A/N: Fic ini sebelumnya pernah saya publis di fandom yang lain. Tapi karena suatu alasan, Ane memutuskan untuk menempatkannya di fandom Naruto. Semoga kalian suka yah :)
.
.
.
[Manusia Baru] adalah makhluk yang sombong…
Sejak awal mereka diciptakan sampai saat mereka dihancurkan pun akan selalu seperti itu…
.
.
.
Aku hanya bisa menghela nafas saat tentara [Kekaisaran Parabellum] memulai proyeknya. Bagaimanapun, Aku turut ambil bagian dalam proyek itu sebagai [Electrical System Specialist]. Akal sehat memaksaku menerima proyek itu. Maksudku, siapapun yang masih punya hati nurani tidak akan setuju akan proyek ini, terutama jika kau termasuk golongan yang terbuang. Yaitu Golongan yang bukan merupakan bagian dari bangsa 'Parabellian'*.
*A/N: Di serial ini, 'Parabellian' merupakan istilah yang digunakan oleh Bangsa Noah untuk menyebut orang-orang keturunan [Manusia Baru], yang dikenal memiliki kesetiaan yang sangat inggi kepada [Sang Kaisar Pertama Parabellum] & keturunannya.
Demi proyek itu, sebuah [Line Cruiser] terbesar sepanjang sejarah Planet [Noah] pun dibuat. Dan Aku adalah salah satu orang yang terlibat dalam penciptaannya. Wahana Antariksa ini memiliki bentuk seperti kereta api yang dibuat dengan mengunakan semua material yang tersedia di Planet [Noah].
Planet ini disedot habis-habisan untuk proyek yang diberi nama [Project Heaven]. Setiap sumber daya yang masih tersisa di Planet [Noah] di bawa ke dalam [Line Cruiser], dari garam sampai miligram terakhir plutonium. Inilah kendaraan yang menurut pembuatnya bahkan Tuhan pun takkan bisa menghancurkannya. Celakanya, Aku adalah salah satu penciptanya.
Ya, Aku memang keturunan [Manusia Baru] yang terkenal sombong. Aku tidak menyangkal hal itu. Meskipun begitu, Aku tetaplah seorang manusia yang masih memiliki hati nurani.
Ketika proyek dimulai, Aku dan hati nuraniku mau tidak mau merasa sedikit risih. Bagaimana tidak, ratusan ribu bahkan jutaan orang memohon agar bisa dibawa serta dalam benda terkutuk ini. Sementara para pasukan pengamanan dengan perisai transparan dan pentungan mereka dengan setia menutup pintu masuk.
Seperti yang kubilang tadi, jika kalian tidak berguna bagi [Kekaisaran Parabellum], maka kalian adalah golongan yang terbuang. Dan golongan yang terbuang akan ditinggalkan di planet yang telah mereka ekspoitasi ini.
Tiga jam sebelum pemberangkatan, mereka yang tidak diizinkan masuk mulai panik. Mereka nekat menerobos pasukan pengaman. Dan yang menyambut mereka bukanlah pintu gerbang, melainkan peluru-peluru tajam yang langsung mengoyak tubuh mereka. Sekali lagi hati nuraniku teriris. Aku hanya bisa menatap mereka tanpa daya dari gerbong kedua [Line Cruiser].
Hah…
Aku bukannya tanpa daya, Aku hanya tidak ingin mencari masalah. Aku tidak ingin di lempar dari tempat yang nyaman ini. Aku dan istriku, Hinata, yang entah kenapa masih belum muncul juga. Padahal dia sudah berkali-kali kuingatkan untuk datang tepat waktu.
Hah…
Mungkin saat ini dia sedang merapikan rambut panjangnya yang berwarna biru kehitaman. Atau memberi lapisan gincu di bibirnya yang meski tanpa itu sudah berwarna merah delima. Atau mungkin dia sedang memoleskan bedak tipis di pipinya yang nanti akan merah merona saat kupuji betapa cantiknya dia hari ini.
Berbagai ras yang ada di bawah sana terus mengamuk meminta untuk di bawa serta. Dan pasukan pengaman yang ironisnya sama sekali tidak memiliki perasaan itu tidak mungkin memberi mereka izin. Beberapa ratus orang telah menjadi korban peluru-peluru pasukan penjaga, pasukan yang mestinya melindungi mereka.
Aku tak kuasa melihat pemandangan mengerikan yang ada di bawah sana. Aku baru saja memalingkan wajahku ketika kurasakan sesuatu bergetar di dalam saku. Mungkin ini Hinata.
"Sayang…" Suara lebut yang selama beberapa tahun ini terus menemani siang dan malamku terdengar dari speaker handphoneku. "Aku terjebak masalah di sini…"
Begitu mendengarnya, Aku langsung berdiri. Pantas saja Dia datang sedikit terlambat.
Tanpa mendengar penjelasannya lebih lama, Aku berlari ke elevator. Keuntunganku sebagai salah seorang kepala teknisi di sini adalah Aku punya akses tidak terbatas dalam [Line Cruiser] ini. Bahkan Kaisar pun tidak bisa menghentikanku! Tak butuh waktu lama bagiku untuk tiba di tempat masalah. Gerbang utama…
Entah siapa orang bodoh yang melarang istriku untuk naik ke dalam [Line Cruiser] yang Aku buat. Setelah sedikit memberi ceramah dan caci maki, akhirnya Aku dan Hinata bisa duduk dengan nyaman kembali di 'Gerbong 6' [Line Cruiser]. Hinata bersandar manja di bahuku sambil memejamkan mata. Ku elus lembut rambut istri tercintaku. Mungkin aku terdengar munafik, tapi dialah satu-satunya alasan Aku ikut dalam proyek ini. Walau apa yang terjadi Aku ingin dia hidup. Dalam bahasa kasar. Meski seluruh dunia menjadi musuhku, asalkan dia selama, itu sudah cukup bagiku.
[Line Cruiser] yang Shikamaru —rekan kerjaku dan sekaligus orang yang mengusulkan proyek ini kepada [Kekaisaran Parabellum]— beri nama 'Titanic', berdiri tegak menunjuk langit. Langit, tempat pelarian [Manusia Baru] ketika mereka telah puas merusak apa yang ada di Planet [Noah].
Mengenai pemberian nama yang sedikit sarkastik bagiku, Shikamaru hanya tertawa kecil sambil berkata: "Dia adalah kapal yang bahkan Tuhan pun tidak bisa menghancurkannya. Karena itu, dia butuh nama yang hebat. Dan menurutku nama ini adalah nama yang cocok."
Tiga jam telah berlalu dan akhirnya tibalah waktu untuk pemberangkatan. Aku kembali merenungkan pelaksanaan proyek ini.
Proyek yang menurutku mengerikan. Yang mengerikan bukan hanya kenyataan bahwa kami dengan gangpangnya meninggalkan ratusan juta orang di bawah sana dalam keadaan tanpa sumber daya. Melainkan bahwa untuk bisa membuat [Line Cruiser] ini bergerak mendekati kecepatan cahaya maka kami membutuhkan satelit di orbit [Noah], sebagai batu loncatan.
Caranya?
Tentu saja dengan meledakkan satelit itu. Meski berkali-kali Aku menentangnya, tapi Aku kalah debat dengan seorang ilmuan yang memenangkan opini bahwa meledakkan satelit adalah cara yang terbaik.
Meledakkan satelit itu tentu saja akan ada dampaknya, dan dampaknyalah yang paling tidak kusukai. Satelit itu akan hancur berkeping-keping menjadi asteroid* dan terus mengitari Planet [Noah] selamanya.
*A/N: Asteroid adalah benda kecil berbentuk bintang, anggota tata surya yg jumlahnya bintang puluhan ribu yang menghuni ruang antara planet, seperti: Mars dan Yupiter
Memotong hubungan antara [Noah] dan angkasa luar. Asal tahu saja, sebuah paku saja bisa menyebabkan lubang besar di badan pesawat luar angkasamu.
Ketika kuutarakan alasan itu kepada majelis pertimbangan, awalnya mereka cukup setuju dengan apa yang Aku kemukakan. Mereka juga tidak berniat memutus hubungan dengan planet 'tercinta' ini. Tapi lagi-lagi kepentingan menang atas hati nurani. Dan di sinilah uang memainkan perannya. Aku hanya bisa meninggalkan ruang rapat majelis dengan dongkol sambil menyeret ransel berisi file-file yang menunjukkan dampak tidak menyenangkan dari rencana itu.
Getaran halus tempatku duduk serta geliat manja Hinata di bahuku akhirnya menarikku dari lamunan. Akhirnya [Line Cruiser], 'Titanic', ini berangkat. Artinya, [Project Heaven] telah dimulai. Kami meninggalkan atmosfer dengan mudah, menyisakan kepulan asap putih dari Benua Nirwana akan terlihat seperti garis putih tipis yang membelah cakrawala. Guncangan-guncangan kecil sedikit terasa saat kami melewati tiap lapisan atmosfer, namun tahap pertama bisa dibilang mulus, tentunya berkat kepiawaian Erwin sebagai [Navigation and Control System Specialist]. Dialah yang mengendalikan [Line Cruiser] ini dari [Noah] hingga tiba di sebuah planet baru, tiga bulan dari sekarang.
Lampu merah di langit-langit gerbong kemudian menyala. Menandakan kalau tahap kedua telah dimulai. Tahap yang selama beberapa tahun ini kuperjuangkan agar tidak dimasukkan ke dalam rencana. Yang kurasakan hanyalah gaya gravitasi yang memaksaku bersandar di kursi. Hanya sensasi sejenak itu yang menandai terputusnya hubungan antara [Noah] dan angkasa luar. Yang berarti tidak akan pernah ada orang dari Planet [Noah] yang akan keluar angkasa lagi.
Beberapa saat kemudian lampu merah berganti menjadi hijau. Artinya kami telah lepas dari gravitasi [Noah] dan alat gravitasi buatan telah dinyalakan. Harus kuakui kalau alat ciptaan sahabatku ini adalah alat terbaik dalam perjalanan ini. Sebuah cincin terus berotasi mengelilingi badan gerbong yang menciptakan gravitasi buatan. Aku tidak begitu mengerti teknisnya tapi dia adalah seorang jenius. Sayang dia tidak bisa menikmati hasil penemuannya. Serangan jantung lebih dulu memanggilnya. Semoga arwahnya tenang di alam sana.
Hamparan bintang yang tanpa henti di atas permadani gelap galaksi [Seque] terlihat begitu indah dan memukau. Membuatku teringat pada saat pertama kali bertemu dengan Hinata di [Orbital Station Lunar] lima tahun yang lalu. Hinata sepertinya berpikiran sama sepertiku, bibir manisnya tersenyum tipis sambil menatap hamparan bintang tanpa ujung bersamaku. Andai semua ini tanpa akhir, mungkin inilah yang dinamakan surga.
Lampu alarm seolah menarik semua surga yang baru aku nikmati beberapa menit itu ke dalam blackhole. Walky Talky di bahuku pun berbunyi, tugas memanggil.
Ku kecup mesra bibir Hinata lalu bergegas aku berlari ke elevator.
"Apa yang terjadi?" Pertanyaan pertama yang terlontar dari bibirku saat tiba di ruang kendali di 'Gerbong 1' mestinya sudah bisa aku jawab sendiri. Karena hal yang aku tanyakan ada dalam salah satu file yang kutarik penuh dongkol dari ruang rapat majelis beberapa waktu lalu.
"Coronal Mass Ejection*!" Andre yang tengah sibuk mengetikkan perintah ke console di hadapannya menjawab tanpa berbalik padaku. "Kita akan kehilangan sistem komunikasi dan kelistrikan dua jam dari sekarang!"
*A/N: Coronal Mass Ejection (CME) adalah ledakan besar angin surya, plasma isotop cahaya lain, dan medan magnet, yang melontar di atas korona matahari atau yang dilepaskan ke angkasa.
"Yah… dan pada saat yang sama orang-orang di [Noah] sedang menikmati aurora." Shikamaru menatapku dengan sedikit sebal.
Kesempatan ini tidak kulewatkan begitu saja, kubalas tatapannya dengan senjata andalanku, tatapan merendahkan! Dan itu berhasil, dia tertunduk agak lama. Mungkin sedikit menyesal tidak mengikuti saranku dulu. Tapi ada hal yang membuatku sedikit lebih khawatir…
Dua jam dari sekarang [Line Cruiser] akan tiba di sabuk asteroid, dan tanpa sumber tenaga serta alat komunikasi, masuk ke sana sama saja dengan bunuh diri. Shikamaru tentunya tahu hal itu, terlebih lagi Erwin. Erwin sendiri telah menyiapkan rute baru yang sedikit memutar agar tidak sampai ke sabuk asteroid dalam dua jam. Ini jugalah salah satu kekurangan dalam [Line Cruiser] terhebat buatan [Manusia Baru], dia tidak memiliki 'rem'.
"Shikamaru, kita harus mengubah arah." Kataku sedikit lunak.
"Efek dari CME tidak bisa kita hindari. Kita termasuk beruntung karena kita memiliki perisai elektromagnetik. Tapi kau paham kalau perisai itu sendiri tidak begitu kuat, kan?"
Seisi ruangan terpaku pada satu titik, Shikamaru. Dialah pemimpin proyek ini, dan dialah yang menentukan semua keputusan. Bagaimanapun Aku hanyalah kepala teknisi sekaligus wakilnya.
"Baiklah, bawa kita ke tempat yang aman." Pada akhirnya Shikamaru menurunkan perintahnya lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Entah apa yang dia sedang pikirkan, dia terlihat sedikit terpukul. Yang bisa kulakukan sekarang adalah menjalankan tugasku sebagai [Electrical System Specialist].
Aku mendapat tugas yang mudah kali ini, memastikan sistem kelistrikan tidak terganggu oleh CME nanti.
Aku berjalan cepat menuju tempat Hinata duduk lalu memberikan sebuah komunikator padanya. "Gunakan ini jika terjadi apa-apa."
Bukannya Aku paranoid, Aku hanya berjaga-jaga. Sebuah sikap yang pasti akan kalian lakukan jika berada di posisiku.
"Janganlah terlalu memaksakan diri…" Mata Hinata memancarkan rasa khawatir. Dia bukan orang yang bisa kubohongi dengan berkata tidak ada apa-apa yang terjadi. Dia lebih pintar dariku dan kenyataannya, dia lebih ahli dariku tentang CME.
Awalnya Aku sendiri sama sekali tidak memprediksikan hal ini. Bahkan orang paling paranoid pun tidak akan menduga hal ini akan terjadi. CME level X23 mengarah langsung ke kami. Bukan sekali atau dua kali, melainkan tiga belas kali! Perisai elektromagnetik [Line Cruiser] luluh lantak dihantam badai proton. Sistem komunikasi lumpuh total begitu pula dengan sistem kelistrikan. 'Titanic' diselimuti gelapnya antariksa.
Orang-orang dalam gerbong mulai panik. Begitu pula para kru. Beberapa mulai berlari memasuki kapal penyelamat dan hal itu jugalah yang sedang Aku lakukan bersama Hinata. Kutarik lengan mulus Hinata berlari melewati koridor khusus teknisi. Menuju kapal penyelamat. Dan lagi-lagi Tuhan memberi penghalang. CME barusan juga mengganggu sistem dari kapal penyelamat. Tidak mau menyerah, kuperintahkan Hinata untuk mengenakan pakaian luar angkasa dan masuk ke dalam kapal penyelamat. Bagaimanapun, dia harus hidup!
Kukeluarkan semua kemampuanku sebagai teknisi, kuperiksa satu persatu komponen dalam pesawat kecil itu. Dan akhirnya kutemukan sumber masalahnya. CME menghanguskan Central Processing Unit* pesawat. Dan Aku beruntung karena aku selalu membawa sebuah benda seperti itu dalam saku. Memang banyak orang yang sering mengataiku aneh karena membawa benda seperti itu, tapi lihatlah siapa yang tertawa sekarang! Sementara kalian kebingungan mencari pesawat penyelamat, Aku akan memperbaiki pesawat ini!
*A/N: Unit Pemroses Sentral (UPS) (bahasa Inggris: Central Processing Unit atau Processor; CPU), merujuk kepada perangkat keras komputer yang memahami dan melaksanakan perintah dan data dari perangkat lunak. Istilah lain, pemroses/prosesor (processor), sering digunakan untuk menyebut CPU.
Aku tidak punya waktu banyak. Alarm kembali berdering menjengkelkan, menunjukkan bahwa kami baru saja masuk kedalam sabuk asteroid. dan hal terburuk kembali terjadi. Hantaman keras dari asteroid berdiameter tiga kilometer mengoyak 'Gerbong 6'. Ratusan orang terlontar ke ruang hampa dan bisa kupastikan tidak ada yang akan selamat!
"Kita harus pergi dari sini!" Dengan sedikit tergesa-gesa kunyalakan sistem kendali pesawat.
"Asteroid?" Hinata yang sedari tadi berdoa dengan tenang bisa menebak apa yang sedang terjadi. Nalarnya memang tajam.
"Ya…" Aku tidak perlu menyembunyikan apa-apa. Dia sudah bisa menebak semuanya. "…Sebentar lagi Shikamaru akan melepaskan gerbong kelima dan keenam. Dan tentu saja, meledakkannya."
"Meledakkannya!?" Hinata sepertinya sedikit terkejut. Dia tentu tidak menduga kalau kami menggunakan banyak ledakan agar bisa sampai di sini. "Untuk apa?"
Aku menghela nafas panjang. Untuk apa? Pertanyaan singkat yang seolah mengejek semua hal yang telah [Manusia Baru] lakukan.
Benar juga…
Sebenarnya semua ini untuk apa?
Ah…
Mereka mungkin tidak punya tujuan, tapi aAku jelas punya. Aku harus membuat Hinata bertahan hidup! Dia tidak boleh mati, tidak di sini! Aku berbalik, menatap perut Hinata yang berisi buah hati kami. Mereka tidak boleh mati di sini!
"Mereka mungkin akan mencoba untuk kembali ke [Noah]. Paling tidak jika Shikamaru mengikuti cara manual." Pandanganku kulemparkan ke luar jendela. Menatap sebuah bola biru kehijauan bernama [Noah].
"Tapi bagi mereka, kembali ke [Noah] adalah pilihan yang buruk." Kutarik tuas kemudi kapal penyelamat meninggalkan 'Gerbong 6'.
Meninggalkan ratusan orang di dalam sana.
Beberapa saat kemudian, 'Gerbong 6' yang sudah hancur lebur memisah dengan Gerbong 5, lalu meledak bersama dengan 'Gerbong 6'. Ratusan orang yang belum keluar dari 'Gerbong 6' sudah jelas bagaimana nasibnya. Dan entah mengapa, aku sama sekali tidak merasa kasihan. Berbeda saat aku melihat orang-orang di [Noah] yang tertembus peluru pasukan penjaga. Apakah hati nuraniku sudah mati? Dan akhirnya, dinding terakhir membentang di hadapanku.
Aku sudah tidak mungkin kembali lagi ke 'Titanic', hal terakhir yang kulihat dari [Line Cruiser] itu adalah sebuah asteroid lain yang menghantam 'Gerbong 1'. Tanpa perisai elektromagnetiknya, mereka adalah kantong kertas yang melayang di luar angkasa. Dugaan terbaik, 'Gerbong 5' sempat memisahkan diri dan selamat. Tapi untuk memisahkan 'Gerbong 5' secara manual tanpa perintah dari Shikamaru di 'Gerbong 1' perlu kode dari Ino. Sayangnya, komunikasi terakhir darinya menunjukkan kalau dia berada di 'Gerbong 6' saat asteroid menabrak gerbong itu.
Kemungkinan, 'Titanic' telah hancur berkeping-keping.
Tanpa jalan untuk kembali, Aku dihadapkan oleh dua pilihan. Tetap mengorbit [Noah] seperti ini sampai cadangan makanan serta oksigen kami habis. Atau dengan nekat menerobos debris* di depan sana. Dua-duanya berakhir menyakitkan. Dan jelas aku tidak ingin ini berakhir menyakitkan. Tidak untuk Hinata!
*A/N: Dalam 'Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)', Debris memiliki arti pecahan batu-batuan akibat erosi.
"Hinata…" Aku melepaskan kendali kapal penyelamat lalu melayang ke dekat istriku tercinta.
Hinata sedikit heran melihat tingkah anehku. Terus terang saja, Aku juga tidak mengerti Aku sedang melakukan apa. Hal terakhir yang kuingat adalah Aku mengecup mesra bibir merah delimanya lalu kembali ke tuas kendali. Aku melemparkan senyum terbaikku padanya lalu menekan tombol merah yang akan membuat kapal penyelamat ini menjadi dua bagian. Sempat kulihat Hinata memukul-mukul kaca jendela yang memisahkan kami. Tapi keputusanku sudah bulat. Mereka harus hidup!
Kapal penyelamat terpisah menjadi dua bagian dan hanya dihubungkan oleh sebuah kawat. Tanpa banyak bicara lagi, Aku membawa kapalku dengan kecepatan penuh, membiarkan kapalku yang berada paling depat menghantam debris-debris di luar atmosfer. Lampu peringatan bahaya dan alarm berbunyi tanpa henti-hentinya. Tapi Aku tidak peduli, terus kutambah kecepatanku. Entah Aku berhalusinasi atau tidak, bisa kudengar tangisan Hinata dari belakang sana.
Aneh, setahuku semua alat komunikasi sudah lumpuh. Meski bukan tangis yang ingin kudengar melainkan tawa, tapi asalkan ini suaranya bagiku tidak masalah. Meski ini hanya halusinasi asalkan ini adalah suaranya bagiku tidak masalah. Yang jelas dia harus hidup!
Pandanganku mulai berkunang-kunang oleh panas yang menyelimuti tubuhku…
Telingaku tidak bisa mendengar apa-apa lagi kecuali suara tangisan Hinata yang mungkin hanya halusinasi…
Tubuhku sudah meninggalkan rasa sakit yang ditimbulkan potongan besi yang menembus perutku…
Perlahan-lahan dinding pesawat penyelamatku memerah oleh panas. Aku berhasil menembus lapisan yang memutuskan hubungan manusia dengan antariksa. Aku berhasil!
Sedikit-demi sedikit, pesawat yang kutumpangi mulai hancur…
Tugasku berakhir di sini…
…
"Naruto… Naruto-kun…"
Suara lembut Hinata mengalun lembut di kedua gendang telingaku. Memaksaku membuka mata dan menemukan wajah anggunnya diterpa cahaya lampu.
"Lagi-lagi Kamu tiduran di sini. Kalau ketahuan penjaga bisa gawat lho." Hinata yang mengenakan blouse biru dengan rok merah muda selutut melayang ringan ke tempatku berbaring. Menara pengawas [Orbital Station Lunar].
"Memangnya penjaga bisa menangkapku?" Aku tertawa sedikit sombong.
"Lagipula, Kau tidak mungkin memberi tahu para penjaga, kan?"
"Tahu dari mana Kamu?" Hinata menatapku dengan senyum manis tapi mengacam.
"Karena Aku ingin Kau menjadi istriku." Aku memasang senyum terbaik yang pernah kumiliki sambil memasang cincin di jari manisnya.
Wajahnya yang tersipu malu masih terbayang hingga kini. Begitu pula suaranya yang terus memanggilku lembut hingga lima tahun berikutnya. Dan yang terdengar paling nyaring kini adalah tangisnya yang entah bagaimana terus terngiang di telingaku. Kenapa kamu menangis Hinata? Aku tidak ingin mendengar tangisanmu. Yang ingin kudengar adalah tawamu. Yang ingin kudengar adalah candamu bersama dengan anak-anak kita yang akan lahir beberapa bulan lagi. Yang ingin kudengar adalah kata yang selalu Kau bisikkan di telingaku di setiap malam yang kita lewati bersama. Yang ingin kudengar adalah kata yang dulu kau ucapkan saat kau menerima lamaranku.
"AKU MENCINTAIMU!"
Dan tubuhku pun melebur dalam atmosfer. Meninggalkan jejak cahaya keperakan di cakrawala langit malam. Malam itu tiga buah goresan cahaya nampak di sisi utara rasi bintang [Novus]. Tapi hanya satu yang sampai di bawah sana.
.
.
.
[Manusia Baru] adalah makhluk yang sombong.
Sejak awal mereka diciptakan sampai saat mereka dihancurkan pun akan selalu seperti itu.
Tapi aku bangga menjadi seorang [Manusia Baru]. Karena aku dipertemukan cinta olehnya…
.
.
.
Chronicle Parabellum –Another- : Space Maiden [END]
