Sepertinya hari ini benar-benar bukan hari keberuntungannya.
Setelah selesai berdiskusi—berdebat—panjang lebar terkait skripsi dengan dosen pembimbingnya yang alot, memimpin rapat BEM yang kacau di mana semua anggota tampaknya ingin mengumpankan diri ke kandang singa, dan memeriksa laporan-laporan baru yang bertumpuk di meja kerjanya, hal terakhir yang diinginkan Akashi adalah melihat sosok asing berada di penthouse-nya.
"Siapa kau?"
Mata Akashi menyipit, memandang tajam gadis bersurai biru muda tak dikenal yang berdiri kaku di dapurnya. Seruwet-ruwetnya otaknya hari ini, ia masih sadar dan ingat jelas jika ia tinggal sendiri. Ia tidak punya kekasih, sedangkan pembantu yang disewanya untuk bersih-bersih adalah seorang bibi tua yang hanya datang setiap pagi. Ia juga tidak mungkin salah masuk karena satu-satunya tempat yang berada di lantai teratas ini adalah miliknya.
Lantas, siapa gadis ini?
"Kutanya, siapa kau?" ulangnya tajam. "Bagaimana kau bisa masuk?"
Gadis itu dengan cepat membungkuk. "Ma-maafkan aku! Kuroko Tetsuna desu, mulai hari ini aku akan tinggal di sini bersamamu. Mohon bantuannya!"
Jeda sejenak. Akashi tidak yakin ia mendengarnya dengan benar, hingga sebuah benda berkilat tertangkap matanya dan membuatnya memicing. Sebuah key card.
"Dari mana kau mendapatkan kunci itu?"
"A-Akashi-san."
"Akashi-san?"
"Akashi Shiori-san."
Akashi merasa kepalanya semakin pening. Dengan cepat ia meraih ponsel dari sakunya dan membuat panggilan cepat pada satu-satunya tersangka yang menjadi dalang dari puncak hari buruknya ini.
"Sei-chan!"
Menghiraukan seruan ceria di seberang sana, ia bertanya tak sabar, "Okaasan, apa maksudnya ini? Kau memberi kunci rumahku pada orang asing?"
"Eh, apa maksudmu? Bukankah minggu lalu okaasan sudah bilang jika tunanganmu akan tiba hari ini?"
Untuk pertama kalinya Akashi kesulitan bicara. "A-apa? Tunangan?"
"Hai, Kuroko Tetsuna, tunanganmu. Jangan bilang kau lupa. Orang tuanya menitipkan Tet-chan pada kita dan okaasan pikir ini kesempatan bagus untuk kalian saling mengenal jika dia tinggal bersamamu. Jadi, jaga dia baik-baik ya!"
"Tunggu, aku masih tidak meng—"
"Sampaikan salamku pada Tet-chan! Okaasan mencintai kalian!"
Dan sambungan terputus begitu saja. Akashi menatap ponselnya terpaku, mencoba menyerap informasi yang entah kenapa tidak bisa diterima otak cerdasnya. Sialan, ia benar-benar lupa dengan pembicaraan tentang pertunangannya minggu lalu.
"A-ano, maaf aku menggunakan dapurmu tanpa izin, tapi aku sudah memasak makan malam untukmu."
Akashi menatap sang 'tunangan' yang kini tampak gugup. Kepalanya benar-benar terasa pusing sekarang. Ia berujar dingin, "Aku sudah makan. Buang saja."
Ya, apa pun itu untuk sekarang ia hanya perlu mengabaikan gadis itu. Akan ia buat Kuroko Tetsuna meninggalkan tempat ini secepat mungkin selagi ia mencari cara untuk membatalkan pertunangan mereka.
Atau ia harap begitu.
.
.
My Beautiful Nerd
Romance/Hurt/Drama
Akashi x Fem!Kuroko
Kuroko no Basuke Tadatoshi Fujimaki
DLDR!
.
.
She is a nerd
.
.
Tidak ada yang menarik dari gadis itu. Sebaliknya, Akashi justru heran dengan orang tuanya yang memilih gadis itu sebagai calon menantu Akashi Group. Lupakan gadis cantik yang anggun dan berkelas. Dengan kacamata berbingkai kuno, rambut dicepol acak-acakkan, gaya berpakaian tak modis, diikuti sifat yang pendiam, suram, dan ceroboh, Kuroko Tetsuna adalah gambaran dari sosok nerd yang sering menjadi korban bully di sekolah.
Dan tampaknya bukan hanya Akashi yang berpendapat demikian, karena para sahabatnya pun menunjukkan reaksi serupa ketika ia dengan terpaksa mengenalkan mereka pada Kuroko.
Hari itu adalah hari yang ramai dan sibuk seperti biasa di Universitas Teiko. Berusaha meminimalisir segala macam bentuk gangguan—terutama karena seorang pemuda blonde yang bagaikan magnet wanita berjalan—teman pink-nya mengusulkan agar mereka makan siang di kafetaria Fakultas Sastra yang terkenal sepi dan tenang.
Siapa sangka itu menjadi bumerang untuknya.
"Akashi-kun?"
Gadis bersurai muda itu tampak terkejut, begitu pula dengan dirinya saat mereka berpapasan di tengah deretan meja yang sebagian kosong.
"Kuroko?"
Sudah tiga hari ia dan Kuroko tinggal bersama dan selama itu pula mereka jarang bertukar sapa. Ia mempertahankan sikap dinginnya, berusaha mengabaikan segala bentuk pendekatan yang gadis itu coba lakukan. Hal yang cukup mudah mengingat mereka hanya bertatap muka di pagi dan malam hari—untuk pertama kalinya ia berterimakasih pada jadwal kegiatannya yang sibuk.
Ia tidak tahu dan tidak berminat untuk tahu apa pun tentang gadis itu. Namun, bertemu dengannya di sini benar-benar di luar dugaan dan membuatnya terkejut. Gadis itu berkuliah di sini?
"Kau mengenalnya, Akashicchi?"
"Heh, aku tidak tahu Akashi-kun punya teman di sini."
Entah sejak kapan Kise dan Momoi berdiri di sampingnya. Di belakangnya Aomine menguap tak acuh, begitu pula Murasakibara yang sibuk menikmati kripiknya. Midorima bergumam, "Kenalanmu?"
Untuk sesaat Akashi terdiam dan mengamati gadis di depannya. Dari sepasang sepatu kets di bawah, jeans, sweater longgar, rambut yang dicepol acak-acakkan, wajah polos tanpa riasan, hingga kemudian matanya bertemu sepasang iris biru di balik kacamata yang balas menatapnya datar. Sebelum ia dapat berpikir, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya.
"Dia tunanganku."
"Eh?" Semua membeo dan memasang wajah bodoh. Murasakibara menjatuhkan bungkus kripiknya. "HEEHHH?!"
.
.
.
Semua merasa tak percaya dan Akashi tidak dapat menyalahkan mereka. Mereka telah bersahabat sejak SMP untuk saling mengenal baik keluarga masing-masing dan melihat orang tua Akashi menjodohkannya dengan seorang gadis yang terlihat... ehm, tidak meyakinkan, sungguh mengejutkan.
"Mungkin saja dia anak orang kaya-ssu. Dia hanya tidak menunjukannya," komentar Kise bijak. Mereka tengah beristirahat di pinggir lapangan usai bermain three on three.
"Ck, tentu saja dia harus kaya untuk bisa menjadi tunangan Akashi," celetuk Aomine lalu terdiam. "Tunggu, mungkinkah diam-diam dia seorang pewaris kelompok yakuza?"
"Bodoh, tidak mungkin orang tua Akashi memilih menantu seorang yakuza nanodayo."
"Kau terlalu banyak menonton drama, Aominecchi. Seperti ibu-ibu saja."
"Apa?!"
Akashi berusaha mengabaikan duo kucing dan tikus yang mulai beradu gulat ketika Midorima duduk di sebelahnya.
"Kau benar-benar tidak ingin tahu?" tanya pemuda bersurai hijau itu.
"Apa?" tanyanya pura-pura tak mengerti. Midorima mendesah.
"Tentu saja Kuroko Tetsuna. Kau tahu sendiri kau tidak akan bisa lepas dari ini. Kalian sudah melakukan pesta pertunangan bukan?"
Akashi mendengus dan tertawa miris dalam hati mengingat pesta pertunangan yang diadakan tepat keesokan hari setelah Kuroko menerobos masuk penthouse-nya—jika dapat dikatakan pesta mengingat itu hanyalah sebuah makan malam bersama kedua orang tuanya. Yah, kecuali hal itu memang diakhiri dengan pertukaran cincin yang sampai saat ini tak sudi dipakainya.
"Aku belum menyerah, Shintaro. Jika aku tidak bisa meyakinkan orang tuaku, akan kubuat Kuroko sendiri yang membatalkan pertunangan kami."
"Kuroko? Tunangan? Kalian sedang membicarakan apa? Siapa yang bertunangan?"
Kagami Taiga, teman bermain mereka hari ini, datang dengan sekantong plastik minuman isotonik dan camilan. Murasakibara yang sedari tadi duduk kalem dengan cepat merebut kantong itu, mengundang gerutuan dari si pemuda berambut merah.
Akashi menyipit. "Bukan urusanmu, Taiga."
"Menyebalkan seperti biasa, ne, Akashi? Tadi aku mendengar nama Kuroko. Ada apa dengan Kuroko?"
"Kuroko Tetsuna-ssu! Dia tunangan Akashicchi!" Kise menyahut antusias, dan dengan senang hati Akashi melempar tatapan tajam padanya, yang membuat pemuda itu langsung mengkeret. Namun, raut kaget yang sekilas tercetak di wajah Kagami membuat ia menaikan alis.
"Kuroko... Tetsuna?" Kagami menatapnya lekat, berusaha menyembunyikan keterkejutan yang sayangnya tidak dapat lolos dari mata tajamnya. "Dia tunanganmu?"
"Ada masalah?"
"Kau mengenalnya, Kagami?" tanya Midorima.
Kagami tampak salah tingkah. "Ti-tidak juga," ucapnya lalu memeriksa jam tangannya. "A-ah! Sebentar lagi aku ada kelas. Aku duluan, teman-teman!"
Semua memandang kepergian Kagami dengan tatapan aneh.
"Bukankah dia bilang hari ini kuliahnya sudah berakhir?"
"Mencurigakan."
Akashi menyipit. Ada yang pemuda itu sembunyikan.
Tapi apa?
.
.
.
Gelap.
Mengernyit, Akashi meraba dinding dan menyalakan lampu. Ini adalah pertama kalinya ia pulang dan mendapati penthouse masih gelap gulita sejak Kuroko tinggal bersamanya. Apa gadis itu belum pulang?
Memutuskan untuk tidak peduli, ia melepas sepatunya dan beranjak menuju dapur untuk mengambil minuman dingin. Tampak meja makan yang biasanya penuh dengan masakan yang tak pernah disentuhnya kini kosong. Gadis itu benar-benar belum pulang sementara waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Baguslah, batinnya. Karena itu berarti ia tidak perlu bertemu dengannya.
Namun, satu jam berlalu dan masih tidak ada tanda-tanda kepulangan Kuroko. Setitik rasa cemas yang janggal mulai menyelusup meski dengan cepat ia menepisnya. Mungkin gadis itu menginap di rumah temannya. Tapi, apa dia punya teman?
Gerakan jari Akashi pada keyboard laptop tanpa sadar terhenti. Bayangan seorang gadis tak berdaya yang tersudut di gang sempit oleh sekumpulan pria mabuk tanpa diminta berkelebat di kepalanya. Tubuhnya menegang. Dengan segera ia mengambil ponselnya ketika tersadar bahwa ia sama sekali tak punya nomor Kuroko. Mengusap rambut kasar, ia meraih kunci mobil dan keluar kamar. Dalam hati merapal ia melakukan ini semata-mata karena tanggung jawabnya, bukan karena peduli pada gadis itu.
Ya, benar. Okaasan akan memanggangku hidup-hidup jika sampai terjadi sesuatu pada calon menantu kesayangannya.
Namun, baru ia mencapai ruang tengah, terdengar suara pintu depan terbuka disusul sosok biru yang tampak lusuh memasuki ruangan. Untuk sesaat mereka saling bertatapan sebelum kalimat itu keluar tanpa bisa ditahannya.
"Dari mana saja kau?"
Kuroko berkedip pelan sebelum jawaban terbata keluar dari mulutnya. "Eh, a-aku baru saja pergi ke tempat temanku," ucap gadis itu terbata-bata. "A-apa Akashi-kun lapar? Aku mampir membeli beberapa bahan makanan tadi. Aku akan segera memasakanmu sesuatu."
Mau tak mau pandangan Akashi jatuh pada kantong plastik besar di tangan gadis itu sebelum kembali pada wajah yang sekarang tampak gugup menanti jawabannya. Ia mendesah, memutuskan tak ada salahnya bersikap baik sesekali.
"Baiklah, buatkan aku sesuatu."
Kuroko mendongak dan menatapnya terkejut, jelas tak menyangka akan mendengar jawaban itu. Well, ia tak menyalahkannya.
"E-eh?"
"Kau mendengarku. Aku tidak akan mengulanginya."
Masih terlihat bingung, gadis itu mengangguk cepat. "Ba-baik, tolong tunggu sebentar!"
Setengah jam kemudian, semangkuk nasi yang mengepul, ikan goreng, dan sup tofu hangat terhidang di depannya. Ia melirik sup favoritnya, teringat bahwa sup itu selalu menghias meja makan. Seakan membaca pikirannya, Kuroko menjelaskan dengan salah tingkah, "I-itu, A-akashi-san memberitahuku makanan kesukaanmu."
Entah kenapa Akashi tak terkejut mendengarnya. Ia mulai memakan makanannya dalam diam. Tak buruk, batinnya, sebelum menyadari jika Kuroko hanya menyajikan masing-masing satu porsi hidangan.
"Kau tak makan?" tanyanya berusaha terdengar acuh.
"Ah, a-aku sudah makan di luar."
Ia mengawasi gadis yang sekarang beranjak mencuci perlatan masak yang kotor. Entah kenapa ingatannya kembali melayang pada perkataan Kagami kemarin. Sedikit ragu, ia bertanya, "Apa kau mengenal seseorang bernama Kagami Taiga?"
Kuroko tersentak, tampaknya gadis itu baru saja melamun. "Eh? Siapa?"
"Ah, tidak. Lupakan."
Akashi menggelengkan kepala pelan. Well, itu sama sekali bukan urusannya.
.
.
.
Tak terhitung sudah keberapa kalinya dalam minggu ini Akashi menyumpah. Entah ia sedang sial, atau Tuhan sedang mencoba mempermainkannya.
Berusaha menahan makian lain keluar dari mulutnya—karena itu sama sekali tidak mencerminkan seorang Akashi, ia bergegas keluar dari dalam mobil untuk melihat asap membumbung dari celah kap mengkilap ferrari-nya.
Bagus.
Bagus sekali.
Di saat tubuhnya terus menyerukan kata istirahat setelah semalam suntuk menghabiskan waktu dengan segunung dokumen proyek di meja kantornya, ia kembali dihadapkan dengan situasi yang membuatnya kehabisan kata-kata. Sekarang ia benar-benar percaya jika Tuhan sedang mengujinya.
Merogoh ponsel, ia segera menelepon bengkel langganannya.
"Selamat siang, dengan Rakuzan—"
"Mobilku mogok. Segera tunjukkan batang hidungmu di sini atau kupastikan usahamu tutup detik ini juga, Eikichi."
"A-Akashi?!"
Ia mengamati jalanan dan bangunan di sekitarnya seksama. "Aku berada di seberang tempat penitipan anak Seirin. Kuberi kau 10 menit."
Tanpa menunggu jawaban, Akashi segera memutus sambungan telepon. Ia memijit pelipisnya yang mulai berdenyut menyakitkan, dalam hati menyesal karena tak menyimpan satu obat pun di dalam mobilnya. Ia tengah menimbang untuk mencari taksi atau memanggil sang sekretaris agar menjemputnya ketika sebuah siluet biru yang familiar menyapa matanya.
Kuroko?
Ia mengawasi dalam diam gadis biru berkulit pucat yang keluar dari tempat penitipan anak di seberang jalan. Beberapa anak berkisaran usia balita mengikutinya hingga mereka berhenti di arena bermain outdoor yang berada di halaman bangunan. Namun, yang menarik perhatiannya adalah celemek yang dikenakan gadis itu.
Apa dia bekerja di sana?
Untuk sesaat Akashi terpaku, terkejut dengan informasi yang baru diserapnya. Tanpa sadar matanya mengikuti pergerakan gadis itu. Bagaimana dia berpindah dari satu anak ke anak lain, bagaimana dia berinteraksi dengan mereka, bagaimana dia... tersenyum.
Untuk sejenak ia melupakan rasa sakit di kepalanya dan terlarut dalam lamunan singkat, hingga kejadian itu berlangsung begitu cepat dan membuatnya melebarkan mata. Dengan segera ia berlari dan mendekap tubuh gadis yang terdiam kaku di depan mobil yang melaju cepat ke arahnya, mendorongnya hingga mereka berdua jatuh berguling ke trotoar.
Bunyi klakson terdengar memekakkan telinga, namun Akashi hanya dapat berfokus pada jantungnya yang berdegup kencang. Terlambat beberapa detik saja dan ia akan menyaksikan nyawa melayang di depan matanya.
"Bodoh! Kau ingin mati?!"
Akashi mengingat detik-detik menegangkan itu. Bola yang tengah Kuroko dan anak-anak mainkan menggelinding keluar menuju jalanan dan gadis itu dengan bodohnya memutuskan untuk mengambilnya tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya.
"Ma-maafkan aku..."
Baru saat itu Akashi menyadari jika tubuh gadis di pelukannya bergetar. Ia mendesah, merasakan sakit di kepalanya kembali menyerang. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa lemas.
"Kuroko nee-chan!"
"Nee-chan, kau baik-baik saja?!"
Derap kaki dan isak tangis terdengar mendekat.
"T-terima kasih telah menolong—A-Akashi-kun? Kaukah itu?"
Manik biru bergelimangan air mata yang membulat terkejut adalah hal terakhir yang ia lihat sebelum kegelapan mengambil alih kesadarannya.
.
.
.
Hal pertama yang Akashi lihat begitu membuka mata adalah langit-langit putih yang familiar. Ia mendesah lemah. Kepalanya terasa berat dan badannya terasa panas. Sepertinya ia benar-benar terlalu memaksakan diri akhir-akhir ini.
Hm? Ia mengernyit merasakan dingin di keningnya. Menjulurkan tangan, ia menemukan sebuah handuk kompres menempel di sana. Saat itu jugalah ia tersadar akan kehadiran sosok lain di sampingnya.
Hatinya mau tak mau menghangat melihat kepala biru yang tengah bersandar di pinggiran kasur.
Apa dia yang telah merawatnya?
Akashi melepas kompresnya dan berusaha bangkit, namun sepertinya gerakannya turut membangunkan gadis itu.
"E-eh? A-akashi-kun, kau sudah sadar? Syukurlah, kau tertidur lama sekali."
Raut lega dan cemas menghiasi wajah Kuroko.
"Kau yang membawaku kemari?"
Kuroko mengangguk. "Kami membiarkanmu beristirahat di Seirin, tempatku bekerja, tapi kau tak kunjung bangun jadi rekanku membantuku membawamu pulang."
Kenyataan bahwa sosoknya yang lemah dan tak berdaya dilihat orang lain apalagi Kuroko meninggalkan rasa tak enak di mulutnya. Namun, ia mencoba untuk melupakannya kali ini karena ada sesuatu yang lebih membuatnya penasaran.
"Aku baru tahu kau bekerja."
Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Sangat khas Akashi. Ia bahkan tidak mengucapkan terima kasih. Tapi, bukankah ia juga telah menyelamatkan nyawa gadis itu? Berarti mereka impas.
Kuroko tampak terperanjat, lalu memalingkan wajah gugup. "Ah, ya, aku menyukai anak-anak," jawabnya kemudian menambahkan, "Apa kau lapar? Aku akan membuatkanmu bubur dan setelah itu kau bisa meminum obat."
Tanpa menunggu jawabannya, Kuroko berdiri dan beranjak keluar kamar. Namun setibanya di pintu, gadis itu berhenti dan menoleh.
"Aku belum sempat mengatakannya. Terima kasih."
Dan itu adalah senyum tercantik yang pernah Akashi lihat.
Ia mengumpat ketika merasakan jantungnya berdegup kencang.
Shit.
.
.
.
Keesokan paginya, demam sialan itu belum juga turun.
Akashi mendesah seraya memeriksa agenda yang telah tersusun rapi di ponsel pintarnya. Ingin rasanya ia kembali mengumpat, tapi ia tak mau membuang tenaga sia-sia. Alhasil, ia hanya bisa menelepon sang sekretaris untuk memberitahu ketidakhadirannya di kantor, serta Midorima—sang tangan kanan—untuk mengurus segala sesuatu di kampus menggantikan dirinya.
Berjalan menuju dapur, Akashi menemukan semangkuk bubur beserta segelas air dan beberapa butir obat di meja makan. Ia mengambil secarik kertas yang terselip di bawah gelas dan membacanya.
Maaf meninggalkanmu, ada beberapa mata kuliah yang harus kuhadiri hari ini. Tapi aku sudah membuatkanmu bubur. Kau bisa memanaskannya. Jangan lupa meminum obatmu dan beristirahat. Semoga cepat sembuh.
—Kuroko
'Bodoh, untuk apa kau meminta maaf?' batin Akashi.
Ia sama sekali tidak mengharapkan Kuroko untuk bersikap baik dan penuh perhatian setelah semua sikap kasar yang ditujukannya pada gadis itu. Oleh karenanya ia pun hanya bisa tercenung ketika terbangun pagi ini dan menemukan sebaskom air dingin beserta setumpuk handuk bekas di meja nakas—belum termasuk satu yang menempel di keningnya.
Kuroko benar-benar merawatnya semalaman.
Seketika itu juga ia merasa tercubit. Mungkinkah selama ini ia terlalu kasar pada gadis itu? Ia terlalu gegabah dalam menghadapi pertunangan ini dan membiarkan ego menguasainya, di mana yang sebenarnya terjadi adalah ia butuh pelampiasan untuk melepas rasa lelah yang akhir-akhir ini menyerangnya dan Kuroko datang di saat yang tepat.
Ia seakan melupakan satu solusi termudah yang bisa menyelesaikan semuanya.
Yaitu berbicara langsung secara baik-baik dengan gadis itu.
Tak perlu menunggu lama hingga Kuroko pulang dan Akashi memutuskan untuk melancarkan rencananya saat itu juga. Lebih cepat lebih baik, pikirnya.
Untuk sesaat Kuroko terkejut mendengar permintaannya, sebelum topeng tanpa ekspresi kembali terpasang di wajah itu.
"Kenapa?" tanyanya.
"Karena orang tuaku pasti lebih mendengarkanmu daripada aku."
"Kenapa kau ingin membatalkannya?" ulang gadis itu.
Akashi mengangkat bahu. "Aku belum ingin terikat dengan siapa pun," jawabnya lugas, "dan aku tidak menyukaimu. Sesederhana itu."
Tak ada sahutan. Ia pun melanjutkan, "Aku yakin kau memiliki perasaan yang sama denganku. Oleh karena itu pertunangan ini takkan berhasil. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik dari ini, seseorang yang benar-benar menyukaimu."
Gadis itu masih terdiam menatapnya. Ia berusaha untuk tidak mendesah.
"Dengar, aku tidak memintamu untuk langsung membatalkannya sekarang juga. Kau bisa tetap tinggal disini sampai kau siap berbicara dengan kedua orang tua kita. Yang kubutuhkan hanyalah kesepakatan dan kepastian darimu. Bagaimana?"
Tak ada pergerakan, hingga tak lama kemudian gadis itu mengangguk.
Akashi tersenyum puas. Siapa sangka akan semudah ini?
"Baiklah. Mari berteman hingga saat itu tiba."
.
.
.
Tbc
New fic!
Hope u like it~ XD
