Disclaimer: Naruto by Masashi Kishimoto

Warning: Out Of Character, Alternative Universe dan banyak tidak masuk akal.


Sakura...

Mataku segera terbuka saat bisikan itu terdengar. Bisikan halus yang tiba-tiba muncul di telingaku, padahal aku tahu sekarang aku sedang sendirian. Bisikan yang begitu familiar, hingga satu nama bisa terpilih langsung di kepalaku; tersangka dalam hal ini.

Tidak... tidak mungkin. Aku yakin pasti suara itu muncul karena halusinasiku saja. Ya. Pasti karena itu.

Sakura...

Kini bahuku menegang. Bisikan itu terdengar lagi dan volumenya lebih keras dari bisikan sebelumnya. Tidak... jangan dia...

Sakura...

Sakura...

Sakura...

"KYAAAAAAAAAAAAA!"

Aku segera berlari keluar dari kafe, meninggalkan susu kocok stoberi milikku. Tak memedulikan orang-orang sekitar yang memandangku heran. Persetan soal pemikiran mereka yang menganggap diriku sudah gila. Sekarang bukan saatnya memikirkan hal seperti itu. Sekarang aku hanya harus melakukan sedikit olahraga sore; berlari kencang sampai sejauh mungkin.

Ya, aku harus melakukan itu.

Sakura...

Bisikan itu terdengar lagi. Sambil berlari, sebentar aku menyempatkan menoleh ke belakang untuk memeriksa. Dan benar saja, manikku segera menemukan warna merah di antara orang lalu lalang.

Pantas saja bisikan itu terdengar semakin keras di telingaku, ternyata orang yang menggumamkan namaku terus menerus; sekarang berada di sini, beberapa meter di belakangku.

Ini gawat.

Sakura...

"HENTIKAAAAAAAAAAAAN!"

Aku meneriakannya sambil terus berlari. Dan bisikan itu semakin terdengar lebih kuat.

Dia... benar-benar ada di sini!

Sasori ada di sini!


Unexpected Love

.

by nopi


Bagian Satu

Sakura: Seorang Peri


BRAKKKK!

Semuanya terlihat berputar sejenak lalu aku merasakan tubuhku ditarik gravitasi bumi. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas bagaimana pemandangan langit akhir musim semi nampak teduh dan menenangkan.

"Tch."

—Tidak setelah decakan jengkel terdengar di telingaku. Oh, tentu saja, sepertinya aku baru saja menabrak seseorang.

"Apa kau tidak punya mata?"

Aku bangkit dari posisi tidak elitku. Dan aku baru merasakan kepalaku sedikit sakit di bagian ubun-ubunnya, sepertinya saat aku menabrak orang ini, aku juga telah menyundul salah satu anggota tubuhnya—yang berhasil mengakibatkan aku terjatuh dalam posisi terlentang di trotoar, sedangkan ia hanya jatuh terduduk.

Uh... punggung sakit setelah membentur trotoar yang keras.

"Maafkan aku," ucapku. "Aku benar-benar tidak sengaja, tadi aku sedang terburu-buru."

Satu decakan lagi yang dia keluarkan. "Siapa yang peduli tentang itu." Suara berat khas pemuda puber terdengar angkuh.

"Tapi aku 'kan sudah minta maaf!" Dia mulai terlihat menyebalkan—yah, juga setelah aku melihat ekspresi di wajahnya.

"Itu tidak cuk—OI!" Dia berseru marah saat aku menariknya ke arah lorong sempit di antara gedung. Tentu saja itu refleks yang kulakukan setelah kembali melihat penampakan surai merah di antara kalangan orang yang berada di trotoar.

"Apa maumu?!" katanya lagi.

Ck, pemuda ini benar-benar cerewet sekali.

"Aku hanya ingin kau menolongku," kataku akhirnya. "Julurkan kepalamu keluar, dan perhatikan apakah ada pemuda yang mempunyai warna rambut merah di sana."

"Kau memerintahku?"

"Aku meminta bantuanmu!" Lalu detik berikutnya aku telah memasang jurus mata yang layaknya seekor anjing yang sedang meminta makan. "Kumohon..."

Dia mendengus lalu menjulurkan kepalanya ke luar. Aku berhasil! Ternyata jurus ini ampuh juga, padahal aku baru saja mempelajarinya dari seorang gadis yang sedang berusaha melulukan hati kekasihnya, di pinggir jalan minggu lalu. Jurus manusia memang sangat hebat.

"Tidak ada," beritahunya padaku.

"Kau yakin? Coba lihat baik-baik"

"Memang tidak ada." Dia menoleh padaku. "Tidak ada pemuda berambut merah di sana."

"Tidak ada? Pemuda berambut merah dengan wajah sok imut dan ekspresi mesum, tidak ada?"

Dia kembali menjulurkan kepalanya. Lalu kembali menatapku. "Hn. Tidak ada."

Aku mencoba memperhatikan ekspresinya selama beberapa menit. Aku memang belum mahir mempelajari ekspresi manusia, namun entah mengapa aku yakin pemuda ini tidak berbohong.

"Baiklah, aku percaya padamu."

"Hn." Dia menatapku heran.

"Apa lihat-lihat?!"

"Tidak," katanya datar. "Sudah ya." Dia lalu berbalik, hendak pergi.

Namun aku tentu saja lebih gesit, tarikan di kemejanya membuatnya kembali berbalik. Aku melihat tanda nama yang tersemat di seragam sekolah itu.

"Ehm—terima kasih atas bantuanmu, Uchiha Sasuke."

"Hn." Lalu dia benar-benar melangkah pergi.

Aku menghela napas lega, menyandarkan tubuhku di dinding gedung. Mungkin sementara waktu aku harus tetap di sini dulu, aku tidak mau Sasori menemukanku. Aku menyentuh daun telingaku, tidak ada bisikan namaku lagi. Itu artinya Sasori telah berhenti menggumamkan namaku, atau yang lebih baik, Sasori tidak ada di sekitar sini lagi.

Ini bukan pertama kalinya aku mendengar bisikan namaku. Kalau bisa dihitung, mungkin ini sudah keratusan kalinya, atau mungkin lebih. Sebagaimana halnya telinga milikku dan milik orang lain yang sama sepertiku—aku bisa mendengar bisikan jika seseorang tengah menyebut namaku. Tapi itu tidak aktif jika jarak antara aku dan si penyebut itu cukup jauh. Dan tentu saja sebaliknya, semakin dekat jarak aku dan si penyebut, semakin keras juga suara bisikan itu.

"Ah, syukurlah Sasori sudah tidak ada di sini," desahku sambil menutup mataku.

"Siapa yang sudah tidak ada di sini... Sakura?"

Mataku terbuka lagi, pupilku mengecil. "KYAAAAAAAA!"

"Sakura, teriakanmu masih saja cempreng ya. Tapi itu percuma, karena kau sudah ketahuan."

Aku melangkah mundur, aku tak bisa menebak bagaimana ekspresi terkejutku saat ini. Pasti terlihat sangat menyeramkan. Sama menyeramkannya seperti kehadiran Sasori yang entah sejak kapan telah berada di sebelahku. Berdiri dan menatapku dengan senyum—sok—manisnya.

"Sa-sasori?! Kenapa kau bisa ada di sini?!"

Pemuda berwajah seperti bayi itu merengut. "Jadi begitu caramu menyambut Kakak yang sudah menyimpan rindu selama ini karena kepergianmu? Kau tidak sopan, Sakura."

Aku merotasikan bola mataku. "Kau bukan kakakku."

Sasori berkacak pinggang, hal yang selalu dia lakukan saat aku tidak patuh padanya. "Jangan coba-coba menjadi gadis menyebalkan, Sa-ku-ra."

Aku mendengus. Dasar Sasori, sikap berlebihannya masih saja belum bisa berubah setelah kami sudah lama tidak berjumpa.

"Jadi sebenarnya tujuanmu ke sini untuk apa? Menemuiku? Melepas rindu padaku? Atau memaksaku untuk pulang?—sudah kubilang berkali-kali, aku tidak mau pulang!"

Dia terkekeh kecil. "Bicaranya pelan-pelan dong, Gadis Manja."

Aku menepis tangannya yang hendak menggapai hidungku. "Aku bukan Gadis Manja!"

Kali ini dia hanya tersenyum tipis. "Aku ke sini karena merindukanmu."

"Bohong!" teriakku. "Pasti kau ke sini karena disuruh oleh Ibu untuk membawaku pulang!"

Dia menggeleng. "Tidak kok."

"Aku tidak bisa mempercayaimu lagi! Pembohong!" Aku menghentakkan kakiku lalu berlalu dari sana dengan rasa jengkel.

Aku tahu dia pasti berbohong.

.

.

.

Aku mengetukkan jemariku di tepi tembok—berusaha membuat irama yang pernah kudengar di sebuah lagu yang akhir-akhir ini sedang populer di televisi. Tapi aku gagal sepenuhnya karena tidak bisa mengingat irama itu dengan jelas.

Kini aku sedang berada di atap sebuah gedung kosong. Sedang menikmati pemandangan langit malam Jepang yang telah kupastikan menjadi pemandangan yang paling kusukai di saat hatiku sedang kacau seperti ini.

Wajah Sasori masih terus membayangi benakku. Sore tadi adalah kali pertama aku bertemu dengannya lagi setelah tiga bulan terakhir ini berusaha terus menghilang dan menghindarinya. Jujur saja, ada sedikit rasa bersalah di dalam diriku saat aku mengingat kembali seruan sekaligus tuduhanku padanya tadi. Tapi aku tetap merasa tidak sepenuhnya salah. Aku memang benar-benar yakin kemunculannya kali ini untuk membawaku pulang lagi, setelah gagal berkali-kali saat membujukku tiga bulan yang lalu. Dan sekarang Sasori kembali lagi.

Cih. Apa sih maunya Sasori dan Ibu? Mengapa mereka terus menerus membujukku pulang dengan berbagai cara. Memangnya salah jika aku tinggal di bumi?—Bukannya sama saja? Di sana dan di sini aku tetap sendiri dan merasa kesepian. Namun jika aku di sini, aku bisa tahu lebih banyak hal. Hal yang tidak pernah kuketahui selama tinggal di sana.

Setidaknya aku lebih bahagia hidup di sini.

Aku kembali teringat pada hal yang membuatku sekarang berada di sini; di bumi—dunia manusia. Oh tentu saja ini semua berawal dari rasa iriku terhadap teman-temanku—yang tentu saja tidak bisa disebut teman dalam artian lain—yang mendapat tugas dari Ibu untuk menjadi peri penjaga anak manusia.

Ya, peri. Aku adalah seorang peri—tidak dalam artian makhluk mungil bersayap. Rupaku seperti manusia, atau bisa disebut juga aku adalah seorang manusia—beberapa tahun yang lalu. Tidak seperti kisah peri dalam negeri dongeng yang pernah kubaca di salah satu buku dongeng di toko buku. Peri sepertiku tercipta dari manusia yang mempunyai penyesalan dan keinginan kuat—yang telah mati sebelum hal-hal dalam hidupnya terselesaikan.

Roh kami tertahan di persimpangan jalan menuju alam baka. Lalu Ibunda Peri—yang menciptakan dan menguasai dunia peri, akan mengambil roh kami untuk dididik menjadi peri yang sesuai dengan aturan yang telah disediakan dalam dunia peri. Peri seperti kami mempunyai tugas mulia yang ditampilkan dengan cara berbeda-beda. Namun tetap dalam tujuan yang sama; membuat anak-anak manusia di bumi bahagia, agar kelak di kemudian hari mereka dapat mengatur diri mereka sendiri agar tidak merasakan rasa penyesalan seperti yang kami alami.

Dan dari semua tugas peri, aku mendapat tugas yang sangat membosankan. Membuat gulali untuk dibagikan pada anak-anak manusia.

Awalnya memang tugas itu nampak mengaasyikkan, namun lama kelamaan aku mulai bosan. Aku ingin mendapat tugas yang lebih besar, menantang dan punya dampak kuat terhadap kebahagiaan anak-anak manusia.

Aku ingin mendapat tugas menjadi penjaga anak manusia.

Aku telah mencoba mengajukan permintaan itu pada Ibunda Peri, Shion. Namun dia hanya tersenyum dan berkata bahwa permintaanku tak bisa dikabulkannya. Dan setelahnya pun, dia tetap memberikan jawaban yang sama setiap aku meminta dari hari ke hari.

Lalu aku pun memilih kabur ke dunia manusia. Sebelumnya aku telah mendengar cerita dari Sasori bahwa diriku berasal dari negara yang diberi nama Jepang. Namaku diambil dari bunga yang hanya ada di musim semi dan melambangkan negara ini juga. Karena itulah aku ingin terus berada di sini. Aku merasa setiap detik yang kuhabiskan di Jepang adalah detik yang dulunya terbuang karena kematianku dan kehidupanku di dunia peri.

Di sini, aku merasa jauh lebih hidup. Seperti pulang kembali ke kampung halaman. Dan di sinilah aku sekarang.

Namaku Sakura. Kehidupanku di musim semi. Dan tempat tinggalku adalah bumi.

.

.

.

tbc...

.

.

.


ABA: Haiii, kembali lagi bersama saya di ff baru. iya, iya, saya tau saya masih banyak utang chapter selanjutnya di fanfic sebelumnya, tapi serius deh tangan saya udah gatel banget mau share ff ini, yaaa~ walaupun ini masih bagian awal banget. sekali-kali pengen bikin genre fantasy dan pengen tau juga saya bakal dapat respon bagaimana. yaaah~ saya minder sih pakai genre ini padahal masih amatiran. tapi semoga aja bisa cukup—minimal—nggak bikin ngantuk pas ngebacanya.

saya benar-benar minta maaf kalau ff ini terasa nyampah.

tapi saya boleh minta reviewnya 'kan? /digampar.

09.11.2015