NARUTO
.
Disclaimer:
Masashi Kishimoto
.
Story:
Cielheat Ie'chan
.
Pairing:
KakaIno
NaruHina
.
Warning:
AU, OOC, typo, gaje, abal, ancur n sgla macam kejelekan.
.
Don't like, don't read
Bagian 1
.
.
You made some memories for me. But, it sucks!
.
.
''Huh, tempat ini membosankan!'' Ino menggerutu dari balik kursi penumpang BMW merah yang kini melaju di jalanan utama kota setelah menjemputnya dari Konoha Airport.
Gadis berambut pirang lurus sepinggang yang dibiarkan tergerai itu melengos sebal menatap pemandangan di luar jendela. Bukan karena bulir-bulir sakura yang jatuh di sepanjang jalan tampak seperti badai salju merah muda atau karena warna pastel langit sore setelah hujan, tetapi karena lobus frontalis otak Ino baru saja mengingat hal yang membuatnya ingin memaki seseorang.
Ino enggan mengakui ini, tetapi ia tipe egois yang benci kekalahan. Dan sialnya, gadis bermata aquamarine itu terdampar di kota kecil ini akibat satu kata terkutuk itu.
Kalah.
Ino Yamanaka kalah telah melawan keputusan orangtuanya untuk mengirim sang putri tunggal kembali ke 'rumah induk' klan Hyuuga yang terhormat setelah Ino dengan heroiknya menjadi profokator demo kenaikan SPP di mantan sekolahnya, Suna Internasional High School yang berujung penjara kenakalan remaja selama dua hari.
''Argh, orangtuaku menyebalkan!'' Ino mengacak-acak rambut frustasi. Mengacuhkan lirikan Kabuto, sang supir yang tampak menautkan alis menyadari tingkah tak elite nona mudanya.
''Ino-hime, Anda baik-baik saja?'' tegur pria berkacamata yang masih berusia 25 tahun itu sembari sesekali melirik lewat kaca spion yang tergantung diatas kepalanya.
''Jangan pedulikan aku!'' Ino setengah membentak.
Ino sadar tindakannya melampiaskan amarah pada orang lain adalah salah, tetapi saat ini ia benar-benar tidak butuh ucapan bela sungkawa yang justru semakin membuatnya naik darah.
Sungguh, yang Ino butuhkan hanya ketenangan batin sebelum menghadapi teror Miroku obaa-sama mengenai tindakan anarkisnya yang amat sangat mencoreng nama baik keluarga besar Hyuuga, bahkan walaupun Ino jelas-jelas menyandang marga Yamanaka milik ayahnya.
Lalu setelah itu apa? Ino mencoba menebak-nebak.
Ya, setidaknya Ino tahu ia akan berakhir seperti Hinata Hyuuga, sepupunya yang lemah lembut itu. Mulai detik ini, Ino akan menjalani kehidupan penuh sopan santun ala aristokrat meskipun ia benar-benar tidak memiliki potongan seorang tuan putri.
Ok, kedengarannya memang sedikit berlebihan. Ino tidak separah itu. Setidaknya gadis bertubuh tinggi semampai ini sangat tahu diri akan takdirnya sebagai salah seorang pewaris klan Hyuuga yang otomatis membuat Ino harus belajar tata krama kelas tinggi sejak kecil. Namun, bila dihadapkan pada pilihan mati muda atau hidup bak di sangkar emas seperti Hina-hime, begitu Ino memanggil
Hinata, entah kenapa Ino lebih suka mati.
Kau tahu kenapa? Itu karena Ino Yamanaka adalah pribadi yang bebas. Jiwanya yang terbiasa hidup tanpa aturan mutlak dalam lingkup embel-embel 'Hyuuga' di belakang namanya berhasil menempa Ino menjadi gadis low profile nan penuh semangat yang terkadang menyukai persaingan. Bukan yamato nadeshiko Jepang yang harus selalu bersikap penuh perhitungan demi menjaga nama baik keluarga.
Petualangan 'bebas' itu sudah berakhir. Sekarang Ino berada di kota ini, Konoha, menyerahkan diri untuk hidup di rumah induk ―rumah yang telah membesarkan sang ibu― dengan segudang klaim yang tak berbalas belas kasih.
''Ampun! Apa mereka benar-benar orangtuaku?'' Ino mendesis sinis tanpa sadar.
Malas berfikir, gadis bermata seumpama samudra luas itu segera mengambil posisi ternyaman yang bisa ia usahakan.
Ino mengeraskan volume i-pod yang tersambung dengan headset di telinganya sebelum menumpukan siku di handle pintu, bertopang dagu malas sembari menutup mata.
Ino berusaha menikmati bait-bait lagu yang mengalun lembut diantara semilir angin dingin yang menampar pelan sisi wajahnya, memainkan anak rambut Ino hingga melambai-lambai tidak beraturan di udara.
Brumm... Brumm... Brumm...
Pikiran Ino terkontaminasi suara kendaraan lain diluar jendela yang terbuka sebagian, tepat disamping BMW merah yang ia tumpangi. Derunya terdengar halus, namun lebih keras dan berat dari kendaraan lain di sekitar Ino hingga membuatnya tertarik.
Kelopak aquamarine itu membuka sigap, menoleh cepat kearah datangnya suara dan mendapati sebuah motor sport hitam mengkilap kini terparkir gagah beberapa centimeter disamping mobilnya, sama-sama menunggu traffic light simpang empat yang menyala merah.
Wah..., Ino membulatkan mata takjub, tidak sanggup menyembunyikan ekspresi senangnya disuguhi motor keren yang mengingatkan ia pada Danny Pedrosa, si cakep idolanya di arena Grand Prix yang selalu ia tonton setiap minggu malam di televisi.
''Drago, to fly without wings...'' Ino menggumamkan baris-baris kata berwarna silver kecil memanjang yang tertulis di body motor.
Gadis itu tersenyum simpul. Merasa jatuh hati pada kalimat nonsense yang menurutnya amat sangat keren itu. Membuat Ino tergelitik mendongak untuk sekedar meneliti penampilan sang pemilik motor yang sejak tadi keberadaanya ia acuhkan.
Deg!
Keempat bilik jantung Ino berhenti berdetak untuk sejenak. Entah karena gumamannya terlalu keras atau karena aura gadis pecinta bunga itu memang terasa, yang pasti sang pengendara sport kini menoleh aneh menatapnya sembari melepas helm cakil bermotif tengkorak yang ia pakai.
G untuk gorgeous!
Orang itu keren sekali, kalau saja Ino punya waktu lebih untuk mengagumi. Rambutnya berwarna perak, bergaya seolah menantang langit senja diatas kepala. Berpakaian serba gelap nan elegan yang terlihat pas untuk motor sport hitam dibawahnya. Kedua tangan pria itu juga dilapisi sarung tangan balap dengan ruas-ruas jari yang berlubang, memberi kesan 'berandalan elite' bagi siapapun yang menatap.
Sayang, Ino membuang kesempatan mengeksplorasi pemandangan 'adem' itu karena bola matanya lebih dulu terpancang pada satu titik yang membuatnya tidak bisa berpaling dengan mudah.
Mata orang ini... cantik, Ino menahan nafas. Merasa sekujur tubuhnya di aliri percikan listrik bertegangan rendah, namun sanggup membuatnya tidak berkutik.
Ino menggerakkan tangan tanpa sadar, menekan tombol pembuka jendela hingga kacanya turun lebih rendah dengan mulut setengah terbuka agar bisa semakin menikmati pemandangan kedua kornea berbeda warna yang telah menyedot akal sehatnya. Abu-abu gelap nan teduh dan sebuah bola bening kemerahan.
''Heterokromia.'' Ino mendesiskan jawaban di otaknya. Membuat pria berusia sekitar 24 tahun yang bisa menangkap suara samarnya itu mengangkat sebelah alis.
Sedetik kemudian, pria itu tiba-tiba tersenyum tipis ― sangat tipis sampai Ino bahkan tidak bisa mendeteksi tarikan bibirnya kalau saja gadis itu tidak sedang terpana ― seraya mengulurkan tangannya yang terbalut sarung tangan balap dengan gerakan mantap. Melewati jendela mobil yang hanya berjarak beberapa centimeter dari motornya, menempelkan tangan di pipi kanan Ino sembari mengelus pelan bibir bawah gadis pirang itu.
Eh?
Ino membeku di tempat. Merasakan darahnya baru saja mengalir dari bawah keatas, kemudian berkumpul di area wajah. Aquamarine gadis itu membelalak ngeri menyadari gerakan lain pria didepannya yang berusaha mendekatkan wajahnya ke wajah Ino.
Sial!
Ino memaki diri sendiri. Merasa bodoh telah membiarkan orang asing yang meskipun amat sangat tampan, namun jauh dari kesan pria baik-baik, seenaknya menyentuh wajah Ino. Mengelus bibirnya dan sekarang...
Argh, harusnya aku tidak memperhatikan orang dengan penuh nafsu, inner Ino menjerit frustasi dan...
Plakk!
Entah mendapat recarge tenaga dari mana, Ino reflek menampar tangan nakal yang masih bersarang di wajahnya. Mengacuhkan keterkejutan samar si pengendara sport seraya beringsut cepat dengan wajah syok kesisi lain mobil. Bermaksud mengamankan diri dari jangkauan si pemilik tangan lancang didepannya.
''A... apa-apaan kau? Jangan seenaknya menyentuh wajah orang!'' Ino berteriak kesal. Memasang wajah marah, tetapi siapa pun yang mendengar nada suaranya yang menyentak-nyentak akan tahu bahwa hal itu hanya kamuflase kegugupannya yang sungguh beralasan. Biar bagaimanapun, disuguhi pemandangan cowok keren nan gantle yang sedetik lalu mengelus lembut wajahmu jelas membuat nervous kan?
''Haha...'' Bukannya menjawab, pria itu justru tertawa geli melihat tingkah panik Ino yang langsung memelototinya sebal.
Pria bermata heterokromia itu acuh tak acuh. Kembali memasang helm tanpa menutup riben sembari melirik traffic light yang baru saja berganti warna dari merah menjadi hijau. sesaat kemudian, bola matanya kembali menatap Ino disertai seringai usil yang menghiasi wajah.
''Per favore non mi manchi, perché posso assicurare che non rivedremo,'' ujarnya santai.
''Hah?'' Ino cengo di tempat. Entah kenapa, ia tiba-tiba menyesal mengambil bahasa prancis sebagai jurusan bahasa asing di sekolahnya ketimbang bahasa itali yang ternyata di pakai seseorang untuk mengerjainya. Alhasil, Ino jadi saklek. Bingung harus marah tanpa tahu kalimat orang itu atau diam saja dan di anggap kalah.
Pria berambut perak didepan Ino menarik sudut bibirnya keatas. Bukan menyeringai seperti tadi, tetapi memamerkan seulas senyum manis yang tipis. Tampak puas sudah berhasil mengaduk rasa penasaran Ino.
''Bye...'' Ia mengacungkan dua jari, bergaya ala hormat pada bendera sekilas. Lalu dalam sekali gebrakan, si motor spor hitam segera melaju membawa sang pengendara tampan. Melesat cepat sembari menyelap-nyelip di antara kendaraan lain yang ikut bergerak pelan. Meninggalkan BMW merah Ino dibelakang.
''Hebat!'' Ino nyaris memekik. Mengabaikan semua kekesalannya hanya karena terpukau sejenak oleh cara pria mengindap heterokromia itu memainkan persneling. Cepat, tangkas, lincah nan luwes. Membuat aliran darah Ino berdesir aneh tanpa ia mengerti.
''To fly without wings, eh?'' Ino mendengus setengah menyeringai penuh arti. ''Konoha boleh juga,'' ujarnya meralat ucapan 'tempat membosankan'nya beberapa menit lalu.
.
^^BLOH^^
.
''Ino-hime, kita sudah sampai.'' Kabuto membukakan pintu belakang mobil begitu BMW merah yang mereka tumpangi melewati sebuah gerbang kayu ganda setinggi 2 meter yang di jaga dua orang satpam berpakaian hakama, lalu berhenti di halaman rumah nan luas bergaya tradisional. Kabuto sedikit membungkuk hormat saat Ino keluar dari mobil.
''Terima kasih, Kabuto-san. Tolong turunkan tasku dari bagasi.'' Ino menjawab tenang.
''Hai, wakarimashita.'' Kabuto membungkuk lagi sebelum menyibukkan diri di bagian belakang mobil. Menurunkan sebuah ransel camping merah marun yang dijejali pakaian dan buku-buku pelajaran, juga beberapa benda aneh yang sempat menghiasi kamar Ino di Suna. Bawaan gadis itu memang sedikit karena barang-barangnya yang lain sudah di kirim beberapa hari lalu lewat jasa pengiriman barang.
Ino tetap berdiri di halaman. Mengorbitkan bola mata mengamati sekeliling area yang masih terlihat sama seperti terakhir kali Ino berkunjung saat liburan setahun lalu.
'Rumah induk' ― begitu semua anggota keluarga Hyuuga menyebut kediaman berusia ratusan tahun itu ― sebenarnya lebih menyerupai kompleks perumahan elite Jepang jaman bahuela.
Ada 25 bangunan terpisah di area seluas 2 hektare yang meliputi menara, aula, rumah arsip, doujou, ruang belajar, rumah minum teh, onsen, dapur dan ruang makan, gudang, rumah putri, rumah putra, rumah tamu serta beberapa mansion yang didiami setiap keluarga. Tidak ketinggalan pula taman luas, hutan kecil dibagian belakang kawasan, sungai meliuk-liuk, kolam air mancur dan beberapa danau buatan.
Semua bangunan itu menjadi satu kesatuan yang tidak terpisah meski di bangun dalam jarak yang cukup jauh dan bisa berdiri sendiri sebagai bangunan lain.
Dan walaupun rumah induk klan Hyuuga sangat luas, namun sebenarnya hanya didiami enam orang bila Ino sebagai pendatang baru, 12 maid dan 4 orang satpam tidak dihitung. Sementara keluarga-keluarga Hyuuga yang lain berhasil hidup diluar rumah induk sembari sibuk menjalankan bisnis keluarga dalam bidang perhotelan yang tersebar di seluruh dunia dan hanya muncul di saat-saat tertentu karena kesibukan masing-masing. Makanya tidak heran bila area itu terlihat tenang dan kosong, juga tampak angkuh meski dipenuhi pemandangan indah.
''Ino-hime...,'' panggilan Kabuto membuyarkan keasyikan si pirang menatap bulir-bulir sakura yang berjatuhan di terpa angin disisi kiri dan kanan jalan utama yang bercabang tiga.
Ino menoleh dan mendapati Kabuto telah siap dengan ransel dalam tangkupan punggungnya.
''Mari saya antar ke kediaman Anda,'' lanjutnya seraya berbelok kearah timur dan melangkah mendahului Ino sebagai penunjuk jalan.
Ino hanya mengikuti langkahnya pasrah dengan aquamarine yang tampak tidak fokus pada jalanan berkerikil kecil dibawahnya karena lebih asyik memperhatikan aliran riak anak sungai kecil nan panjang dengan sebuah jembatan kayu lengkung tidak jauh dari mereka. Sungai dangkal itu berair bening dan tenang, tetapi cukup mampu menghanyutkan kelopak-kelopak sakura yang jatuh tepat dibawahnya.
''Miroku-sama sedang melakukan perjalanan bisnis ke negara Petir bersama Hiashi-sama, sementara Hizashi-sama berada diluar kota. Neji-sama, Hinata-hime dan Hanabi-hime juga sedang sibuk, jadi maaf jika hari ini tidak ada yang menyambut anda.'' Kabuto kembali bersuara yang lagi-lagi mengganggu ketenangan batin Ino.
Gadis berambut pirang tergerai itu melengos pelan diiringi seulas senyum miring. Baginya, info Kabuto terdengar menggelikan di telinga. Bahkan saking lucunya, Ino sampai tidak bisa tertawa. Klan Hyuuga, kan dipenuhi orang-orang sibuk. Lalu kenapa ia harus bermimpi di sambut pelukan hangat oleh orang-orang dewasa berwajah tenang penuh wibawa dan tidak punya waktu luang untuk berbasa-basi? Lagipula, bukankah bagus bila tidak ada yang menyambut kedatangannya sebagai salah satu mantan kriminal Suna? Karena jika itu terjadi, Ino bisa memastikan semua orang hanya datang untuk memberi wejangan gratis tentang tata krama.
''Memangnya Hinata sibuk apa?'' Ino balas bertanya. Membuat Kabuto berhenti berjalan demi berbalik menatapnya.
''Saat ini Hinata-hime latihan menari di doujou,'' jawabnya sopan.
''Oh, ya? Kalau begitu, aku akan kesana, Kabuto-san. Tolong bawa ranselku ke kamar. Ruanganku masih di 'rumah putri', disamping kamar Hinata kan?''
Tanpa menunggu jawaban Kabuto, Ino sudah lebih dulu membalikkan badan kembali ke jalur utama. Lalu berjalan setengah berlari menyusuri halaman tengah berpasir tipis untuk sampai di doujou yang letaknya nyaris 200 meter dari titik awal masuk gerbang.
Inilah alasan utama Ino membenci rumah induk. Bukan hanya karena orang-orang di rumah ini taat aturan, tetapi juga karena untuk menemui seseorang di ruangan lain butuh perjuangan.
Kabuto menghela nafas pelan menatap kepergian nona mudanya.
''hah, dasar Ino-hime! Kalau berkeliaran dengan pakaian seperti itu bisa bahaya kan?'' gumamnya geleng-geleng kepala melihat cara berpakaian Ino yang amat sangat tidak mencerminkan seorang souke.
.
^^BLOH^^
.
''Hina-hime!'' Ino melambaikan tangan riang begitu membuka pintu ganda doujou dan mendapati seorang gadis imut tampak asyik menekuni tari tradisional yang ia praktekkan.
Hinata Hyuuga, itu nama lengkap si gadis ber-kimono putih dengan motif bunga lembayung yang tampak serasi dengan rambut indigo-nya yang sengaja di ikat poni tail tinggi agar tidak mengganggu pandangan, terpaksa menghentikan latihan tari shirabyooshi-nya yang masih setengah jalan saat mendengar suara familiar sang pemanggil.
Ia reflek menoleh dan tersenyum senang menyadari Ino kini melangkah ke tengah-tengah ruangan luas berlantai kayu mahoni licin dengan cermin-cermin lebar yang menempeli temboknya agar bisa melihat gerakan sendiri saat latihan.
''Ino-chan, okaeri. Kapan kau... eh?" Hinata terpaku menatap penampilan Ino.
Bukan karena gadis itu melanggar tata krama rumah induk yang mengharuskan para penghuninya berpakaian tradisional, hanya saja, kelihatannya Ino mulai speechless dengan hidupnya. Ia yang menurut Hinata selalu modis dan penuh aura kebintangan malah muncul dengan jersey putih garis biru dan jean belel 3/4 seolah perjalanannya dari Suna ke Konoha seperti perjalanan menjelajahi hutan belakang rumah induk yang dipenuhi nyamuk. Dan kalau sudah begini, Hinata langsung tahu sepupu yang lebih tua 3 bulan darinya itu sedang depresi tingkat wahid sampai tak tertarik mengurusi penampilan.
''I... Ino-chan, kau... ba.. baik-baik saja?'' Hinata mengernyit ngeri. Entah kenapa, penyakit gagapnya yang hanya muncul bila berhadapan dengan orang asing atau saat tertekan malah kambuh.
Ino balas menautkan alis. ''Memangnya aku kena... oh, ini?'' Gadis berambut pirang itu menunjuk pakaiannya sendiri saat menyadari arah pandangan Hinata yang terfokus di gambar micky mouse jaketnya. ''Kau berlebihan, Hime. Aku hanya terlalu kesal di kirim kesini sampai tidak punya waktu memikirkan pendapat orang lain tentang penampilanku,'' jawabnya sesuai dugaan Hinata. ''Yah, setidaknya itu tadi. Sekarang mood-ku sudah bagus. Mungkin pengaruh pemandangan indah di traffic light tadi hehe... Tidak kusangka Konoha menampung cowok keren.'' Ino nyengir ganjen seraya mengacungkan dua jari membentuk huruf 'V' didepan Hinata yang langsung berbinar-binar takjub.
''Eh, ka... kau bertemu siapa, Ino-chan? Kenalanmu? Lavender Hinata membulat penasaran, namun tetap dalam porsi suara yang lemah lembut dan tidak terkesan berteriak heboh hingga Ino tidak puas mendapati reaksi 'tuan putri'nya.
''Huh, kau tidak seru, Hinata. Harusnya kau lebih menunjukkan ekspresimu supaya aku semangat cerita,'' protesnya berkacak pinggang, pura-pura kesal.
''Eh? A... aku penasaran, kok, Ino-chan. Me.. memangnya orang itu... keren?'' Hinata mencengkram pelan lengan Ino seolah ingin memberitahukan seberapa besar rasa penasarannya lewat sentuhan. ''Ka... kalian saling kenal?'' tanyanya lagi.
''Hehe... rahasia!'' Ino menjulurkan lidah usil sembari membalikkan badan meninggalkan doujou.
''I... Ino-chan? Kau sengaja mengerjaiku, ya?'' Hinata yang terlanjur penasaran langsung berlari-lari kecil mengejar langkah Ino yang justru terkekeh geli mendengar teriakannya didepan.
Ino menuruni undakan tangga kayu doujou, kemudian berjalan di halaman tengah menuju bagian belakang kompleks dimana tempat pemandian air panas di bangun.
Gadis berambut pirang itu sengaja memelankan gerakannya agar Hinata yang masih memakai kimono nan ribet bisa menjejeri langkahnya.
''I... Ino-chan, orang itu... siapa?'' Hinata kembali bersuara begitu mereka melangkah berdampingan. Nafasnya terdengar berat dan putus-putus hingga Ino merasa sebagai sepupu paling jahat di muka bumi. Biar bagaimana pun juga, wajah innocent Hinata jelas membuat orang lain ingin melindunginya, tetapi tampaknya yang Ino lakukan justru sebaliknya.
''Ino-chan?''
''Iya! Iya! Nanti kuceritakan, Hinata. Sekarang aku hanya ingin berendam di onsen untuk menghilangkan letih. Kau temani aku, ya?'' Ino memutuskan seenaknya. Sedikit menyeringai geli sembari merangkul lengan kanan Hinata yang tidak bisa protes.
Dihadapan keduanya kini terpampang sebuah danau buatan luas nan berair biru jernih yang dikelilingi beberapa pohon sakura. Di tengah-tengah danau berbentuk lonjong itu berjejer batu pualam besar dalam jarak beberapa centimeter yang menghubungkan kedua sisi danau.
Ino melepaskan rangkulannya dari Hinata, kemudian berjalan lebih dulu sembari melompat-lompat iseng melewati batu-batu marmer itu sebagai pijakan, diikuti Hinata yang sedikit mengangkat ujung kimono-nya agar tidak mempersulit gerakan kakinya hingga tercebur di danau berair dalam itu.
Sebenarnya Ino dan Hinata bisa saja berjalan memutari danau, namun hal itu juga berarti membuang energi dan waktu di perjalanan dan keduanya yang sama-sama lelah jelas tidak ingin memperburuk keadaan fisik mereka.
Setelah melewati danau, Ino dan Hinata kembali berjalan berdampingan.
''Oh, ya, Hinata! Soal pindah sekolahku bagaimana? Kau tahu sendiri, kan, aku di DO. Lalu bagaimana caranya aku bisa sekolah disini?'' Ino bertanya heran.
Setahu Ino, tanpa surat pindah sekolah, seseorang tidak akan bisa diterima di sekolah lain. Apalagi Ino mantan napi, lho. MANTAN NAPI. Sekolah bodoh mana yang mau menerima murid tak bermoral? Ya, walaupun tingkah Ino tidak bisa di sebut 'tak bermoral' juga, sih. Ino, kan hanya memberi seruan protes atas tingkah kepala sekolah Suna Internasional High School yang seenaknya menaikkan SPP tanpa tahu dana yang dikumpulkan untuk keperluan apa. So, jangan salahkan Ino kalau satu sekolah tiba-tiba beringas dan berujung hujan batu di rumah kepala sekolah mereka.
Huh, menyebalkan! batin Ino langsung buruk bila mengingat hanya ia satu-satunya orang yang terpaksa mendekam dua hari di penjara plus DO tak berperasaan dari pihak sekolah. Padahal Gaara saja ― yang sebenarnya ikut-ikutan demo karena di paksa Ino― hanya di skors sebulan.
''Ah, soal itu... Obaa-sama sudah mengurusnya.'' Hinata membuyarkan flashback Ino. ''Mulai besok kita satu sekolah di Konoha Internasional High School, Ino-chan,'' lanjutnya menepukkan kedua tangan pelan diiringi senyum senang.
''Détournement de grands noms, oui?'' (Penyalahgunaan nama besar, ya?) Ino menyeringai tipis.
''Bu... bukan begitu, Ino-chan. Obaa-sama hanya...''
''Hai, Hai, wakarimashita! Kalau tidak sekolah, aku akan jadi sampah klan Hyuuga, kan?'' Ino menjawab sarkastis dengan nada riang. Gadis bermata sebiru laut itu mengacungkan tangan di udara, merenggangkan otot-ototnya yang semakin letih memforsir tenaga.
''I... Ino-chan, soal itu...'' Hinata kelimpungan memberi penjelasan. Membuat Ino tidak sanggup menahan tawa.
''Haha... joudan yo, joudan! Kau terlalu menganggap serius kalimatku, Hime.'' Ino mengibas-ngibaskan tangan enteng tanpa dosa. ''Aku justru berfikir, ternyata ada untungnya juga Ibuku terlahir sebagai Hyuuga. Sekarang aku jadi bisa menikmati nama besarnya, kan?'' ujarnya santai sembari mengedipkan sebelah mata usil pada Hinata yang sukses membulatkan mata ngeri melihat tingkahnya.
''I... Ino-chan...'' Hinata jelas frustasi. Sepupunya yang satu ini terkadang bercanda hal tidak lucu di saat yang tidak tepat, namun anehnya selalu membuat ia nyaris jantungan. Apalagi Hinata bisa menangkap samar nada mencela dari suara Ino. Membuat ia semakin tidak nyaman saja.
Hinata menghela nafas pelan. Ino Yamanaka dan sifat realistisnya memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan, batinnya mahfum.
''Oh, iya, Ino-chan. Formulir pendaftaran sekolahmu ada di kamarku. Aku sudah mengisinya sebagian, tapi aku bingung kauingin masuk mana, kelas khusus atau kelas biasa?'' Hinata mengalihkan pembicaraan demi kelangsungan hidup empat bilik jantungnya.
''Vous etes dans une classe spéciale, non?'' (Kau di kelas khusus, kan?) Ino balas bertanya. ''Kalau aku lebih suka di kelas biasa. Pelajarannya tidak sulit. PR-nya juga tidak banyak. Lagipula aku memang tidak pernah masuk kelas khusus selama di Suna, kok. Classe spéciale appartient uniquement aux personnes riches et je ne fais pas partie de leur.'' (Kelas khusus hanya milik orang kaya dan aku bukan bagian dari mereka) Ino meringis pelan disela-sela senyumannya. Sedetik kemudian, ia menautkan sebelah alis menatap Hinata yang entah kenapa tiba-tiba terkikik pelan disampingnya. ''Apanya yang lucu, Hime?'' Ino menghentikan langkah sembari berkacak pinggang dan sedikit memajukan wajah didepan Hinata dengan tampang pura-pura kesal.
''Hihi... bukan apa-apa, kok. Aku hanya teringat Kakashi-sensei bila mendengar cara bicaramu yang di campur aduk, Ino-chan.'' Hinata meringis geli. Sedikit menggigit bibir bawahnya agar berhenti tertawa, namun ternyata tidak bisa. ''Kupikir kalian pasti cocok. Kakashi-sensei juga suka lupa kalau dia berbahasa Italy di jam pelajaran Inggris hihi...''
''Oh, ya?'' Ino mengangkat sebelah alis seraya kembali menegakkan punggung. Tetap dalam posisi berkacak pinggang. ''Aku jadi penasaran, 'Kakashi-sensei'mu itu orang seaneh apa sampai bisa salah mata pelajaran begitu? Padahal campur aduk bahasaku, kan bukan karena aku mau, tapi karena harus melatih mulutku agar fasih. Mumpung kau juga bisa bahasa Francis, Hime,'' terangnya santai. ''Dan aku jelas tidak merasa cocok dengan orang seperti itu!'' tuding Ino kesal.
''Hihi... gomen. Tapi Kakashi-sensei keren sekali, lho, Ino-chan. Di sekolah sampai ada fans club-nya.'' Hinata masih terkikik geli meski dihadiahi aura neraka sang sepupu.
''Bah, siswi bodoh seperti apa yang mengidolakan laki-laki tua, sudah beristri dan punya otak salah tempat seperti itu hanya karena dia 'sedikit keren' dengan bahasa Italy acak-acakan.'' Ino menekan sadis semua kalimatnya, terutama dibagian 'sedikit keren'. Entah kenapa, ia jadi naik darah menanggapi cerita Hinata. ''Memangnya sekolah kalian itu sudah kekurangan murid tampan, ya? Membosankan sekali!''
''Hihi...'' Hinata makin geli, namun tidak membantah kalimat Ino yang terlanjur memutar-balikkan fakta tentang 'sensei'-nya.
Ino melengos pelan untuk meredakan amarahnya, kemudian kembali melangkah diiringi Hinata untuk mencapai tempat pemandian air panas yang bangunannya kini berada tepat didepan mata mereka.
''Oh, ya! Ngomong-ngomong soal bahasa Italy, kau bisa, kan, Hime?'' Ino bertanya sambil lalu ketika cerberum otaknya tanpa sengaja memutar ulang adegan seseorang yang dengan sengaknya memakai bahasa Italy untuk membungkam dan membuatnya terlihat bodoh.
''Engg... iya, sedikit.'' Hinata menjawab tidak yakin.
''Bagus! Tolong artikan ini...,'' Ino bergumam pelan sembari mengetuk-ngetukkan jari telunjuk kanannya di area pelipis kanan. Mencoba meng-copy kalimat yang ia dengar di traffic light.''Per... favore non mi manchi, perché... posso assicurare che non... rivedremo?'' Ino setengah bertanya karena tidak yakin dengan ingatannya.
Aquamarine gadis berambut pirang itu menatap Hinata lekat-lekat dari samping, tampak berbinar penasaran dengan kuping yang terpasang siaga.
''I- Ino-chan, kau dengar kalimat itu dimana?'' Hinata melirik penasaran.
''Memangnya kenapa? Artinya aneh, ya?'' Ino balas bertanya penasaran dengan mata menyipit waspada. Si pengidap heterokromia itu... awas saja kalau kalimatnya membuatku kesal, batin Ino menggeram.
Ino jadi sedikit bingung dengan otaknya. Di satu sisi, ia benci pria itu. Tetapi disisi lain, Ino tidak menampik kenyataan bahwa ia 'cukup' tertarik pada 'kulit luar' mahkluk jantan yang ternyata 'dalam'-nya menyebalkan itu.
Habis mau bagaimana lagi? Dia memang spesies langka, sih, batin Ino pasrah.
''So... artinya apa, Hime?'' tanyanya kembali fokus.
''Engg, itu- sepertinya... 'Jangan merindukanku, karena bisa kupastikan kita tidak akan bertemu lagi. Hehe...'' Hinata terkekeh garing setengah meringis menyadari ada yang salah dalam kalimat itu.
Hening!
Aura Ino yang awalnya tenang-tenang saja mulai menguarkan feromon gelap berlatar bulu-bulu sayap hitam yang beterbangan. Ia berhenti melangkah dengan tangan terkepal gregetan. Membuat Hinata yang ikut-ikutan berhenti disampingnya semakin bergidik ngeri hingga tanpa sadar mundur selangkah demi keamanan nyawa yang hanya satu.
''Si heterokromia itu...,'' Ino mendesis berbahaya. ''MEMANGNYA SIAPA YANG MAU MERINDUKAN DIA? DASAR SIALAN!'' teriaknya murka sembari bertingkah gila mengacak-acak rambut sendiri.
Hinata tersenyum tipis melihat tingkah sang sepupu. Sepertinya kota Konoha tidak akan sedamai biasanya, batinnya geli.
.
.
^^Tsuzuku^^
.
.
Yeeii, akhir'a impian author 'maen' ke fandom naruto kesampaian juga. Yah, wlpn dgn fic yg jauh dari kata 'bagus' T.T tapi, tolong di maklumi karena ini adh kemampuan nulis yg bisa saya usahakan saat ini *pundung*
btw, sblm ada yg blg author bego ini sdg mlakukuan plagiat n ngaku2 pke ide ndiri.. saya lgsg jlsin aja klo fic ini tercipta berkat otak author yg dgn gilanya meng-'mix n match' sebuah novel n satu komik cantik. Jg dgn ke-'idiot'an memasukkan bbrpa lokasi yg di culik dari anime laen ^-^. tapi author bisa m'jamin klo fic ini ga spenuh'a plagiat karena sbgian bsr isi crita udh author ubah dgn versi otak ndri.
dan spy jln crita'a ga t'tbk dgn mdah, saya cm pgn blg, saya sngja g nyantumin jdul 2 buku inspirasi saya. tapi klo ad yg k'brtan, saya akn dgn sng hati m'cntumkn jdul'a.
thank
#abaikan curcol g pntg'a n.. REVIEW PLEASE!
