.

.

~Sakura~

.

Sakura kecil menatap gundukan tanah yang masih basah dengan berbagai macam bunga bertabur di atasnya. Dia tersenyum getir membaca nama yang tertulis pada nisan di depannya.

Haruno Mebuki

Wanita kesayangannya itu baru saja meninggal tadi malam. Setelah berjuang keras melahirkan adiknya. Sayangnya ibu dan adiknya tak selamat. Adiknya tak pernah lahir ke dunia. Mereka meninggalkan Sakura bersama ayahnya.

Sakura menoleh saat merasakan tangan seseorang mengusap puncak kepalanya sayang. Ayahnya tersenyum lembut. Sakura tahu, ayahnya juga sedih. Ayahnya juga ingin menangis meski sudah menangis semalaman. Tapi pria itu berusaha kuat agar bisa menjadi penopang bagi Sakura. Karna itulah, Sakura juga tak mau menangis. Dia tak mau membuat ayahnya lebih khawatir. Gadis itu cukup dewasa di usianya yang ke sembilan tahun.

"Kita pulang?" Suara ayahnya serak. Sakura sedih mendengarnya. Ayahnya pasti lelah.

Sekali lagi Sakura menatap gundukan tanah berisi ibu dan adiknya yang masih di dalam perut. Gadis kecil itu tertunduk sebelum menghela nafas lalu menatap ayahnya dengan senyum manis.

"Ya ayah, ayo pulang." Ujarnya dengan suara pelan menenangkan. Menekan segala kesedihannya.

.

.

Sakura menatap ayahnya tak percaya saat mendengar ucapan mengejutkan pria itu. Di tahun ke dua setelah meninggalnya ibu dan adiknya, ayahnya meminta izinnya untuk menikahi dua wanita sekaligus. Dengan alasan jika ayahnya bertanggung jawab atas kecelakaan yang merenggut nyawa suami mereka. Kecelakaan beruntun yang juga membuat ayahnya mengalami patah tulang di kaki hingga harus menggunakan kursi roda sementara kakinya di gips.

"Ayah sudah lama mengenal mereka?" Tanya Sakura lamat-lamat menekan debaran jantungnya. Dia tak mengerti kenapa tanggung jawab harus berakhir dengan menikahi.

"Ya, Mikoto adalah sahabat ayah saat sekolah menengah. Ayah tak tega melihatnya harus membanting tulang demi anaknya. Suaminya yang mengalami kecelakaan hanya seorang kuli bangunan, Sakura. Sasuke butuh biaya pendidikan yang tidak sedikit demi masa depannya. Sedangkan Azura, dia mantan kekasih ayah saat kuliah. Dia sakit keras yang mengharuskan putranya bekerja lebih keras sepeninggal suaminya. Ayah tak tega." Jelas ayahnya panjang lebar.

Sakura terdiam. Dia tak tahu harus mengatakan apa atas tindakan yang akan diambil ayahnya. Ini benar-benar tak masuk akal baginya. Tapi apa yang bisa dilakukannya saat melihat tatapan memohon ayahnya. Sakura memalingkan wajahnya menatap lukisan yang terpajang di ruang tengah. Lukisan bunga tulip karya ibunya.

"Lakukan saja." Ujar Sakura tenang. Lagi, dia berusaha mendekat perasaannya agar tak muncul ke permukaan.

"Terima kasih sayang." Kizashi memeluk Sakura. Mengecupi puncak kepala putrinya yang penuh pengertian.

Sementara Sakura memejamkan matanya. Menahan gejolak yang menyesakkan dadanya. Dia harus siap berbagi. Dia harus berfikir positif jika ayahnya kesepian dan butuh sosok teman. Mengisi kekosongan yang ditinggalkan ibunya. Toh Sakura tak akan tinggal dengan mereka saat ayahnya memboyong dua istrinya ke rumah ini. Karna Sakura memberikan syarat agar dia tinggal bersama neneknya dengan alasan lebih dekat ke sekolah.

.

.

"Sakuraaaaaaaa!" Jerit Ino kesal karna gadis merah muda itu menghabiskan bekalnya tanpa Ijin. Tentu saja Ino berang mengingat ini ke sekian kalinya bekalnya di curi Sakura. Dia semakin geram melihat Sakura justru terkekeh riang berlari ke arah perpustakaan.

"Berhentilah membuat temanmu kelaparan Sakura." Ucap Gaara sembari memukul kepala Sakura dengan buku tebal.

"Dia akan semakin kurus jika terus makan salad saja. Aku akan berhenti saat dia membawa bekal yang normal." Gerutu Sakura mengusap kepalanya yang berdenyut. "Dari pada itu, kita akan kemana besok?" Sakura berjalan mundur dihadapan Gaara. Wajahnya terlihat begitu antusias lengkap dengan cengiran lebarnya.

"Kau benar-benar tak akan datang ke pernikahan Paman?" Tanya Gaara lembut.

Senyum Sakura memudar. Langkah mundurnya melambat. Sakura sadar jika dirinya sedang mencari alasan agar tidak menghadiri pesta pernikahan sederhana ayahnya. Dia hanya... butuh waktu untuk beradaptasi. Menekan segala egonya.

"Baiklah, besok kita mendaki. Jadi hilangkan raut jelekmu itu." Gaara mengacak rambut Sakura dan melangkah melewati gadis itu.

"Benar? Kyaaaa aku merindukan gunung. Tayuya dan Sora ikutkan?" Seru Sakura ceria. Gadis itu bergelayut manja di lengan Gaara seolah lupa dengan kegalauannya tadi.

Sedangkan Gaara mengangguk sembari tersenyum tipis. Dia tahu yang Sakura lakukan tak benar. Tapi dia tak akan tega memaksa gadis itu melakukan hal yang membuat senyumnya meredup.

Sakura tak pernah pulang ke rumahnya bagaimanapun ayahnya meminta. Gadis itu belum siap menerima kehadiran keluarga baru. Dia belum terbiasa menyaksikan kesunyian terkoyak di rumahnya. Ayahnya tak akan berani menjemputnya ke rumah neneknya yang adalah orang tua Mebuki. Kakek dan neneknya mengecam tindakan ayahnya bahkan mengharamkan pria itu juga keluarga barunya menginjakkan kaki di rumahnya.

.

.

"Sakura, ayah benar-benar minta maaf karna mengecewakanmu lagi. Ayah sungguh tak bisa menolak permintaan terakhir Minato." Telpon dari ayahnya itu terjadi di tahun ke empat setelah ibunya meninggal.

"Dan apa permintaannya?" Sakura yakin dia akan menyesali pertanyaannya ini. Dia sungguh tak kenal dengan pria bernama Minato yang di klaim ayahnya sebagai sekretaris terbaik. Tapi nama itu berhasil membuat Sakura tak menyukainya meski belum bertemu orangnya. Dia membebani ayahnya dengan permintaan terakhir.

"Ayah di minta menikahi Kushina dan menjaga putranya." Ucapan ayahnya benar-benar mewujudkan ketakutan Sakura. Dia menyesal sudah bertanya. Dia membenci Minato yang membebani ayahnya dengan hal aneh. Kenapa lagi-lagi ayahnya harus menikah. Apa ayahnya semacam nabi? "Sakura..."

"Lakukan saja." Potong Sakura menahan gejolak perasaan yang akan meledakkan dadanya.

"Sayang... maaf..." lirih Kizashi seolah tak berdaya. Kebencian untuk ayahnya tumbuh subur. Ayahnya bukanlah tokoh protagonis dengan segala kelemahan dan kebaikan hatinya. Bagi Sakura, ayahnya adalah tokoh antagonis yang menghancurkan hatinya berkali-kali.

"Selamat malam, ayah." Dan Sakura memutuskan sambungannya. Dia menatap kosong lukisan bunga tulip yang sama seperti lukisan di ruang tv rumah ayahnya. Lukisan yang di buat oleh orang yang sama. Ibunya. Sakura tersenyum miris namun tak bisa menangis. Dia lelah.

Sakura tak menghadiri pernikahan ayahnya, tentu saja. Gadis itu bahkan tak bisa membela ayahnya ketika berbagai sumpah serapah dan kutukan lolos dari bibir neneknya saat menerima undangan pernikahan ayahnya.

Hingga menginjak kelas tiga sekolah menengah pertama, Sakura belum pernah sekalipun bertemu keluarga barunya. Sakura tak punya keinginan bahkan untuk sekedar mengenal mereka. Dia merasa... asing.

.

.

Sehari setelah kelulusannya dari sekolah menengah pertama Sakura memilih pergi liburan daripada bertemu ayahnya. Dia tak begitu peduli meski sudah nyaris dua tahun tak bertemu dengan ayahnya.

"No no no Sakura. Kau tak boleh mengutak-atik akunku seenaknya!" Panik Tayuya saat memergoki Sakura melakukan sesuatu pada akun media sosialnya.

"Kenapa panik seperti itu? Aku hanya mengirimkan foto hotmu pada Utakata." Kekeh Sakura berusaha mengelakkan ponsel ditangannya dari jangkauan Tayuya.

"Sakura! Kau gila!" Jerit Sakura tak terima yang justru membuat gelak tawa Sakura semakin keras.

"Aku hanya memperlancar acara pdkt mu!" Sanggah Sakura.

Gaara dan Sora yang duduk di kursi depan hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat keberisikan dua gadis di belakang mereka. Saat ini mereka berencana pergi ke pantai dengan Sora yang berperan menjadi supir. Omong-omong, mereka berempat adalah sepupu. Sora dan Tayuya adalah anak kakak ibu Sakura. Sedangkan Gaara adalah anak adik ibu Sakura.

"Shit! Remnya blong!" Jerit Sora yang seketika membuat mereka berempat membeku.

"Sora awas!" Jerit Gaara saat mereka nyaris menabrak gerobak. Tentu saja kepanikan mereka menjadi mengingat saat ini mereka berada ditengah keramaian.

"Awaaaaaasss!" Jerit Sora sembari menekan klakson berkali-kali saat melihat ayah dan anak melintas menyeberang jalan sementara dia tak mampu mengendalikan mobilnya.

"Aaaaaaaaa!" Jerit mereka bersamaan saat mobil mementalkan ayah dan anak itu dan baru berhenti ketika menabrak tiang listrik.

.

.

Sakura dan Tayuya terdiam menatap seorang remaja seumuran mereka meraung di sisi kedua sosok yang terbujur kaku itu. Gaara dan Sora mengalami luka cukup parah karena duduk di bagian depan. Sedangkan Sakura dan Tayuya hanya luka ringan karna duduk di bagian belakang. Mereka memutuskan datang ke rumah duka tanpa Gaara dan Sora. Tentu saja didampingi nenek mereka.

"Kau! Kau penjahat! Kau membunuh ayah dan adikku! Harusnya kau mati! Mati! Pembunuh!" Raung remaja itu mencengkeram kerah baju Sakura.

Sakura hanya diam menatap datar pria yang berniat membantingnya ini. Neneknya juga Tayuya berusaha melepaskan tangan pria itu dari Sakura. Beberapa orang berusaha menjauhkan pria itu dari Sakura dan menenangkannya. Pria itu memberontak memaki Sakura.

"Sayang, tenanglah. Kau sangat tak sopan pada ayah dan adikmu." Ucap ibu pria itu membujuknya agar tenang.

Sakura masih menatap pria yang sesenggukan dipelukan ibunya itu. Hatinya remuk seolah melihat dirinya saat ibunya meninggal dulu. Dia tak menginginkan ini, dia hanya berniat liburan dengan para sepupunya. Sepertinya dia sedang di hukum karna begitu lama mengabaikan ayahnya.

Dengan pasti gadis itu melepaskan diri dari neneknya dan Tayuya. Mendekati pria yang menatapnya penuh dendam. Berjongkok demi menyamakan tingginya dengan pria yang terduduk di lantai itu.

"Jika kau sebegitunya membenciku, maka buatlah aku menderita dengan merebut semua milikku." Sakura menyentil dahi pria itu. Membuat ibu dan anak itu terpana tak mengerti. Bahkan semua orang menatapnya bingung.

"Aku akan memastikanmu mendapatkan kesempatan itu." Ucap Sakura sebelum pergi meninggalkan rumah duka di ikuti neneknya dan Tayuya.

Setelah itu Sakura menghubungi ayahnya. Menawarkan sebuah kesepakatan. Jika ayahnya ingin dia pulang seperti yang selalu dibahas pria itu saat menghubunginya maka dia harus menikahi satu orang lagi. Tentu saja Sakura tahu ini bukanlah masalah mengingat ayahnya bisa menikahi tiga wanita dengan mudah. Tak butuh waktu lama bagi ayahnya untuk memenuhi permintaan Sakura.

.

.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Gaara. Dia dan Sora baru keluar dari rumah sakit kemarin.

"Maaf Saki, ini salahku. Harusnya kau tak menanggung kebencian anak itu sendiri." Kali ini Sora yang bersuara.

Sakura mengalihkan tatapannya dari prosesi pernikahan di depan sana ke arah dua sepupunya. Kali ini keluarga besar ibunya menghadiri pernikahan Kizashi atas permintaan Sakura. Kecuali mereka bertiga yang hanya melihat dari kejauhan.

"Aku baik-baik saja." Sakura tersenyum manis meski tak sampai ke matanya. "Seharusnya aku yang mengkhawatirkan keadaan kalian yang menyedihkan ini." Canda Sakura yang tak menciptakan satupun tawa di antara mereka. Setidaknya Sakura bisa lega saat kasus ini tak di perpanjang berkat pengaruh keluarganya.

"Aku akan pulang." Bisik gadis itu parau. Sakura memeluk Gaara. Menyembunyikan wajahnya di bahu sepupunya itu. Dia menghela nafas lemah merasakan belaian lembut di punggungnya. Bukan hanya dari Gaara tapi juga dari Sora.

Sakura menatap jauh dari bahu Gaara. Inikah waktunya menerima keadaan. Dia tak bisa terus-terusan berlari. Dia akan memaksakan diri agar menyukai hal-hal yang tak di sukainya. Dia akan menjalani kehidupan baru dengan keluarga baru. Dia hanya akan memastikan dirinya bisa baik-baik saja.

~versi Sakura selesai~

.

Dari sisi Sakura berakhir di sini. Mulai chap selanjutnya akan di isi dengan pov empat sodara tirinya. Karna ini emang tentang Sakura di mata sodaranya. Jadi begitulah. Mungkin ntar sudut pandang Sakura muncul di prolog atau extra part. Siapa yang tahu kan. He he

Jadi, berkenan reviews?