Hyung, kenapa tidak lari saja?

.

Bagi Do Kyungsoo, Wu Yi Fan adalah segalanya. Ia tidak akan menyatakan dirinya seorang masokis, atau seseorang yang bodoh, atau juga pribadi yang mengatasnamakan modus sebagai bentuk perasaannya. Tidak. Kris—panggilannya untuk Yifan—murni menjadi tarikan napasnya hingga detik ini.

"Ukh—Kris—sakit—"

Kris selalu memberikan semuanya kepada Kyungsoo. Selalu. Baik itu sebuah ciuman, sentuhan nakal, bahkan rasa posesifnya yang tinggi. Ia akan memberikannya lewat gerakan, lewat sensor-sensor di setiap jemarinya, lewat setiap kecupan yang diberikannya di atas kulit sensitif Kyungsoo. Ia tidak akan mengatakannya. Tidak mengungkapkannya secara verba.

Karena cinta baginya bukanlah sebuah kata.

"Kau tidak memanggilku Hyung, Kyungsoo,"

Kyungsoo menggigit bibir, keras. Nyaris mati rasa. Namun semua itu tidak menghilangkan rasa sakit di daerah privasinya. Kris selalu senang menyiksanya dengan kenikmatan yang tertahan di daerah perutnya. Membuatnya mual.

"Kyungsoo—"

"Ah—!"

Sakit. Sakit. Sakit.

Di mana ketika bibir Kris haus akan petualangan di setiap jengkal tubuhnya. Dimulai dari ujung kepala, mengendus area kening, pelipis, alis mata, pangkal hidung (dan Kris sengaja menjauhi belahan bibir sebagai penutup), dagu, lekukan tengkuk dan berhenti di perpotongan leher—menggigitnya tanpa aba-aba. Rasa mual itu kembali melesak, Kyungsoo nyaris memuntahkan semuanya.

Di mana ketika tangan Kyungsoo refleks mengerat di sekitar seprai putih susu yang menjadi tumpuan tubuhnya, membenamkan seluruh wajah di bantal berbulu angsa, membiarkan setiap jemari Kris dengan lihai memanjakan tubuhnya. Ketika setiap desahan basahnya keluar bersamaan ujung tumpul milik Kris memaksa masuk di pintunya yang tertutup. Terus seperti itu.

Masuk, keluar, masuk, keluar, dan sepenuhnya masuk.

Basah. Untuk setiap lenguhan dan desahan yang terdengar. Untuk setiap kecupan dan ciuman yang diberikan. Untuk setiap gerakan maju dan mundur. Untuk setiap mereka yang bersatu dan kembali lagi menjadi satu.

Kris tak pernah bosan. Ia dapat merasakannya. Mendengarnya. Menghirupnya. Mengecapnya.

"Pergelangan tanganmu terlalu kecil," sahut Kris di tengah napasnya yang terengah, entah kapan menggenggam tangan Kyungsoo sudah menjadi kegiatan favoritnya. "Seperti seorang wanita."

"Aku bukan—ngh!"

Kris mendesis. Memajamkan mata spontan akan kontraksi daerah Kyungsoo yang menyempit. Memanjakan nafsunya tanpa henti—melankolis, manis, dan erotis. Sedangkan bibirnya kembali berpetualang. Mengecup, menghisap, menjilat, mengecap, mengulum—meninggalkan jejak di sepanjang kulit yang sulit terjangkau. Memberinya tanda kepemilikan. Do Kyungsoo adalah miliknya.

"Kris-hyung—"

"Ssshh …" ciuman di dahi, satu. "Berhentilah menangis," kecupan di ujung hidung, dua. "Berhenti menutup mata," jilatan menghapus air mata, tiga. "Dan teruslah melihatku, Do Kyungsoo." lumatan di bibir, empat.

Kyungsoo berteriak—

—Kris mendesah panjang,

lima.

"Mine."

.

"Kau berhak bebas, Hyung. Jika Kris-hyung tidak bisa melepasmu, seharusnya kau yang melepaskan diri."

.

.

.

Disclaimer ©Do Kyungsoo, Wu Yi Fan, dan Kim Jongin adalah milik mereka sendiri.

Proudly Presentby Cakue-chan

warning : shounen-ai. Yaoi. NC (implist). Angst, mungkin?

Pair(s) : Krissoo dan Kaisoo

.

.

Suatu ketika, ketiga orang yang berbeda merasakan cinta. Dua orang di antaranya merajut cinta, dan satu orang hanya bisa berharap. Satu mencoba melepaskan namun tak bisa, satu tak ingin melepaskan, dan satunya lagi memaksa untuk melepaskan.

Hingga terakhir, salah satu di antara mereka menyerah.

.

.

.

"Menunggu lama?"

Kim Jongin mendongak. Bibir menekuk simpul begitu sosok Do Kyungsoo kini sudah berdiri di depannya, tampak kasual dengan pakaian kemeja putih yang dipadu sweater hitam, tas selempang biru dongker di bahu, dan tidak lupa topi visor menutupi sebagian rambutnya. Setidaknya Jongin tahu bahwa Kyungsoo baik-baik saja, tampak sehat—meski hanya untuk saat ini.

"Tidak, aku baru saja datang," jawab Jongin santai, membiarkan Kyungsoo menarik satu kursi di seberangnya lalu mendudukinya.

"Kau sudah memesan sesuatu?"

"Belum," namja muda itu menggeleng pelan, mengangkat satu tangan ke arah pramusaji, lalu kembali melirik Kyungsoo. "Hyung ingin memesan apa?"

"Kopi saja. Di luar dingin sekali." Ucapannya itu ditegaskan sambil memeluk tubuhnya yang menggigil. Mengundang tawa bagi Jongin. "Dan aku ingin diberi cream yang banyak."

Jongin mengangguk, mengucap pesanan Kyungsoo dan pesanannya sendiri begitu pramusaji yang dipanggilnya tadi datang. Butuh waktu sepuluh menit hingga dua minuman yang dipesan mereka datang, terjasi manis sebagai teman berbincang.

"Jadi," mulai Kyungsoo setelah menyesap sedikit cangkir kopinya, "ada apa memanggilku kemari, Jongin-ah?"

Jongin mengenal Kyungsoo sebagai kakak angkatan di kampusnya. Pertemuan pertama mereka tidak bisa dikatakan baik—dikatakan memalukan, malah. Entah karena kebetulan atau entah karena saat itu Jongin ketahuan merobek halaman kertas dari salah satu buku perpustakaan sebagai bahan tugas makalahnya untuk bertemu Kyungsoo—yang memukulnya karena merusak buku milik perpustakaan.

Tapi, hei, Jongin tidak pernah menyesalinya. Jika bertemu Kyungsoo adalah awal dari perasaannya selama ini, maka Jongin patut mensyukurinya.

Hingga mereka sering kali bertemu di perpustakaan. Dari yang awalnya canggung karena kejadian konyol, kini berbalik menjadi perbincangan mengenal satu sama lain. Bahkan Jongin sampai tahu makanan kesukaan Kyungsoo, dan Kyungsoo hafal benar Jongin membenci makanan apa. Simpel. Sederhana.

Dan semua itu baru saja membongkar segalanya.

Sisi lain dari seorang Do Kyungsoo.

Kyungsoo mengenalkan Kris sebagai kekasihnya. Namun entah mengapa, dari awal Jongin melihat tatapan dingin dan tajam yang diberikan untuknya itu di awal pertemuan, ia tahu bahwa Kris bukanlah orang yang cocok dijadikan teman. Bukan dan mungkin tidak akan pernah.

.

"Aku mohon, Hyung. Berhenti bertahan jika itu melukaimu."

.

"Hyung, masih bersamanya?"

Kyungsoo tertegun. Mengerti jelas ke mana arahnya pembicaraan Jongin, ke mana konfliknya, dan bagaimana akhir dan perbincangannya nanti. Mempercayai Jongin untuk mengetahui rahasianya adalah satu dari sekian penyesalan Kyungsoo yang ada. Namun, entah mengapa, Kyungsoo tak bisa menyangkal bahwa Jongin-lah orang yang pertama kali menjadi tempat sandaran ketika luka hati dan fisiknya kembali datang.

"Kenapa kau bertanya seperti itu?" tanya Kyungsoo balik, mengalihkan pandangan ke arah kaca jendela besar di sampingnya. Memandang orang-orang sibuk di luar sana. "Kau bukan orang yang bebasa-basi ya, Jongin-ah,"

Jongin mengembuskan napas panjang.

Ia melihat tangan Kyungsoo gemetar. Tangan yang sering kali didapati Jongin terluka oleh lebam di sana sini. Tangan yang pernah patah satu bulan yang lalu. Karena hal yang sama, selalu.

"Dia melukaimu lagi, Hyung?" tanya Jongin, telak. Bahkan ia tak segan-segan menarik lengan Kyungsoo dan menyingkap sweater-nya. Tepat sebelum Kyungsoo sempat memprotes. Sepasang mata Jongin membola, kali ini bekas lukanya benar-benar terlihat. "Hyung—"

"Berhenti membicarakan ini." Kyungsoo menepis tangan Jongin kasar. Menarik lengannya kembali. "Kita bicarakan hal lain saja."

Jongin tahu, Kyungsoo terlalu baik untuk seorang pria brengsek seperti Kris. Kyungsoo terlalu rapuh dalam kungkungan seseorang yang bernama lengkap Wu Yi Fan.

"Kenapa tidak memutuskannya saja, Hyung?"

Kyungsoo mendesah pelan. "Jongin-ah—"

"Kenapa tidak meninggalkannya? Kenapa tidak melaporkannya? Kenapa Hyung bersikeras untuk bersama—"

"Kim Jongin!"

Jongin membatu. Suasana café yang kebetulan sepi menambah ketegangan di antara mereka.

.

"Kenapa kau terus berada di sisinya, Hyung?"

.

Kyungsoo tahu, sejak Kris mengambil kebebasannya, sejak hidupnya terantai, ia tahu bahwa tak ada jalan keluar untuk terlepas. Dan ia pun tak berusaha untuk mencari jalan keluar. Logikanya sudah buta. Semuanya dibutakan karena rasa cintanya kepada Kris.

"Sudah cukup." Ujar Kyungsoo akhirnya, mengambil keputusan. Ia mengambil dompet dari tas selempangnya, mengeluarkan satu lembar lima ribu won, lalu meletakannya di atas meja. "Akhir-akhir ini kau terus bertanya hal yang sama, Jongin-ah. Itu membuatku muak."

Tatapan Jongin mendadak sinis. Namun bukan terarah pada sosok kecil yang sudah berdiri.

"Sampai kapan pun," Kyungsoo menarik napas panjang, "aku mungkin tidak akan bisa berhenti mencintainya, Jongin-ah. Tidak akan pernah bisa."

Kyungsoo berbalik, hendak pergi secepat mungkin meninggalkan Jongin. Namun waktu tak pernah membiarkan dirinya untuk merasa bebas—barang sedetik pun. Bahkan ketika tubuhnya mematung begitu mendapati sosok tinggi menjulang kini sudah berdiri di ambang pintu café. Menatapnya tajam dan sinis—dan kali ini lebih mengerikan.

Di sana Kris. Yang berjalan masuk ke dalam café dan melangkah dengan langkah lebar. Tanpa berkata apa-apa, tanpa teriakan atau bentakan, menarik lengan Kyungsoo cepat lalu menyeretnya untuk berjalan. Membuat sang objek yang ditarik meringis kesakitan, terlebih karena luka barunya belum benar-benar sembuh.

Jongin bangkit berdiri—kelewat cepat.

"Hyung—"

"Diam."

Kyungsoo mematung, tidak jauh berbeda dengan Jongin. Suara itu dalam, berat, penuh akan kebencian.

Setu detik setelah Kris memaku tatapannya ke arah Jongin, ia menoleh sesaat, mengalihkan fokus untuk menatap Kyungsoo. Membuat yang ditatap kembali merasakan mual setengah mati. Mual ketika Kris mulai mempermainkannya. Mual karena melepaskan perasaannya adalah sia-sia.

"Do Kyungsoo tunggu di mobilku. Sekarang."

Jangan. Jangan membuat masalah.

Kyungsoo menggeleng tanpa sadar. "Tapi—"

"Sekarang." Cekalan di lengan Kyungsoo mengerat. "Sebelum aku memaksamu."

Ia memberikan tatapan memohon pada Kris—untuk jangan menyakiti Jongin—lalu memberikan sorot mata pada Jongin agar jangan melakukan hal yang gegabah. Ia berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Bahwa keputusannya bersama Kris adalah benar.

Bahwa rasa sakitnya selama ini hanyalah angin lalu.

.

Cemburu membutakan segalanya. Jika bukan karena Kyungsoo yang meminta, Kris tidak akan segan-segan untuk memberinya pukulan keras di wajah Jongin.

.

Malam itu Kris tidak membiarkan dirinya bernapas bebas.

"Kau melanggar janji, Kyung."

"Ah—!"

Seperti malam-malam sebelumnya, tetapi kali ini tak ada kehangatan yang Kris berikan dalam permainan ranjang mereka. Tanpa kelembutan. Tanpa perlakuan manis lewat sentuhan kecil.

Terkadang Kyungsoo memohon agar berhenti, agar tubuhnya dibiarkan istirahat pada sang kekasih. Agar ia bisa menata perasaannya kembali, meminimalisir jika keadaannya berbalik. Kyungsoo takut jika waktu membuatnya membenci Kris. Ia takut jika ia membencinya. Ia menolak untuk membencinya.

"Kau tidak pernah mendengarku!"

"Ukh—!" Kyungsoo menggeliat tidak nyaman. Mencoba mengabaikan benda tumpul yang kembali merobek pintu masuknya. Melukai jaringan sel-selnya. Memasuki setiap daerah yang menghancurkan pertahanannya.

"Kenapa? Kenapa kau seperti ini?"

Kyungsoo mencoba menjawab. Karena ia bisa melihatnya. Kristal bening itu, air mata itu, peluh yang bercampur dengan perasaan Kris untuknya. Mengalir bebas di kedua pipi dengan rahang tegasnya, terlukis di antara pelupuk mata hingga meliuk di antara lekukan wajahnya, menetes di ujung dagunya, dan mengenai pipi Kyungsoo. Pertama hanya satu. Lalu dua, tiga, empat, dan tidak terhitung lagi.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Kyungsoo melihat kerapuhan dari manusia tak berperasaan seperti Kris. Melihat keremukan akan sosoknya. Melihatnya menangis dalam diam.

Takdir terlalu kejam.

Dia bahkan tak memberi kesempatan pada Kyungsoo untuk belajar melepaskan.

.

Sekarang, siapa yang patut disalahkan? Semua ini terlalu gelap karena amarah. Ia bahkan tidak bisa menahan gejolak emosinya dan nyaris menghilangkan nyawa kekasihnya sendiri. Satu karena pukulan, dua karena lemparan, tiga karena tubuh ringkih itu membentur lemari dan memecahkan kacanya. Manjadi serpihan-serpihan kecil. Menjadi luka yang baru. Menjadi dosa terbesarnya.

.

"Ini sudah kelewatan, Hyung!"

Kyungsoo memejamkan mata. Meresapi sepoi angin malam yang menerpa wajahnya. Memberikannya ketenangan secara perlahan-lahan. Tidak salah memang atap gedung rumah sakit ketika di malam hari menjadi pelariannya, untuk saat ini.

Satu minggu lamanya Kyungsoo menghabiskan waktu di rumah sakit. Satu minggu setelah insiden tidak sengaja itu terjadi, satu minggu Kris menjaganya dengan sungguh-sungguh. Dan hari-hari tertentu di mana Jongin sering kali datang menjenguknya.

"Tinggalkan dia, Hyung. Aku mohon. Beri aku kesempatan untuk mencintaimu. Aku tidak akan pernah melukaimu seperti ini."

Kris sudah meminta maaf. Kyungsoo bahkan sudah memaafkannya sebelum Kris mengucap kata maaf itu sendiri. Meski tatapan sinis dan dingin itu masih melekat dalam sifatnya, setidaknya Kyungsoo bisa menangkap satu hal yang selama ini tidak diketahuinya.

Yang jelas, Kyungsoo tahu Kris mencintainya. Ia tahu. Namun Kris memiliki cara tersendiri untuk menunjukan rasa cintanya. Suka tidak suka, mau tidak mau, Kyungsoo harus menerimanya.

.

Tidakkah itu membuatmu lelah, Kyungsoo?

.

Atap gedung rumah sakit itu sepi. Sendirian. Kyungsoo berjalan tak tentu.

Langkahnya mengambang, ia seperti memiliki dunianya sendiri. Dunia di mana ia tidak dikelilingi oleh orang-orang yang menyangkut hidupnya. Bukan Kris. Bukan Jongin. Bukan keluarganya. Hanya ia, seorang diri.

Bulan di atas sana tampak bersinar terang. Kyungsoo ingin melihatnya lebih jelas. Meletakan kakinya di atas dinding pembatas mungkin akan membantunya. Ia bahkan bisa melihat keadaan kota bagaikan bintang dari atas sana. Terlalu indah. Terlalu sayang untuk ditinggalkan.

Maka Kyungsoo tak ragu untuk memosisikan dirinya berdiri di dinding pembatas, yang memisahkan pijakannya dan gravitasi tak tersentuh di bawah sana. Tak peduli jika dingin ingin menariknya kembali. Jika seseorang di belakang sana berteriak untuk berhenti.

.

Tapi itu benar. Seandainya Kris tak bisa melepaskan dan Kyungsoo merasakan hal yang sama, biarkan keadaan yang memaksanya untuk melepaskan.

.

"Do Kyungsoo, jangan lakukan! Kembali!"

.

Mencintai Kris mungkin sebuah kesalahan. Tapi Kyungsoo tetap mempertahankan perasaannya. Sampai di mana titik limitnya tidak bertahan lagi, maka Kyungsoo akan belajar dari kesalahannya.

Ia mungkin lelah. Karena tanpa sadar, rasa cintanya terhadap Kris menjadi mati rasa.

Untuk itu, biarkan Kyungsoo merasakan kebebasan sebentar saja. Sekecil apapun itu.

.

'Kris-hyung? Kau memanggilku?'

"Jangan melompat! Aku mohon!"

Kyungsoo menutup mata, bibirnya menekuk ringan. Lalu ia melangkah maju.

"Kyungsoo!"

Dia terbang. Membiarkan angin berdesau di telinga dan gravitasi menarik tubuhnya.

Menunggu benturan nyaring—

yang terdengar beberapa detik setelahnya.

.

.

.


End


A/N : kayaknya saya stress besok TO dan akhirnya malah bikin fic aneh gini 8""D maaf kalo misal bikin bingung, ini juga pertama kalinya bikin NC secara implist dan jadinya gini deh/heh. Manalagi endingnya serasa gak nyambung #nangis.

Gomawo bagi yang sudah membaca XD Kotak review buat saran dan komentarnya selalu terbuka kok~

Saranghae :*