~Behind The Pain~

Disclaimer: Disclaimer : Masashi Kishimoto

Pairing : Uzumaki Naruto/Hyuuga Hinata

Warning: OOC (a little bit, kayaknyaa...), Gak Jelas, Aneh dan sebagainya yang tidak patut dicontoh...Typo(s)

Rated: T (Gag tau kedepannya,,semoga tetap di rate ini)

Don't Like? Please Don't Read...

~Part-1~

"Aku akan menikah Naruto," Kata-kata Sakura sukses membuat tangan Naruto yang masih sibuk dengan gulungan-gulungan kerja di meja Hokage berhenti. Sapphire-nya menatap gadis musim semi yang sejak dulu mengisi relung hatinya, meski hanya cinta bertepuk sebelah tangan.

Naruto mendongak menatap emerald di depannya. "Dengan Teme?" Entah kenapa walaupun Naruto sudah tahu pasti jawaban Sakura, dirinya masih berharap dengan perasaan Sakura.

"Ya, Sasuke-kun melamarku tiga hari yang lalu," Sakura menjawab dengan sedikit wajah merona, tampak binar kebahagiaan jelas terpancar dari mata hijau teduhnya. Pemuda pirang itu hanya tersenyum lebar membalas binar di mata hijau teduh gadis musim semi itu. "Selamat kalau begitu, Sakura-chan,"

Sakura membalas dengan senyuman manis dan pamit pergi meninggalkan Naruto dengan undangan pernikahannya tergeletak di depan Hokage muda tersebut. Ketika teman satu timnya itu sudah menutup pintu ruangan dan menyisakan Naruto sendirian, barulah emosi sebenarnya muncul. Menguar ke permukaan. Membuatnya sesak, dada sebelah kirinya entah kenapa terasa sakit. Diremasnya perlahan bagian yang kini menyakitinya. Tapi rasa itu tetap ada. Ia tetap terluka.

Saphire-nya yang selalu setia dengan semangat ninjanya, kini seakan menghianatinya. Cahaya matanya meredup.

"Sakura," suara lirih tersebut terdengar.

"Sakura," nama itu terdengar lagi.

"Sakura," kali ini terasa pilu. Air mata tak sanggup ditahannya lagi. Kenapa rasanya sesakit ini. Ia sudah berusaha merelakan, melepas gadis tersebut dengan ketegaran hatinya tapi tameng dirinya seakan runtuh tak berbekas ketika mendengar kini gadis kesayangannya telah dimiliki. Dimiliki oleh sahabatnya, rival-nya. Uchiha Sasuke.

"Kenapa rasanya tetap sakit Sakura?" Naruto menundukkan kepalanya masih dengan telapak tangannya yang meremas bagian kiri dadanya. "Sakit," Air mata itu terus mengalir, tanpa bisa ia hentikan.

"Naruto-kun,"

Tanpa disadari Hokage muda tersebut, seorang gadis bermahkota indigo sedang menangis di balik pintu ruangan. Hati gadis tersebut ikut sakit. Dirinya ikut menangis mendengar suara pilu tersebut. Hinata, dirinya juga menahan perih yang sama.

Perih karena cinta yang tak pernah tersambut.

Oo00oO

Sulit dipercaya memang, kalau sekarang dirinya harus berdiri di antara puluhan tamu yang memadati ruangan ini untuk datang ke acara pernikahan keturunan Uchiha terakhir tersebut. Sebagai orang nomor satu di desanya, ia harus datang. Mau, tidak mau. Ingin, tidak ingin. Bagaimana pun perasaannya saat ini. Ia harus datang. Harus.

Kibaran jubah hokage hitam miliknya, membuat Naruto mendapat banyak orang yang memberi salam membungkuk hormat pada dirinya. Dia tetap menunjukkan wibawa dan sifat cerianya, walaupun batinnya tetap teriris. Tetap sakit.

Hanya mata pearl itu yang dapat membedakan. Hanya Hinata. Gadis itu ikut mengerutkan keningnya melihat senyuman Naruto. Senyuman yang entah kenapa terasa dingin.

'Naruto-kun terlihat sedih,' Gadis itu ingin memberikan semangat lagi pada pemuda pirang itu. Ingin menghiburnya. Ingin mendampinginya.

Hinata melangkah ragu. Apakah keputusannya tepat jika ia mendekat? Apa Naruto akan menolak kehadirannya? Entahlah Hinata tidak tahu. Ia tidak akan pernah tahu jika tidak mencobanya. Setidaknya gagal setelah mencoba, tidak akan membawa penyesalan bukan?

Tangan porselennya menyentuh pundak yang berlapiskan jubah hitam tersebut. "Naruto-kun," panggilan lembut tersebut membuat Naruto menoleh ke kanan.

"Hinata?" tangan tan miliknya menurunkan telapak tangan Hinata yang masih setia berada di pundaknya. Dari tatapan mata gadis Indigo tersebut, Naruto tahu Hinata pasti menanyakan keadaannya. Diremasnya pelan tangan porselen tersebut "Aku baik-baik saja, Hinata"

Gadis di depannya hanya menunduk. Naruto hendak melanjutkan kalimatnya, ketika sebuah teriakan yang dikenalnya mendekat. "Naruto,kamu dipanggil tuh. Oh! Kau juga Hyuuga" Sasuke yang saat itu sedang mengantar Sakura beramah tamah dengan tamu mendekat sambil menggandeng Sakura.

Melihat pemandangan yang tersuguh secara langsung di depan matanya, membuat hatinya berkedut sakit. Hinata menoleh kesamping, memastikan bahwa pemuda di sebelahnya baik-baik saja, seperti yang dikatakannya tadi. Yang ia dapati adalah wajah ceria penuh kepalsuan dan sebuah senyuman getir.

"Siapa?" tanya Naruto. Entah kenapa ia tidak bisa mengeluarkan suaranya yang bernada ceria dan ribut itu.

Sasuke mengernyit bingung mendengar nada suara Naruto "Kenapa Dobe?"

Naruto menggeleng, "Aku baik-baik saja. Siapa yang memanggil kami Teme?" Naruto memandang sahabatnya lagi, tepat di manik matanya. Seakan menegaskan bahwa dia baik-baik saja dengan keadaanya.

Pemuda Uchiha tersebut menunjuk kerumunan tetua desa yang tengah berkumpul dengan Tsunade. Melihat wajah-wajah berkerut dan tua yang sedang memperhatikannya membuat Naruto harus mengernyit tidak suka. Ayolah, di saat-saat seperti ini dia harus berdebat lagi dengan para tetua yang seharusnya sudah pada hidup di panti jompo tersebut. Ingin sekali Naruto melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan penuh sesak itu, menjauh sejauh mungkin. Seandainya ia tidak melihat delikan Tsunade, yang mengancam keselamatan jiwa dan raganya.

"Kalau begitu aku pergi dulu ya, Sakura-chan, Teme! Semoga kalian berdua bahagia," Naruto memeluk Sasuke dan menepuk-nepuk punggung Sasuke. Pandangannya beralih pada Sakura, Naruto mendekat. Dijabatnya tangan Sakura, sembari memberikan senyuman terbaiknya.

Walaupun Naruto sering memeluk Sakura, tapi kali ini ia tidak bisa. Jika ia memaksa, dirinya yakin, ia pasti tidak sanggup melepaskan pelukannya. Pandangan bingung tentu terlihat jelas di mata Sakura, tidak biasanya Naruto manjadi pendiam dan tidak mengucapakan apa-apa.

Seakan membaca kebingungan gadis emerald itu. Naruto berusaha menyusun kalimat yang setidaknya tidak akan menimbulkan kecurigaan siapa pun. "Semoga kini kamu bahagia Sakura," Naruto menambah dengan cengiran khasnya.

Dilepasnya tangan putih tersebut, matanya beralih pada Hinata. Hinata hanya terdiam melihat mata sapphire kebanggan Naruto berubah sendu. "Ayo, Hinata-chan, kita pergi"

Hinata mengangguk. Di jabatnya tangan Sasuke sembari mengucapkan kata selamat. Kemudian beralih pada Sakura, dia merentangkan tangannya untuk memeluk Sakura. "Selamat Sakura-chan semoga kalian berbahagia," Hinata tersenyum getir. Entah kenapa ia jadi ingin menangis mengingat perjuangan Naruto untuk gadis musim semi ini. Cepat-cepat ia pamit pergi dan menyusul Naruto yang telah lebih dulu meninggalkan pasangan tersebut.

Hinata mengikuti langkah pelan Naruto, menatap punggung tegap di depannya yang entah kenapa kini tampak rapuh.

Mereka telah sampai di meja para tetua berkumpul. "Ada apa kalian memanggilku dan Hinata?" Naruto menampakkan wajah dinginnya. Tetua adalah hal yang paling tidak ia sukai diantara hal-hal lain yang ia sukai dari Konoha. Mereka hanya mencampuri urusan pribadi sampai tingkah lakunya sehari-hari. Membuat Naruto ingin sekali mencekik mereka.

'Harusnya mereka dilenyapkan,' pikir Naruto. Tapi mana mungkin, walaupun tidak di akui secara deklaratif oleh Naruto para tetua memegang peranan yang cukup penting. Tidak mungkin diabaikan apalagi dilenyapkan. Pikiran konyol.

"Rokudaime-sama sudah seharusnya anda menggunakan bahasa yang tepat ketika menyapa kami," seseorang perempuan tua dengan rambut yang digelung ke atas memperingatinya.

Bukan Naruto namanya kalo dia peduli. "Katakan saja,"

Seorang laki-laki tua berjubah putih angkat bicara, "Melihat keadaan Hokage yang sudah cukup umur, anda seharusnya sudah berkeluarga seperti teman-teman anda yang lain,"

Naruto masih mendengarkan. Entah apa yang kini dipikirkan oleh para tetua tersebut.

"Jadi kami pikir anda sudah seharusnya menikah," kata-kata terakhir dari laki-laki tua tersebut sanggup membuat Naruto menganga. Menikah?

Dia baru saja patah hati dan sekarang di suruh menikah. Kami-sama! Ide mereka benar-benar buruk.

"Kami berniat menjodohkan anda dengan Hinata Hyuuga," ternyata laki-laki tua tersebut masih melanjutkan kalimatnya. Dan kali ini Naruto harus dibuat kaget lagi dengan semakin gilanya ide mereka. Sedangkan Hinata, harus menunduk dalam-dalam.

Dijodohkan? Sekalian saja katakan bahwa dia harus punya anak besok.

"Urusan pribadiku, bukan urusan kalian" Naruto menggeram marah. Sudah cukup hidupnya diatur-atur oleh mereka.

"Kami melaksanakan ini bukan tanpa ada alasan, Hokage-sama" laki-laki tua yang lain mencoba menenangkan. "Kami hanya ingin memiliki anak-anak berbakat di masa depan nanti untuk melanjutkan pembangunan di Konoha,"

"Dan kalian memilihku dan Hinata untuk jadi kelinci percobaan? Ide buruk," Naruto menjawab dingin. Hinata hanya mampu terkesiap mendengar penolakan Naruto.

Ternyata dirinya memang tidak diinginkan. Tidak ada perasaan khusus dari pemuda bersurai pirang yang kini berada di depannya. Eksistensinya ternyata hanya sebuah angin lalu bagi Naruto.

"Jika anda menolak berarti Rokudaime-sama harus melihat sendiri pembantain sebuah keluarga lagi," kata-kata dari laki-laki tua berbaju putih tersebut membuat gigi Naruto beradu satu sama lain. Lagi? Seperti keluarga Uchiha dan kini mereka mengincar Hyuuga?

Ohh! Kami-sama bunuh saja mereka. Dan Naruto pasti merelakan dengan senang hati. Kata-kata laki-laki tersebut membuat Naruto berpikir ulang. Apa dia harus menerimanya? Pertanyaan sulit.

Hinata yang mendengar keputusan para tetua hanya bisa diam membisu. Pikirannya berkecamuk. Klan-nya akan dibantai? Apa akan seperti keluarga Uchiha?

Dirinya tidak akan sanggup jika harus menanggung hal tersebut. Hinata menggapai jubah hitam Naruto dan menariknya. "Naruto-kun," panggilan Hinata. Membuat Naruto menoleh pada Hinata, dari pancaran mata pucat gadis tersebut Naruto tahu, Hinata takut.

"Apa alasan kalian?" tanya Naruto.

"Kami ingin klan besar seperti Hyuuga taat pada kami jika pewaris mereka ada bersama anda," jawaban perempuan tua tadi membuat Naruto menggeram. "Mereka bukan budak kalian,"

"Baa-chan," Naruto memanggil Tsunade dengan tatapan memelas. Tapi Godaime Hokage tersebut hanya membisu. Entah apa yang membuat dia diam saja. Mungkin ancaman lain yang juga dilontarkan oleh para tetua untuknya.

"Kita harus menutup segala celah untuk pemberontakan, pikirkan kata-kata kami," laki-laki tua berjubah merah ikut memberikan komentar.

Hinata menarik jubah Naruto lagi. Pandangan mata mereka beradu. Yang satu memohon dan yang satu lagi menentang.

Naruto memandang gadis yang kini menempel di sebelah tubuhnya dengan wajah yang hampir menangis. Naruto mengacak rambutnya. Otaknya masih berputar-putar untuk berpikir.

Terima. Dia akan terikat selamanya dengan Hinata, Naruto tahu Hinata menyukainya tapi dia tidak memliki perasaan khusus pada Heiress Hyuuga tersebut. Hinata gadis yang baik, tapi hatinya masih memikirkan gadis musim semi tersebut.

Tolak. Seluruh klan Hyuuga akan dibasmi. Mungkin itu hanya ancaman kosong, tapi Naruto tidak bisa mengambil resiko. Para tetua kadang tidak ingin dibantah. Mereka pasti melakukannya. Kepala mereka memang sekali-kali perlu dibenturkan, agar kembali normal.

Naruto memandang Hinata lagi. Gadis itu masih setia dengan tatapan memohonnya. Haah! Baiklah.

"Lakukan sesuka kalian," jawab Naruto akhirnya. Dia berlalu pergi sambil menyeret Hinata. Para tetua mandang jubah hitam yang berkibar itu dengan senyum kemenangan.

Hinata hanya bisa menahan rona di wajahnya. Walaupun paksaan, tapi hatinya tetap bahagia mendengar keputusan Naruto.

Ya, mereka akan menikah. ME-NI-KAH! Hinata tidak bisa menyembunyikan binar kebahagiaannya. Sebentar lagi namanya akan berubah dari Hyuuga Hinata menjadi Namikaze Hinata. Sebentar lagi.

~TBC~

Yo, minna-san...

Yuu buat fic baru nih..padahal yang lagi satu belum kelar,

Hitung-hitung idenya masih ada,

Semoga kalian menyukainya,

Tolong beri review ya...biar tambah semngat Yuu lanjutnya..

Hehe...Arigatou gozaimasu...

Salam Hangat,,

Yuu ^_-