Harry mengangkat kopernya yang terakhir ke dalam mobil. Barang-barang yang akan menemaninya selama beberapa waktu ke depan untungnya tidak terlalu banyak, sehingga ia tidak perlu repot-repot meminta bantuan Sirius maupun Remus untuk mengangkatnya. Hanya berupa baju, baik yang di kenakannya saat bertugas maupun untuk acara-acara non resmi, seperangkat peralatan Quidditch, beberapa buah buku, beberapa kardus benda-benda berharga termasuk kenang-kenangan dari orang tuanya, serta beberapa ramuan standar untuk menjaga stamina. Meskipun demikian, dua orang yang sudah ia anggap orang tua sendiri itu masih saja rewel mengingatkan.
"Yakin sudah lengkap semuanya, Harry?" tanya Remus untuk ketiga kalinya pagi itu. Harry memeriksa kembali barang-barangnya di bagasi sebelum akhirnya mengangguk.
"Sepertinya sudah." Jawabnya. Sirius yang dari tadi hanya diam memperhatikan kini angkat bicara.
"Kau tidak perlu pindah dari sini, Harry," ujarnya, "rumah ini akan sepi tanpa kau." Harry hanya bisa memaksakan senyum. Ia tahu bahwa ia akan merindukan rumah itu, Grimmauld Place No.12. Namun tekadnya untuk pindah ke flatnya sendiri sudah bulat. Ia sendiri sudah membayar sewa tempat itu untuk satu tahun ke depan.
"Aku akan sering main," jawab Harry sambil nyengir, "jangan khawatir."
Sirius kelihatan tidak puas.
"Baiklah kalau kau memang yakin. Hanya saja kau harus sering menjenguk ayah baptismu yang sudah renta ini. Jangan keenakan hidup sendiri lalu lupa." Kata Remus menengahi.
"Remus, umurku baru 40, jangan menganggapku seperti kakek-kakek begitu." Kata Sirius sebal, yang ditanggapi Harry dengan tertawa. "Kenapa kau tidak menggunakan portkey saja sih?" tanya Sirius lagi, "bisa kusiapkan untukmu." Harry yang mendengarnya hanya menggelengkan kepala.
"Dengan resiko barang-barangku tercecer kemana-mana? No, thank's." jawabnya.
"Sudahlah Sirius, lagian Harry kan sudah dewasa. Aku yakin dia bisa menjaga diri." Ujar Remus mencoba menenangkan. Harry hanya bisa mengangguk. "Tapi, kau yakin kan, Harry?" tanya Remus. Harry yang ditanyai hanya bisa menaikkan alis matanya.
"Sebenarnya kau percaya padaku atau tidak sih?" tanya Harry kesal.
"Oke, kalau begitu, bawa Kreacher bersamamu." Ujar Sirius mantap. Peri rumah yang sedari tadi mengintip di pojokan rumah itu langsung lenyap melarikan diri.
"See?" tanya Harry dengan cemberut. "Kau masternya, Sirius, bukan aku. Lagian flatku yang akan kutinggali nanti milik muggle. Kau pikir apa yang akan dia katakan jika aku datang bersama mahluk kecil jelek penggerutu?" tambahnya. Sirius terdiam. Terlihat jelas raut kekecewaan di wajahnya. Harry yang melihat ayah baptisnya murung buru-buru menambahi. "Kau dan Remus boleh main ke tempatku kapanpun kalian mau, kok."
"Kapanpun?" tanya Sirius.
"Kapanpun." Jawab Harry mantap, yang diikuti oleh cengiran pria tampan itu.
"Oke kalau begitu. Jangan kaget kalau kami menyusup ke tempatmu tengah malam ya." Harry yang mendengarnya hanya bisa mengerutkan kening.
"Memangnya ngapain kalian ke tempatku tengah malam begitu?" tanya Harry heran.
"Hm, siapa tahu kami bisa menangkap basah dirimu dengan seseorang." Goda Sirius.
"Seseorang siapa maksudmu?" tanya Harry curiga.
"Yah, siapa tahu." Sahut Sirius sambil nyengir. "Kau kan sudah besar sekarang."
Harry hanya bisa mengerutkan alisnya mendengar hal ini.
"Yah… terserah kalian saja." Jawabnya pasrah.
Dan dengan begitu Harry pun akhirnya berangkat menggunakan mobil yang dipinjamnya dari kementerian. Mobil itu sudah disihir sedemikian rupa hingga menyerupai mobil muggle pada umumnya jika dilihat dari luar. Namun jika dilihat dari dalam, ukurannya berubah menjadi jauh lebih luas. Lebih dari cukup untuk membawa barang-barang Harry yang memang tidak terlalu banyak. Harry sendiri tidak diperbolehkan menyetir, mengingat masa lalunya yang berhubungan dengan mobil saat ia masih di tahun kedua di Hogwarts. Maka dari itu ada supir khusus yang disiapkan oleh pihak kementerian untuk mengantarnya. Harry heran mendapati dirinya yang diperlakukan istimewa seperti ini. Perang sudah lama berlalu, namun sikap orang-orang di kementerian terhadapnya masih saja seperti dulu, terlalu mengistimewakan. Harry diam-diam berjanji pada dirinya sendiri bahwa lusa saat ia kembali bekerja, ia akan berbicara langsung dengan Kingsley tentang masalah ini. Ia tidak suka diperlakukan berbeda.
Mengenai keputusannya untuk pindah ke flat pribadi, hal itu sebenarnya berhubungan kuat dengan hubungan Remus dan ayah baptisnya yang kelihatannya semakin serius. Harry malu mengakui bahwa ia sudah tidak tahan lagi dengan suara-suara yang kerap didengarnya di malam hari. Suara-suara yang ia tahu betul dari mana asalnya, apa penyebabnya, dan selalu membuatnya tidak bisa tidur. Ia bahkan pernah tidak berani bergerak di kamarnya sendiri karena takut dua orang pria yang serumah dengannya itu akan menyadari bahwa ada orang lain yang tinggal di situ, dan akhirnya malah akan bersikap canggung terhadapnya. Harry tidak mau. Biarkanlah ia yang menyingkir dari rumah itu, setidaknya untuk sementara, sampai kedua pria yang sangat ia sayangi itu bisa mengambil sikap dan memutuskan untuk memiliki status baru. Lagi pula flat yang akan nanti ditempatinya juga letaknya lebih dekat dari kementerian, sehingga jika suatu saat ada panggilan mendadak untuk auror sepertinya, ia tidak perlu bepergian terlalu jauh.
Ia yakin akan merindukan Grimmauld Place. Dan seraya memikirkan itu, ia menoleh ke belakang, melihat rumah kedua baginya itu menghilang di telan bangunan-bangunan yang lebih tinggi.
Hello!
By : kurok1n
Harry Potter © JK Rowling
Matahari sudah berada tepat di atas kepala saat Harry akhirnya sampai di bangunan tempat flat barunya berada. Memang ber-apparate adalah cara paling efektif untuk berpindah tempat, namun dengan kondisinya sekarang yang membawa banyak barang, cara itu sudah jelas tidak memungkinkan. Apalagi ditambah fakta bahwa nyonya rumahnya sekarang adalah seorang muggle, sarana transportasi itu nyaris tidak bisa digunakan lagi, setidaknya sebelum ia selesai memindahkan barang-barangnya.
Seraya menghapus keringat di dahinya, ia memandangi bangunan itu. Bangunan bergaya minimalis itu tidak terlalu besar, hanya terdiri dari tiga lantai, sementara dindingnya di cat abu-abu tua sehingga terkesan kokoh, namun masih ada kesan hangat yang memancar. Di samping kirinya berdiri toko bunga mungil, sementara di kanannya ada sebuah kedai kopi. Dari total sembilan kamar yang ada, kamarnya berada di lantai tiga, persis di tengah. Ia kemudian membawa barang-barangnya ke atas, dengan tangan sendiri, karena rumah barunya itu akan ditinggali oleh banyak muggle, sehingga tidak memungkinkannya untuk menggunakan sihir. Harry juga kadang heran dengan keputusannya untuk hidup bersama kumpulan muggle, padahal dengan status dirinya sebagai seorang penyihir hal itu akan sangat membatasi dirinya. Namun ada sesuatu di dalam dirinya yang merindukan suasana 'normal' yang dulu pernah dilaluinya sebelum menjadi murid Hogwarts dan hidup di lingkungan sihir.
Setelah bertegur sapa singkat dengan pemilik bangunan yang ternyata bernama Helen, ia langsung bergegas menuju flatnya. Dalam perjalanan menuju rumah barunya itu ia sepintas melihat beberapa kamar yang terbuka. 'Tetangga-tetangga baru.' pikirnya. Lalu seraya mempercepat langkah, akhirnya ia sampai di ruangannya sendiri. 'My new home.' batinnya seraya tersenyum. Kemudian dimulailah ritual mengeluarkan barang-barang dari koper dan memindahkannya ke lemari. Syukurlah flat itu cukup luas, hingga Harry bisa memiliki tempat yang cukup untuk meletakkan peralatan Quidditchnya yang banyak memakan tempat. Setelah sekitar satu jam lamanya akhirnya ia selesai membereskan barang-barang bawaannya. Cukup melelahkan juga mengingat biasanya Kreacher lah yang melakukan tugas itu untuknya, meski dengan bersungut-sungut.
Setelah semuanya di rasa sudah cukup rapi, Harry lalu merebahkan dirinya di tempat tidur, menikmati ruangan baru yang akan menjadi tempat bernaungnya selama satu tahun ke depan. Kasur yang dibaringinya begitu empuk dan nyaman, hingga membuat Harry merasa mengantuk. Baru saja ia hendak memejamkan mata, seseorang membunyikan bel pintunya. 'Mungkin tetangga baru yang ingin kenalan.' Pikirnya. Ia jadi penasaran bagaimana rupa orang yang akan menjadi tetangganya kelak. Sambil berharap bahwa orang itu adalah orang yang ramah dan baik hati, ia beranjak menuju pintu dan membukanya.
Di depannya ada seorang pria, lebih tinggi sekitar 1 inchi darinya, wajahnya tirus, pucat, tapi luar biasa tampan, memakai celana jeans dan kemeja hitam polos yang lengannya di gulung sampai siku, rambutnya pirang sebahu yang separuh diikat di belakang dan matanya berwarna abu-abu.
BLAM. Harry refleks menutup pintunya.
'No way.' Pikirnya. 'Pasti cuma ilusi. Mungkin aku terlalu lelah hingga membayangkan yang tidak-tidak.' Tambahnya lagi. Seraya berdoa sambil menepuk-nepukkan tangan ke wajahnya, ia kembali membuka pintu, berharap sosok di hadapannya berganti.
Tapi ternyata masih sama.
Harry menutup pintu lagi. Berdoa lagi. Please, God, please. Membuka pintu lagi.
Sosok itu masih ada, sekarang sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Harry memandang ke dalam mata abu-abu platinum itu.
"Apa kau boggart?" tanya Harry ragu.
"Bukan."
"Banshee?"
"Bukan."
Harry terdiam sejenak. Ia masih berusaha mencerna kenyataan.
"Kau Draco Malfoy." Ucapnya akhirnya. Memutuskan bahwa pria yang kini berdiri di hadapannya adalah nyata.
"Aku tahu." Ucap pria itu.
"Bloody Malfoy."
"Stupid Potter."
"Ferret?"
"Pot head?"
BLAM. Pintu tertutup lagi. I said please, God…
Lima detik kemudian terbuka lagi.
"Mau apa kau, Malfoy?" tanya Harry sambil memincingkan mata curiga.
"Well, maaf kalau aku mengganggu acara beberesmu, Potter, tapi aku hanya berusaha bersikap sopan dengan bermaksud membantu tetangga baruku yang baru pindahan." Ujar Draco kalem.
"Well, aku tidak butuh bantuanmu jadi se… what?" Harry seakan tidak percaya dengan hal yang baru saja ia dengar. Malfoy? Tetangganya?
"Butuh pengorek kuping?"
"Kau tetanggaku?"
"Sayangnya iya."
"Kau becanda."
"Lalu kenapa kau tidak tertawa?"
Kening Harry serta merta berkerut mendengar pertanyaan ini.
…
"I hate you, Malfoy."
"I hate you too, Potter."
"Fine!"
"Fine!"
BLAM.
.
-o0o-
.
Draco menutup pintu flatnya dengan sedikit kasar. Rasanya ia tidak bisa memercayai penglihatannya sendiri.
Ketika ia dicegat oleh Helen selepas pulang dari tempat kerjanya, ia di beri tahu bahwa flat di sebelah miliknya yang sudah kosong sejak setahun lalu kini sudah ada yang menempati. Helen sendiri memberi tahu bahwa nama pemilik flat baru itu adalah Harold. Draco pikir, karena mulai sekarang ia akan berada satu bangunan dengannya, tidak ada salahnya untuk memberi ucapan selamat datang, membantu beberes jika memang diperlukan. Lagian, seingatnya ia tidak pernah kenal dengan orang bernama Harold, jadi ia pikir kalau bukan seorang penyihir yang tidak terkenal, ia pastilah seorang muggle. Namun kenyataan yang dihadapinya malah membuat jantungnya hampir copot.
Karena penghuni flat itu tidak lain adalah Harry Potter. Orang yang menempati posisi nomor satu dari daftar orang yang berusaha dihindarinya semenjak perang usai. Satu-satunya orang yang membuat Draco tidak bisa berpikir jernih jika berdekatan dengannya. Tapi syukurlah ia masih bisa mengendalikan diri. Ia langsung mengutuk Helen yang bisa-bisanya salah melafalkan nama orang. Namun demikian, bisa ia lihat bahwa Harry juga sama terkejutnya dengan dirinya. Pemuda itu bahkan sampai menutup pintunya untuk memastikan bahwa Draco adalah bukan orang yang dilihatnya. Dan ketika pintu itu dibuka lagi, raut kekecewaan terlihat jelas di wajahnya saat yang ia lihat adalah masih pemuda yang sama.
'Dia pikir aku hantu atau apa?' pikirnya saat itu, yang senantiasa terjawab saat pemuda bermata hijau emerald itu bertanya ragu, "Apa kau boggart?". Harus ia akui bahwa tampang Harry saat itu begitu lucu hingga ia hampir saja tertawa. Namun untungnya ia masih bisa menahan diri. Tapi percakapan itu berubah jadi pertengkaran saat si pemuda berrambut hitam itu memanggilnya Ferret. Merasa dilecehkan, ia pun membalas dengan memanggilnya Pot Head. Kejadian selanjutnya sudah bisa di tebak, ia dan pemuda itu saling melemparkan ejekan dan pernyataan tidak suka sebelum akhirnya kembali ke flat masing-masing.
Hh… Draco mendesah seraya merebahkan dirinya di tempat tidur. Sepertinya sudah lama sekali sejak ia terakhir kali bertengkar dengan seseorang. Jantungnya berpacu cepat seiring adrenalinnya yang meningkat. Perasaan ini, perasaan ingin menang ini tiba-tiba saja membuatnya teringat masa-masa dirinya masih bersekolah di Hogwarts. Menjadi anak arogan, menjengkelkan. Ia tersenyum, rindu pada masa-masa kejayaan itu, sekaligus menyesalinya. Selepas perang berakhir, ia sudah memutuskan untuk memulai hidup yang baru. Jauh dari keterjangkauan warga dunia sihir, jauh dari pandangan-pandangan orang yang membuatnya tak bisa melupakan masa lalu. Kesalahan-kesalahannya. Kebodohan-kebodohannya. Jadi ia memutuskan untuk hidup melebur bersama kaum muggle. Kaum yang hampir selama hidupnya selalu ia lecehkan, selalu ia pandang rendah. Meski saat pertama kali ia melakukannya, ia terkejut mendapati bahwa muggle yang ia temui ternyata sangat ramah. Ia masih ingat Catherine, tetangganya di lantai dua yang langsung menawarinya teh dan kue-kue setibanya ia di flat barunya.
Namun rencana untuk hidup tenang kini terancam gagal dengan hadirnya lagi pemuda itu ke dalam kehidupannya. Harry Potter.
Draco mendesah sekali lagi. Meratapi nasibnya yang tia-tiba saja berubah menjadi seperti ini.
Ia masih berkutat dengan pikiran-pikirannya saat ia dengar seseorang menggedor pintunya. Dengan enggan ia beranjak dari tempat tidur ke arah pintu dan membukanya.
"Oh, Draco darling, maaf mengganggumu," ucap seorang wanita setengah baya yang tingginya bahkan tidak sampai dagu Draco, "maukah kau bergabung bersama kami di flatku? Ada penyambutan kecil untuk tetangga baru kita." Ujarnya sambil tersenyum ke arah Harry yang bergerak gelisah di belakangnya.
"Sekarang, Rachel?" tanya Draco sopan. Perempuan di depannya itu mengangguk antusias. Draco kemudian memandang Harry yang masih mematung di depan pintunya. Saat pandangan mereka bertemu, alis Draco terangkat saat ia menerima tatapan bilang-tidak-atau-kubunuh-kau dari Harry.
'Well, ini mungkin bisa jadi sesuatu yang menarik.' Pikirnya.
"Oke, aku ikut." Ujar Draco sambil tersenyum meledek ke arah Harry.
-End of Chapter 1-
AN : Akhirnya saya mengacau lagi di fandom ini, masih dengan pair kesukaan saya, HPDM.
Maaf kalo fic ini abal, geje, pasaran, dsb. Mohon kritik dan sarannya ya :)
NB. Atas masukan dari teman2, chapter ini sudah saya perjelas sedikit dg menambahkan "end of chapter 1".
(Emang dudul nih authornya *plakk*)
Jadi udah jelas ya, kalo fic ini bakalan jadi multichap :)
Keep review guys ^^
