"Jangan pergi. Tetaplah di sini, oke? Aku tidak mau kau jadi abnormal begitu, jadi aku akan berusaha sebisa mungkin menggantikannya. Kau bisa menerimaku kan?"


.

.

.

Synchronized

Vocaloid © Yamaha Corporation

Synchronized © Shirokami Kurashi

.

.

.

A/N: Only two chapters. I lost all of my ideas. So? Please trying to understand and like this Fic. Recommended to hear Falling Falling Snow / Fure Fure Koyuki [Kagamine Len] while you read this Fic.


Chapter 1: You

Aku melihat ke sekeliling. Gelap. Dan dingin. Aku berusaha menarik nafas sedalam mungkin dan yang masuk ke paru-paruku hanyalah udara dingin yang membekukan tubuhku. Dan hatiku. Ketika kugerakkan jemariku, yang kurasakan adalah kehangatan yang nyaman. Menggenggam lembut tanganku. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali agar mataku terbiasa dengan kegelapan ini, dan sosok yang kulihat adalah sosok yang kurindukan. Sosok berambut violet panjang dengan iris violet tua-nya yang lembut namun tegas. Walaupun di dalam kegelapan, aku bisa mengenalinya. Aku mencintainya. Sangat. Tapi aku tahu itu tidak boleh, tidak bisa, dan mustahil.


.

.

.

"Len-kun? Kau sudah bangun?" panggil sebuah suara yang kemudian mengguncang pelan tubuhku.

Aku tercekat untuk sejenak. Aku memang belum tersadar betul, tapi aku sudah terbangun. Dan suara itu, suara yang kudengar barusan, sama sekali bukan suara yang kukenal. Bukan dia. Ke mana? Aku mencoba untuk membuka mataku. Semalam aku masih bersamanya, aku tahu jelas. Dia menggenggam tanganku dengan lembut, dia membiarkanku mencintainya, tapi kenapa sekarang berubah? Saat aku membuka mataku agak silau rasanya, jadi aku harus mengerjapkan mataku beberapa kali agar mataku terbiasa dengan pencahayaan ruangan. Dan saat aku menoleh ke arah pintu kamar, sosok yang kulihat adalah sosok yang sebenarnya mirip dengan sosok yang kucintai.

Tapi hanya wajahnya, karena setelah itu gadis di hadapanku ini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan orang yang kumaksud. Yang pertama, rambutnya bukan berwarna violet tapi berwarna violet kemerahan. Yang kedua, irisnya bukan violet tua tapi merah crimson. Dan yang ketiga sekaligus yang paling utama, dia GADIS. PEREMPUAN. BUKAN laki-laki.

"Aku Kamui Gakuko, adik Kamui Gakupo. Ngh, mungkin kau tidak mengenalku, aniki pasti jarang bicara tentangku kan?" ujar gadis itu lagi. Oh, jadi dia yang namanya Gakuko.

"Gakupo lumayan sering bicara tentangmu, tapi aku belum pernah melihat siapa yang bernama Gakuko," aku mulai bersuara walau masih sedikit parau karena baru bagun tidur, "Jadi kau yang bernama Gakuko, ya... Kenapa kau ada di sini? Dan di mana Gakupo? Dan kita ada di mana?" Aku baru sadar kalau aku tidak berada di rumahku sendiri. Dan juga bukan rumah Gakupo. Pemandangannya berbeda.

"Ngh... kita ada di apartemen milik Paman dan Bibi. Paman meminjamkan apartemen ini untukmu, dan Gakupo sudah pulang. Dia harus sekolah," jawab Gakuko sambil tersenyum tipis, dia lalu memberikan secangkir teh padaku.

Aku menyeruput teh buatan Gakuko. Enak. Aku menatap genangan teh itu dan terdiam. Apartemen. Sendirian. Gakupo sudah sekolah, ya...

"Paman tahu kau mencintai aniki," Gakuko kembali berbicara, "Dia tidak ingin kau menjadi pecinta sesama jenis. Dia pikir kau harus semacam diasingkan, tapi kau bisa tetap bersekolah dan sebagainya, kok. Kau hanya tidak boleh bertemu aniki. Maaf."

Aku masih terdiam.

"Paman pikir, mungkin kau bisa menyukai orang lain, terutama seorang perempuan. Dia pikir kalau perempuan itu mirip dengan aniki kau bisa jatuh cinta padanya," lanjut Gakuko.

Aku langsung menoleh padanya. Mataku membulat sempurna. "Maksudmu aku dipaksa jatuh cinta padamu? Jangan mengkhayal," tukasku marah. Aku langsung berdiri dan meletakkan cangkir tehku dengan kasar di atas meja.

"Aku hanya menerima perintah," kata Gakuko lagi. Masih sama datarnya.

"Apa kau itu robot? Kau itu manusia! Apa yang chichioya (ayah) pikirkan itu gila! Aku tidak bisa tinggal sendirian dengan seorang perempuan di apartemen! Apa orang tuamu sama gilanya dengan orang tuaku?" bentakku penuh emosi.

Tidak ada respon. Aku melirik pada gadis berambut violet kemerahan itu. "Papa dan Mama... setuju. Aniki juga. Aku sendiri juga setuju, aku tidak ingin kau jadi orang abnormal. Jangan pergi. Tetaplah di sini, oke? Aku tidak mau kau jadi abnormal begitu, jadi aku akan berusaha sebisa mungkin menggantikannya. Kau bisa menerimaku kan?" Kali ini Gakuko menatapku dan tersenyum dengan manisnya, tapi entah kenapa raut wajahnya terlihat datar di mataku.

"Aku. Bukan. Laki-laki. Gampangan. Tahu. Aku tidak dan sama sekali tidak tertarik denganmu, jadi aku setuju tinggal denganmu hanya untuk menghilangkan sisi yaoi-ku oke? Jangan besar kepala," desisku kemudian masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih.

Gakuko kembali tersenyum. "Iya, aku mengerti." Kemudian dia menuju dapur dan seperti menyiapkan sarapan.

Aku masih belum begitu mengerti, semuanya terlalu mendadak dan terlalu cepat. Dan lagi, memang sudah sepantasnya aku mengakhiri cinta terlarang ini. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa jadi yaoi dan jatuh cinta pada Gakupo. Tapi bukan berarti tinggal berdua dengan perempuan seperti ini! Astaga, apa yang akan teman-teman katakan nanti? Aku? Seorang Kagamine Len? Nama baiknya tercemar? Jangan bercanda! Aku ingin menjadi bocah berusia tujuh belas tahun yang normal, hanya itu saja! Aku tidak ingin tinggal dengan gadis berusia enam belas tahun begini! Aku tahu aku gila karena bisa jatuh cinta pada sesama lelaki, yaitu Gakupo. Aku tahu itu gila. Tapi dunia juga gila karena telah membuatku gila. Selesai mandi, aku menatap diriku sebentar di kaca. Rambut kuning keemasan yang diikat ponytail, iris blue marine yang jernih, dan kulit putih mulus seperti boneka porselen. Dari manapun aku terlihat normal, hanya saja dari segi psikis aku tidak normal.

"Gakuko-san, aku akan pergi keluar. Kau jaga rumah dan jangan ke mana-mana," ujarku sebelum pergi dan mengunci pintu agar dia benar-benar tidak ke mana-mana.

"Maaf, aku juga diperintahkan untuk selalu mengikutimu. Aku benar-benar minta maaf, Len-kun tapi—"

"Berisik! Kau pikir ini permainan macam apa hah!? Mendengar kabar untuk tinggal bersamamu itu sudah cukup memuakan! Jangan membuatku marah brengsek!" tandasku yang langsung mendorong Gakuko cukup keras hingga dia menabrak dinding. Seketika itu juga aku sadar dan emosiku mulai mereda. "Maaf, aku—"

"Daijoubu," potongnya pelan. Gakuko lalu mendongak dan menatapku. Sama sekali tidak tersirat perasaan takut, ataupun sakit di wajahnya. Dia lalu tersenyum seolah aku baru saja memberikannya sebuah hadiah yang luar biasa. "Aku tidak apa-apa, kok. Jangan dipikirkan. Ngh, aku juga minta maaf. Aku tahu aku keterlaluan juga. Ngh... Itte irasshai Len-kun, aku akan siapkan makan malam," Gakuko berkata pelan dan ramah. Dia lalu mengantarku sampai ke pintu, dan hal terakhir yang kulihat sebelum pintu benar-benar tertutup adalah, tatapan datar dengan senyum di wajahnya dan melambai padaku. Aku jadi merasa aneh.

Sudahlah, batinku semakin capek, mungkin hanya perasaanku saja. Mungkin atau memang kenyataan, aku masih terlalu kaget karena harus tinggal bersama seorang perempuan yang belum kukenal. Hanya kenal namanya saja. Apapun itu, aku harus ke sekolah sekarang. Sekarang masih jam setengah sembilan, masih ada waktu. Toh aku hanya pingsan kan? Aku hanya pingsan karena terlalu lelah, aku hanya terlalu lelah karena terlalu ingin bertemu Gakupo. Cinta terlarang yang konyol. Berjalan di tengah badai salju. Apa yang kupikirkan kemarin bahkan aku sendiri tidak mengerti sekarang. Dan aku juga tidak mau mengerti.

Sudah cukup, aku hanya perlu mengakhiri perasaan ini. Aku ingin jadi normal. Dan saat aku berpikir ingin jadi normal, saat itu juga bayangan wajah Gakuko kembali terlintas di benakku. Raut wajahnya yang datar tapi bibirnya melengkung dan membentuk senyuman. Dan itu mengganjal pikiranku. Selama perjalanan ke sekolah pikiranku kosong. Atau malah terlalu penuh. Tapi penuh pun juga hanya satu masalah yang terus berputar-putar sejak tadi. Antara Gakupo, aku, dan sekarang Gakuko. Gakuko. Memang mirip Gakupo, jelas, dia adiknya. Tapi ada perbedaan yang jelas. Walaupun aku tidak tahu apa yang beda selain fisik dan jenis kelaminnya.

Begitu sampai di sekolah, entah bagaimana caranya aku tidak terlambat. Aku langsung masuk ke kelasku dan duduk di bangkuku. Aku sebenarnya cukup populer di sekolah. Terutama di kalangan murid perempuan. Seorang gadis berambut merah jambu dengan iris azure-nya langsung mendekatiku, dia menyerahkan sebuah buku catatan. Aku menatap gadis itu sedikit lebih lama, kalau tidak salah dia satu kelas denganku. Oh, aku ingat. Megurine Luka. Aku sering diledek teman-teman sekelasku supaya pacaran dengan gadis cantik yang kini berdiri di hadapanku ini.

Sebenarnya Luka sangat cantik, dan dia oppai. Aku cukup tertarik padanya, setelah satu gadis lain lagi yang berambut kuning keemasan dengan iris blue marine-nya yang sama denganku. Kagamino Rin. Kakak kembar Lenka. Dan adik kembar Rinto. Tiga saudara kembar, aku jadi ingin merasakan rasanya punya saudara. Aku membuka buku catatan yang diberikan Megurine dan menaikkan sebelah alisku.

"Sudah tiga hari kau tidak masuk sekolah, jadi ada beberapa catatan yang tertinggal. Aku sudah mencatat semuanya, kau salinlah pelan-pelan," ujar Megurine sambil tersenyum. Aku jadi tidak mengerti, kenapa semua perempuan yang bicara denganku harus sambil tersenyum? Apa otot wajah mereka tidak pegal tersenyum begitu terus? Aku tahu antara tersenyum dan cemberut lebih membutuhkan kerja otot lebih banyak kalau cemberut, tapi tetap saja menurutku tersenyum itu lebih pegal daripada cemberut.

"Apa aku tidak masuk selama itu?" tanyaku kemudian memasukkan buku catatan Megurine ke dalam tas-ku. Aku tidak tahu ternyata aku pingsan selama dua hari.

"Kau masuk rumah sakit setelah pingsan di tengah badai salju itu. Kau harus diinfus, apa kau tidak ingat sama sekali?" jawab Megurine lalu duduk di bangku di depanku.

"Tidak," aku berkata singkat. Apa chichioya yang membawaku pulang ke apartemen lalu melepas infus-ku sebelum aku sadar? Berani benar dia. "Apapun itu, aku tidak peduli. Toh sekarang aku sudah sadar, dan sudah masuk sekolah. Terimakasih banyak atas catatannya."

Megurine tersenyum dan mengangguk kecil. Wajahnya yang putih bersih membuat rona merah di wajahnya jadi sangat kentara. Dia lalu bangkit dan pergi, bahkan dari belakang aku bisa melihat telinganya yang sekarang ikut memerah. Yah, bukan salahku. Aku tahu aku memang terlalu tampan, walau kebanyakan orang menyebutku shota.

Tapi julukan apapun yang mereka berikan padaku itu tidak mengubah kenyataan kalau memang para penggemarku banyak. Dan tidak kalah banyak dari penggemar Gakupo. Oh, bicara tentang Gakupo, takdir seperti bekerja sama dengan chichioya. Gakupo satu tahun lebih tua dariku, jadi dia ada di kelas 2. Kalau ada pepatah 'like father like son',itu tidak berlaku padaku.

Aku sama sekali berbeda dengan chichioya. Aku melirik ke arah Kagamino bersaudara. Berhubung ada dua perempuan dari ketiga bersaudara itu, aku selalu langsung memanggil nama mereka. Dan bukan berita baru lagi kalau Lenka dan Rin sama-sama naksir padaku. Bukan hanya mereka berdua sih, hampir setengah sekolah.

"Len, kau sudah baikan? Dua setengah hari kau di rumah sakit kan?" sapa Rinto begitu menangkap pandanganku.

"Begitulah," aku mengangguk singkat, "Tidur selama tiga hari bisa membuatku gila."

"Tapi bahkan kau tidak sadar kau sudah tidur selama itu," tukas Rinto kemudian terkekeh pelan, "Megurine-chan sudah memberimu catatan ya?"

"Memang kenapa?"

"Kasihan Lenka dan Rin tuh, mereka juga sudah membuatkan catatan untukmu, tapi keduluan sama Megurine-chan sih. Yah, itu salah mereka juga karena lamban."

"Kau memihak yang mana?"

"Hah?" ulang Rinto dengan raut wajah terkejut. "Apa? Memihak siapa dan untuk apa?"

"Kedua adik kembarmu itu kan dua-duanya sama-sama menyukaiku, kau lebih mendukung yang mana? Rin atau Lenka?" ujarku sambil tersenyum nakal.

"Payah kau Len!" seru Rinto lalu mengacak-acak rambutku, "Aku tidak mendukung yang manapun. Aku mendukung mereka berdua, itu saja. Kau sendiri? Lebih memilih mana antara Megurine, Rin, dan Lenka? Yah, walaupun sepertinya kau akan memilih Megurine. Dia cantik dan oppai sih." Rinto tersenyum lebar sambil menunjuk Megurine yang kini asyik berbincang-bincang dengan Hatsune-san. "Atau kau malah tertarik dengan Hatsune Miku-chan?" lanjut Rinto.

Aku langsung menoleh pada Rinto. "Aku tidak memihak yang manapun, aku tidak tertarik untuk jatuh cinta. Itu saja," jawabku cepat kemudian langsung mengambil catatan Megurine dan menyalinnya. Lebih baik cari kesibukan dari pada ditanya-tanya sama Rinto terus.

Aku sudah tidak mau jatuh cinta lagi, karena cintaku yang sekarang saja belum berhasil aku lenyapkan. Cinta yang sempat membuat hidupku jadi lebih berwarna, orang yang sempat membuatku kembali berkeinginan untuk hidup, kini semuanya lenyap sudah. Aku kembali pada duniaku yang sebelumnya, duniaku yang dingin dan sepi. Di mana jiwa dan nyawa tidak ada harganya lagi. Begitu bel pelajaran berbunyi, itu seperti sebuah bunyi yang membawaku pada keselamatan sementara. Aku suka kalau pelajaran dimulai, hanya saat pelajaran dimulai aku punya tujuan hidup.

"Maaf, ini, dari Kagamino-san," tiba-tiba anak di sebelahku menepuk pelan punggungku dan memberiku secarik kertas yang dilipat-lipat. Nah, ini yang tidak kusukai. 'Kagamino-san'. Ada tiga 'Kagamino-san' di kelas ini. Jadi 'Kagamino' mana yang anak sebelahku ini maksud?

Aku mengangguk pelan lalu berkata setengah berbisik, "Arigatou ne." Sekarang sedang tengah pelajaran, agak beresiko sebenarnya.

Aku lalu membuka kertas itu. 'Maaf, agaknya aku kelewat saat menanyaimu ya? Tapi tenang saja, kau percaya padaku kan? Kalau ada masalah silahkan bicarakan padaku. Dan kalau mau cari pacar jangan lupa ajak-ajak aku.' Apa itu? Cara berpikir Rinto memang aneh. Aku tidak mau jatuh cinta sampai cintaku yang kali ini lenyap tanpa sisa sedikitpun. Hanya itu saja yang kuinginkan. Aku menoleh ke arah Rinto dan Rinto menangkap pandanganku. Dia tersenyum agak canggung dan aku tersenyum lebar sambil mengacungkan jempolku. Aku harus menghargai seseorang yang menghkhawatirkanku kan? Tapi aku tidak akan pernah menghargai orang tuaku. Salah? Aku tahu, tapi aku malas memperbaikinya.


Saat istirahat, aku sedang merenung sambil berjalan. Aku tahu aku harus menghindari Gakupo sebisa mungkin, tapi aku ingin melihat keadaannya sebentar. Jadi aku pergi ke kelas 2, kelas 2-3 tepatnya. Saat aku mengintip ke dalam kelas, tampak Gakupo sedang duduk dan berbincang-bincang dengan... Aku menyipitkan mataku, walaupun tanpa perlu disipitkan aku langsung tahu siapa dia. Gakuko? Apa yang dia lakukan di kelas Gaku—oh ya, dia adiknya. Aku lupa.

Tak lama Gakupo berdiri lalu mengajak Gakuko keluar kelas. Keluar kelas!? Argh! Aku harus sembunyi. Setelah kuperhatikan, sepertinya Gakupo mengajak Gakuko ke atap sekolah. Heh? Untuk apa mereka ke sana? Oke, aku tahu ini tidak baik, tapi aku merasa harus mengikuti mereka. Maaf Gakupo, aku tahu menguntit tidak baik tapi ini terpaksa.

"Kau yakin tidak apa-apa? Kalau kau mau kau bisa pulang ke rumah kapan saja," ujar Gakupo setelah berada di atas atap.

Gakuko kembali tersenyum, sama seperti saat dia tersenyum padaku. "Tidak apa-apa, sungguh. Mengubah Len-kun supaya tidak jadi seorang yaoi lagi itu sebuah usaha yang bagus, dan aku ingin untuk terakhir kalinya aku—"

"Wakarimashita," potong Gakupo dengan cepat tapi tenang, "Kalau kau memang mau melakukannya, aku akan mendukungmu. Kalau kau ada yang mau diceritakan... ceritakan saja. Aku akan mendengarkannya."

"Aku... senang sekali rasanya kalau Len-kun nanti bisa jatuh cinta pada seorang gadis. Aku tidak sabar melihatnya," hanya itu yang dikatakan Gakuko, kemudian dia pergi.

Aku kembali bersembunyi dan terdiam. Apa sebenarnya Gakupo tidak setuju Gakuko tinggal bersamaku untuk merubahku? Lagipula, orang tua Gakuko juga agaknya rada-rada, masa membiarkan anak perempuan satu-satunya tinggal berdua dengan laki-laki yang tidak ada hubungan darah? Dan belum menjalin hubungan sama sekali. Berteman pun belum. Aku menyandarkan diriku di tembok dan menghela nafas tipis, mataku mulai menerawang. Apa yang sebenarnya dipikirkan chichioya, apa yang sebenarnya dipikirkan keluarga Kamui terlebih Gakuko, dan apa yang Tuhan rencanakan. Tidak satupun yang aku tahu. Aku hanya tahu kalau sekarang aku bingung, dan hanya perlu menjalankan takdir.

"Apa yang anak itu pikirkan," gumam Gakupo kecil. Aku mengintip sedikit dan aku agak tercengang. Gakupo benar-benar terlihat frustasi, raut wajahnya seolah mengatakan bahkan dia tidak tahu harus berpikir mulai dari mana. Maaf Gakupo, tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Semua ini kehendak adikmu, dan orang tuamu. Dan orang tuaku juga tentunya. Aku hanya bisa menerima.

Aku lalu turun dari atap perlahan dan pergi ke atap gedung timur. Di sana tempat yang paling sepi, dan aku suka tidur di sana. Begitu aku naik ke atas dan sampai di atap, aku langsung bersandar di pagar pembatas. Tiba-tiba mataku menangkap suatu sosok, helaian rambut berwarna violet kemerahan. Tunggu, masa itu Gakuko? Dia-dia-dia baru saja turun dari atap masa- perempuan kan jalannya lambat. Aku memutuskan untuk mendekatinya dan memastikan kalau itu memang Gakuko. Dan memang dia.

"Kau selalu ke sini?" tanyaku dan itu membuatnya langsung menoleh ke belakang. Mungkin dia kaget, tapi raut wajahnya tidak menunjukkan demikian.

"Begitulah," jawabnya lembut sambil tersenyum, "Len-kun sendiri? Pasti suka sekali dengan tempat ini kan? Atap gedung timur tempat yang paling sepi, entah kenapa. Tempat yang sempurna untuk bersenang-senang dan melepas pikiran yang membuat kepala penat. Tempat yang indah... dan menyenangkan. Semakin sepi tempat itu semakin damai dan menyenangkan rasanya. Apa kau berpikiran sama? Len-kun?"

Aku menatapnya datar yang sedang menerawang menatap langit. Aku tidak mengerti jalan pikirannya, tapi dari cara bicaranya aku yakin kalau dia sedang kesepian. "Ya," aku menjawab pelan, lalu ikut menelusuri pikiranku. Aku berdiri di sebelahnya dan melirik sedikit ke gadis berambut violet kemerahan di sebelahku ini. Matanya kosong, dan raut wajahnya datar tapi dia tersenyum. Senyum yang datar dan tawar. Aku yakin dia tidak sadar aku ada di sini.

"Len-kun, apa ada orang yang kaucintai?" tanyanya tiba-tiba. "Selain aniki tentunya." Dia buru-buru melanjutkan kalimatnya.

Aku terkekeh pelan melihat sikapnya. Bagaimanapun dia bukan robot yang bekerja sesuai perintah. Dan dia orang yang akan membantuku, jadi mungkin hanya padanya aku memberi tahu. "Aku belum mencintai. Hanya saja, kupikir aku akan jatuh cinta pada Megurine Luka kalau aku normal."

"Bukan 'kalau' kan? Kau memang normal. Hanya saja karena suatu alasan kenormalan-mu itu kalah oleh rasa sakit hati atau putus asa, hingga kau jadi abnormal. Aku tahu asumsi-ku aneh sekali, tapi... Kau memang pernah jatuh cinta pada Luka-chan kan? Senpai?" Gakuko masih menatap lurus ke depan dengan datar namun bibirnya tidak berhenti membuat senyuman.

Aku mengepalkan tanganku, entah kenapa kalimatnya itu membuat dadaku jadi terasa sakit. "Apa yang kau tahu tentangku? Kau baru saja bertemu denganku, apa yang telah kau ketahui? Kau baru saja menginterogasi Gakupo untuk memberimu informasi tentangku?" semburku mulai bercampur dengan emosi. Kepalaku mulai senat-senut dan perasaanku mulai tidak nyaman, aku merasa kesal.

"Aku... tahu begitu saja. Detailnya tidak, hanya tahu begitu saja. Aku sendiri tidak begitu mengerti. Karena kacau, kau berpikir kalau kau jatuh cinta pada aniki, sampai akhirnya benar-benar jatuh cinta. Tapi itu salah. Seharusnya kau mencari target lain dan seharusnya perempuan yang kau jadikan 'korban' salah paham. Karena sekarang kau sendiri yang susah kan?" Gakuko kembali berbicara. Dan entah kenapa setiap kalimatnya selalu membuatku kesal, lalu marah.

Aku langsung mencengkeram pundak Gakuko dengan kuat dan memaksanya berhadapan denganku. Aku mendorongnya ke pagar pembatas sampai punggungnya menabrak pagar pembatas. Aku tersenyum sinis dan menatapnya kesal. "Kau berbicara seolah kau tahu segalanya tentangku. Dan daripada itu, kau bicara juga seolah kau sudah pernah jatuh cinta saja. Atau... kau memang pernah? Padaku? Karena itu kau menyetujui rencana chichioya dan rela menjadi 'alat' untuk mengembalikanku jadi normal? Iya? Karena itu kau tadi menceramahiku seperti tadi. Kau ingin seharusnya kau yang jadi 'korban' salah paham? Dan bukannya kakakmu? Iya begitu? Karena itu sekarang diam-diam kau senang karena bisa bersama dengan orang yang kau inginkan?" Aku terus berbicara sambil mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Sampai tinggal satu inchi lagi. Tapi dia tetap tidak bereaksi.

Dia tidak terlihat takut, kaget, gelisah, ataupun tersipu malu. Dia menatapku datar, seolah dia benar-benar robot yang diperintahkan untuk mengawasi dan 'menyembuhkan'ku. Dan dikendalikan. Lalu dia tersenyum lagi, sama seperti sebelumnya. Senyuman yang tawar. "Aku sama sekali tidak berpikir seperti itu. Aku ingin membantumu karena memang itu keinginan hatiku. Dan aku memang tahu tentangmu, semuanya. Walaupun Len-kun tidak tahu tentangku itu bukan berarti aku tidak tahu tentang Len-kun kan? Dan aku memang ingin bersama orang yang kucintai, tapi aku tidak bisa."

"Dia sudah punya pacar?" tanyaku setelah lebih tenang. Tapi aku masih belum menjauhkan jarakku dengannya.

Dia menggeleng pelan. "Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa-apa tentangnya dan juga tidak mau tahu," Gakuko berkata dengan kalemnya.

Jantungku seperti tertusuk ribuan jarum atau bahkan meledak ketika mendengarnya. Selalu, kata-katanya selalu membuatku kesal dan ingin melakukan sesuatu yang buruk padanya. Kemudian aku tersenyum dengan liciknya. "Kalau begitu, artinya kau sudah menyerah kan? Dengar, kau akan membantuku jadi normal kan? Siapa tahu kalau aku berciuman dengan seorang gadis itu akan mengembalikanku jadi waras. Benar begitu kan? Gakuko-chan?"

Dia masih menatapku datar dengan senyum anehnya. "Kau harus berciuman dengan orang yang kau cintai, Len-kun. Karena itu kau harus berjuang mendapatkan Luka-chan," ujar Gakuko pelan.

"Tidak apa, kalau untuk 'penyembuhan' dengan siapa saja bisa. Dan aku inginnya denganmu. Kau jangan pernah berpikir aku laki-laki baik-baik, karena kenyataannya seratus delapan puluh derajat berbeda. Apa kau belum pernah mendengar kalau aku ini playboy akut?" balasku lalu semakin mendekatkan bibirku pada bibirnya.

Gakuko tidak bereaksi, dan dia masih tersenyum. Dia lalu berkata, "Kalau begitu, baiklah. Toh ini untuk kesembuhanmu juga kan? Aku tidak keberatan kalau begitu. Tapi aku tahu, kau sama sekali bukan seorang playboy, Len-kun. Kau hanya sedang kacau, itu saja."

Aku tidak sanggup lagi. Dia berkata begitu sambil tersenyum dengan mata terpejam. Apa yang dia pikirkan? Memang dia anggap apa dirinya sendiri? Aku tahu sebenarnya Gakuko bukan tipe perempuan gampangan. Aku langsung menjauhkan diriku darinya, permainan sudah berakhir. "Apa kau benar-benar akan merelakan segalanya hanya karena 'perintah'?"

"Aku... punya impian, Len-kun. Aku selalu menjaga impian itu, apapun yang terjadi. Dan salah satunya adalah aku hanya mau dicium oleh orang yang kucintai dan mencintaiku. Len-kun, hidupmu mungkin tidak seindah dulu, tapi hidupmu terus dan akan terus berlanjut kan? Karena itu, nikmatilah apa yang sekarang ini ada, dan lupakan apa yang telah berlalu. Hidup itu mudah dan simpel—"

"Kalau kau tidak punya tujuan," lanjutku memotong kalimatnya dengan dingin. "Bicara denganmu membuat perutku mual, Gakuko. Pulang nanti aku mau makan pasta makaroni panggang, siapkan sebelum aku pulang. Kau 'robot' kan?" Lebih baik aku segera menjauh darinya atau aku benar-benar akan tersulut oleh kata-katanya dan benar-benar melakukan sesuatu yang buruk padanya.

Sejenak tidak ada sahutan, tapi kemudian angin berhembus pelan bersamaan dengan suaranya yang mengatakan, "Ya." Aku hampir tidak percaya dengan apa yang telah kudengar, dan apa yang telah terjadi.

Begitu bangun dari tidur panjangku, sosok yang pertama kali kulihat adalah sosok yang kucintai secara terlarang. Kemudian aku tidur lagi, sampai esok paginya sosok itu hilang dan yang ada adalah seorang gadis yang mirip dengannya yang ternyata adalah adiknya. Gadis itu manis, tapi aneh. Dia selalu tersenyum, tapi senyuman itu selalu terpampang di wajah yang datar dan dengan tatapan kosong. Dia melakukan apa saja kalau diperintah, benar-benar seperti robot. Padahal bukan perempuan gampangan, tapi seolah seperti dirinya sudah tak ada artinya lagi. Seolah dia hidup hanya untuk diperintah. Oleh siapapun. Dan untuk apapun.


"Oi, Len! Dengar deh, ada acara bagus buatmu. Festival kebudayaan sekolah sebentar lagi kan? Dan kau pintar menyanyi, jadi—"

"Aku tidak mau menyanyi atau apapun itu," aku langsung memotong kalimat Rinto dengan tajam, "Aku tidak bisa bernyanyi dalam keadaan aku tidak mau bernyanyi. Aku juga tidak mau melakukan 'acara tanda tangan', atau sejenisnya. Aku hanya mau jadi pengunjung di festival kebudayaan nanti."

"Len-kun, bukankah baik kalau kau bernyanyi di saat gundah begini? Kau bisa mengeluarkan perasaanmu yang mengganggu dengan bernyayi kan? Akan kupilihkan lagu yang cocok nanti," tiba-tiba Gakuko ikut nimbrung dan tiba-tiba juga dia sudah berada di antara aku dan Rinto. Sekolah sudah bubar, seharusnya dia juga sudah pulang kan? Dan yang lebih penting, sejak kapan dia ada di sini?

"Hem, kau manis juga kalau dilihat-lihat. Aku Kagamino Rinto, teman sekelas Len. Siapa namamu?" Rinto langsung tersenyum lebar pada Gakuko dan mengulurkan tangannya.

Gakuko membalas senyuman Rinto, dan kali ini sebelumnya kupikir aku salah lihat.

"Namaku Kamui Gakuko, di kelas 3-2, gedung SMP. Senang berkenalan denganmu Kagamino-kun," Gakuko menyambut uluran tangan Rinto dengan senyuman yang berbeda, senyuman yang memang senyuman, bukan senyum tawar yang terpampang di wajah yang datar. Dan aku sadar, aku tidak suka Gakuko seperti itu.

"Oi, Gakuko. Bukannya harusnya kau sudah pulang?" seruku sekaligus mengganggu keasyikan mereka berdua. Biarin.

Gakuko menoleh padaku, dan kali ini dia masih tersenyum yang sama seperti pada Rinto. "Eh? Sebentar lagi aku akan pulang, aku hanya mau membantu Len-kun sedikit lagi. Len-kun ikut tampil saja, aku yang akan memilihkan lagu dan melatihmu. Kalau menyanyikan lagu yang sesuai dengan suasana hati, perasaan bisa jadi lega, lho," ujarnya lembut sambil tersenyum lebar. Dan kali ini memang mataku tidak salah lihat. Dia memang benar-benar tersenyum, dan raut wajahnya juga menunjukkan demikian.

Rinto langsung tersenyum penuh arti padaku dan aku tahu apa artinya. "He, Gakuko-chan, sepertinya kau sangat memperhatikan Len, ya? Kau siapanya Len?"

Gakuko menatap Rinto sebentar dengan tatapan datar, kemudian dia kembali tersenyum, seolah dia memang robot yang sudah diprogram. "Aku bukan siapa-siapanya Len-kun." Dia menjawab dengan ringan.

Rinto mengangguk-angguk mengerti, kemudian dia menjentikkan jarinya. "Ah, kalau kau jadi pacarku, mau tidak?"

Aku menaikkan sebelah alisku. Astaga Rinto, kau baru bertemu Gakuko sekitar lima menit yang lalu, lho? Apa yang kau pikirkan sih?

"Maaf. Tapi kau tidak mencintaiku, dan aku juga tidak mencintaimu. Kagamino-kun, bukankah orang yang ingin kau miliki selalu berada di dekatmu? Apa kau tidak sadar?" ujar Gakuko lembut sambil menenglengkan sedikit kepalanya.

Aku dan Rinto langsung menatap kaget pada Gakuko. Oh, aku tahu. Dia tidak hanya mengetahui tentangku, dia juga tahu tentang Rinto? Apa jangan-jangan sebenarnya dia itu penguntit? Tidak-tidak... bukan tipenya kan? Tapi sepertinya apa yang dikatakan Gakuko memang benar, wajah Rinto langsung memerah dan dia seperti salah tingkah. Aneh, siapa atau mungkin tepatnya 'apa' Gakuko itu?

"Aku akan pulang," kata Rinto kemudian langsung mengambil tas-nya dan keluar kelas sambil tersenyum padaku.

"Rinto, aku akan tampil," seruku sebelum dia benar-benar keluar kelas. "Temanya bebas kan?"

Rinto tersenyum semakin lebar dan mengangguk, kemudian dia pergi. Sudah kuputuskan, Gakuko pasti mengetahui lebih dari apa yang orang-orang tidak tahu. Dan dia memang ingin membantuku untuk jadi normal kan? Jadi apa yang dia sarankan, pasti untuk kesembuhanku. Mau tidak mau aku harus bisa mempercayainya, mulai sekarang.

Tiba-tiba pikiranku kembali tertuju pada percakapan di atap tadi. Aku tersenyum sinis dan mendengus pelan. Mengejar Megurine, hah? Yah, semirip apapun dengan robot, dia bukan robot kan? Buktinya dia belum tahu tentang Megurine, dan alasan kenapa aku tidak mengejar Megurine bukan hanya karena aku belum normal. Aku juga ikut berdiri, dan baru saja mau mengajak Gakuko untuk pulang. Tapi entah bagaimana caranya dan sejak kapan, dia sudah tidak ada di kelas lagi.

Yeah, aneh memang. Tapi, jujur saja. Aku sih tidak takut, tidak begitu takut. Sekalipun dia bukan manusia, itu tidak masalah. Selama dia bisa membuatku jadi normal dan bukan yaoi lagi, siluman-pun akan kuterima. Aku segera keluar kelas dan pulang, ke apartemenku. Pikiranku setengah melayang-layang selama perjalanan pulang, dan kakiku melangkah begitu saja dengan ringannya.Chichioya dan haha bisa dibilang hampir tidak pernah pulang ke rumah, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka, di luar negeri. Aku bahkan tidak tahu di mana mereka berdua sekarang, mungkin setelah pulang ke Jepang dan menjengukku yang pingsan lalu membawaku apartemennya, mereka langsung pergi lagi.

Bahkan aku tidak yakin kalau mereka menyayangiku. Kalau sayang, kenapa pergi terus? Aku tidak butuh uang yang banyak, semua itu tidak artinya kalau aku tidak mengenal apa itu kasih sayang. Ya, kasih sayang dari seorang ibu atau seorang ayah, aku tidak pernah mendapatkannya sejak masih kecil. Mungkin itu salah satu alasan kenapa hidupku bisa jadi sangat suram, dan tidak ada tujuan. Menyedihkan.


"Tadaima," seruku begitu sampai di apartemenku. Begitu pintu terbuka, aroma masakan mulai tercium. Yakin dia sudah selesai memasak? Dalam waktu singkat begitu?

"Okaeri Len-kun," sahut Gakuko yang langsung menyambutku, masih mengenakan seragam sekolah dan celemek.

Aku menatapnya bingung, lalu memiringkan badanku untuk mengintip meja makan. Makaroninya benar-benar sudah jadi. Aku menatap Gakuko dengan curiga, dia bukan siluman atau penyihir atau semacamnya kan? Walaupun tidak pernah memasak aku tahu memasak makaroni tidak cepat. Sekitar satu jam mungkin ada. Atau setengah jam. Aku hampir tidak pernah menyentuh dapur.

"Aku sudah memasak makaroni sebelumnya, dan sedang dimasak saat aku ke sekolah lagi. Memanggang makaroni membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima menit, sedangkan ke sekolah hanya memerlukan waktu sekitar lima belas menit. Bolak balik perjalanan setengah jam dan di sekolah tadi sekitar sepuluh menit. Cukup dan tidak akan membuat makaroni-nya gosong," jelas Gakuko dengan polosnya seolah tahu apa yang kupikirkan.

Aku mengangguk mengerti, kemudian mataku membulat sempurna. "Apa yang kau pikirkan, hah!? Meninggalkan oven menyala begitu sendirian—!? Bagaimana kalau terjadi konslet lalu kebakaran!? Tidak ada yang memadamkan! Astaga, jangan pernah meninggalkan masakan begitu saja, Gakuko!" bentakku kaget. Anak ini benar-benar aneh cara berpikirnya.

Gakuko masih menatapku, dia sama sekali tidak kaget. "Maaf, tapi sejak dulu aku selalu begitu. Dan tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi lain kali tidak akan kuulangi, gomennasai," kata Gakuko tenang seolah tak terjadi apa-apa, "Daripada itu, ayo makan. Setelah ini masih banyak yang harus dikerjakan. Mungkin memang aneh, tapi aku memang seperti robot yang diperintahkan. Kau bisa menceritakan semuanya padaku, lalu tinggal menyuruhku untuk menjaga rahasia itu seorang diri. Karena aku robot, aku tidak pernah bisa membatalkan apa yang telah diprogramkan padaku."

Aku tertegun mendengar kalimatnya barusan. Kudekati gadis itu dan kesentuh perlahan keningnya. Normal. Tidak panas, maksudku suhu tubuhnya normal. Lalu apa? "Kenapa kau berkata begitu? Bagaimanapun kau bukan robot, kan? Kau manusia. Sama sepertiku, kau manusia biasa," ujarku sedikit lebih lembut dari sebelum-sebelumnya. Rasanya tidak enak juga kalau sampai dia berkata begitu. Dia manusia. Dia bukan robot. "Daripada menganggapmu robot, aku lebih suka kalau aku mengganggapmu sebagai adikku. Boleh?"

Gakuko tertawa kecil dan menggangguk. Dia lalu berkata, "Kalau begitu aku akan memanggil Len-kun 'onii-san' mulai sekarang."

Setelah itu, kami makan malam berdua. Layaknya kakak dan adik. Dia hanya memanggilku 'onii-san', bukan 'aniki. Yah, itu sudah jelas. Dia bukan adik kandungku, dan… memang aku tidak bisa mendapat 'gelar' yang terlalu tinggi kan? Bagaimanapun juga aku bukan Gakupo, aku tidak bisa menjadi 'aniki'-nya Gakuko.

Sekalipun sekarang aku mulai ingin. Setelah 'kembali' dari alam lamunanku, aku melirik hati-hati ke arah Gakuko yang sedang makan. Gakuko, ya... Seharusnya dia pintar bermain musik, atau menyanyi, karena namanya 'Gakuko' kan? Yang artinya 'anak musik'. Aku memutar bola mataku sebentar.

"Gakuko, apa kau bisa bernyanyi atau main musik?" tanyaku.

Dia menggeleng. "Tidak. Aku tidak bisa bermain musik. Kalau menyanyi, aku mungkin bisa, tapi tidak tahu juga. Tapi kalau memberi saran, aku bisa. Nanti aku carikan lagunya ya, Onii-san?" jawab Gakuko sambil tersenyum lebar.

Seketika, dadaku terasa hangat dan aku merasa nyaman. Aku ikut tersenyum dengan lembut, untuk pertama kalinya. Aku lalu mengangguk dan kembali makan. Oh, aku tahu sekarang. 'Anak musik', itu maksudnya bukan hanya bisa bermain musik atau menyanyi, tapi mungkin karena sifatnya yang seperti musik. Membawa ketenangan bagi orang lain, dan membuat orang lain senang dan nyaman. Tapi kemudian aku teringat satu hal. Mata Gakuko yang menerawang saat di atap tadi.

Musik, sekalipun musik itu sedih tapi bisa membuat orang lain merasa tenang. Kesedihan itu membuat orang lain nyaman. Sama seperti Gakuko, kesedihannya yang dia sampaikan padaku bukan lagi berupa kesedihan, tapi sebuah rasa nyaman yang membuatku tidak sedih lagi. Sekarang aku tahu kenapa Gakupo terlihat bahagia, bukan hanya karena orang tua, tapi karena saudara. Punya adik seperti Gakuko, walaupun seperti robot tapi dia selalu berusaha membantu orang lain.

"Ada orang yang kau suka, Gakuko?" tanyaku lagi tiba-tiba saat sudah selesai makan dan membantu Gakuko mencuci piring.

Dia menatapku datar, kemudian menggeleng. "Aku tidak tahu," jawabnya. Benar-benar seperti robot.

Aku mendesah pelan. "Apa kau selalu menjawab 'aku tidak tahu' seperti itu setiap kali Gakupo bertanya padamu tentang hal pribadi?" tanyaku lagi.

Dia kembali terdiam, matanya menatap piring yang sedang dia cuci dengan kosong. "Tidak. Hanya saja, aku benar-benar tidak tahu apa saat ini aku sedang jatuh cinta atau tidak. Itu saja," ujar Gakuko lagi.

"Kalau menurutmu?"

Seperti biasa, butuh waktu buatnya untuk menjawab setiap pertanyaanku. Aku ikut diam dan menunggu jawabannya.

"Perasaan manusia itu bisa ditekan. Sebenarnya, perasaan manusia itu dikendalikan oleh otak. Misalnya, kalau kau terjatuh dan berpikir itu sakit, maka lukamu akan terasa sakit. Tapi kalau kau terus berpikir tidak sakit, maka luka itu rasa sakitnya akan berkurang, lalu lenyap sedikit demi sedikit. Karena kau putus asa kau terus berpikir kalau kau gila dan jatuh cinta pada ani-san, lalu kau akhirnya betul-betul jatuh cinta karena otakmu memerintahkan demikian. Tapi kalau sekarang kau mencari target baru dan terus berpikir kau menyukai gadis itu, maka kau juga akan menyukai gadis itu. Otak yang mengatur semuanya. Rasa sakit, rasa sedih, rasa marah, dan perasaan cinta. Karena itu, kau hanya perlu berpikir dan memerintah dirimu sendiri," ujar Gakuko datar dan sebenarnya tidak nyambung dengan apa yang kutanyakan, tapi sudahlah. Toh memang dia diperintahkan bukan untuk menjawab pertanyaanku yang tadi sepertinya.

"Kau aneh. Kau seolah seperti malaikat penjagaku, tahu segalanya tentangku. Juga tentang Rinto. Apa semua kata-katamu itu hanya khayalan dan karanganmu belaka, atau itu memang benar?" kataku akhirnya, aku tidak bisa terus-terusan penasaran seperti ini.

"Seharusnya kau sudah tahu sendiri apa jawabannya," jawabnya sambil tersenyum lebar. Tapi kembali terlihat tawar di mataku.

"Aku hanya memastikan," kataku lagi.

"… Aku... berbeda dari orang lain. Aku divonis tidak akan bertahan hidup lebih dari tujuh belas tahun arena penyakit leukimia-ku. Dulu lebih parah, tapi semenjak kelas 6 SD sudah lebih baik. Walaupun sampai sekarang belum ada tulang sumsum yang cocok dengan tubuhku, aku sama sekali tidak takut dengan kematian. Kupikir, kalau aku mati justru penderitaanku berakhir kan? Jadi aku hanya perlu menghabiskan waktu yang ada... sebaik mungkin, jawab Gakuko tenang sambil tersenyum tipis, tapi benar-benar sebuah senyuman, "tapi Tuhan adil. Aku diberi kemampuan khusus yang aku sendiri tidak tahu namanya. Yang tahu kemampuanku hanya ani-san. Aku bisa tahu perasaan orang lain yang sebenarnya seperti apa, apa yang dipikirkan orang itu sebenarnya, tanpa detail tapi aku mengerti jelas. Hanya saja, aku baru tahu kalau aku sudah berbicara dengan orang itu beberapa lama. Tidak tahu seperti informasi dalam buku, hanya mengerti saja. Papa dan mama tidak tahu soal ini, benar-benar hanya ani-san saja yang tahu. Dan sekarang kau juga, onii-san." Dia lalu menyelesaikan mencuci piringnya dan mengelap tangannya.

"Karena itu kau mau membantuku?"

"Hidupku sangat bahagia onii-san, sangat. Karena itu aku mau membagi kebahagiaanku padamu."

"Penyakitmu—"

"Akan sembuh," potongnya lembut, "Minggu kemarin saat aku check ke rumah sakit dokter mengatakan keadaanku membaik, dan ada kemungkinan sembilan puluh persen sembuh. Kemungkinan tidak sembuhnya hanya sepuluh persen, ajaib kan?"

Aku terdiam, tapi kemudian tersenyum lembut dan mengangguk. "Ya, itu keajaiban. Tapi aku tidak bisa jatuh cinta pada Megurine."

Kini giliran Gakuko yang terdiam. "Kenapa?" tanyanya lembut dan polos.

"Kau belum pernah bicara dengan Megurine?"

Dia menggeleng.

"Onii-chan-mu?"

"Sudah, tapi tak ada perubahan."

Aku menatapnya lembut, walaupun sedikit pahit. Aku ingin menceritakannya. Ya, hal yang membuatku sampai melenceng. Kupikir, itu bisa sedikit mengurangi bebanku. Gakuko masih menatapku dengan tatapannya yang datar tapi menuntut kalimatku yang selanjutnya. Aku terkekeh pelan. Pahit.

"Megurine Luka-chan sudah pacaran dengan Gakupo."

To Be Continued...

Mind to review, minna?