Waktu.. Waktu terus berjalan tanpa henti. Namun aku, Harry—Harry James Potter—aku lebih memilih mengakhiri semuanya sekarang. Lihat? Apakah ada yang aku bisa andalkan sekarang? Tidak 'kan? Heh, tentu saja, orang tuaku meninggal—dan disinilah aku, makam orang tuaku. Dengan hujan yang turun dengan deras seolah mengolok-olokku.

"Heh..heh.." aku terkekeh sendiri. Apa pentingnya hidup untukku? Harapanku sudah mati. Kehilangan orang tua dan ditinggalkan teman-temanku karena aku seorang yang miskin. Apakah Tuhan membenciku? Apakah memang aku melakukan kesalahan yang terlalu fatal?

"H-hey! Kau yang disana! Kau tak takut demamkah!?" kudengar ada suara yang berteriak padaku. Kualihkan pandanganku dan kutemukan seorang pemuda berambut pirang platina berlari ke arahku. Hal pertama yang aku lihat adalah dia tampan. Yah, tampan, dan angkuh namun... Hangat.

SOUND OF A BROKEN HEART

A DRARRY

GENRE: HURT/COMFORT, ROMANCE

Harry Potter cast (c) JK Rowling

DLDR—other, ENJOY!

"Ini, pakai payungku saja. Mau kuantar pulang, mungkin?" tanya pemuda itu. Aku menggeleng dengan pandangan kosong—pandangan masih tertuju pada dua batu nisan di hadapanku.

"Ah, maaf sepertinya kau sedang mengunjungi makam seseorang dan kurasa—"

Pandanganku kabur. Aku mulai samar-samar mendengar suara pemuda ini, makin tidak terdengar malah. Gelap. Kenapa—

"... Ikut dengan—AH!"

—Hal terakhir yang kurasakan adalah dunia seperti gelap. Dan aku merasa melayang.


Cahaya yang remang-remang dan api unggun di kamar ala victorian itu membuat suasana lebih hangat. Harry perlahan membuka matanya.

"Kau sudah baikkan?"

Ah, pemuda ini lagi, pikir Harry. Dan, dimana dia? Kenapa kamar ini sangat hangat dan—mewah?

"Ini kamarku. Kau ada di rumahku. Sudahlah tenang saja, aku tidak melakukan apa-apa padamu. Tadi kau pingsan, jadi kubawa kesini," Jelas lelaki berambut pirang platina itu seakan membaca apa yang dipikirkan Harry.

Harry ingin berterima kasih tapi yang keluar dari tenggorokannya adalah "...Kau siapa?"

Seakan mendengar orang yang menyangka dirinya telah diculik, pemuda itu pun mengenalkan diri. "Aku Draco. Draco Malfoy. Maaf telah membawamu ke rumahku tanpa izin. Aku hanya tak tega meninggalkanmu pingsan di tengah hujan deras"

"..Terima kasih..." ucap Harry singkat. Ia sedang tidak ingin bicara, mengingat orang tuanya membuat batinnya serasa tercambuk dengan keras.

"dan kau? Namamu?"

"Harry. Harry Potter."

Hening. Ya, Harry memang tidak pandai membuat percakapan—tidak bisa mungkin. Tapi sepertinya, pemuda inilah—Malfoy—yang bisa membuat Harry bicara lebih dari 1 kata.

"Sepertinya kau ada masalah? Kau bisa cerita padaku kalau mau..." tiba-tiba Malfoy membuka pembicaraan. Harry diam, namun ia sedikit kaget. Terbukti dari matanya yang spontan menatap Malfoy.

"...Ah, tidak-tidak.. Maaf aku bertanya yang tidak-tidak. Aku hanya ingin mencoba menghiburmu..." kata Malfoy, seolah membaca pikiran Harry—lagi.

Biasanya, jika ada yang mencoba ikut campur urusannya, Harry tak segan menghajar orang itu. Ya, ia tidak suka orang lain menanyakan urusan pribadinya. Tapi kali ini berbeda... Harry merasa Malfoy orang yang...Baik? Entahlah, Harry merasa aura Malfoy bagus, hangat. Malfoy orang yang bisa dipercaya...

"...Aku hanya rindu orang tuaku..." ucap Harry kemudian. "Mereka meninggal saat aku berusia 10 tahun. Aku merindukan mereka bersamaku.. Aku—" Harry tercekat. Ia merasakan air meluncur melalui pipinya. Ia menangis. Bagus. Di depan orang yang beru dikenalnya pula. Sempurna. Sesaat Harry berpikir Malfoy akan mengolok-oloknya karena menangis di depannya, namun..

"Hey hey, jangan menangis Harry..." ucap Malfoy—oke, dia memanggil Harry dengan nama depannya berarti Harry diizinkan memanggil Malfoy, Draco. Draco mengusap air mata Harry dengan ibu jarinya. Lembut. Dan yah... hangat. Sudah lama Harry tidak merasakan hangat. Ia sangat jauh dari yang namanya kehangatan. Ia berteman dengan dingin—dunia yang dingin.

"... Aku bisa menjadi tempatmu bercerita. Tenanglah..." ucap Draco. Yah, Harry tahu Draco sungguh-sungguh. Harry bukan orang tolol yang tidak bisa membedakan orang yang tulus dan tidak. Dan untuk pertama kalinya, Harry merasa nyaman saat bersama orang lain.

"Sudah lebih rileks? Sekarang jangan bercerita dulu. Makanlah dulu. Kau belum makan 'kan?" lagi-lagi Draco membaca pikiran Harry. Sejak tadi pagi Harry belum makan. Ia terbiasa dengan hal itu. Ia pun hanya diam dan mengangguk.

"Ini, sudah kusiapkan, well, bukan aku yang memasak, ibuku yang melakukannya..." ucap Draco sambil mengambil nampan di sebelah ranjang tempat Harry berbaring. Harry menerimanya dan segera melahapnya. Ia manusia—ia juga bisa merasakan lapar.

"Aku tinggal dulu, hm?" ucap Draco sambil berdiri. "Nikmatilah makananmu..." ucapnya sambil berlalu.


"Draco, bagaimana anak itu? Apakah dia sudah sadar?" tanya seorang wanita paruh baya saat Draco sudah sampai di anak tangga paling bawah.

"Sudah Mum, dia sudah baikan. Sekarang sedang makan. Aku akan mandi. Mum temui saja dia kalau mau..." jawab Draco pada wanita yang ternyata ibunya. Narcissa Malfoy.

"Ah. Dia anak yang manis. Draco, kau menemukan orang yang tepat. Kau harus cepat-cepat melamarnya Son. Jadi para petinggi keluarga tidak memaksamu menikah dengan orang yang tidak kau cinta.."

"Mum! Aku saja baru kenal dengan dia tadi...! Aaah, berhenti membicarakan itu Mum. Dan yah, kau benar... Harry memang orang yang baik, hanya saja tertutupi sikap dingin. Aku akan mencoba melelehkan hatinya. Lihat saja..."

"Itu anak Mum. Sudahlah. Mum mau kembali mengurusi ayahmu..."

"Err Mum... Apakah keadaan Dad sudah membaik?"

"Sudah membaik. Kau tak usah khawatir. Dad pasti sehat kembali, son. Sudah sana-sana~"

"Okay Mum, jika Dad sudah sadar, sampaikan salamku padanya..."


"Harry—"

Draco yang sudah selesai mandi dan kembali ke kamarnya, menemukan Harry sudah tertidur lagi. Ia menghampirinya. Draco mengambil tempat di sebelah ranjang. Sekedar memandang wajah tidur Harry, Draco bisa melayang ke alam bawah sadarnya.

Yah, memang benar sejak pertama kali Draco melihat Harry, Draco sudah jatuh cinta pada mata hijau Harry, meski pandangannya selalu kosong, Draco tahu, ada sesuatu yang indah dibaliknya. Jangan tanya di mana Draco bertemu Harry. Draco bertemu Harry di pemakaman. Waktu itu cuaca di Kota London cukup cerah, jadi Draco bisa melihat jelas betapah cantiknya mata hijau yang ditutupi dengan dua lensa berbentuk bulat itu. Sejak saat itu Draco selalu mengunjungi pemakaman itu sekedar untuk melihat Harry.

Sekarang—sekarang Harry ada di depannya, di kamarnya. Ia hampir tidak percaya hal ini. Ia cukup berterima kasih pada hujan deras yang mengguyur Kota London tadi. Namun ia benci melihat Harry begitu.. kosong. Ia melihat Harry tertawa meledek, meledek dirinya sendiri. Dan sejak tadi pun, Draco langsung menyadari Harry, dia kesepian. Entahlah, tapi batinnya berkata begitu. Dan ia pun memutuskan untuk menjadi orang pertama yang bisa mengisi hati Harry. Menggambar dunia yang indah untuk Harry, agar Harry tidak seperti tadi, menangis.

Ia sudah yakin akan tekadnya. Ia tidak mau melihat Harry terluka...

TBC~

A/N: Salam kenal. Fee disini dan ini FF pertama Fee di fandom ini. Jujur yah ini ceritanya tuh Fee buat gara-gara emang Fee lagi ga enak hati :(( jadi maaf kalo ada kurang-kurang~ udah Fee coba yang terbaik kok~

Kritik dan saran sangat membantu Fee loh, so Review please? :)) Thanks~