Ore no Tame ni Tsudzukerou
bakaNukenin,, Juni 2009
Disclaimer: NARUTO (c)1999 Kishimoto Masashi
Warning: Alternative Universe
PROLOG
Kisah ini mengambil setting di Konohagakure Gakuen, sebuah kompleks gedung sekolah elit di Jepang dengan arsitektur indah, namun akademisnya masih belum bisa disebut membanggakan. Banyak kisah yang berlangsung di sekolah ini; masing-masing murid memiliki kisah tersendiri. "Ore no Tame ni Tsudzukerou" merupakan kisah Aburame Shino, seorang siswa kelas XII-B yang pendiam dan lumayan berprestasi, namun tidak begitu menonjol, dan agak susah bekerja sama.
Hatake Kakashi, guru Bahasa Jepang, memberikan tugas kelompok di kelas Shino untuk melakukan penelitian mengenai topik yang telah ditetapkan, untuk kemudian dilaporkan dalam bentuk makalah. Kelompok 3, diketuai oleh Shino, mendapatkan topik mengenai pemanfaatan perpustakaan Konohagakure Gakuen oleh siswa-siswi kelas dua belas. Bersama Uzumaki Naruto, Inuzuka Kiba, Hyuuga Hinata, dan Nara Shikamaru, Shino menyebarkan lima puluh lembar angket di kelima kelas dua belas sebagai sampelnya.
Tumpukan angket sudah terkumpul. Shino bangga karena teman-temannya tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang telah ia berikan dengan berat hati. Awalnya, Shino yakin keempat temannya itu tidak bisa diandalkan, terutama Naruto. Namun anak itu berhasil melakukan tugasnya. Shino pun menyunggingkan sebuah senyuman untuk teman-temannya itu, yang biasanya hanya ia berikan untuk dirinya sendiri. Tapi sayang, keempatnya tidak menyaksikan bagaimana seorang Shino dapat tersenyum; hanya dalam waktu yang singkat, senyuman itu telah pudar.
STAGE #1: Life Debt
Shino menghitung lembaran angket yang dipegangnya.
38, 39, 40 lembar.
"Kurang 10 lembar lagi," tukasnya.
Naruto mengangkat wajah dari manga yang sedari tadi menyita perhatiannya. "Ah," gumamnya, "itu bagian Shikamaru." Ia kembali menekuni manga-nya.
Shino mendesah. Dari tiga puluh orang di kelasnya—bukan, dari kelima anggota kelompoknya, kenapa harus dia? Kenapa harus seorang Shikamaru?
Shikamaru, seorang pemalas yang bisanya hanya tidur sepanjang pelajaran dan selalu berusaha melarikan diri dari semua masalah, bahkan yang timbul karena kesalahannya sendiri. Lelaki ini sering berkomentar, "Merepotkan," tanpa menyadari bahwa dirinya sendiri merepotkan orang lain.
Shino tidak menyukai Shikamaru.
Sekali lagi Shino mendesah; desahan yang cukup keras untuk didengar Shikamaru yang sedang tidur berbantalkan pakaian olahraga di atas bangkunya.
Naruto bersin.
Shikamaru akhirnya bangun. Ia menguap sangat lebar, lalu mengaruk-garuk kepalanya. Wajahnya menampakkan ekspresi kosong, seolah jiwanya tidak ada pada raganya.
Shino tidak peduli. Ia segera menghampiri Shikamaru. "Mana angketmu?"
Shikamaru menatap Shino dengan mata sayu.
Satu, dua, tiga detik berlalu.
"Aku lupa," ujar Shikamaru akhirnya.
Detik itu juga, Shino akan membunuh Shikamaru.
Tapi saat itu rasionya sedang bekerja, jadi Shino hanya berbalik dan pergi sejauh-jauhnya sebelum pikiran untuk mencekik Shikamaru menguasai dirinya dan ia benar-benar bertindak demikian. Ia duduk kembali di tempatnya semula, menahan amarah, dan mengatur napas. Lalu mengamati keempat temannya satu-persatu.
Naruto masih membaca manga. Entah ada adegan apa di sana, kini anak bodoh itu sedang terpingkal-pingkal. Sesaat kemudian air mukanya serius karena terbawa jalan cerita. Anak ini memang tidak pernah peduli pada sekitarnya.
Kiba sedang mengunyah Pocky strawberi. Di atas mejanya ada remah-remah Pocky, tiga bungkus permen karet, sekaleng cola, sebuah majalah tentang otomotif, dan iPod. Headsetnya terpasang di kedua telinganya, kepalanya bergerak-gerak mengikuti irama musik, matanya terpejam. Sama dengan Naruto, ia sedang tenggelam di dunia lain.
Hinata memandangi Naruto. Tangannya memain-mainkan ujung rambut, wajahnya merona merah. Shino tahu gadis itu sedang jatuh cinta—pada seorang lelaki norak yang kekanak-kanakan.
Ha-ha.
Dengan malas, Shino mengalihkan pandangannya pada Si Brengsek Yang Tidak Berguna.
Shikamaru masih bertampang mengantuk. Ia merapikan kuncirannya, lalu mengeluarkan pemantik dan sebungkus rokok dari sakunya. Ketika sedang berusaha menyulut rokoknya, Kakashi memasuki kelas. Shikamaru berdecak kesal.
Mau tidak mau, Shino tersenyum. Sebuah senyuman yang jahat; ia senang.
Tiba-tiba Shikamaru menoleh.
Pandangan mereka bertabrakan.
Shino segera menghapus senyumnya dan membuang muka. Ia tidak sempat melihat penyesalan di wajah Shikamaru. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya Shikamaru ingin sekali minta maaf.
Sangat disayangkan.
***
Sepulang sekolah, Shino bergegas menuju perpustakaan untuk mengerjakan statistik angketnya. Hinata sempat menawarkan bantuan, namun ia menolaknya—ia memang lebih suka sendirian.
Shino menjatuhkan dirinya di atas kursi perpustakaan, meletakkan angket dan alat tulisnya di meja, dan mengembuskan napas panjang.
Siang tadi Kakashi menanyakan hasil penelitian para muridnya. Semua kelompok telah siap untuk menyusun makalah—kecuali kelompok Shino. Shino minta waktu, dan Kakashi memberinya tepukan di pundak tanda setuju.
Untung saja, batinnya.
Mendengar keputusan itu, Naruto bersorak dan melemparkan cengiran pada Kakashi; Hinata tersenyum lega; Kiba hanya angkat bahu dan berkata, "Aku tahu Kakashi-sensei bukan orang yang pelit." Shino tidak membuang waktunya untuk melihat reaksi Shikamaru; ia segera berpikir bagaimana menggunakan kesempatan yang sudah diberikan Kakashi.
Shino akhirnya memutuskan untuk mengolah data empat puluh lembar angket yang saat ini ada padanya. Bagian Shikamaru bisa belakangan.
Tanpa banyak tingkah lagi, Shino segera menghitung berapa banyak siswa yang pernah menggunakan fasilitas perpustakaan, seberapa sering mereka melakukannya, fasilitas apa yang paling banyak digunakan, dan manfaat apa yang mereka peroleh setelahnya. Ia juga mendaftar saran-saran dari para responden. Ini semua dilakukannya hanya dalam waktu singkat.
Namun tetap saja Shino kurang puas dengan hasil analisisnya.
Ada lima buah kelas dua belas di Konohagakure Gakuen, dan tiap kelas sudah diatur akan mengisi sepuluh angket; sepuluh lembar untuk kelas XII-A diurus oleh Naruto, sepuluh dari XII-B oleh Kiba, sepuluh dari XII-C oleh Hinata, sepuluh dari XII-D oleh Shikamaru, dan sepuluh dari XII-E oleh Shino sendiri.
Sepuluh lembar bagian Shikamaru mewakili lima puluh murid kelas XII-D. Sampel dari penelitian ini adalah kelima kelas di sekolah ini; tanpa sepuluh lembar angket itu, penelitian ini tidak bisa dibilang relevan.
Ingin sekali Shino mengeluh. Siapa pun, selain Shino, bisa mengeluh begitu saja. Namun Shino beranggapan bahwa hanya orang yang putus asa saja yang boleh mengeluh, dan Shino bukan orang putus asa. Setidaknya Shino belum gagal; Shikamaru bisa saja membawakan angket-angket itu besok.
Shikamaru.
Shino mendesah lagi. Ini akan sulit; Shino tahu ini hanyalah masalah pribadi yang konyol, tapi melihat wajah Shikamaru hanya akan membuatnya semakin frustrasi.
Suasana perpustakaan yang tenang dan rasa pegal yang dirasakan Shino membuat matanya terasa berat. Dengungan AC, bunyi tiap halaman buku yang dibuka, dan suara yang ditimbulkan dari tombol-tombol keyboard laptop orang di seberang ruangan menjadi pengantar menuju tidur Shino. Tanpa mimpi, Shino mengistirahatkan otak dan pikirannya.
***
Alarm Shino melantunkan "Hero's Come Back!!"-nya nobodyknows+.
Shino bangun dan melihat bagian kanan atas layar handphone-nya; jam digital kecil itu sudah menunjukkan pukul dua puluh. Enam jam sudah berlalu sejak ia tertidur di perpustakaan. Ia mengumpat pelan.
Ia memandang berkeliling, dan rasa panik seketika menyerangnya. Perpustakaan sudah sepi; tak ada pengunjung sama sekali, hanya seorang petugas perpustakaan, Tatami Iwashi, yang masih sibuk di balik mejanya.
Segera Shino membereskan barang-barangnya dan meninggalkan perpustakaan dua puluh empat jam itu. Keadaan di luar sama sepinya dengan di dalam. Memasuki bangunan utama, Shino baru mendapati beberapa karyawan yang masih sibuk di sana.
"Kau baru mau pulang sekarang?" tanya Shiranui Genma, salah satu karyawan. "Lekaslah, kudengar sebentar lagi gerbang depan akan ditutup."
"Terima kasih," sahut Shino lemah. Ia meningkatkan kecepatan berjalannya.
Hagane Kotetsu baru saja akan menggerendel gembok gerbang ketika Shino tiba di sana. Kotetsu kemudian menghentikan pekerjaannya dan membuka segala kunci yang telah terpasang. Gerbang itu sangat berat; Kamizuki Izumo, rekan Kotetsu, ikut membantu mendorongnya. Shino beringsut melewati celah sempit yang ada.
"Hati-hati. Dan jangan mengulangi kebiasaan pulang malam ini," ujar Kotetsu. Ketika Shino hanya mengangguk pelan, ia bergumam, "Dasar." Tapi Shino sudah terlalu jauh untuk mendengarnya.
Alarm pukul dua puluh adalah alarm yang Shino pasang secara rutin untuk mengingatkan dirinya bahwa waktu untuk menyelesaikan tugasnya sudah habis; ia selalu mengerjakan tugas sepulang sekolah. Namun hari ini alarm itu malah membangunkannya dari tidur.
Shino memutuskan akan menghubungi Shikamaru untuk memperingatkan tanggung jawabnya.
Rumah Shino hanya tiga blok jauhnya dari kompleks Konohagakure Gakuen, dan pada jam seperti ini, biasanya jalanan sangat sepi. Namun sepuluh meter di depan sana, Shino melihat sekumpulan orang. Di bawah lampu jalanan yang redup, ia bisa melihat lima orang berbadan besar yang tidak dikenalinya. Ada yang sedang berjongkok, bersandar pada dinding, merokok, dan ada pula yang buang air di pangkal tiang listrik seperti anjing. Mereka semua merokok dan mengamati Shino.
Shino bergidik melihat tato-tato seram di hampir sekujur tubuh pria-pria itu. Ia mual membayangkan bagaimana tato-tato itu dicetak di permukaan kulit; ia ingin sekali menghindari mereka, namun satu-satunya jalan adalah melewati mereka.
"Anak SMA."
"Baru pulang sekarang."
"Ngapain saja? Dicariin Mama, tuh."
Tawa seram.
"Itu seragam Konohagakure Gakuen, 'kan? Anak orang kaya, nih."
"Ada duit, nggak?"
Shino mengacuhkan mereka dan terus saja berjalan. Tapi kemudian dirasakannya seseorang mencengkeram lengan atasnya.
"Mau dikasari, nggak?"
Shino tidak mau menatap orang itu. Ia menggeleng. "Lepaskan."
Orang itu mendekatkan wajahnya pada Shino. "Kasih duit dulu, dong," katanya. Napasnya bau dan giginya jelek. "Sedikit juga nggak apa-apa, kok."
Salah satu pria maju, lalu menyentuh tengkuk Shino. Seorang lagi merenggut tas Shino.
"Kubilang lepaskan," ulang Shino. Sayang suaranya bergetar, membuat kelima pria itu semakin menikmatinya.
Pria yang alisnya hanya sebelah mengobrak-abrik isi tas Shino. "Nggak ada apa-apa," gumamnya. Dibantingnya tas itu. "Payah."
Cengkeraman di tengkuk Shino turun ke pergelangan tangan, menahannya dengan kuat. Shino meronta tidak berdaya. Seorang maju ke hadapan Shino dan mengembuskan asap rokok ke wajahnya. Sementara Shino terbatuk, ia digeledah. Handphone dan dompetnya dikeluarkan paksa dari saku celananya. Shino segera menggerakkan kakinya untuk menendang preman itu, tapi tidak berhasil.
"Lumayan," komentar orang itu setelah melihat isi dompet Shino. "Handphone-nya juga bisa dijual."
Shino meludah.
"Brengsek!" seru orang itu. Ia mengeluarkan sebilah pisau dari jaket kulitnya, dan mengacungkannya di depan wajah Shino. "Kau cari mati, Nak!"
Shino sangat takut. Ancaman pria itu bukan main-main; mata pisau itu menggores kulit pipinya. Ia merasakan darah mengalir dari lukanya, turun ke dagu, leher, lalu merembes ke kerah seragamnya. Kedua pria di sampingnya mempererat cengkeraman di lengannya.
"Ayo, nangis sana!"
"Kasihan, mamamu nggak di sini…"
Pria tadi merenggut bagian depan seragam Shino, menariknya mendekat. "Mau digores di mana lagi, hah?"
"Potong lidahnya saja, biar nggak bisa meludah lagi."
Shino panik. Tenggorokannya tercekat.
"Nggak usah dipotong saja dia sudah nggak bisa bicara."
Mereka tertawa lagi.
Ketakutan Shino segera digantikan oleh kemarahan; Shino benci ditertawakan, apalagi jika tidak ada yang lucu—premanisme sama sekali tidak lucu. "Kalian gila."
Tawa kelima pria itu terhenti mendengar kata-kata Shino. Mereka berpandangan satu sama lain. "Apa katamu? Gila? Kita?"
"Ya. Kalian gila," ulang Shino. Seketika ia menyesali perkataannya.
"Benar-benar cari mati anak ini."
Shino sudah memejamkan matanya, siap menerima pukulan—atau mungkin tusukan—dari orang-orang itu, ketika tiba-tiba terdengar bunyi raungan motor. Ia membuka mata dan melihat kelima pria itu sedang melihat ke arah belakang. Ia pun mengikuti arah pandangan mereka.
Shikamaru di atas motor besarnya. Empat temannya, masing-masing mengendarai motor besar, memenuhi jalanan. Pemandangan ini membuat Shino dan kelima preman tercengang.
"Lima lawan satu, ya," gumam Shikamaru. Ia menengok ke belakangnya, berlagak menghitung teman-temannya satu-persatu, lalu menatap preman-preman yang masih bengong itu. "Aku bawa empat teman, nih. Lima lawan lima baru adil, 'kan?"
"Jangan sok!" seru orang yang menahan lengan atas Shino.
"Belum tentu kalian menang!"
Shikamaru mendengus. "Lho, aku 'kan belum bilang akan mengalahkanmu."
"Mereka sudah ketakutan duluan, tuh," tukas seorang teman Shikamaru.
Suara ini sudah dikenal Shino; ia memicingkan mata. Itu Kiba. Tapi ia tidak mengenali ketiga sisanya.
Preman-preman menjadi murka. "Kalau bergerak sedikit saja, kalian akan melihat anak ini bersimbah darah!"
Shino gemetar.
Shikamaru tampak sedang berpikir.
"Ayo, siapa yang mau menampar wajahnya?" tanya pria berpisau pada teman-temannya.
"Aku!"
"Aku!"
"Aku yang menendang perutnya saja!"
"Kalau aku kepalanya!"
"Diam!" seru Shikamaru. "Kalian hanya berkoar, tapi tidak melakukannya! Aku tetap akan melawan kalian—kalau kalian berani."
Perkataan Shikamaru memancing emosi kelima preman. Mereka semua melontarkan hujatan demi hujatan yang membuat Shino semakin ngeri. Akhirnya Shino didorong dengan kasar; punggungnya menabrak dinding, namun rasa sakit itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa takutnya.
Shikamaru turun dari motor, disusul Kiba dan tiga orang lainnya. Kelima preman maju. Sepuluh orang yang sudah siap berbaku hantam itu sudah pasang kuda-kuda ketika mereka semua menyadari bahwa para penduduk setempat tengah menyaksikan mereka.
"Jangan bikin ribut di sini."
"Kalian mengganggu saja."
"Kalau mau saling bunuh, di tempat lain saja."
Kelima preman mengumpat bersamaan dengan umpatan yang berbeda-beda, memelototi Shino dan geng Shikamaru, lalu berbalik pergi. Tak lupa, mereka membanting handphone dan dompet Shino.
"Untuk apa kalian lihat-lihat? Ini bukan urusan kalian!" seru Shikamaru pada para penduduk. Padahal preman-preman itu angkat kaki berkat mereka. Seketika jalanan jadi sepi lagi; semua masuk kembali ke rumah masing-masing. "Merepotkan."
Shino masih duduk lemas di tanah. Gemetarnya sudah hilang, namun otaknya belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi.
Kiba menghampiri Shino, memegangi pundaknya, lalu menariknya berdiri. "Kau ngapain, sih, malam-malam begini? Masih pakai seragam, lagi."
"Ah," hanya itu yang bisa keluar dari mulut Shino.
Shikamaru menghampiri Shino. "Kuantar pulang, yuk."
"Ah." Lagi.
"Kalian bertiga, pulang saja," perintah Shikamaru pada teman-temannya. "Thanks, ya!"
Mereka tertawa. "Kami yang harusnya berterima kasih padamu; ini seru sekali!" Bunyi motor terdengar lagi, dan mereka hilang dari pandangan.
***
Kiba menempelkan plester di pipi Shino yang terluka. Rasa perih yang ditimbulkan alkohol sempat membuat tubuh Shino terlonjak; Shikamaru menertawakannya.
Tapi Shino tidak marah.
"Shino bodoh!" seru Kiba tiba-tiba. "Aku tidak menyangka jam segini kau masih berkeliaran dengan seragam!" Ia meninju pelan pundak Shino.
"Maaf," ujar Shino lirih. "Aku tadi ketiduran di perpustakaan."
"Astaga, jadi gara-gara aku, ya?" Kiba tersentak. "Seharusnya aku tadi membantumu mengerjakan angket…"
"Bukan, kok," balas Shino.
"Aku tahu," tukas Shikamaru. "Gara-gara aku, 'kan?"
Shino terdiam sejenak, lalu menggeleng.
Shikamaru merogoh sesuatu di saku jeans-nya. Ia menyodorkan selembar kertas yang dilipat. "Ini," ujarnya.
Shino menerimanya, lalu menatap Shikamaru. "Apa ini?"
"Bacalah."
Hasil statistik dari sepuluh angket bagian Shikamaru. Lengkap dengan analisanya.
"Aku bukannya lupa mengerjakan, tapi lupa membawanya," terang Shikamaru. "Sepulang sekolah tadi aku langsung mencari-cari itu di rumah, ternyata terselip." Ia menggaruk-garuk kepalanya. "Ketika bermaksud membawanya ke rumahmu, aku melihat orang-orang itu."
"Yah," Kiba menyela. "Shikamaru langsung menghubungi kami, kau tahu? Dia menyuruh kami datang ke sana."
Shino menatap Kiba tidak percaya, lalu menatap Shikamaru.
"Shikamaru mengkhawatirkanmu," lanjut Kiba.
Shikamaru melemparkan bantal duduk ke wajah Kiba. "Diam kau."
Shino ingin menangis. Ia merasa bersalah telah menuduh Shikamaru yang tidak-tidak. Ia merasa beruntung nyawanya terselamatkan, berkat Shikamaru. Ia berdeham untuk mengusir perasaan haru itu.
Namun Kiba memeluknya. Kehangatan itu membuat Shino terpaksa membiarkan hati menguasainya. Ia balas memeluk, awalnya canggung. Pelukan Kiba semakin erat dan akhirnya Shino yakin bahwa ia memang sedang membutuhkan seseorang untuk bersandar.
"Ayolah, jangan membuatku mual," cetus Shikamaru. "Kalian mengerikan."
Kiba dan Shino serentak melepaskan pelukan masing-masing.
"Diam kau." Giliran Kiba yang melemparkan bantal duduk ke arah Shikamaru. Shikamaru membalas dan terjadi perang bantal.
Perasaan haru Shino hilang. "Jangan ribut di rumahku."
Detik itu juga Shikamaru dan Kiba menghentikan aksi mereka.
"Aih, kembali galak lagi," gumam Kiba.
"Berarti ini sudah saatnya untuk pulang, bodoh," kata Shikamaru. Ia bangkit dan beranjak ke pintu depan. Kiba menyusulnya.
Shino berdiri dan mengikuti mereka.
Kiba sudah keluar dan men-starter motornya. "Dah, Shino. Kalau ada apa-apa, bilang Shikamaru saja, dia pasti siap menyelamatkanmu!" Ia menjulurkan lidah dan kabur sebelum Shikamaru melemparinya dengan sepatu.
Shikamaru menggaruk-garuk kepala lagi. "Anak yang merepotkan."
Shino tersenyum.
Shikamaru melihat senyuman itu dan ikut tersenyum. "Aku pulang, ya." Ia melambai pada Shino dan berjalan menuju motornya.
"Tunggu," sergah Shino.
Shikamaru berbalik.
"Terima kasih," ujar Shino terbata-bata. "Maaf, ya."
"Untuk apa?" tanya Shikamaru bingung.
"Yah, pokoknya aku ingin mengucapkan itu padamu."
Shikamaru tertawa. "Sama-sama. Aku juga minta maaf karena menyebalkan."
"Shikamaru, aku berutang nyawa padamu."
