[Kumpulan drabble/one shot. Saya post juga di tumblr, dan kalau saya lebih cepat update di sana.. salahkan ketidakberanian saya untuk mempostingnya di sini /pundung

Ini first-attempt saya. Jadi maafkan banget kalau crappy, OOC, gak sesuai yang diceritain Jin atau apapun. /memohon sambil nunduk-nunduk meniru Shintaro]

Living Imagination.

[Seto/Mary]

"Sampai jumpa Mary. Aku akan kembali pas minum teh*. Siapkan aku teh terbaikmu ya?"

Mary tidak tahu sudah berapa hari berlalu sejak Seto pertama kali meninggalkannya untuk bekerja di luar. Satuan, puluhan, ratusan mungkin? Mary tidak mengerti hitungan, dan tidak pernah mempelajarinya seperti apa yang sering dilakukan Momo ketika gadis itu masih mempunyai sisa hatinya untuk bersekolah. Hal yang Mary tahu adalah sudah lama sekali. Seto memutuskan bekerja untuk memenuhi kebutuhan Mekakushi-Dan.

Dia ingat Shintaro pernah mengatakan bahwa Seto belum cukup umur untuk bekerja. Saat orang yang Momo juluki NEET itu mengatakan itu, Mary marah bukan main. Menurutnya Shintaro telah menganggap Seto 'tidak pantas'. Shintaro memang bodoh. Seto adalah orang yang paling berani, dewasa, kuat dan selalu tersenyum. Terlebih lagi, menurutnya Seto adalah orang yang paling menyayangi Mekakushi-Dan, termasuk ke-9 anggotanya. Seto sangat pantas!

Mary sangat senang ketika Seto kembali dari pekerjaannya. Dia dapat melihat bahwa orang yang paling penting di kehidupannya sedang merasa letih, tetapi walaupun begitu Seto tetap tersenyum. Dari hasil kerjanya, Seto dapat membelikan cawan teh yang cantik-cantik. Mary sangat bangga terhadap Seto!

Mary sangat senang dan bangga, tetapi itu tidak menutup perasaan sedih di hatinya. Perasaan sedih itu terus menempuk, seiring dengan rutinnya Seto bekerja setiap hari. Dia hanya dapat melihat Seto di pagi hari, itu juga hanya sebentar. Apalagi ketika dia bangun terlambat, hanya beberapa menit. Walaupun Seto tidak pernah absen memberikan ucapan 'sampai jumpa, aku akan cepat kembali'-nya, tetap saja dia tidak akan melihatnya sampai sore nanti. Dia hanya dapat melihat senyum Seto di pagi dan sore hari setelah dia pulang bekerja. Tanpa Seto, dia merasa sedih, dan kesepian.

"Kakak, apakah kakak tidak malu dengan Setto? Dia sudah bekerja, sementara lihatlah keadaan kakak!"

Mary telah selesai melihat Seto terakhir kali di pagi hari itu. Saat kembali, dia melihat kakak-beradik Kisaragi di ruang tengah. Seperti biasa mereka akan saling melemparkan kata-kata, seperti Kano dan Kido. Seto menyebut tindakan tersebut sebagai 'argumen'. Sama seperti Kano dan Kido, Shintaro dan Momo biasa sekali berargumen pagi-pagi.

"Sebentar, aku perjelas dulu, dia bekerja serabutan. Dan aku sudah bekerja," Shintaro menatap adiknya dengan begitu serius, dengan harapan adiknya tahu maksud dari bekerja yang dikatakannya.

"Berada di depan komputer selama dua tahun untuk membuat lagu-lagu yang tidak dipublikasikan dikatakan bekerja?!" Momo sangat geram pada kakaknya, dia menatap kakaknya dengan tatapan ingin membunuh. Kakaknya tidak mundur, bahkan balas menatapnya.

Mary menatap mereka berdua selama beberapa saat sebelum memutuskan untuk membuat teh di dapur. Andai saja mereka menyukai teh, mereka tidak akan punya sikap begitu buruk di pagi hari. Seperti dirinya dan Seto. Mereka jarang sekali bertengkar.. Mengingat Seto di saat-saat tidak ada Seto membuat kesedihan di relung hati Mary. Tanpa disadarinya, pegangannya pada lengan teko mengendur. Hal yang dilakukan gadis itu selanjutnya adalah menjerit. Teko yang terlepas dari tangannya, terjatuh. Bahan dari stainless-steel itu berdentang mengenai lantai. Tutup teko terlempar, air panas berhamburan ke mana-mana. Mary yang tidak mengerti mengapa hal tersebut dapat terjadi hanya menjerit, sementara air panas menyiprat gaun tidurnya, merambah kakinya yang tidak beralas dan sedikit jari tangannya. Mary menangis sementara mereka yang masih berada di base berhamburan masuk ke dapur.

Mary tidak tahu siapa yang mengangkatnya. Penglihatannya terlalu kabur karena air mata, dan sosok Seto yang memenuhi hati dan pikirannya. Dia hanya menginginkan Seto, di sisinya, sekarang juga!

(*********)

Mary, sebagai gadis yang pemalu dan tidak berkata banyak, sangat sadar akan kekurangannya. Membandingkan dirinya dengan Kido, dia tidak akan pernah mampu membawa tanggungjawab sebanyak itu dan melakukannya dengan lancar. Membandingkan dirinya dengan Momo, dia tidak akan pernah mempunyai kepercayaan diri yang begitu tinggi. Membandingkan dirinya dengan Ene, dia tidak akan pernah begitu ceria. Ya, Mary memikirkan semua ini. Mary kan gadis yang cerdas.

Dari semua kekurangan yang dia miliki. Terdapat satu yang sangat mengganggunya, dan terkadang dia sangat membenci dirinya sendiri karena itu. Dia terlalu berpangku tangan, terutama kepada Seto. Dia tidak dapat melakukan sesuatu dengan benar tanpa meminta bantuan dari Seto. Seto melakukan ini untuk dirinya, Seto melakukan itu untuk dirinya. Dia selalu membuat Seto kewalahan, apalagi Seto juga bekerja.

Selalu saja tidak berguna..

Dirinya ini.

(*********)

Mengetahui apa yang terjadi pada Mary –dikabarkan oleh Shintaro melalui ponselnya-, Seto cepat berkemas. Tanpa menunggu jam makan siang yang dilaksanakan 15 menit lagi, Seto meminta izin kepada penjaga toko. Dengan memberitahu bahwa 'adik saya tiba-tiba dirawat ke rumah sakit', boss pun mengizinkannya.

Entah karena perasaannya atau karena langkah kakinya yang begitu cepat, dia sampai di base hanya dalam hitungan menit.

Kano yang menyambutnya di depan pintu. Tanpa berbasa-basi lagi, dia cepat masuk. Karena instingnya, dia cepat menemukan Mary tanpa harus mencarinya. Di atas kursi agak empuk di dekat dapur, di situlah Mary berada. Walaupun dikelilingi oleh Momo dan Kido yang merawat lukanya, Shintaro, Ene dan yang lain yang hanya dapat melihat, Seto cepat melihat sosok Mary yang terlelap. Dia menyilangkan alisnya ketika melihat perban di jemari gadis itu dan perban yang cukup besar di kedua kaki. Selain itu dia juga menyadari gaun tidur Mary yang menempel dan terlipat tidak normal.

"Dia menangis dan langsung tertidur. Kami tidak sempat mengganti pakaiannya," Kido berkata dengan suara yang begitu rendah. Sebagai ketua di antara mereka semua, dia merasa dirinya lah yang paling bertanggungjawab.

Seto menggelengkan kepalanya. Dia tersenyum kecil –walau susah sekali ketika orang yang dia sayangi terluka tepat di hadapannya- kemudian berkata kepada Ketua*, "Tidak apa-apa. Mulai sekarang biar aku saja yang mengurusnya. Aku akan membawanya ke tempat tidurnya agar dia dapat tidur lebih nyaman," dia mendekati Mary, kemudian dengan perlahan membawanya ke dalam dekapan.

"Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu?" dia sedikit terkejut dengan pertanyaan Shintaro. Dia membetulkan posisi Mary pada kedua tangannya sebelum mendongak untuk menjawab kepada orang yang lebih tua darinya itu,

"Tidak apa-apa. Aku sudah punya izin."

"Kecuali kakak ingin mengganti posisinya," dia mendengar Momo berbisik pada kakaknya. Itu membuatnya sedikit tertawa,

"Tidak perlu," sebelum perlahan bangkit, berdiri tegak dengan Mary yang aman berada di antara tangannya. "Dan aku minta maaf. Karena Mary, kalian menjadi khawatir dan aktivitas kalian menjadi terhambat,"

Seto mulai berjalan menuju kamar Mary. Akan tetapi, langkahnya terhenti oleh suara-suara di belakangnya.

"Buat apa kau minta maaf," dia mendengar Momo berkata.

"Menghambat aktivitas kami? Yang benar saja," Shintaro berkata dengan wajar.

"Karena ada sesuatu yang terjadi dengan Mary, tentu saja kita akan melakukan sesuatu, bukannya diam saja!" seru Ene dari ponsel Shintaro.

"Benar kata Ene! Mary itu teman kami, jadi kami berhak untuk khawatir! Jangan menganggap Mary hanya untuk dirimu saja!" timpal Momo lagi.

"Kau dengar itu, Seto?" sang Ketua akhirnya berbicara.

Seto berputar dan mengangguk. Dia menyadari bahwa dia seringkali bertindak kenakak-kanakan, apalagi sesuatu yang menyangkut Mary. Seperti anak kecil, dia hanya ingin Mary untuk dirinya sendiri.

Setelah kesalahpahaman antara dia dan teman-temannya mereda, dia cepat melanjutkan langkahnya menuju kamar Mary.

(*********)

Mary terbangun, mengusapkan rasa kantuk di pelupuk matanya dengan belakang telapak tangannya. Kemudian dia cepat mencium bau yang familiar. Lalu kehangatan yang familiar, juga hembusan dan tarikan nafas yang familiar. Tanpa harus memperjelas penglihatannya, dia tahu sekali siapa yang tengah tertidur di sebelahnya.

Untuk beberapa saat dia kembali memejamkan matanya, mendekatkan dirinya ke arah Seto. Semakin terbenam dengan kehangatan yang diberikan pria di sampingnya itu. Dia dapat tertidur kembali andai saja pikirannya tidak meneriakkan sesuatu yang membuatnya terbangun seketika.

"Seto..." dia menegakkan tubuhnya. Dia baru menyadari bahwa dia tertidur di atas kasurnya sendiri. Dia menggerakkan tubuh yang masih tidur di sebelahnya. Tangannya yang kecil mengguncang bahu yang kekar. "Bangun..." dia berkata lagi.

Seto mengedipkan matanya, terbangun. Dia cepat tersenyum melihat seseorang yang juga sedang menatap ke arahnya, "Akhirnya kau bangun juga,"

Mary cemberut, seharusnya dia yang berkata begitu. "Kau tidak bekerja?"

Melihat Mary cemberut sesaat setelah bangun sangatlah lucu bagi Seto, "Sudah tadi,"

Mendengar jawaban yang begitu santai bukannya membuat hati Mary lega, tetapi sesak. Ingatan tentang apa yang terjadi di pagi hari bermain di kepalanya.

Ini salahnya lagi bukan?

Dia harus melakukan sesuatu. Dia harus berhenti menjadi tidak berguna. Dia harus berhenti menyusahkan Seto.

"Seto... izinkan aku bekerja denganmu!"

(**********)

Seto bangun dari keadaan berbaringnya, duduk tegak. Terlihat bahwa perkataan Mary begitu mengejutkan.

"Bekerja? Maksudmu?" walau terdengar lelah, pertanyaan Seto serius.

"Aku tidak mungkin mengangkat barang-barang sepertimu, atau berjalan ke manapun orang meminta bantuan," Mary melihat seprai kasur miliknya kemudian mulai memainkannya. Dia melakukannya sekaligus berpikir. Ahh, dia sendiri tidak menyangka akan melayangkan ide tersebut di saat itu. "Jadi aku akan berjualan, dari dalam base,"

Seto menatapnya, pandangannya sabar agar Mary melanjutkan kata-katanya.

"Nee, Seto. Mamaku sering mengajariku membuat bunga buatan. Jika peralatannya disediakan, aku dapat membuatnya dan menjualnya dari base ini," Mary diam, dan tampaknya tidak akan melanjutkan kata-katanya. Akan tetapi, gadis itu tetap menatap ke bawah, memandangi seprai kasur.

Mary sebenarnya takut. Dia takut Seto akan menolaknya. Selama ini, dia hanya melihat Seto pergi untuk bekerja dan dia hanya di dalam rumah tanpa melakukan apapun. Tiba-tiba dia menawarkan diri untuk bekerja dan membantunya? Banyak alasan lain yang pasti juga akan membuat Seto menolak rencananya.

Dia merasakan sesuatu di atas kepalanya. Bagian rambutnya merebah karena terkena oleh sentuhan yang begitu hangat. Mary mendongak, untuk melihat Seto yang tersenyum kepadanya. Bukan senyum mengejek atau meremehkan, melainkan senyum yang biasa ia sukai. Sesuatu yang berada di atas kepalanya adalah jemari Seto sendiri, yang mengusap begitu lembut.

"Aku pikir aku tidak perlu bertanya seberapa kau mampu membuatnya,"

"Jadi, kau setuju...?" tanya Mary dengan begitu hat-hati.

"Tentu saja," sebagai akibat dari itu, dia mendapatkan sebuah kecupan di kening dari Seto.

(*******)

Malam harinya, setelah memastikan bahwa jemarinya kini biasa-biasa saja, Mary mulai dengan pekerjaannya. Dia tersenyum begitu lebar. Setelah sekian lama, akhirnya dia memiliki pekerjaan. Walaupun hanya di dalam base, dia dapat membantu Seto. Dia dapat merasakan bagaimana Seto berjuang untuk mereka semua.

Sekitar pukul 10 malam, setelah Momo dan Kido bergantian menyuruhnya berhenti, dia benar-benar berhenti ketika Seto menyuruhnya.

"Sejumlah ini, tidak apa-apa kan?" tanyanya, melihat ke arah Seto dengan segala perasaan khawatir. Bunga buatan tangan karyanya rupanya tidak terlalu banyak. Dia sudah berjuang, tetapi mengapa hanya segini?

"Ini sudah sangat membantu. Terima kasih, Mary,"

Mary menatap Seto dengan mata yang berbinar. Dua kata itu, terima kasih, adalah sesuatu yang sangat diharapkannya. Ini tandanya dia telah membantu, bukan? Tanpa berkata-kata lagi, dia memeluk Seto. Memeluknya begitu erat.

Ketika Seto tidak bersamanya karena pekerjaannya dia tahu apa yang harus dia lakukan. Membuat bunga. Dengan berjuang seperti Seto, dia tidak akan kesepian lagi.

[minum teh: sekitar sore hari

Ketua=Danchou=Kido

Bertanya-tanya kenapa jadinya panjang orz]