Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime

RivaillexEren Fanfiction

Rate : T

Genres : Romance, Drama, Friendship

Warnings : Alternate Universe, Boys Love, bahasa tidak baku, deskripsi yang mungkin masih kurang. Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan dan EYD.

-This fiction is only for consolation, not for a profit fan work-

.

Fate

Story by Takara Rei

.

Chapter 1 – Kereta

Desir udara pagi berhembus lembut. Menggoyangkan pucuk ranting, menimbulkan gemerisik halus di antara cicit burung yang bersahutan. Cuaca musim dingin berhasil mengundang embun yang menghalangi pemandangan di luar jendela. Udara pagi menyusup melalui ventilasi berusaha menggelitik kulit tan, meminta seseorang yang bergelut di balik selimut segera beranjak dari ranjangnya. Kelopak mata penghalang manik zamrud retak, terbuka lebar perlahan. Menatap langit-langit apartemen mungil yang mulai dihinggapi sarang laba-laba. Mendengus kecil, ia kemudian menyibak selimut pelindung yang sebenarnya enggan untuk dilepaskan.

Setelah meregangkan tubuh yang sedikit kaku, ia menghampiri jendela mungil dengan embun mengendap melapisinya. Diusapnya embun dengan siku, sehingga membentuk bulatan abstrak yang memberikan sebuah pandangan. Beberapa pejalan kaki tampak berseliweran dengan jaket berbulu dan syal rajut tebal yang terlihat hangat. Memulai aktivitas yang tidak bisa ditolak hanya karena cuaca kurang bersahabat. "Huh, musim dingin," dengusnya kesal, lalu menoleh ke arah jam kecil yang terpampang di dinding, menunjukkan pukul 6 pagi. "Sebaiknya aku segera bergegas."


Kemeja putih dengan luaran blazer hijau tua selutut, celana panjang hitam dan syal rajut coklat muda tampak pas membalut tubuh pemuda setinggi 170 cm itu. "Oke pas," ujarnya bergaya di depan cermin. Setelah memastikan dirinya serapi mungkin, digapainya tas selempang hitam yang tergantung di belakang pintu lalu memakai sepatu pantofel hitam mengkilat yang telah disikatnya kemarin malam. "Aku berangkat!" teriaknya bersemangat, disusul suara berdebam pintu yang keras. Berharap ada balasan akan salam keberangkatannya, walau anggapannya sendiri mengatakan itu-tidak-mungkin-terjadi.

Belum saja ia beranjak dari depan apartemennya, dering handphone berkumandang dari dalam saku blazer hijau tua. Seolah memerintah sang pemilik untuk segera menjawab panggilan masuk yang mampir di handphone cerdasnya itu. Diraihnya handphone berwarna silver yang terasa sangat dingin, menyadarkannya akan sarung tangan yang tertinggal. Layar berkedip menampilkan nama yang tidak asing bagi pemuda bersurai brunette.

"Eren..." suara sedingin es menyapanya dari seberang sana.
"Ya Mikasa?"
"Apa kau sudah berangkat? Jangan lupa sarapan dan pakai baju hangat, lalu…"
"Baiklah, Mikasa. Aku tau. Aku bukanlah anak kecil yang selamanya harus kau urus. Berhentilah bersikap overprotektif seperti itu," Rentetan kalimat meluncur begitu saja dari mulutnya, sebelum Mikasa bertanya lebih lanjut yang menurutnya hanya membuang-buang waktu.
"Tapi Eren, kau sudah sarapan kan?"
"Aku berangkat sekarang."
"Eren, tunggu du.."
Tit.
Telepon rutin di pagi hari dimatikan secara sepihak. Eren Jaeger, seorang pemuda 21 tahun yang telah mencapai usia matangnya masih harus diatur oleh saudara tirinya, Mikasa Ackerman. Ia tau kalau Mikasa khawatir padanya semenjak kematian orang tuanya. Namun sikap berlebihan Mikasa terkadang membuat Eren muak dan membentak perempuan itu untuk kesekian kalinya, walaupun setelahnya ia akan merasa bersalah karena telah bersikap kasar pada Mikasa. 'Ah sudahlah,' gumamnya dalam hati. Dikeratkannya syal coklat muda yang melonggar, disusul kedua telapak tangan berlindung dalam saku blazer agar tidak beku di perjalanan. Ia pun berangkat menuju stasiun kereta yang akan menghantarkan ke tujuan utamanya 'Shiganshina Royal Hospital'.


Senin menjadi hari yang paling menyebalkan bagi Eren. Pasalnya kereta akan penuh dan sesak sepagi apapun ia berangkat. Membuatnya selalu tidak kebagian tempat duduk dan harus rela berdiri menahan pegal dalam perjalanan kurang lebih 45 menit.

Mendapat kebagian berdiri di dekat pintu, Eren terpaksa berpegangan pada tiang di dekat pintu otomatis. Pandangannya menyapu sekeliling kereta, mendapati wajah para penumpang yang kini mulai gusar akibat keberangkatan kereta yang terlambat. "Semoga tidak memakan waktu yang lama," ujarnya memperhatikan jam tangan dengan jarum yang terus berdetik.


Kereta yang melaju mendadak, sontak membuat tubuh Eren goyah dan jatuh tersungkur. "Argh!" Eren berteriak dengan matanya yang terpejam rapat karena takut mencium lantai kereta, membuatnya tidak sadar kalau seluruh perhatian tertuju padanya. "Ugh, apa ini.." Eren merasa bibirnya mencium sesuatu yang hangat dengan semerbak wangi mint menguar menusuk hidung. Tangannya refleks meraba-raba apa yang menjadi sasaran empuk sebagai alas jatuhnya.
"Oi, bocah mesum. Apa yang kau lakukan, hah?" Mendengar suara dingin yang sangat dekat, sontak mata Eren yang semula terpejam terbuka cepat. Menangkap pemandangan dada bidang pria berbalut blazer hitam sebagai bantalannya, Eren segera beranjak dengan kikuk dari pria tersebut. Pria yang lebih pendek darinya itu memberikan tatapan dingin layaknya pembunuh yang memojokkan korbannya.
"Maafkan aku, aku tidak sengaja," Eren berbisik dengan wajah menunduk takut. Diliriknya para penumpang lain yang telah berpura-pura mengalihkan pandangan mereka, namun sesekali berusaha mencuri pandang ke Eren yang tengah tertunduk dengan wajah merona. Lalu diliriknya si pria bantalan yang masih duduk tegak, menatap Eren angkuh sembari membersihkan blazer hitamnya dengan sedikit kibasan saputangan. Wajah rupawan dihiasi surai hitam eboni namun memancarkan aura hitam membuat Eren ciut dalam kerumunan penumpang.
"Oi, bocah.." suara bariton kembali terdengar pelan, menghalau suasana kereta yang ramai menjadi sesepi kuburan dengan mereka berdua di dalamnya. "Kau telah mengotori bajuku dengan tanganmu yang meraba tubuhku seenaknya."
"Sekali lagi maaf, aku tidak bermaksud tu-tuan," kini Eren membungkukkan tubuhnya kepada pria yang ia rasa lebih tua darinya. Pria itu melirik sekilas manik zamrud bersinar dibalik celah surai brunette yang terurai akibat membungkuk. Ia berdiri menghampiri Eren dengan langkah berat. Sadar dirinya sedang dalam bahaya, Eren segera melirik pintu otomatis yang kini telah membuka, tanda mereka telah sampai di tempat tujuan. Mengingatkan Eren bahwa dirinya akan terlambat jika tidak segera pergi.
"Oi, bagaimana kau akan bertanggung jawab?" tanya pria eboni dengan nada sarkastik. Eren berusaha mengumpulkan segala keberaniannya menegakkan kembali tubuhnya dengan cepat, membuat pria eboni tersentak ke belakang menghindari kibasan rambut yang tidak pandang bulu. Memasang wajah lugu, Eren mencoba berkelit "Um, anu tuan..aku sudah terlambat, jadi..sampai jumpa!" teriaknya lantang disusul langkah seribu meninggalkan pria dengan alis sebelah terangkat heran di dalam kereta.

Pria itu, Rivaille mendecih kesal. Menyesali mangsanya dapat lolos dengan mudahnya. Ia melihat sekeliling kereta yang telah kosong. Beranjak dari kursi, tak sengaja pantofel hitamnya menginjak benda berbentuk persegi panjang. Dipungutnya benda tersebut demi melihat identitas pemiliknya. Tanpa ia sadari seuntai senyum sinis terbentuk pada kedua sudut bibirnya. "Akan kutemukan kau, Eren Jaeger."

.

.

To be continued-

-OMAKE-

(only Levi's POV)
Bocah itu, bak malaikat bermanik zamrud. Pagi yang hampir berhasil membuatku meledak terbayarkan oleh kehadirannya yang tiba-tiba meraba-raba tubuhku seenaknya di sebuah kereta. Aku tidak mempermasalahkannya. Justru hatiku –yang mereka kata- telah lama membeku kurasa mulai melelehkan dinding es yang menghalanginya. Perasaan senang, gembira, aneh, campur aduk layaknya nasi goreng aneka sayuran yang kusantap setiap pagi. Kupandangi bocah yang masih terus menempel di dadaku bagai cicak tidur di siang bolong. Wajahnya lumayan tampan, namun komposisi mata, hidung, bibir yang sempurna membuatnya tampak manis sebagai seorang…pemuda?

Sudut wajahnya begitu tegas. Menguratkan berbagai ekspresi dengan leluasa. Leher serta tulang selangka yang terekspos dengan jelas akibat tubuhnya yang kurus namun tinggi itu. Benar-benar bocah yang memukau. Sadar akan senyum tipis yang terbentuk pada bibirku, langsung saja kembali kupasang topeng ekspresi sedatar aspal serata tembok, menjaga imej yang telah terbentuk pada diriku sejak lahir. Hanya menatap wajahnya bisa membuatku seperti ini?

Matanya yang dilingkari oleh sedikit warna hitam perlahan terbuka. Menampakkan manik zamrud cerah yang membuat kaget sekaligus kagum. Manik itu berkedip pelan, berkali-kali, membuatku gemas ingin melahap saat itu juga bocah yang kurasa umurnya jauh lebih kecil dariku. Namun diriku yang terlahir dengan ekspresi tidak sejalan dengan kata hati, hanya mampu menyapa dirinya dengan kata-kata kasar yang seolah telah ter-set secara otomatis. Sempat ada penyesalan ketika bocah itu berhasil lepas dari genggamanku. Tapi, mungkin takdir berhendak lain. Suatu keberuntungan, sebuah jalan dapat mempertemukanku kembali dengannya. Seorang bocah, yang berhasil membuatku tertarik ingin mengenalnya lebih jauh.

A/N :
Halooo perkenalkan Takara disini, bisa dikatakan pendatang baru XD . Salam kenal!
Terimakasih buat para pembaca yang sudah meluangkan waktu untuk membaca karya pertama Takara, yang sekalinya pertama nulis, udah nulis fic pairing Riren awkwk (abisnya mereka sweet sih #plakk). Mungkin fic pertama ini ceritanya kepanjangan dan masih banyak kekurangan (maklumin yaa), tapi Takara harap para pembaca berkenan meninggalkan review bagi karya pertama Takara sebagai masukan dalam menulis chapter selanjutnya :3 Mungkin sekian dulu salam dari Takara, sampai jumpa di chapter selanjutnya~