"Un-requited Love."

By : Amanda Lactis

Summary : Yoongi sudah terlalu lama menderita sampai lupa caranya tersenyum. Menjadi anak yang tidak pernah dianggap dalam keluarganya, mempercayai orang yang salah dan menangis seorang diri adalah kesehariannya. "Jangan menyerah sebelum tubuhmu hancur, Yoongi-a." "Kenapa aku tidak boleh mencintai kakak iparku sendiri?" MinYoon! Jimin x Yoongi. One-shoot. BTS Fanfiction.

.

.

.

Andai Yoongi bisa memilih untuk lahir dari keluarga manapun, maka ia berharap untuk tidak lahir menjadi putra kedua orang tuanya. Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudara, sementara dua yang lain bergelimang kasih sayang, ia harus mengemis mati-matian untuk membuat orang tuanya tersenyum. Ketidakadilan itu sudah berjalan selama sembilan belas tahun dia hidup. Pura-pura bersikap normal, pura-pura jika ia tak terluka, dan membohongi dirinya sendiri adalah keahlian yang Yoongi miliki. Dia bahkan sempat lupa, bagaimana rasanya bahagia? Bagimana rasanya mendapat kasih sayang seutuhnya? Apa dia harus seperti kakak sulungnya yang sukses menjadi dokter di Rumah Sakit ternama? Apa dia harus seperti adik perempuannya yang memukau dalam bidang atletik? Tapi nyatanya Yoongi tidak punya apa-apa selain kejeniusannya dalam hal musik. Dia memasuki bangku kuliah pun dan mendapat beasiswa penuh di Universitas ternama di Seoul saja kedua orang tuanya tetap acuh, hanya memberinya ucapan selamat dua hari kemudian. Apakah Yoongi harus bersedih? Apa dia berhak untuk menangis? Karena nyatanya lelaki berkulit pucat tersebut tetap memasang senyum tipis di wajahnya, meski kakak sulungnya memintanya bercerita, ia tetap bersandiwara.

Yoongi iri dengan Seokjin, kakak sulungnya yang memiliki ketampanan melebihi manusia lainnya, yang sukses menjalani study dan lulus sebagai Dokter Spesialis di usianya yang ke dua puluh dua. Yoongi iri dengan Yoonji, adik perempuannya yang cuek tapi sanggup memikat banyak orang hanya karena senyum manisnya. Dan Yoongi makin iri ketika kedua orangtuanya lebih memilih menemani Yoonji padahal saat itu dia sedang demam parah dan diharuskan bed-rest selama seminggu. Tapi sekali lagi, Yoongi tidak pernah protes. Dia hanya diam. Dia tetap bersikap kuat di depan banyak orang.

"Yoongi-a, mau aku belikan apa nanti?" Seokjin bertanya lembut, tangannya mengusap pelan surai platina adiknya. Yoongi setidaknya bersyukur memiliki kakak seperti Seokjin, dia tetap bersikap adil dan tidak pilih kasih seperti orang tuanya. Kadang Seokjin menemaninya seharian jika lelaki itu sedang cuti, mereka akan keluar dan menikmati hari dengan bahagia. Itulah saat-saat dimana Yoongi merasa berharga. Itulah saat Yoongi merasa bahwa ia bukan lagi manusia tanpa emosi.

"Bisa aku meminta kue seperti kemarin, Hyung?" ia membalas pelan, kedua tangannya sibuk menekan tuts keyboard yang dia beli dengan susah payah, hasil menabung selama dua tahun. Seokjin tersenyum, adiknya ini memang tak pernah meminta yang aneh-aneh, Yoongi selalu saja begitu, tidak mau merepotkannya. Yang ingin Seokjin tahu ialah alasan di balik perilaku kedua orang tuanya yang tak pernah baik kepada Yoongi. Apa kesalahan Yoongi sampai mereka bahkan enggan bertegur sapa dengan adiknya itu? Apa keberadaan Yoongi adalah sebuah kesalahan?

"Aku mengerti, kalau begitu aku berangkat dulu ne? Jangan lupa sarapan, Yoongi-a."

"Hati-hati, Hyung."

Seokjin mengangguk, ia berjalan menuju pintu kamar Yoongi dan menutupnya perlahan. Yoongi menghentikan gerakan jemarinya di atas keyboard, moodnya berubah seketika dan ia ingin menulis sebuah lirik lagu. Yoongi seorang mahasiswa jurusan Musik, semester tiga. Dia selalu membawa notes kemanapun dia pergi, jaga-jaga bila ia menemukan inspirasi untuk lagunya.

"Yoongi, buatkan aku makanan ya? Eomma lupa memasak tadi, ne ne? Aku kelaparan~" suara Yoonji melengking dan membuat Yoongi terpaksa menghentikan kegiatannya. Ia menghela nafas lelah, bangkit dan keluar untuk menutup mulut adiknya agar tidak semakin cerewet.

"Kau mau makan apa? Mie instan lagi? Hiduplah dengan sehat, Yoonji-a."

Yoonji merengut sebal, ia merebahkan tubuh mungilnya di atas sofa, bersiap untuk menyetel acara TV favoritenya. Sedangkan Yoongi mulai memasak meski hatinya sedikit tak rela. Berbeda dengan Seokjin, sikap Yoonji cenderung tidak sopan dan seenaknya. Mentang-mentang umur mereka hanya selisih setahun membuat gadis itu merasa tidak perlu memanggil Yoongi dengan sopan selayaknya adik pada umumnya. Tapi mau bagaimana lagi? Sikap Yoonji begitu karena dia terlalu dimanjakan, apapun yang dia minta selalu dipenuhi.

"Ini, ku buatkan kimbap, ambil saja kimchi nya di kulkas. Aku mau belajar."

Hampir saja Yoongi beranjak dari ruang tamu namun suara pintu terbuka menarik perhatiannya. Orang tuanya sudah pulang dari kegiatan berbelanja bulanan. Ayah nya menenteng belanjaan sementara ibunya menghampiri Yoonji, berjalan melewati dirinya seolah dia tak pernah ada. Sudahlah, Yoongi tidak apa-apa, dia sudah biasa diperlakukan begini tapi yang membuat hatinya menjadi lebih sakit ialah saat ibunya memuji Yoonji.

"Omo, lihat putri kita sayang, dia sudah pandai memasak rupanya."

Sakit. Tapi Yoongi mencoba bertahan.

"Haha, dia pasti menjadi istri idaman. Selain pandai dia juga serba bisa, iya kan? Tidak seperti kakaknya." Lirikan sinis ayahnya membuat Yoongi terkekeh kecil, kakinya berjalan menuju kamar tanpa menghiraukan denyut nyeri pada hatinya. Seharusnya Yoongi tahu, sekeras apapun usahanya, akan berakhir sia-sia. Seharusnya Yoongi sadar diri, dia bukanlah bagian dari keluarga ini, dia hanyalah anak kurang beruntung yang terlahir di dunia.

"Sudahlah, tidak ada yang perlu ku sesali, ini memang jalan hidupku." Yoongi bermonolog sambil membaringkan tubuhnya di atas ranjang, tatapannya menerawang memikirkan masa depannya kelak. Yoongi pernah memiliki angan, menjadi musisi terkenal dan membuktikan pada kedua orang tuanya jika ia bisa sesukses Seokjin. Yoongi juga pernah memiliki keinginan untuk bekerja agar tidak terus-terusan bergantung pada orang tuanya. Mengingat kembali perlakuan ayah dan ibunya membuat hati Yoongi sakit, bagaikan teriris namun tiada darah yang mengalir.

Yoongi menangis. Dia menangisi hidupnya yang terlalu menyedihkan. Dia menangis karena tak pernah bisa melampiaskan kekesalannya. Seberapa banyak luka yang ditorehkan di hatinya?

Tapi menyesali hidup juga bukan keinginannya. Tuhan masih berbaik hati karena Yoongi bisa memasuki jenjang kuliah, menikmati makanan enak dan mendapat perhatian dari kakaknya. Apakah itu tidak cukup? Yoongi tidak boleh tamak. Dia harus bersyukur. Ya, dia hanya perlu bersyukur. Biarkan Tuhan menulis ulang takdirnya dan menuntunnya pada jalan yang sudah ditentukan.

.

.

.

Tidak ada hari membahagiakan selain hari ini bagi Yoongi. Seokjin datang bersama seorang pria berpenampilan kasual dan mengaku ingin meminta restu dari ayah dan ibunya. Kakak sulungnya sudah menemukan pasangan hidupnya yang sejak dulu ia impikan. Yoongi tak tahu berapa lama dia menangis bahagia, melihat Seokjin yang memancarkan aura kebahagiaan sampai dia lupa kesedihannya sendiri. Tapi, Yoongi harus merelakan kakaknya itu. Seokjin pasti memutuskan pindah dari kediaman mereka dan hidup bahagia bersama lelaki bernama Kim Namjoon itu. Yoongi ingin bersedih, siapa lagi yang akan menghiburnya kalau bukan Seokjin? Siapa yang akan membelikannya kue? Dan siapa yang akan menenangkannya ketika dia mimpi buruk? Memikirkannya saja Yoongi ingin menangis. Tapi dia tidak boleh egois. Ini demi kebaikan Seokjin.

"Hyung, jangan lupa berkunjung." Yoongi mengusap tangan Seokjin, sedikit meremasnya untuk menyalurkan ketidakrelaannya. Namjoon yang paham gesture Yoongi mempersilahkan Seokjin untuk berpamitan sebelum mereka benar-benar meninggalkan rumahnya. Semua keperluan sudah dipersiapkan, sebuah rumah sederhana yang terletak agak jauh dari Rumah Sakit tempat Seokjin bekerja.

"Yoongi-a, ingat perkataan ku, ne? Kalau kau sudah terlalu lelah, kami siap menopangmu. Rumahku hanya berjarak lima kilo dari sini, dan akan selalu terbuka untukmu, mengerti?" Seokjin menatap sendu manik kelam adiknya, jauh di lubuk hatinya, dia pun enggan meninggalkan Yoongi sendirian dengan suasana rumah yang jauh dari kata baik. Tapi Namjoon memintanya untuk tinggal berdua untuk menjaga privasi mereka.

Yoongi merasakan air matanya mengalir membasahi pipinya. Ia memaksakan diri tersenyum. "Mianhae, Hyung. Aku memang adik yang merepotkan."

"Eii, kau itu adik yang paling manis dan baik sedunia, Yoongi-a. Baiklah, aku pergi dulu, ne? Jaga dirimu baik-baik." Seokjin mengacak pelan rambut Yoongi. Kakaknya itu sedang menghibur hatinya, kakak yang paling dicintai oleh Yoongi. Sosok yang selalu ada untuknya. Dan sosok itu kini meninggalkannya sendirian.

Yoongi tidak berhenti menatap kepergian Namjoon dan Seokjin, bahkan ketika Yoonji menyuruhnya untuk segera masuk karena udara dingin. Yoongi tetap di sana, di depan pintu rumahnya, meratapi kepergian sosok penting dalam hidupnya.

Dia masih di sana. Sendirian. Tangannya gemetar, namun tak pernah berkeinginan untuk beranjak dari tempatnya berpijak. Yoongi merasakan hatinya semakin sakit. Dia kesakitan.

.

.

.

Pernikahan Namjoon dan Seokjin berlangsung sederhana, hanya ada lima puluh orang yang diundang termasuk kerabat dan teman dekat dari kedua mempelai. Yoongi berdiri di sudut ruangan, menatap perih kakaknya yang terlihat begitu memukau dengan balutan jas formal berwarna peach, warna kesukaannya. Ayahnya mengobrol dengan keluarga Namjoon, di sampinya berdiri sang ibu yang merapikan rambut kelam Yoonji. Mereka tampak seperti keluarga yang harmonis, dan bagaimana kedua orang tuanya membanggakan kedua anaknya begitu menohok benak Yoongi. Sesaat tatapannya berpaku pada Seokjin, pria itu tersenyum manis dan Yoongi membalasnya dengan sedikit kepalsuan.

"Aku sudah dengar dari Seokjin mengenai kondisimu, Yoongi-a." Suara Namjoon memecahkan konsentrasinya. Yoongi menoleh, calon suami kakaknya mejadi dua kali lipat tampan. Tubuhnya dibaluti jas berwarna hitam dengan tatanan rambut elegan. Yoongi tersenyum tipis, kakinya bergeser satu meter saat Namjoon hendak mendekatinya.

"Hm, benarkah?" sahut Yoongi pelan. Tangannya meremat bagian bawah jasnya, ketika ibunya menatap tajam dirinya yang terlihat begitu akrab dengan Namjoon. Bahkan mereka takut aku merebut calon kakak iparku sendiri, tambah Yoongi dalam hati. Namjoon yang melihat sikap Yoongi justru menjadi lebih simpatik. Apa yang diceritakan kekasihnya ternyata benar-benar terjadi dalam hidup Yoongi. Bagaimana kedua orang tuanya berlaku keras dan sinis padanya, bagaimana mereka tega meninggalkan Yoongi kecil yang kala itu sakit, dan bagaimana Yoongi yang entah bagaimana masih terlihat kuat. Atau memang dia sudah terlalu lelah?

"Jangan berhenti."

Yoongi jelas tidak paham maksud Namjoon. "Maaf, apa?"

Namjoon tersenyum, menampilkan lesung pipinya yang menambah kesan tampan.

"Jangan berhenti sebelum tubuhmu hancur, Yoongi-a. Kau bisa bercerita padaku."

Setelah mengucapkan kata-kata manis itu, Namjoon berjalan menghampiri Seokjin, membisikkan sesuatu yang membuat kakaknya itu tertawa kecil dan memandang kearahnya.

"Yoongi, apakah itu sakit?" sekarang giliran Yoonji menarik perhatiannya. Adik perempuannya cantik seperti biasa. Gaun berwarna violet yang mencapai lutut dan aksen bunga tulip di bagian bawah gaunnya benar-benar cocok pada tubuh Yoonji. Tapi yang membuat Yoongi heran adalah pertanyaan yang ditujukan untuknya.

"Maksudmu?"

Yoonji menyipitkan matanya, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah memastikan tidak ada yang mendengarnya. "Apa perlakuan eomma dan appa terasa menyakitkan bagimu?" suara Yoonji terdengar iba, bercampur tulus yang menyinggung hati Yoongi.

"…."

"Apa semenyakitkan itu sampai kau harus berpura-pura? Yoongi, ayo beri tahu aku."

Yoongi tidak mengerti. Sejak kapan Yoonji harus peduli? Dia tidak mengerti sikap adiknya itu. Bukankah lebih baik mereka bersikap seperti biasanya? Acuh dan saling mengabaikan? Untuk apa memperbaiki hubungan yang sudah berantakan?

"Dengarkan aku, Yoonji-a, aku tidak tahu siapa yang memberitahumu mengenai hal-"

"-Oppa, apa aku juga pernah menyakitimu?"

Ini pertama kalinya Yoonji memanggilnya dengan nada setulus dan selembut itu selama delapan belas tahun gadis itu hidup. Pertama kalinya tatapan Yoonji tidak lagi sinis dan galak. Dan untuk pertama kalinya Yoongi merasa senang melihat perlakuan Yoonji yang perlahan berubah padanya.

"Yoonji-a, kau tidak pernah menyakitiku. Perlakuan eomma dan appa tidaklah seburuk itu, mengerti?"

Tapi Yoonji tidak akan percaya dengan kebohongan kecil seperti itu. Lihatlah, kedua bola mata Yoonji menunjukkan jika ia ragu akan perkataan Yoongi. Yoonji memang hebat, dia berbakat menjadi seorang Psikiater suatu saat nanti, kemampuannya dalam mendeteksi kebohongan seseorang tidak pernah diragukan.

"Aku tidak sengaja mendengar percakapan Namjoon-hyung dan Seokjin-hyung beberapa hari yang lalu. Awalnya aku tidak mempercayainya dan mencoba tidak peduli, tapi melihat mu yang seperti ini…." Yoonji tak melanjutkan kata-katanya tapi Yoongi paham masud adiknya itu. Ia mengusap pelan surai kelam Yoonji, menghantarkan rasa hangat pada nya. Yoonji menikmati setiap sentuhan dari Yoongi, sudah lama sekali mereka bersikap seperti halnya kakak dan adik normal lainnya. Ah, Yoonji janji akan bersikap lebih baik mulai sekarang. Mungkin dia terlambat beberapa tahun, tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

"Kau boleh bercerita padaku, Yoongi. Sungguh, adik macam apa aku ini?"

Yoongi tak tahan dengan sikap Yoonji akhirnya memeluk erat adiknya itu. Sebelum gadis itu sempat membuka mulutnya, bisikan dari Yoongi sanggup membuat hatinya lebih tersakiti.

"Keberadaan ku adalah sebuah kesalahan, Yoonji-a."

Setelah membisikkan kata-kata itu, Yoongi kembali mengusap rambutnya, berjalan menjauhi keramaian. Yoongi tidak kembali bahkan sampai pesta pernikahan Seokjin berakhir. Yoongi seolah menyembunyikan dirinya dan bersedih sepuas yang dia bisa. Yoonji tidak pernah merasa bersalah sebelumnya, perlakuannya terhadap kakak keduanya itu benar-benar buruk. Ketika ia merengek minta ditemani bermain dengan kedua orang tuanya yang pada saat bersamaan Yoongi tengah demam parah dan butuh perhatian ekstra, ketika ia memaksakan kehendaknya untuk bertukar kamar dengan Yoongi yang kala itu sibuk memikirkan Ujian, dan ketika kedua orang tuanya lebih membanggakan dirinya di depan banyak orang padahal yang menonjol pada dirinya hanyalah kemampuan nya dalam bidang Olah Raga. Yoonji tidak mengerti. Yoonji sama sekali tidak memahami sikap tegar Yoongi yang masih bertahan selama sembilan belas tahun.

"Nona? Hei nona, kau baik-baik saja?" suara seorang lelaki ia abaikan, Yoonji berjalan lesu, sesekali hampir menabrak orang lain namun sebuah tangan berhasil menyelamatkannya. Dia tidak peduli, dan terus berjalan, Yoonji bahkan tidak mengetahui nama pemuda yang sudah menyelamatkannya.

"Yoongi-a, untuk apa bertahan bila hatimu saja sudah hancur?"

Yoonji tersenyum, meski mendapat banyak perhatian dari lawan jenis, karena mala mini dia tampak sangat cantik, dia tidak sedikitpun ingin membalas atensi yang diberikan. Ketika ibunya menanyakan keadaannya diiringi raut wajah khawatir, Yoonji tetap tersenyum. Senyumnya tidak berkesan jika ia bahagia, karena jauh di dalam hatinya, Yoonji benar-benar ingin mengejar Yoongi. Dia ingin menghentikan Yoongi. Dan kalau bisa, Yoonji ingin sekali saja, agar Yoongi menampakkan emosinya yang sesungguhnya. Kalau Seokjin boleh memintanya bercerita, kenapa Yoonji tidak?

'Kumohon berhentilah, Oppa.'

.

.

.

Kuliah pagi agaknya membebani Yoongi, dia bangun kesiangan lantaran semalam begadang hingga pukul dua dini hari. Pernikahan kakaknya terasa meriah, dia meninggalkan gedung pukul sebelas dan menghabiskan malam di sebuah Gereja untuk mendoakan keluarganya. Lihat? Yoongi masih memiliki rasa sayang untuk keluarganya. Dia tak pernah absen mendoakan kedua orang tuanya, Seokjin dan Yoonji. Gereja adalah pelariannya yang mutlak. Selelah apapun dia, Yoongi tak segan untuk mengakui kekecewaannya di rumah Tuhan tersebut. Kadang ada seorang Pendeta yang setia mendengarkan pengakuannya, ada juga beberapa anak kecil yang turut serta bertanya apa Yoongi tidak bosan terus-terusan ke Gereja? Yoongi tersenyum saat itu, dia mengatakan apapun yang terjadi, dia tidak akan bosan berkunjung ke Gereja. Karena hanya di sanalah, dia bisa mencurahkan isi hatinya tanpa takut ada yang mendengarkan. Seokjin sudah berbahagia, jangan menjadikan masalahmu sebagai beban untuknya, Yoongi. Dan untuk Yoonji, sungguh, Yoongi sudah cukup senang akan perhatian dari adiknya tanpa meminta hal lebih.

"Yoongi-ssi,"

Yoongi menoleh, dia melihat seorang lelaki tampan berdiri di sampingya. Dia pasti benar-benar fokus sampai tidak sadar ada orang lain di sebelahnya.

"Ada yang bisa ku bantu?"

Lelaki itu terlihat malu, "Aku ingin masuk Klub Musik, apa benar kau ketua nya?" Yoongi mengangguk. Karena bakatnya dalam bidang Musiklah ia bisa mendapat posisi penting di dalam Klub. Meski banyak jurusan lain di Universitasnya, para mahasiswa atau mahasiswi diperbolehkan mengikuti Klub yang mereka sukai. Misalnya Klub Musik, anggota Klub itu tidak hanya mencakup mahasiswa jurusan Musik saja, bahkan ada yang berasal dari jurusan Hukum dan Kedokteran.

"Mahasiswa baru?" lelaki asing mengangguk canggung. Rambutnya mencolok, warna merah maroon, nyaris membuat Yoongi berpikiran bila junior itu adalah anggota geng motor.

"Namaku Kim Taehyung, aku semester satu jurusan Seni." Yoongi tidak merespon, dia mengambil sebuah formulir persyaratan bila ingin bergabung ke dalam Klub dan menyerahkannya pada Taehyung. "Isi dulu dengan lengkap. Nanti serahkan saja pada Chanyeol, dia yang mengurus penerimaan anggota baru. Selamat bergabung." Jangan salahkan Yoongi bila kepribadiannya cenderung penyendiri dan tidak terlalu suka berinteraksi dengan seseorang.

Taehyung tersenyum lebar, sangat lebar dan membuat Yoongi ikut nyeri pada bagian bibir. "Ne, Yoongi-sunbae. Aku dengar dari banyak senior permainan pianomu sangat indah."

"Mereka hanya berlebihan."

"Tapi aku pernah mendengarnya! Itu luar biasa keren! Dan juga-"

"-Taehyung-ssi. Ku rasa kita tidak cukup dekat sampai kau bisa duduk di sampingku."

Taehyung mengerjap. Tindakannya yang mengikuti insting dan naluri membuatnya sering kehilangan kendali. Sejak kapan dia sudah duduk di samping Yoongi? Dan sejak kapan dia begitu ingin dekat dengan seniornya itu? Tunggu dulu. Kalau dipikir-pikir, alasan Taehyung bergabung di Klub Musik adalah Yoongi sendiri. Dia tak sengaja mendengar permainan piano Yoongi ketika hari kedua OSPEK dan demi Tuhan Taehyung belum pernah mendengar lantunan piano semerdu itu. Sosok seniornya itu terlihat rapuh dan tegar di saat yang bersamaan. Apalagi suasana yang mendukung. Taehyung bertekad untuk masuk Klub Musik setelah insiden itu. Tapi setelah seminggu, Taehyung sulit sekali menemukan sosok Yoongi. Apalagi tidak banyak yang mengenalnya, jadi bisa dibilang Yoongi termasuk mahasiswa yang suka menyendiri. Untung saja dia tidak sengaja ke kantin dan bertemu dengan Yoongi sekaligus menyatakan niatnya untuk bergabung dengan Klub Musik.

"Hoi, alien." Taehyung mendengar suara familiar datang mendekatinya. Siapa lagi? Itu Park Jimin. Orang yang mendapat gelar teman dekatnya dalam waktu tiga hari mereka bertemu. Selain karena memiliki sifat yang serupa, Jimin sendiri memasuki jurusan yang sama, yaitu Seni.

"Apa? Kau menggangguku imajinasiku, Jim." Sahut Taehyung sebal. Jimin menaikkan alisnya heran. Si alien juga bisa berimajinasi toh? Pikirnya geli.

"Tadi mengobrol dengan siapa? Sampai wajahmu terlihat bahagia sekali."

"Alasan terbesarku masuk Klub Musik, Min Yoongi-sunbae~"

Hening.

"Tunggu, kau bilang Min Yoongi? Apa dia ada hubungan dengan Yoonji?"

Taehyung menatap sahabatnya dengan tatapan 'Kau ini bicara apa?'

"Aku serius, apa Yoongi-sunbae kenal dengan Yoonji? Dimana aku bisa bertemu dengannya?"

"Kau ini kenapa sih, Jim? Mau apa kau bertemu Yoongi-sunbae?" tapi yang diajak bicara justru mengabaikannya, Jimin sibuk mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok senior yang dibicarakan Taehyung.

"Sudahlah, aku mau mencarinya sendiri. Bye, Tae."

Harusnya Taehyung tahu, Jimin bisa menjadi orang yang tidak jelas pada waktu tertentu. Ah sudahlah, pokoknya sekarang yang perlu di lakukan adalah menemui Chanyeol-sunbae sesuai intruksi Yoongi-sunbae, lalu bergabung dan Taehyung bisa melihat wajah seniornya itu sepuas hatinya.

.

.

.

Ruang Klub Musik ada di lantai tiga, bersebelahan dengan ruang praktikum Kimia. Yoongi selalu ada di sana setiap jam istirahat dan ketika mata kuliah yang dia hadiri terasa membosankan. Semua anggota Klub sudah hafal dengan kebiasaannya, bahkan tidak ada yang berani mengusirnya meski Yoongi tertidur di sana. Kalau ada yang bertanya siapa yang paling mengerti sifat Yoongi, maka semua orang akan menunjuk Park Chanyeol. Bukan karena Chanyeol lebih sering menghabiskan waktu bersama Yoongi, tapi karena Chanyeol pernah berkomentar ketika Yoongi yang pertama kali masuk Universitas mengajukan diri untuk menjadi anggota Klub Musik dan memainkan piano sebagai syarat pertama.

"Kenapa permainan piano mu sangat menyedihkan, Min Yoongi-ssi?"

Tidak ada yang tahu dimana letak kesedihan dalam lantunan piano yang dimainkan Yoongi. Bagi anggota lama, justru hal itu dianggap sebagai bakat yang gemilang. Yoongi memainkan piano dengan penuh dedikasi dan menyalurkan semua emosinya. Tapi Chanyeol tidak berpikir demikian. Bahkan ketika aktivitas klub bubar, Chanyeol masih menunggu jawaban dari juniornya itu.

"Katakan padaku, berapa banyak beban yang kau pikul, Yoongi-ssi?"

"Kau bisa menipu teman-temanku, tapi jangan berpikir untuk menipuku."

"Melodi yang kau hasilkan didominasi oleh rasa kesepian dan kesedihan."

Sejak itulah, Yoongi sedikit menerima kehadiran Chanyeol sebagai sosok pengganti Seokjin ketika dia tak berada di rumah. Mungkin banyak yang bilang, Chanyeol punya aura menyenangkan ketika di dekatnya, senyum dan tawanya yang ditunggu banyak orang tapi bagi Yoongi sama saja. Chanyeol lebih tua setahun darinya, dan itu artinya satu tahun lagi seniornya itu akan lulus. Yoongi masih belum siap mengurus Klub Musik yang punya anggota berisik nantinya. Apalagi Kim Taehyung, memikirkannya saja Yoongi jamin tekanan darahnya bisa naik drastis.

"Permisi? Halo?"

Siapa lagi yang mengganggunya?

Yoongi menghentikan gerakan tangannya di atas piano, kembali bertanya dalam hati siapa pemuda asing yang tengah berdiri di dekat pintu ruang Klub Musik. Tatapan Yoongi seolah bertanya apa urusannya hingga berani mengintrupsi waktunya.

"Apa Yoongi-sunbaenim ada?" bodoh. Yoongi jadi bingung mau memberitahunya jika dialah orang yang dicari atau mengusirnya pergi.

"Ada urusan apa denganku?"

"Eh? Kau Yoongi-sunbaenim? Sial, Taehyung tidak bilang jika kau semanis ini, sunbae."

Datar. Reaksi Yoongi masih saja datar. tidak tersipu atau senang karena pujian tidak langsung dari pria asing yang dia yakini sebagai teman Taehyung.

"Kau mau bergabung dengan Klub Musik juga? Jika iya, temui saja-"

"-oh tidak. Aku kemari karena ingin belajar piano denganmu, sunbae."

Sembilan belas tahun hidup, baru kali ini Yoongi ingin lari dari masalah sepele seperti yang terjadi saat ini. Untuk apa kau belajar bermain piano jika tidak bergabung dengan Klub Musik? Pertanyaan itu terus berputar dalam pikiran Yoongi, bahkan ketika sosok Chanyeol memasuki ruang Klub dan bertanya siapa pemuda yang masih mengumbar senyum manis di wajahnya itu pergi dari sana, Yoongi tetap terpaku pada tempatnya.

To Be Continued or The End?

.

.

.


Note : Hai, saya kembali publish fic baru, dan karena ada masalah akhir-akhir ini ngebuat ide ngalir deras. Fanfic lain sama seperti biasanya, masih on progress. Saya ada satu lagi fic Naruto yang masih perlu revisi sana sini sebelum publish. Serius saya jadi maso sekarang. Oh ya, fanfic ini dibuat setelah saya ndengerin lagi dari Kdrama Suspicious Partner yang judulnya The Memory of That Day, serius lagunya enak banget, pas buat tema fanfic ini. Dan untuk masalah TBC apa enggak, haha jelas masih ada lanjutannya ini, jadi rencana buat two-shoots kali ya? Erm, itu aja kali ya? Ini saya awalnya mau bikin one-shoot tapi gak memungkinkan karena panjang. Padahal pas dengerin lagunya itu cuman singkat gitu idenya eh pas diketik malah panjang. Itu aja dari saya, hope u like it, readers-tachi.

Regards,

Amanda Lactis