The Demon in His Heart

Disclaimer :

Naruto adalah karya dari Masashi Kishimoto

.

..

...

...

...

..

.

WARNING :

AU/OOC/NTR/LIME/LEMON/INCEST/

FIC INI MENGANDUNG KONTEN DEWASA

Note : Fic ini bukan PWP atau porn. Walaupun mengandung sedikit konten ntr (netorare), dan sedikit lime/lemon, ini tetap bukan fic porn. Bagi kalian yang kurang suka dengan konten fic seperti ini demi kenyamanan harap segera close fic abal-abal ini. Mohon maaf bila ditemukan banyak kesalahan dalam fic ini karena penulisnya juga masih noob. Review, flame, dan suggestion akan diterima dan dipertimbangkan dengan baik, sekali lagi mohon maaf bila fic ini merusak image pembaca terhadap karakter yang ditulis di cerita ini. This is only a fanfiction, a small fragment of my perverted imagination, do not I repeat do not take things too seriously.

Main pairing : [Naruto x Mikoto] [Naruto x Kushina]

Other pairing : Read it urself...

.

..

...

...

...

..

.

Chapter -01-

The Boundaries of Love

Suatu malam di kediaman Uzumaki...

Naruto duduk di atas sofa ruang keluarga sambil mengganti-ganti saluran televisi dengan tangan kirinya yang sedang memegangi remot. Wajahnya kelihatan bosan, pandangannya kosong, ia bahkan tidak menyadari bahwa bahwa dirinya telah memutar-mutar seluruh saluran televisi yang disiarkan sebanyak tiga kali.

Kaa-chan lama sekali.

Ia memandang kearah jam yang terpasang di salah satu dinding ruangan tersebut, waktu sudah menunjukkan lebih dari pukul dua belas malam tapi sang ibu belum juga pulang. Selama seminggu terakhir ini memang gerak-gerik ibunya kelihatan berubah, wanita itu sekarang kelihatan lebih pesolek daripada biasanya, ia juga jadi sering memainkan telepon genggamnya, tapi yang membuat Naruto merasa kesal sekaligus cemas adalah belakangan ini ibunya jadi sering pulang malam.

Naruto menghela nafas sambil mengubah posisi duduknya, ia mengangkat kedua kakinya keatas sofa dan membaringkan tubuhnya disana, tiga buah bantal sofa digunakan Naruto sebagai alas kepala sementara satu bantal lainnya terapit diantara kedua kakinya.

Pikirannya lalu melayang pada sosok wanita cantik dengan rambut panjang berwarna merah yang ketika disinari oleh cahaya akan nampak berkilauan, oke mungkin itu agak berlebihan, tapi mau bilang apa lagi ? Naruto sangat mengagumi kecantikan ibunya. Di usia yang menginjak 33 tahun, ibunya terlihat sangat muda. Tubuhnya walaupun agak sedikit kurus terlihat bugar karena ia selalu menjaganya dengan cara berolah raga secara rutin, kulitnya yang putih nampak begitu lembut, kedua matanya yang gelap dengan sedikit sentuhan lavender memberikan kesan eksotis pada wajahnya, tapi dari semua itu yang membuat Naruto mengagumi kecantikan sang ibu mungkin adalah senyumannya, senyum yang selalu bisa menghangatkan suasana hatinya.

Tentu saja Naruto sebagai remaja berusia delapan belas tahun memiliki fantasi-fantasi tentang ibunya, secara psikologis memang seorang anak laki-laki memiliki ketertarikan seksual terhadap sosok ibu yang terbangun di alam bawah sadarnya. Hal tersebut adalah sebuah fase yang akan dilewati setiap remaja laki-laki kebanyaka, dan Naruto kini sedang mengalami fase tersebut.

Kadang hal itu membuatnya sedikit frustasi, tapi setelah ia berpendapat bahwa perasaan yang dialaminya saat ini adalah salah satu fase yang kelak akan dilewati olehnya.

Mungkin.

Getaran ponsel tiba-tiba dirasakan oleh Naruto dari balik saku celananya, ia kemudian memutar sedikit tubuhnya sambil menjulurkan tangannya kedalam saku untuk mengambil ponsel terserbut. Berharap dirinya mendapat panggilan dari sang ibu, Naruto kecewa ketika melihat nama 'Kiba Inuzuka' muncul di layar ponselnya. Apa yang si bodoh itu lakukan, malam-malam begini menghubungiku.?

"Kiba kau pikir jam berapa sekarang !?" Geram Naruto, merasa kesal karena Kiba meneleponnya diwaktu yang tidak tepat.

"Oi Naruto !" Suara Kiba terdengar dari balik ponselnya.

"Ada apa malam-malam begini, hei... halo ?" Naruto mendengar suara aneh dari balik ponselnya.

"Halo Kiba ?" ujarnya sekali lagi, ketika itu Naruto merasa positif bahwa suara aneh yang didengar olehnya adalah suara desahan seseorang, entah kenapa tapi ia sepertinya mengenal familiar dengan suara tersebut.

"Ukhhh... hmm.. ah Naruto ! Hei, bagaimana kabarmu ?"

Urat dikepala Naruto muncul, "Apa maksudmu menanyakan kabar padaku ?"

"Tidak apa-apa, aku mau bilang terima kasih."

"Terima kasih ? Hei, Halo ? Kiba ?"

Ketika panggilan dari temannya itu terputus ia lalu membanting ponselnya keatas tumpukan bantal yang tadi digunakan olehnya sebagai alas kepala, "Dasar manusia tolol !"

Kiba adalah salah satu teman satu kelas Naruto yang sebenarnya tidak terlalu dekat dengan dirinya. Mereka hanya kebetulan berada dikelas yang sama selama tiga tahun berturut-turut, membuat keduanya menjadi mau tidak mau jadi saling mengenal, dan sedikit demi sedikit menjadi akrab.

Tapi Naruto tidak begitu menyukai Kiba, menurutnya pemuda dari keluarga Inuzuka itu memiliki pergaulan yang buruk, dan lagipula Kiba adalah salah satu pengikut tetap dari orang yang menjadi musuh terbesar Naruto di sekolahnya yaitu Uchiha Sasuke.

Uchiha Sasuke, Naruto mengulang kata itu dipikirannya.

Jika Naruto tidak menghormati Mikoto-sensei mungkin ia sudah membuat pemuda emo itu babak belur sejak lama. Sasuke adalah seorang pemuda kaya yang sangat menyebalkan, ia menggunakan ketampanannya untuk meniduri para siswi disekolahnya dan sesudah itu meninggalkan mereka begitu saja.

Well, sebetulnya Naruto tidak peduli dengan kegiatan orang itu, tapi suatu hari Sasuke pernah mengucapkan kata yang tidak pantas tentang ibunya tepat di muka Naruto. Ketika itu Sasuke pulang dengan luka memar diwajahnya, dan sejak hari itu juga orang-orang mulai menjauhi Naruto. Bukan karena mereka benci pada dirinya, tapi karena Sasuke memastikan bahwa siapa saja yang dekat dengan Naruto di sekolahnya tidak akan bernasib baik.

Ketika emosinya sudah mereda Naruto lalu kembali membaringkan tubuhnya di atas sofa sambil memutar saluran televisi sebelum akhirnya ia memilih untuk menyaksikan sebuah acara yang sebetulnya tidak begitu ia suka. Apa lagi yang harus diperbuatnya ? Naruto tidak mungkin tidur begitu saja karena ibunya lagi-lagi lupa membawa kunci rumah cadangannya, lantas jika ia tertidur siapa yang akan membukakan untuk ibunya ketika ia pulang nanti ?

Tidak terasa setengah jam sudah berlalu ketika Naruto mendengar suara mobil yang berhenti didepan rumahnya. Kemudian ia berjalan menuju jendela rumahnya untuk memastikan siapa pemiliki mobil tersebut, mungkin salah seorang teman ibunya yang mengantar atau mungkin juga kekasih ibunya yang baru. Tidak, kaa-chan tidak memiliki kekasih, kaa-chan tidak butuh orang lain, biar aku saja yang menjaganya.

Beberapa menit berlalu tidak ada pergerakan berarti dari mobil yang masih terpakrkir didepan rumahnya dalam keadaan menyala itu. Naruto menarik nafas panjang, bukan kaa-chan, pikirnya dalam hati. Ia lalu memutar tubuhnya dan berjalan kembali kearah sofa sebelum akhirnya duduk bersender diatasnya.

Sepuluh menit telah berlalu, acara televisi yang ia tonton sudah berakhir, berubah menjadi pengumuman bahwa sebentar lagi saluran itu akan beristirahat sampai pagi nanti. Naruto kembali memperhatikan jam dinding diatasnya yang kini sudah menunjukkan pukul dua malam lebih lima belas menit. Merasa cemas, Naruto kemudian mencoba untuk menghubungi ponsel sang ibu akan tetapi setelah dicoba berulang-ulang ibunya tidak kunjung mengangkat panggilan darinya. Sekarang dirinya mulai merasa takut, jemarinya bergerak dengan cepat mencari-cari nama Mikoto dari daftar kontak ponselnya, sore tadi sang ibu berpamitan dengan Naruto untuk bertemu dengan sahabat lamanya Mikoto yang kebetulan juga adalah seorang guru di tempat Naruto bersekolah sekarang.

Namun sebelum sempat Naruto menemukan nomor yang ia cari, sebuah ketukan tiba-tiba muncul dari pintu balik utama rumahnya. Tanpa berpikir panjang ia lalu berlari kearah sana untuk membukakan pintu tersebut. Betapa terkejutnya Naruto ketika mendapati sesosok wanita setengah mabuk berdiri dihadapannya ketika ia membukakan pintu masuk.

Rambut merah yang dibiarkan tumbuh panjang sepunggung.

Bola mata berwarna violet.

Senyuman yang selalu bisa meluluhkan perasaan.

Yak, wanita ini tidak salah lagi adalah Uzumaki Kushina, ibu dari Naruto.

"Tadaima Naru-chaaan." Kushina melemparkan kedua tangannya kearah Naruto dan menarik pemuda berambut pirang itu kedalam pelukannya.

"Hei, Hei, Kaa-chan... apa yang kau lakukan !?" Naruto berusaha melepaskan pelukan tersebut. Naruto sudah beberapa kali melihat ibunya berada dalam keadaan sedikit mabuk, tapi sekarang ia kelihatan berbeda, tubuh Kushina berkeringat lebih banyak dari biasanya, nafasnya kedengaran pendek, dan tercium aroma yang bercampur dari arahnya.

"Kenapa Sochi ?" Kushina menatap kearah Naruto, wajahnya kelihatan kecewa ketika putranya melepaskan kedua tangan Kushina.

Naruto mengerutkan kening, "Kau mabuk !?" ujarnya kesal, "Apa yang kau lakukan-"

Sebelum selesai menyelesaikan kata-katanya Naruto secara refleks memegang tubuh Kushina yang tiba-tiba kehilangan keseimbangan.

"Ara... maafkan kaa-chan." Ujar Kushina.

"Merepotkan saja !" geram Naruto, ia lalu melingkarkan sebelah lengan Kushina dilehernya, menendang daun pintu rumahnya sampai tertutup rapat, kemudian setelah itu Naruto memapahnya perlahan-lahan menuju kamar utama yang terletak di lantai dua.

Langkahnya terhenti ketika ia berhadapan dengan tangga, pandangannya mengarah pada tumpukan anak tangga dihadapannya lalu pada sosok Kushina yang perlahan mulai kehilangan kesadarannya disebelahnya. Naruto menghela nafasnya, dengan keadaan ibunya yang seperti ini hanya ada satu cara agar ia dapat membawanya menuju kamar utama, "Tck, kaa-chan aku terpaksa harus menggendongmu."

"Naru-chan mau menggendongku ?" Tanya Kushina dengan wajah menggoda, ia lalu menempelkan tubuhnya ke tubuh Naruto dan berbisik pelan ditelinganya, "Kau romantis sekali sochi."

"Kaa-chan !" tegur Naruto.

"Ayolah sochi, kau merasakannya kan ?"

Jantung Naruto berdegup kencang, ia bisa merasakan sentuhan dada Kushina yang menempel ditubuhnya, ia bisa merasakan kehangatan, dan tekstunya yang kenyal. "Kaa-san !" Naruto berusaha menghindari pandangan ibunya.

Tiba-tiba Naruto merasakan sensasi basah di pipinya, Kushina kini mengecup pipi kanannya dengan buas, bukan kecupan seorang ibu pada anak, tapi kecupan yang mengisyaratkan gairah dan nafsu. "Kaa-chan apa yang kau lakukan !?"

Sesuatu telah terjadi pada ibunya, selama ini Kushina memang sering menggoda dirinya tapi kali ini ia sudah berada diambang batas kewajaran. "Kenapa ? Kaa-chan tidak boleh mencium anaknya sendiri ?" Kushina cemberut.

Naruto memejamkan matanya sejenak sambil menghirup udara, ia memutuskan untuk tidak membahas ciuman itu lebih jauh lagi dan hanya menatap sang ibu sambil berkata, "Pegang leherku."

Lalu seperti sepasang pengantin yang baru saja menikah Naruto mengangkat kedua kaki Kushina dengan tangan kirinya dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh dengan tangannya yang sebelah lagi.

"Sochi, kita seperti sepasang pengantin." bisik Kushina tepat di telinga kanannya.

Kami, apa yang diminum oleh kaa-chan !

Tanpa menunda lebih lama lagi Naruto lalu menaiki satu persatu anak tangga dihadapannya dengan hati-hati, ketika sampai di lantai dua ia lalu memperbaiki pegangan tangannya di tubu Kushina sebelum berjalan menuju kamar utama yang berada tidak jauh dengan sana. Naruto harus memutar badannya sedikit agar ia bisa memegang gagang pintu kamar tersebut dan setelah berhasil membukanya ia langsung masuk kedalam lalu meletakkan tubuh ibunya ditempat tidur.

"Kita sudah sampai."

"Terima kasih sochi..." ucap Kushina.

Naruto berusaha mengontrol dirinya ketika ia melihat ibunya terbaring lemah diatas ranjang. Kushina mengenakan dress hitam yang membalut tubuhnya dengan ketat sampai ke paha bagian atas. Buih keringat ditubuhnya seolah memantulkan sinar rembulan yang masuk dari kaca jendela kamar. Kedua kakinya yang panjang dan ramping hampir terlihat seutuhnya.

Naruto bagaimanapun juga adalah seorang laki-laki yang sehat, jadi tidak salah jika pemandangan yang tersaji tepat dihadapannya membuat Naruto sejenak kehilangan kesadaran.

"Sochi ? Kenapa menatapku seperti itu ?"

"Eh ? Ah, tidak... ano... aku mau membuatkan teh untukmu." Naruto lalu cepat-cepat bergegas untuk meninggalkan ruangan.

"Tunggu." Kushina meraih pergelangan tangan Naruto.

Naruto menghentikan langkahnya, ia menoleh kearah Kushina, lalu keduanya saling memandang dalam kesunyian malam, biru dan violet melebur melahirkan sebuah warna yang hanya dapat dimengerti oleh mereka berdua saja.

"Sochi, temani kaa-chan ya ? Malam ini saja."

Wajah Kushina memelas, Naruto membenci ibunya ketika melakukan hal ini karena entah kenapa setiap ibunya menunjukkan ekspresi tersebut ia tidak bisa menolak apapun yang dipinta oleh sang ibu. "Tapi..."

"Kumohon sochi... aku kesepian." ujar Kushina lemah.

Naruto menganggukan kepalanya, ia lalu duduk diatas ranjang tepat disamping Kushina yang kemudian secara perlahan menarik tubuh putranya untuk berbaring didalam pelukannya. Naruto bisa merasakan hembusan nafas Kushina yang menggelitik dibelakang lehernya, "Kaa-chan."

"Sshhh..." Kushina menyentuh bibir putranya dengan jemarinya yang terasa sejuk, "Biarkan kaa-chan begini sebentar." lanjutnya. Kushina membiarkan kepalanya beristirahat diatas bahu Naruto, "Kaa-chan merindukanmu. Dulu kaa-chan sering memelukmu seperti ini, setiap kau mengalami mimpi buruk kau akan meminta kaa-chan untuk memelukmu dari belakang... persis seperti ini."

Naruto tersenyum, ketika ia mengingat hal tersebut. "Kaa-chan ? Apa ada sesuatu yang terjadi padamu ?"

Kushina terdiam.

"Kaa-chan ?"

Perlahan-lahan Kushina membaringkan tubuh Naruto, membiarkan kedua kaki putranya naik keatas ranjang tempatnya dulu pernah bermain cinta dengan mendiang suaminya, "Sochi, putar badanmu."

Naruto menghela nafasnya, "Baiklah kaa-chan."

Dengan hati-hati Naruto memutar tubuhnya sehingga ia dan Kushina kini terbaring dalam posisi saling berhadapan. Naruto memperhatikan wajah ibunya, ia menyukai bentuk matanya yang lentik, rona bibirnya yang merah, dan lengkung hidungnya yang menggoda.

"Kaa-chan..." Naruto berbisik.

"Hmm ?"

"Kau cantik sekali." Naruto lalu menyentuh seuntai rambut merah Kushina yang menutupi sebagian kecil wajahnya dan meletakkannya dibalik telinga kiri wanita itu.

Kushina tersenyum, kupu-kupu serasa berterbangan didalam perutnya, "Benarkah ?"

Naruto membalas senyuman tersebut sebelum menyentuh kening ibunya dengan keningnya sendiri, "Seperti puisi."

Mendengar kata-kata itu Kushina tidak bisa membendung air mata yang perlahan menetes membasahi wajahnya, "Sochi... aku..."

"Kenapa kaa-chan ?" Naruto mengusap air mata dari wajah Kushina dengan telunjuknya, "Apakah aku melakukan sesuatu yang tidak kaa-chan sukai ?"

Kushina menggelengkan kepalanya, air matanya mengalir semakin deras, "Tidak sochi, tidak pernah dan tidak akan pernah..."

"Jangan menangis kaa-chan, aku akan menjagamu."

Naruto tidak hentinya mengusap wajah Kushina yang dibasahi air mata, "Aku mencintaimu kaa-chan."

Seketika itu juga tangis Kushina berhenti, ia merasakan kehangatan yang menajalar keseluruh tubuhnya, kehangatan yang berasal dari jantung hatinya. Lalu perlahan ia tersenyum kepada putranya, "Aku juga mencintaimu sochi."

Tenggelam dalam perasaan masing-masing, tanpa disadari wajah keduanya saling mendekat. Kushina dapat merasakan hembusan nafas putranya yang terasa hangat, sebelah tangan Kushina lalu ia letakkan tepat di belakang kepala putranya, "Sochi..." ia berbisik sambil mengusap rambut pirang putranya yang diselimuti pucat cahaya rembulan, "Sochi aku mencintaimu..."

Kushina lalu menarik kepala Naruto kearahnya, membiarkan bibir keduanya untuk saling bertemu dan bercumbu seolah nyawa mereka bergantung kepadanya. "Mmhhh." Ia mendesah dibalik kecupan tersebut, tangannya lalu bergerak dari belakang kepala Naruto, ia menelusuri tubuh putranya, merekam bentuk dan kehangatan yang dihasilkannya dengan tiap sentuhan yang ia berikan.

Lalu tiba-tiba Kushina merasakan sesuatu dimulutnya, ia merasakan lidah Naruto yang memaksa masuk kedalam mulutnya, "Mmphhmmhh..." Kushina membuka lebar-lebar lubang bicaranya, menyambut lidah putranya dengan lidahnya sendiri sementara kini sebelah tangannya menggenggam kedua pergelangan tangan Naruto dan menariknya kearah tubuhnya sendiri. Kushina ingin merasakan sentuhan, tubuhnya seperti kerasukan ketika ia mengarahkan tangan Naruto tepat ke dadanya, "Ahmmphh."

Naruto kehilangan akal sehatnya, tubuhnya kini bergerak oleh kendali hawa nafsunya. Tangannya bermain-main dengan payudara sang ibu, jemarinya mencari-cari titik kenikmatan di payudara sang ibu yang masih dibalut oleh pakaian hitamnya, kadang ia menghentikan ciuman di bibir Kushina dan menjilati leher panjang wanita tersebut. "Kaa-chan... kaa-chan..." biskan itu terdengar setiap Naruto melepas mulutnya dari tubuh sang ibu.

"Sochi..." Kushina lalu melepaskan ciumannya ia lalu menarik pakaian putranya sambil menelentangkan tubuhnya, "Sochi aku membutuhkanmu..."

Naruto yang mengikuti gerakan tangan Kushina kini menutupi tubuh sang ibu dengan tubuhnya sendiri, dalam posisi tersebut bisa dengan bebas menggunakan kedua tangannya untuk bermain-main dengan tubuh ibunya. Nafasnya semakin terengah ia menikmati kedua payudara sang ibu, menarik, menekan, dan meremasnya.

Kushina mendesah keras, ia merasa dirinya sedang terbang menuju surga kenikmatan. "Ohhh... ahhhh..." hanya suara-suara itu yang keluar dari mulutnya ketika sang putra memainkan tubuh indahnya, "Naaruooohhhh..."

Kedua mata Naruto terbuka lebar ketika ia mendengar suara kancing celananya yang terbuka, ia lalu bisa merasakan sentuhan jemari yang dingin bergerak diantara kedua kakinya, "Sochi..."

Naruto melihat kerah kakinya dan mendapati celana jeans yang ia kenakan sudah berada dalam keadaan tidak terkancing, ia juga melihat tangan sang ibu yang bermain dengan ereksinya dibalik celana dalam yang ia kenakan. "Ahh... kaa-chan..." ia memejamkan matanya.

Kaa-chan.

Kaa-chan ?

Kaa-chan !

"Kaa-chan !" Naruto lalu bangkit dari ranjang ibunya, ia melihat wajah sang ibu yang kelihatan bingung sambil melangkah mundur sampai tubuhnya menabrak dinding kamar. "A..aku..." ia juga melihat keadaan ibunya, tubuhnya dibasahi oleh keringat, lehernya memerah oleh rangsangan yang ia berikan, pakaiannya hampir terbuka, sedikit lagi maka kedua dadanya akan kelihatan dengan jelas.

Naruto merasa kotor, ia merasakan ereksinya yang semakin menguat oleh pemandangan dihadapannya dan dirinya merasa sangat kotor. "Apa yang kulakukan !? Apa yang kita lakukan !?"

"So..socchi..." Jika Naruto merasa kotor maka Kushina merasa bersalah, ia tidak ingin memaksa putra kesayangannya untuk melakukan ini, "Ini salahku sochi..." ujarnya, air mata mulai menetes becampur dengan liur milik putranya yang membasahi sebagian besar wajahnya.

Seketika itu juga Naruto berlari meninggalkan kamar ibunya. Ia membanting pintu kamarnya ketika masuk dan meloncat kearah tempat tidurnya sambil menarik dan menutupi dirinya dengan selimut. Dari kamarnya ia bisa mendengar suara tangisan sang ibu yang meletus ketika ia memutuskan untuk meninggalkannya tadi, sebagian dirinya merasa bersalah karena telah membuat ibunya menangis sedangkan sebagian lagi merasa lega.

Naruto memejamkan kedua matanya kuat-kuat, ia mencoba untuk menghilangkan sosok ibunya dari dalam pikiran, tapi setiap ia berusaha membuang pikiran kotornya tersebut semakin jelas juga ia melihat sosok ibunya yang terekam jelas dalam pikirannya. Ereksinya menguat, "Brengsek !"


The Demon in His Heart


Pagi hari, di kediaman Uzumaki...

Keesokan harinya Naruto terbangun dengan rasa sakit yang menusuk dikepalanya, "Ukhhh..." ia lalu memijat keningnya dengan maksud untuk mengurangi rasa sakit dikepala sambil menyingkirkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya.

Ia mengatur nafasnya dan beberapa kali mengguncangkann kepalanya untuk menghilangkan rasa kantuk dan lelah yang masih menguasai dirinya, ketika ia mulai sadar Naruto yang kini duduk diatas tempat tidurnya teringat akan kejadian yang tadi malam menimpa dirinya.

"Sialan." Bisiknya, ia menampar kedua sisi wajahnya dengan telapak tangan untuk menghilangkan pikiran-pikiran kotor yang mulai masuk dikepala. "Kami ! Sadarlah Naruto ! Sadar !" ia menghardik dirinya sendiri.

Pandangannya lalu secara tidak sengaja terarah pada sebingaki kayu berisi foto dirinya sendiri ketika ia berusia enam tahun yang sedang berada dalam dekapan ayahnya. Wajah Naruto murung ketika ia mengingat tentang ayahnya, ia sangat merindukan sang ayah dalam kehidupannya, tapi ketika ia memandang sosok sang ayah dalam foto tersebut tiba-tiba ia mengingat peristiwa tadi malam. Apa yang akan dikatakan ayahnya jika ia tahu perbuatan yang ia lakukan semalam, perutnya langsung merasa mual, "Tolong jangan menatapku seperti itu tou-chan..." ujarnya.

"Sochi." Tiba-tiba suara ibunya terdengar dari balik pintu kamar.

Oh, Kami. Lengkap sudah penderitaanku.

"Sochi ?" suara ibunya kembali terdengar, kini diiringi dengan ketukan pintu.

"Sebentar kaa-chan." Balas Naruto, ia kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu sambil menarik nafas panjang. Gerakannya sempat terhenti ketika ia hendak menggenggam gagang pintu kamarnya, tapi setelah akhirnya ia mengumpulkan keberanian dalam diri tangannya kembali bergerak untuk membuka pintu kamarnya yang terkunci.

"Selamat pagi Sochi kesayanganku..." Kushina tersenyum hangat kearah putranya sambil tiba-tiba melangkah mendekati Naruto dan mengecup keningnya.

Naruto agak terkejut melihat sikap sang ibu, mulanya ia mengira bahwa ibunya tersebut akan mengajaknya 'berbicara' setelah kejadian semalam tapi yang ada dihadapannya kini tidak berbeda dari apa yang biasa ditunjukkan oleh ibunya di setiap pagi. "Kaa-chan ?"

Kushina menyilangkan tangannya dengan wajah agak cemberut, "Mouu... Naru-chan, kau tidak membalas ucapan selamat pagi dariku."

"Ah, maaf, maksudku selamat pagi Kaa-chan ?" ia sedikit ragu-ragu, matanya tidak berani menatap langsung kearah sang ibu.

"Naru-chan ? Ada apa denganmu ?" Kushina kini kelihatan khawatir, ia lalu melangkah masuk kekamar putranya dan menempelkan punggung telapak tangannya tepat dikening Naruto, "Sochi kau sakit ?"

"Eh ? Tidak, aku baik-baik saja." Jawab Naruto dengan kepalanya yang sengaja ia hadapkan kearah lantai kamarnya.

"Kau kelihatan sedikit aneh." Kushina memandang curiga kearah putranya, "Sochi kenapa kamu tidak menatapku ?" ia lalu menarik wajah Naruto keatas memaksa pemuda itu untuk menatap kearah wajahnya.

Kami, tolong aku.

Naruto yang menghindari tatapan sang ibu memaksa kedua bola matanya untuk melihat kebawah, namun hal itu justru menjadi bumerang baginya karena dengan begitu ia bisa melihat pakaian ibunya yang hanya berupa selembar kaos putih longgar dan celana mini hot pants ketat berwarna merah.

Pemandangan tersebut seolah memancing kembali ingatannya atas peristiwa semalam, jika semalam kamar ibunya hanya disinari oleh pucat cahaya rembulan, maka kini di pagi hari ia bisa melihat bentuk tubuh wanita yang selama ini menjadi objek fantasi kotornya. Merasa geram dengan apa yang dilihatnya, Naruto-pun memejamkan kedua matanya.

"Sochi ? Kau marah pada kaa-san ?" tanya Kushina, ekspresinya berubah murung.

Naruto menggelengkan kepala, keduanya lalu terdiam untuk beberapa saat. Naruto tidak tahu apa yang harus ia katakan setelah kejadian semalam akan tetapi ia tidak ingin merusak hubungan spesial yang ia miliki dengan ibunya, ia tahu bahwa ia mencintai ibunya sebagai seorang anak tapi ia juga memiliki ketertarikan terhadap ibunya sebagai seorang laki-laki, dan peristiwa tadi malam menghancurkan batas yang selama ini selalu ia pertahankan.

Naruto lalu mengumpulkan keberanian dalam dirinya, ia mengepalkan tangannya dan menatap kewajah sang ibu, "Kaa-chan... tadi mala-"

Belum selesai Naruto bicara, Kushina memotong kata-kata putranya, "Maafkan kaa-chan... apa kaa-chan melakukan sesuatu padamu ? Kaa-chan tidak bisa mengingat apa-apa setelah Mikoto mengantar kaa-chan pulang."

"Eh?" kedua rahang Naruto terjatuh.

"Apakah kaa-chan sesuatu yang membuatmu marah sochi ?"

Ketika itu tubuh Naruto menjadi terasa ringan, kedua bahunya yang semalaman terasa berat seolah ditimpa oleh sebongkah batu raksasa kini menjadi terasa amat ringan. Naruto tersenyum lega, "Tidak ada apa-apa, kaa-chan hampir terjatuh didepan setelah aku yang menggendongmu kekamar dan setelah itu kaa-chan langsung tertidur."

"Ge..gendong ?!" rona merah terlihat di kedua pipi Kushina.

"Ya, dan tubuhmu itu berat sekali kaa-chan." Balas Naruto sambil melarikan diri keluar kamarnya.

"SOCHI !"

Setelah itu Naruto memutuskan untuk melupakan kejadian semalam, ia sekali lagi merasa lega karena sang ibu tidak mengingat peristiwa itu sama sekali, dan lagipula jika dipikir-pikir mana mungkin ibunya sendiri mengajak ia untuk bercinta dalam keadaan sadar. Naruto mungkin agak kecewa karena kesempatan seperti tadi malam tidak akan pernah ia dapatkan lagi, tapi ia tidak menyesalinya. Bagi pemuda berambut pirang itu tidak ada yang lebih penting daripada sosok ibunya di dunia ini, ia lebih baik mati daripada melakukan sesuatu yang justru akan merusak hubungan diantara keduanya.

Kenapa begitu ?

Karena bagi Naruto ibunya adalah dunianya, mataharinya, dan rembulannya.


The Demon in His Heart


Beberapa saat kemudian, di kediaman Uzumaki...

Pagi itu seperti biasanya Kushina menyiapkan sarapan pagi dengan menu kesukaan putranya yaitu ramen. Kadang ia merasa sedikit bersalah pada dirinya sendiri karena telah mewarisi candunya pada sang putra, tapi apa yang mau dikatakan olehnya ? Kushina sendiri adalah seorang pecandu ramen yang sementara ini memegang peringkat tertinggi dalam lomba makan ramen di kedai Ichiraku favorit mereka berdua.

Setelah sarapan selesai Kushina segera membersihkan piring dan mangkuk kotor yang baru saja mereka gunakan, tanpa diketahui oleh Naruto sejak tadi ia memperhatikan gerak-gerik pemuda itu. Biasanya di hari libur sekolah Naruto adalah seorang pemalas yang akan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tidur atau menonton acara televisi. Tapi kali ini ia kelihatan berbeda, Naruto pagi itu mengenakan pakaian yang cukup stylish khas dengan gaya anak muda Konoha generasi sekarang dengan hoodie berwarna orange dan celana jeans ketat berwarna hitam yang berlubang tepat di bagian lututnya.

"Kau mau pergi keluar hari ini sochi ?" tanya Kushina sambil membersihkan piring-piring kotor di wastafel dapur.

"Ya, aku ada janji." Jawab Naruto yang kelihatan sedang menikmati acara televisi pagi di sofa kesayangannya, "Setelah acara ini aku akan berangkat." lanjutnya tanpa memalingkan pandangannya.

"Jam berapa kau akan pulang ?" tanya Kushina.

"Entahlah, aku hari ini akan bertemu Gaara jadi mungkin pulang agak malam." Jawab Naruto.

"Ara, Gaara-kun ? Kapan dia datang ke Konoha ?" tanya Kushina penasaran.

"Kemarin." jawab naruto singkat.

Ketika selesai membersihkan piring terakhirnya Kushina memutar kran wastafel dihadapannya, menyumbat air didalamnya agar tidak mengucur keluar. Ia lalu mengusap kedua tangannya yang basah pada apron hijau yang dikenakannya. "Sochi ?" Kushina lalu berjalan meninggalkan dapur setelah ia menggantung apron tadi, "Ne, sochi !" sahutnya lagi kini dengan suara yang lebih keras.

"Eh ? Ya kaa-chan ?"

"Mou... apa yang kau lakukan ? Melamun siang-siang begini."

Naruto menghela nafasnya, "Aku..."

"Ada apa sochi ?" Kushina yang makin penasaran berjalan mendekati Naruto kemudian duduk di atas kursi yang bersebrangan dengan sofa tempat putranya bersantai.

"Aku sedang memikirkan sesuatu." ucap Naruto lemah.

Jantung Kushina berdegup, apakah ia akan membahas kejadian tadi malam ? Perasaannya dalam hatinya bercampur, ia menantikan hal ini. Katakanlah sochi, kaa-chan akau mengakui semuanya... kaa-chan tidak bisa membohongi perasaan kaa-chan lagi... kumohon katakanlah sochi...

"Kaa-chan ? Kenapa kaa-chan yang jadi tegang." protes Naruto.

Rona merah dikedua pipi Kushina menyala terang, ia menutupinya dengan tangan sambil memalingkan pandangannya dari Naruto, "A..apa yang kau maksud sochi ? Aku biasa-biasa saja." ujarnya sedikit terbata.

"Hmmm... mukamu merah."

"Sochi !"

"Baiklah, baiklah aku akan mengatakannya." Naruto kemudian menarik nafas panjang sambil menepuk-nepuk kedua pipinya, "Tapi kaa-chan harus janji tidak akan menertawaiku !" lanjut Naruto.

Kushina hanya mengangguk, ia tidak ingin menunda lagi kalimat yang selama ini telah ditunggunya dari mulut putranya, putra tercintanya.

Katakanlah sochi... katakan bahwa kau juga menginginkanku...

"A.. aku... aku menyukai seseorang !"

Kushina merasa seakan dirinya melayang-layang diangkasa, kembang api seolah meletus didalam perutnya, membuat tubuhnya terasa makin panas dan jantungnya berdegup semakin kencang, dengan kedua tangan yang masih menutupi sebagian wajahnya ia bertanya, "Si... siapa kalau kaa-chan boleh tau ?"

"Dia seseorang yang seharusnya tidak boleh kupandang seperti itu... ano, maksudku seharusnya aku tidak boleh menyukainya." ujar Naruto, ia merasa sangat malu dan tidak berani menatap wajah ibunya, jika ia pikir-pikir memang selama ini ia tidak pernah berbicara tentang hal-hal begini dengan sang ibu.

"Ti..tidak boleh ?" suara Kushina bergetar, tentu saja putranya berpikir demikian. Hubungan antar ibu dan anak adalah sesuatu yang sakral, hubungan yang dilandasi oleh cinta dan kasih sayang bukan gairah dan nafsu, tapi ia tidak bisa menolong dirinya sendiri. Sejak dua tahun yang lalu putranya ini telah mengambil hatinya, ia tidak lagi memandang Naruto sebagai seorang anak, ia menganggapnya sebagai seorang laki-laki, seorang laki-laki yang sangat dicintainya. Dan kini ketika putranya ternyata membalas perasaan yang selama ini ia pendam, ia tidak akan membiarkan apapun dan siapapun untuk menghalangi persemian cinta diantara mereka.

Sambil memejamkan mata ia menenangkan dirinya, ia lalu tersenyum ke arah putranya, memintanya untuk menatap matanya, "Sochi, coba kau lihat kaa-chan." pinta Kushina dengan lembut. Kushina kemudian tertawa kecil melihat putranya tersipu malu saat mata keduanya saling bertatapan.

"Ahhh ! Kaa-chan tertawa !" ujar Naruto kesal.

"Maaf sochi, kaa-chan tidak bermaksud, tapi wajahmu kelihatan lucu jika sedang malu-malu begitu."

"Tck, kaa-chan curang ! Aku tidak mau cerita lagi !"

Kushina bangkit dari kursi duduknya dan berjalan mendekati Naruto sambil mengusap wajahnya, "Sochi, apa ada yang harus kau sembunyikan dari kaa-chan ?"

Naruto menatap ke wajah ibunya, dia terlihat sangat cantik, namun ia tahu jika ia meneruskan pandangan ini maka semuanya akan berakhir seperti tadi malam, dan ia tidak ingin ibunya menatap dia sebagai seorang pemuda pengidap oedipus complex, "Aku ingin mengajak Temari-san berkencan."

Kalimat itu terdengar singkat.

Kalimat polos dari seorang remaja yang sedang jatuh cinta.

Aneh ? Tentu tidak.

Tapi kalimat itu cukup untuk menghancurkan Kushina.


The Demon in His Heart


Satu jam kemudian, di kediaman Uzumaki...

Ketika hari menjelang siang Kushina kini berada dirumahnya sendirian, satu jam yang lalu Naruto pergi mengunjungi teman dekatnya Gaara yang baru saja datang dari luar kota. Gaara adalah seorang anak yang pendiam tapi sangat sopan, Kushina menyukai anak itu dan mengagumi persahabtan yang terjalin diantara keduanya. Naruto sendiri tidak punya banyak teman, ia hampir tidak pernah mengajak anak seumurannya untuk berkunjung ke rumah mereka kecuali Gaara dan dua orang saudaranya.

Bahkan Kiba sekalipun tidak bisa dikatakan sebagai temannya. Dadanya terasa sakit ketika ia mengingat nama itu, ia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh putranya jika sampai hubungan gelapnya dengan Kiba sampai bocor. "Maafkan kaa-chan sochi..." ia berbisik pada dirinya sendiri, pandangannya mengarah pada cermin yang memantulkan kecantikannya secara sempurna.

Kushina lalu menyentuh tubuhnya sendiri, merasakan tiap liukan dengan kedua tangannya, ingatan tentang kejadian tadi malam ketika Naruto menyentuh tubuhnya dengan penuh nafsu tidak bisa hilang dari kepalanya, dan mungkin tidak akan pernah hilang, "Mmmhhh..." sebuah desahan keluar dari mulutnya ketika tubuhnya mengingat sentuhan-sentuhan dari putra tercintanya.

Ia menginginkannya, ia menginginkan Naruto sebagai seorang laki-laki, ia ingin memeluk tubuhnya, merasakan garam keringatnya, menyatukan tubuhnya dengan tubuh putranya. Aku adalah wanita yang benar-benar kotor. Menginginkan sentuhan dari putraku sendiri. pikirnya dalam hati. Kedua matanya lalu terpejam, ia menarik nafas panjang, menahannya dikerongkongan selama tiga detik lalu menghembuskannya secara perlahan dalam satu desahan panjang.

Kemudian Kushina mendengar ponselnya berbunyi, ia lalu berjalan kearah ponsel yang tergeletak disamping bantal tidurnya dan mengangkat dering panggilan dari nomor asing yang tidak dikenalnya.

"Halo ?"

"Halo Kushina-chan." suara seorang pemuda terdengar dari balik ponsel Kushina, ia tahu siapa orang yang berada dibalik suara ini namun ia tidak segera mebalas kata-kata yang diucap lawan bicaranya karena keputusan apapun yang ia buat saat ini akan mempengaruhi hubungannya dengan sang anak. Untuk sesaat Kushina terdiam ada keraguan yang tiba-tiba muncul dari dalam dirinya, namun tiba-tiba ingatannya menarik Kushina pada pembicaraan yang tadi pagi dilakukan olehnya bersama Naruto.

"Aku ingin mengajak Temari-san berkencan."

"Temari-san ?"

"Ah, aku belum bilang ya ? Dia itu kakak perempuan Gaara, umurnya satu tahun diatas kami."

"Oh begitu."

"Suatu hari nanti aku akan memperkenalkannya pada kaa-chan, dia adalah gadis yang cantik sepertimu walaupun agak sedikit galak sih."

"Tidak perlu !"

Mengingat pembicaraan tadi pagi api cemburu dalam dirinya kembali terbakar, kedua tangannya mengepal kuat. Jadi kau menolak kaa-chan karena seorang gadis ? Baiklah sochi, kalau begitu kaa-chan akan membuatmu menyesal... Lalu seiring dengan perasaan cemburunya yang semakin kuat ia memutuskan untuk meneruskan apa yang telah ia mulai sebelumnya.

Dengan mata terpejam ia membiarkan hasrat seksualnya mengambil alih logika, Kushina perlahan-lahan memberi sentuhan-sentuhan lembut pada dirinya sendiri, tak sengaja sebuah desahan muncul dari pita suaranya, "Mmmhh..."

"Kushina-chan kau ada disana ?" suara dari balik ponselnya kembali terdengar.

"Kiba-kun..."

"Ah, Kushina-chan kau tahu betapa aku merindukan suaramu ?"

"Hanya suaraku ?"

"Kushina-chan, kau benar-benar membuatku gila..."

"Mmmhh... aku bisa membuatmu ahhh... lebih gila lagi..." jemari Kushina mulai perlahan-lahan menyentuh titik-titik kenikmatan disekitar tubuhnya, semakin lama semakin kuat, dan semakin membuatnya mendesah penuh nikmat.

"Kami, Kushina-chan kau tidak akan mundur kan ?" Suara Kiba bergetar, desahan Kushina membuat pemuda itu kehilangan akal sehatnya.

Tekadnya sudah bulat, logikanya sudah runtuh, hatinya hancur. Kushina memutuskan bahwa ia tidak akan mundur, lagipula pemuda Inuzuka itu juga sudah pernah bermain dengan tubuhnya.

"Tentu saja tidak Kiba-kun, aku sedang membayangkanmu." Telapak tangan Kushina merayap masuk kedalam mini hotpants yang ia kenakan, "Aku sedang menyentuh tubuhku sendiri sambil membayangkanmu...sentuhanmu, ciumanmu... aroma tubuhmu... mmmhhh..."

"Hahaha... Kushina-chan kau membuatku ingin cepat-cepat kesana untuk bercinta denganmu. Kapan si bodoh itu kira-kira pergi dari rumah ?"

"Mmmhh..." desahan kecil keluar dari mulutnya, ia menikmati sentuhannya sendiri, "Jangan bicara hal buruk mhh... tentang ahh... putraku Kiba-kuunn.."

"Maafkan aku Kushina-chan, kau tahu kan aku dan dia adalah sahabat dekat." Ujar Kiba sambil terkekeh.

"Kemarilah sekarang... Naruto tidak akan kembali sampai malam."

"Sepuluh menit lagi aku ada disana... dan satu lagi Kushina-chan... aku mencintaimu."

Dengan itu sambungan telepon diantara mereka terputus, Kushina mematikan ponselnya lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Cinta bukanlah sesuatu yang dirasakannya terhadap pemuda itu. Tidak, dia tidak akan bisa mencintai sosok manapun selain sochi-nya. Namun seperti yang banyak orang bilang, kadang rasa cemburu membuat seseorang bertindak bodoh dan melewati batas.

'Apa yang telah kulakukan...'


-TBC-


Thanks for reading this trash...

Review/Flame/Recommendation are welcomed with open arms...

~Salam Sampah~