Three Days Forever

Boboiboy Β© Animonsta Studio

Warn : Typo, OOC, Fem!Ice

Happy Reading ^^

Libur semester dua telah berakhir, menyisakan jejak memori yang masih terpatri indah. Walau terasa berat untuk beranjak dari ranjang, tapi waktu masih terus berjalan. Otak yang sempat break beberapa minggu, kini mulai terisi pelajaran pada tingkat yang lebih tinggi.

Seorang gadis berjalan seorang diri menyusuri koridor yang masih lengang, beberapa ruangan yang ia lewatipun nampak sepi. Penutup kepala hoodie biru menyelimuti sebagian rambut panjangnya. Sepatu ketnya beradu dengan lantai mengisi kesunyian atmosfir di sekitarnya. Iris matanya hanya menatap lurus ke depan, tak ada objek menarik untuk dipandang. Bunyi bertempo tercipta ketika kakinya menyuri anak tangga, langkah itu membawanya pada kelas barunya, 3-1.

First step memasuki ruang pembelajaran, indra penglihatannya disambut 2 gadis yang kini ikut memandangnya.

"Selamat pagi, Ice!" sapa mereka bersamaan.

"Selamat pagi Yaya, Ying." sapanya balik.

Langkahnya terhenti pada bangku di belakang gadis berhijab merah jambu. Kepalanya ia rebahkan dengan tas sebagai alas.

"Aish, baru hari pertama sekolah sudah merebahkan kepala?" ujar Ying khas dengan temponya.

"Memang kau tidak liburan?" tanya Yaya.

"Yah begitulah." jawab Ice singkat diselingi helaan nafas berat.

Kelopak matanya menutupi iris itu, nampak lelah. Ya, tentu saja. Akhir-akhir ini perasaannya tak pernah tenang, efek withdrawal dari obat yang ia konsumsi di masa-masa sulit menampakan durinya. Setidaknya butuh 4 bulan baginya benar-benar lepas dari efek itu. Rasa lelah dan pusing di pagi hari, membuat waktu liburannya dihabiskan hanya untuk berpacaran dengan guling. Toh, ayahnya juga sibuk dengan pekerjaannya hingga tak sempat berlibur. Ia berpikir mungkin semua rasa itu hanya sebagian efek dari obat itu, ia sama sekali tidak mencemaskan hal itu.

Bunyi detik jarum jam di dinding mendominasi ruangan senyap itu. Yaya dan Ying memfokuskan pandangan pada buku di tangan masing-masing, sedang Ice mungkin telah bermimpi sampai benua Antartika.

Kelas menjadi semakin ramai seiring matahari yang kian meninggi. Bel tanda kelas akan segera dimulaipun berbunyi. Para murid segera memasuki kelas masing-masing, disusul wali kelas yang memulai tugas di ruang bimbingannya.

"Bangun!" Yaya bersiap memberi salam.

"Ice! Pssstttt... Ice!" Suzy berbisik pada Ice yang belum mengangkat kepalanya.

"..." Tak ada respon.

Ia sedikit mendorong kursi Ice, masih berusaha membangunkannya.

"Se..."

Brugh...

"!?"

Suara debuman memotong salam Yaya, seisi kelas menoleh pada asal suara itu.

"Ice!?" seru Yaya ketika netranya mendapati sosok Ice yang terjatuh dari kursinya, dengan mata yang masih tertutup.

Yaya dan Ying segera menghampirinya, tangan Yaya menepuk pipi Ice mencoba menyadarkannya. Ice mengeryap, mencoba memahami keadaan di sekitarnya.

"A-apa yang terjadi? Kalian kenapa? Aku kenapa?" Heran Ice.

"Seharusnya kami yang tanya, kau itu kenapa? Tiba-tiba jatuh dari kursimu sendiri." sahut Yaya.

"Maaf, tadi aku sempat mendorong kursinya. Soalnya Ice ngga bangun-bangun." kata Suzy yang tadi duduk di belakang Ice.

"Astaga Ice, jangan bilang kau tadi benar-benar tidur. Sampai bel berbunyipun kau tak dengar." kata Ying.

"Aaa, mungkin." Jawab Ice dengan tampang polos.

"Pfff... Hwahahahaha." Gelak tawa mengisi ruang itu, geli dengan tingkah laku Ice.

"Semuanya harap tenang. Ice kamu tidak apa-apa? Pusing atau sakit di bagian punggung?" tanya Bu Timmy -selaku wali kelas 3-1 yang mengkhawatirkan keadaan Ice, takut ada cedera pada tulang ekornya.

"Tidak, saya baik-baik saja. Maaf."

"Baiklah, semuanya kembali ke tempat duduk masing-masing. Saya akan mulai mengabsen."

Kelas menjadi tenang kembali, sementara Bu Timmy tengah mengabsen. Ice sendiri sibuk dengan pikirannya.

Apa yang terjadi?

Ia kembali memutar memorinya. Hampir seperti pagi biasanya, rasa lelah dan pusing jarang lepas darinya akhir-akhir ini. Ia memang sempat tidur beberapa saat di kelas pagi ini karena peningnya yang masih terasa nyut nyutan. Namun ia terbangun karena kelas yang ramai, saat itu juga sakit di kepalanya makin terasa. Itu sebabnya ia enggan mengangkat kepalanya dan mempertahankan posisinya. Kepalanya seperti dijadikan drum, ia terus menahannya hingga saat bel berbunyi, ia tak merasakan apapun. Dan saat ia membuka mata, temannya mengelilingi dirinya dengan pandangan aneh. Ya, itu yang terakhir ia ingat.

"Etenia Ice?" panggil Bu Timmy.

"Ah, h-hadir."

Jadi Ice pingsan? Tak ada yang boleh tau tentang hal ini, biarlah ini menjadi rahasia Ice seorang.

πŸ€LucKyraπŸ€

Bel istirahat berbunyi, dalam hitungan menit kelas hanya meninggalkan beberapa orang. Beberapa orang berkumpul di atap sekolah, sesuai janji untuk makan siang bersama. Angin berhembus lembut, matahari pun tersenyum ramah. Di bawah bayang-bayang bangunan, mereka berkumpul.

"Mau coba? Ini khas Cina." kata gadis berkuncir dua sambil menyodorkan kotak bekal yang berisi lugadun.

"Wah, apa itu? Aku mau!" seru Gopal.

"Aku juga bawa biskuit, mau?" Yaya menawarkan sebungkus biskuit buatannya.

Seketika suasana berubah 180Β°, hampir semua saksi menelan ludah paksa. Pikiran mereka sudah mencapai level tertinggi membayangkan kemungkinan terburuk jika biskuit itu masuk ke tubuh mereka.

"T-terima kasih Yaya. Tapi bekalku saja belum tentu habis." ujar Blaze canggung.

"I-iya." tambah Gempa.

Gopal berpura-pura bersendawa untuk menipu temannya satu ini.

"Kau mau Ice?"

"Eh? Ah," Ice ragu. Ying menggeleng cepat dan Gopal menyilangkan kedua tangannya mencoba memperingatkan. "T-terima kasih Yaya, tapi aku sudah kenyang." tolak Ice halus.

Walau seumur hidup Ice belum pernah mengicipi biskuit itu, namun rumor tentangnya sudah cukup membuatnya bergidik ngeri. Mungkin bagi manusia pingsan itu wajar, tapi kucing pingsan setelah makan biskuit Yaya. Baru kali ia mendengarnya, sekuat itukah?

"Alah, padahal aku sudah lelah membuatnya. Tapi, Ice kau bisa membawanya pulang. Bisa dibuat camilan." kata Yaya.

"A-ah, terima kasih." Ice terpaksa menerimanya, bagaimanapun juga ia tak enak hati untuk menolaknya, walau pandangan menusuk sudah menghunusnya.

"Dia mau bunuh diri?" Seru Ying dalam hati.

"Dia akan jadi tersangka jika ada orang di rumahnya yang memakan biskuit itu sampai masuk rumah sakit." Batin Gempa.

"Lindungilah dia Tuhan!" Teriak Blaze -pernah jadi korban biskuit Yaya- dalam hati.

"Tahun ini banyak yang masuk ke sekolahan ini ya?" Ice mengalihkan pembicaraan, irisnya memandang lapangan utama yang ramai dengan siswa baru yang tengah melaksanakan MOPDIB.

"Ya, dan murid lelaki juga lebih banyak." ujar Gempa seraya melahap kroketnya.

"Tentu saja, mereka pasti akan masuk klub sepak bola. Secara kita kan menang di turnamen musim panas kemarin." sombong Blaze.

"Ah ya, aku jadi ingat. Pagi tadi coach mengirim pesan, kita mendapat undangan mengikuti turnamen nasional. Pulang sekolah nanti aku akan membahasnya bersama yang lain."

"Hah!? Turnamen nasional? Harus ikut!" seru Blaze dan Gopal bersamaan.

"Tentu saja, aku dengar ini juga sebagai seleksi untuk masuk TimNas U-18. Jadi ini bukan sekedar mencari popularitas klub." Jelas Gempa.

"Kalau begitu aku harus lebih giat latihan!" ujar Blaze semangat sambil mengepalkan tangan ke langit.

"Walau ini seleksi individu, tapi kerja sama tim harus tetap terjaga." tambah Gempa.

"Memang kelas 3 boleh ikut?" tanya Ice.

"Kita masih dibebaskan selama satu semester, sedangkan turnamen ini akan dimulai 3 bulan lagi, jadi masih ada waktu untuk persiapan masuk universitas." jawab Blaze kalem.

Yaya mengangguk, "aku juga ingin kita ikut ini." ujar Yaya sambil menunjukan sebuah brosur.

"LCC?" tanya Ying.

"Iya, aku, kau dan Ice akan menjadi kombinasi yang hebat. Kali ini kita pasti menang."

"Ide bagus Yaya. Ayo kita menangkan LCC ini!" seru Ying.

"Tentu saja, Ice kau mau kan? Ayolah, kita masih punya waktu 2 bulan untuk ini." pinta Yaya.

Ice berpikir sejenak, untuk membalas kekalahan olimpiade itu. Mereka kalah juga karena salahnya, jadi untuk kali ini,

"Baiklah, aku ikut."

"Bagus! Setelah ini aku akan menemui Bu Timmy." kata Yaya.

"Oh ya, kalian sekelas lagi ya?" tanya Blaze sambil meminum jus dalam kotaknya.

Ying mengangguk, "Hebat bukan? Tahun terakhir di SMA akan jadi perang terakhir."

"Aku mulai berpikir perang dunia ke-3 akan terjadi." batin Blaze.

"Blaze dan Gempa juga sekelas kan? Kenapa nasibku yang paling naas? β•₯_β•₯" tangis Gopal.

"Kau sekelas dengan Halilintar dan Taufan ya? Habislah kau kena belasah." Goda Blaze.

Gelak tawa dan canda mengisi sisa waktu istirahat, hingga bel tanda masuk berbunyi. Mereka menuju kelas mereka masing-masing. Blaze dan Gempa berpisah dengan yang lain karena letak kelas mereka berada di bagian lain koridor itu.

πŸ€LucKyraπŸ€

Ying langsung menghampiri meja Ice ketika guru yang mengajar jam terakhir keluar kelas.

"Ice pulang sekolah ini kita belajar bareng di rumah Yaya ya?"

"Apa persiapannya tidak terlalu dini? Itukan masih 2 bulan lagi. Lagipula kita belum tau model soal seperti apa yang akan dimunculkan di lomba itu." ujar Ice yang masih sibuk mengemasi barangnya.

"Justru semakin awal kita belajar, kemungkinan kita menang akan semakin tinggi. Dan masalah latihan soal," Yaya menggantungkan kalimatnya, di tangannya ada beberapa map yang berisi soal LCC dari berbagai tahun pelajaran.

"Kapan kalian..?" Heran Ice. Bukan duo Y jika mengajukan suatu hal tanpa persiapan sama sekali. Pada akhirnya Ice lah yang mengalah, "Baiklah."

"Oke, kurasa jemputanku juga sudah sampai. Ayo!" ajak Yaya.

Sepanjang koridor Yaya dan Ying berjalan beriringan sambil mengobrol seru, sesekali tawa terdengar dari keduanya. Sedangkan Ice berjalan mengekor di belakang, hanya memperhatikan. Entah kenapa walau hanya seperti ini ia sangat senang. Kehidupannya berubah 180Β° sejak ia mengenal Blaze, tunggu kenapa jadi ada Blaze? Tapi memang itu kenyataannya. Blaze yang membawanya pada indahnya hidup. Mungkin jika ia tidak mengenalnya , ia masih terpuruk di dasar jurang hatinya.

Alunan piano Sonata in C Mayor mengalun lembut melewati sepasang handsfree yang terpasang manis di indra pendengarannya, lagu yang sesuai suasana hatinya. Kedua manik aquamarine nya memandang keluar jendela mobil, selama kurang lebih 10 mereka sampai di rumah Yaya.

Nampak mewah dari luar, terkesan emosional, cat pink yang lembut menyatu dengan warna putih bersih nampak nyaman dipandang.

"Silahkan masuk." Yaya mengijinkan kedua temannya untuk masuk. "Maaf saja kalau ruang tamunya seperti ini. Soalnya berhubungan dengan pekerjaan mama juga." ujar Yaya.

Dari ruang tamunya saja sudah jelas pekerjaan tuan rumah, beberapa maneken terpajang dengan gaun indah yang membalutnya dan di salah satu sisi terdapat lemari kaca dengan beberapa gamis tergantung di sana.

"Belajar di kamarku saja, Ying kau ajak Ice ke atas. Akan ku susul nanti." Ujar Yaya.

Ying hanya mengangguk dan berjalan menuju kamar Yaya di lantai 2, diikuti Ice di belakangnya.

"Hah, akhirnya sampai juga." Ice merebahkan tubuhnya di ranjang Yaya. "Oh ya, kalau butuh kamar mandi ada di sana. Anggap saja rumah sendiri, Yaya tak akan keberatan pasti." tambahnya, tangannya meraih remote TV dan menyalakannya.

Ice hanya diam saja, ia berjalan menuju pintu balkon dan membukanya. Memisahkan kamar bernuansa pink dengan dunia luar. Angin langsung menyambutnya, ia memejamkan mata menikmati hembusan lembut yang menerpa kulit pucatnya.

"Maaf, lama." Yaya masuk sambil membawa nampan berisi jus dan beberapa camilan.

"Baiklah, langsung saja." kata Ying sambil mematikan TV setelah memastikan tak ada acara yang bagus.

"Ice?" panggil Yaya.

"..."

Yaya dan Ying saling bertukar pandang. Ying hanya mengangkat bahu ketika di tanya. Ice benar-benar menimati angin ini hingga ia tersentak ketika bahunya di tepuk Yaya.

"Bisa kita mulai sekarang?" tanya Yaya.

"Ah, ya. Tentu."

Waktu terus berlalu, kertas penuh coretan dan buku yang berserakan menghiasi kamar. Sudah 3 jam lamanya mereka berkutat dengan soal itu, sesekali debat mewarnai suasana di kamar pink itu.

"Ice kau salah, seharusnya kau menggunakan cara yang ke-2." seru Ying ketika mengoreksi jawaban Ice.

"Maaf." hanya kalimat itu yang terlontar dari bibir Ice. Ia memijit pelan pelipisnya yang terasa pusing.

"Kau baik-baik saja? Dari tadi kau kehilangan konsentrasi." tanya Yaya.

"Ya, hanya butuh istirahat sebentar." jawab Ice. Bolpoint di tanganya terjatuh, memijit pangkal hidungnya.

Ying menghela nafas, "Hari ini sampai di sini saja. Aku juga sudah lelah."

"Kalau begitu aku ijin pulang, ini sudah sore." ujar Ice mulai membereskan barangnya.

Ketika ia bangkit kepalanya menjadi semakin pusing membuatnya kembali terduduk.

"Kau tidak apa?" Yaya mulai khawatir, tak sengaja tangannya menyentuh dahi Ice, hangat. "Ice? Kau demam?"

"Heh!? Kau demam Ice?"

"Aku tidak apa-apa, sungguh. Hanya kelelahan saja." elak Ice.

Ying menghela nafas, "Kalau kau sakit seharusnya bilang saja, kau tak perlu memaksakan diri sampai sakit seperti ini. Kalau kau sakit siapa yang mau menggantikanmu nanti?"

"Kalau begitu kami akan mengantarmu pulang." usul Yaya.

"Tidak, tidak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri." tolak Ice.

"Kau itu sedang sakit, kalau apa-apa terjadi padamu di jalan nanti, kami juga yang disalahkan." kata Ying.

"Sudahlah, biar kami mengantarkanmu." ujar Yaya lembut.

Akhirnya Ice menerimanya, walau ia tak enak hati telah merepotkan sejoli ini.

"Sampai jumpa Ice." ujar Yaya dari jendela mobilnya. Mereka baru saja mengantarkan Ice pulang.

Ice hanya mengangguk dan memperhatikan mobil itu menjauh hingga hilang dari pandangan.

"Aku pulang."

"Selamat datang, Nona Ice. Anda ingin di masakan apa untuk malam ini?" tanya salah seorang pelayan.

"Aku tidak nafsu untuk makan. Aku ingin ke kamar dulu." ujar Ice singkat.

Pelayan itu membungkuk memberi hormat. Ice berjalan melewati tangga menuju kamarnya di lantai 2.

"Hah, rasanya hari ini melelahkan sekali." gumamnya sambil memijat pelipis.

TBC...

πŸ“’πŸ“£Minal Aidzin Wal Faidzin Minna san πŸŽ†πŸŽ‡πŸŽ‰πŸ—πŸ›πŸšπŸ² Maaf apabila ada salah kata atau tingkah laku waktu Lucky di sini πŸ™ Mohon maaf lahir dan batin πŸ‘Œ

Kali ini Lucky balik dengan sequel Loneliness Ice. Akhirnya setelah lama berpikir, ada juga ide yang nyangkut.

Maaf kalau fic ini ngga memuaskan, soalnya ngetiknya pake HP (β•₯_β•₯)#Nunggu tukang reparasi laptop ngga dateng"😀

Btw, ada yang tau Ice kenapa? πŸ“’

Sebenernya mau buat fic baru tapi karena banyak yg minta sequel jadi didelay dulu. sekalian nyicil biar pas masuk sekolah nanti bisa tetep update. (Β΄βˆ€`)

Semoga di chapter-chapter berikutnya bisa mempermainan emosi reader. Terakhir, mohon RnR.

Regard✌

LucKyraπŸ€