dan, iya, saat saya bilang gaya alur Dangan Ronpa, itu berarti fanfik ini gak akan pake format kasus-kasus-kasus-penyelesaian kayak SBB dan SBM, tapi kasus-penyelesaian-kasus-penyelesaian. Karena saya ngerasa yang kemaren itu udah gak asik lagi (?).

Jadi kalian gak perlu lagi nungguin apdet supe(eeee)r lama cuma demi tahu jawaban pribadi kalian bener atau enggak. (lol)

Lalu, karakter. Karakter buat fanfik ini lebih banyak lagi dari SBM. Tembus 10, mayoritas pendatang baru. Siapa-siapa aja tunggu tanggal mainnya. Yang pasti, seperti di teaser, protagonisnya Rei.

Dan kalo kalian penasaran siapa tiga karakter misterius tanpa nama yang muncul di sini, semuanya akan terjawab bersama jalannya waktu. Semoga. Berdoa aja saya gak bakal pake UN sebagai alasan hiatus. Kalau itu benar terjadi, silakan coba hubungi kontak pribadi saya. Dijamin saya cuekin.

Well, akhir kata, terima kasih sudah baca.
Sampai jumpa dan mari berdoa agar harga komik gak naik lagi.