Dear No One

.

.

.

01

.

.

.

^_^ Happy Reading ^_^

.

.

.

"Butuh bantuan?" tanya seorang pria bertubuh tinggi atletis, berambut ikal dengan warna coklat gelap pada seoarng perempuan yang tengah sibuk memeriksa mesin mobilnya.

"Nuguseyo?"

"Park Chanyeol imnida!"

Perempuan itu menghentikan kegiatannya, kemudian tatapannya beralih pada pria yang baru memperkenalkan dirinya itu. Tatapannya kemudian jatuh pada tangan Chanyeol yang terulur ke arahnya.

"Dasar gila." Umpatnya lirih, pandangannya dia putus begitu saja dan dia kembali memperhatikan mesin mobilnya. Aneh saja, mobilnya sepertinya baik-baik saja, tapi kenapa bisa mati tiba-tiba.

"Perempuan biasanya kurang memahami mesin, mereka hanya suka memakai tanpa peduli ak..." Chanyeol menggantung kalimatnya saat mendapati perempuan itu, yang sejak tadi sibuk memperhatikan mesin mobilnya, tiba-tiba melotot tajam padanya.

"Daripada kau banyak bicara, kenapa tidak kau coba membetulkannya?"

"Hoooo,,,, aku sudah menawarimu sebelumnya Nona."

Chanyeol meletakkan tasnya di pinggir jalan, kemudian menggulung lengan bajunya hingga sebatas lengan, sebelum berkutat dengan mesin-mesin itu.

"Siapa namamu?" tanya Chanyeol sembari mengutak-atik beberapa komponen di mesin itu.

"Itu tidak penting."

Chanyeol melirik perempuan itu, yang terlihat serius memperhatikan apa yang sedang di kerjakannya.

"Sama tak pentingnya dengan kondisi mesin mobilmu."

"Mwoya?" nada marah terdengar jelas pada kata tanya yang baru terlontar dari bibir wanita itu.

"Kapan terakhir kali kau membawa mobil ini ke bengkel?" tanya Chanyeol tanpa mempedulikan kemarahan perempuan itu.

"Empat bulan yang lalu."

"Bagus. Tunggu saja sampai satu tahun lagi, baru kau bawa mobilmu ini ke bengkel. Kalau memang harus rusak, biarkan rusak sekalian."

Perempuan mungil itu diam, tak menyahuti ucapan bernada sarkatis yang baru di dengarnya. Tapi bila lebih di perhatikan dengan seksama, gadis itu terlihat sedang mempoutkan bibirnya. Mungkin saking kesalnya pada pria yang sibuk dengan mesinnya itu.

Kalau tidak karena membutuhkan bantuan Chanyeol, mungkin perempuan itu sudah menendang jauh-jauh pemuda dengan postur tubuh mirip tiang itu.

"Ada air?"

"Ada."

"Ambil."

Perempuan berambut sebahu itu menatap Chanyeol tak percaya. Dia baru di perintah pria itu untuk mengambil air, hah! Berani sekali. Mereka baru bertemu beberapa menit yang lalu dan pria itu sudah berani memerintahnya? Hah!

"Wae?" Chanyeol mengalihkan pandangannya pada perempuan itu.

"Ani." Perempuan itu menggeleng pelan.

"Kalau begitu, ambil airnya!"

Perempuan itu terdengar mendengus kasar, sebelum berbalik dan mengambil sebotol air mineral dari salam mobilnya.

"Ini!" ujarnya dengan nada dingin.

"Pegang dulu."

Perempuan itu hanya diam. Biasanya, dia akan sangat senang bertemu dengan orang baru, karena hal itu bisa membuatnya memiliki banyak teman nantinya. Baru kali ini dia sangat kesal dengan orang yang baru di kenalnya ini. Tadi menyuruhnya mengambil air, sekarang malah di abaikan, maksudnya apa ini?

"Kenapa kau diam saja?"

"Tak ada yang harus aku bicarakan denganmu. Lagi pula kita tak saling kenal, aku tak harus bicara banyak denganmu bukan?"

Chanyeol menegakkan tubuhnya, lalu menatap perempuan dengan postur tubuh mungil itu. senyumnya terkembang sangat tipis.

"Gomawo." Pria itu mengambil kasar botol air mineral dari tangan perempuan itu, lalu membuka tutup botolnya dan menegak isinya hingga nyaris tandas.

"Kau bisa mencoba menghidupkannya sekarang."

Perempuan itu menatap Chanyeol tak percaya.

"Wae? Dari tatapanmu, sepertinya kau tak yakin aku bisa membetulkan mesin mobilmu yang mati ini."

"Di lihat dari wajahmu sepertinya kau bukan tipe orang yang bisa di percaya."

"Jinjja?" Chanyeol maju satu langkah, membuat jaraknya dengan perempuan itu menjadi sangat dekat.

"W-wae?" tanya perempuan itu gugup. Dia bukan tak pernah dekat dengan pria, hanya saja cara Chanyeol mendekat padanya membuatnya tiba-tiba terserang debaran aneh di dadanya.

"Aku sudah susah payah membetulkannya, bisakah kau coba menghidupkan mesinnya nona cantik?"

Perempuan itu mengangguk, lalu segera beranjak masuk ke dalam mobilnya.

Tak memerlukan waktu lama, mobil itu kembali mengeluarkan suaranya. Perempuan itu menatap Chanyeol yang tengah menutup kap mobilnya, dengan senyum tipis terkembang. Dia senang karena mobilnya bisa kembali di hidupkan.

Chanyeol melangkah mengambil tasnya, lalu mendekati perempuan itu.

"Sama halnya seperti halnya manusia. Mobil juga memerlukan perawatan rutin. Besok, bawalah mobilmu ke bengkel. Ada beberapa bagian yang harus di setel ulang."

"Nde."

"Aku pergi dulu!" pamit Chanyeol sambil melangkah meninggalkan perempuan itu.

Perempuan itu menatap punggung lebar Chanyeol yang semakin menjauh darinya. Sepertinya ada yang kurang? Dia berpikir keras.

Beberapa detik kemudian dia membuka kasar pintu mobilnya.

"Chankaman!" pekiknya keras, yang berhasil membuat Chanyeol berhenti dan berbalik menatapnya.

"Gomawo. Je ireumeun Byun Baekhyun."

.

.

.

Kriiiiiiinnnggggg!

Baekhyun langsung membuka matanya dan bangun dari tidurnya saat suara memengkakkan jam weker meraung seolah memanggilnya. Perempuan yang minggu lalu genap berumur tiga puluh dua tahun itu, kemudian beranjak dari ranjangnya dan langsung menuju kamar mandi.

Tak banyak yang dia lakukan di ruangan berukuran tiga kali empat meter itu. Rutinitas paginya tak berubah, bangun tidur, mandi lalu bersiap pergi kerja.

Butuh paling tidak lima belas menit bagi Baekhyun membersihkan dirinya. Setelah itu, dia keluar dari kamar mandi dan memilih baju apa yang akan di pakainya hari ini.

Karena rencananya hari ini dia kan lebih banyak berada di luar ruangan, Baekhyun memilih sebuah blouse lengan tujuh per delapan yang di padu dengan celana pendek sebatas paha. Untuk kakinya, dia memilih sneaker putih.

Drrrtttt... drrrrtttt...

Baekhyun melirik ponselnya yang dia letakkan dia atas meja, nama Joy tercetak jelas di layar itu. Dahinya berkerut dengan sangat jelas, tak biasanya asisten pribadinya itu menghubunginya sepagi ini. Ada apa?

"Wae Joy-ah?" tanya Baekhyun to the point begitu sambungan telpon sudah terhubung ke Joy.

"Ada sedikit masalah eonni."

"Mwoya?"

"Hari ini kita ada jadwal pemotretan di Nami island 'kan, tapi Jongin oppa mengatakan padaku, dia tak bisa pergi kerja hari ini."

Baekhyun mendudukkan dirinya di kursi, pelipisnya di pijat perlahan.

"Kau sudah menanyakan alasan ketidakhadirannya itu?"

"Dia hanya mengatakan tak bisa datang, tak memberi alasan apapun dan dia langsung mematikan ponselnya."

Baekhyun membuang nafas kasar. Kurang ajar memang salah satu fotografernya itu. selalu seperti ini. Setiap kali mereka menangani project besar, Jongin pasti berulah.

"Bagaimana dengan Jimin?"

"Jimin ada pemotretan di Gyeonggi, eonni."

"Aku akan segera kesana, kau coba cari fotografer yang bisa menggantikan Jongin."

"Nde."

Baekhyun memutus panggilan itu, dia kemudian bergegas meraih tasnya dan beberapa keperluan yang di butuhkannya untuk bekerja.

Setelah itu, perempuan berambut sebahu itu menghambur keluar rumah.

Sekitar lima belas menit kemudian, Baekhyun sudah sampai di kantornya. Sebuah kantor yang menempati ruko kecil di sekitar Seoul.

Baekhyun masuk ke kantor itu dan mendapati Joy yang tengah sibuk menelpon. Sedangkan Jimin, duduk tak jauh dari Joy sambil membersihkan kameranya.

"Bagaimana?" tanya Baekhyun sesaat setelah Joy mengakhiri telponnya.

Joy menggeleng lemah. Dia sudah menghubungi beberapa kenalannya, tapi tak satu pun yang bisa membantunya hari ini.

Baekhyun memejamkan matanya, kemudian menghempaskan pantatnya di samping Jimin. Hah!

"Ingatkan aku untuk memecat pria itu kalau besok dia datang ke tempat ini. Haish! Aku yakin dia sedang berasyik masyuk dengan kekasihnya yang lain." Baekhyun terlihat cukup kesal kala mengingat-ingat dosa yang dilakukan Jongin padanya.

"Aku punya teman yang mengerti fotografi. Meski dia tak pernah mengambil kelas khusus fotografi, tapi dia cukup pro di bidang ini."

Baekhyun dan Joy mengalihkan tatapannya pada Jimin.

"Ya! Kenapa kau diam saja sejak tadi Jimin-ah!" pekik Joy kesal.

"Kau tidak bertanya padaku."

"Lalu tadi apa aku bertanya? Kau tiba-tiba mengatakan hal itu, apa kau bertanya?" Baekhyun menatap tajam Jimin. Pria yang tak begitu tinggi itu memamerkan tawa tanpa suaranya.

"Hubungi temanmu itu, aku menunggu kabar baik darimu Jimin-ah. Ehm... kau siapkan yang lainnya Joy dan hubungi klien kita, katakan padanya mungkin kita akan sedikit terlambat. Jangan lupa meminta maaf padanya!" perintah Baekhyun sebelum masuk ke dalam ruang kerjanya.

.

.

.

I'm lucky i'm in love with my bestfriend

Lucky to have been where i have been

Lucky to becoming home again

Ooohhh... oooohhhh... oooohhh...

Chanyeol berusaha meraih ponselnya yang terdengar bernyanyi. Dengan mata sedikit tertutup dia mencoba menjawab panggilan itu.

"Yeoboseyo!"

"Hyung!"

"Ehm. Ada apa?"

"Aku membutuhkan bantuanmu hyung."

"Bantuan apa?"

"Bantuanmu sebagai seorang fotografer."

Chanyeol membuka matanya lebar, dia kemudian bangun dari tidurnya.

"Maksudmu?"

Jimin di seberang sana, mulai bercerita detail dari permohonannya atas bantuan Chanyeol. Sedangkan Chanyeol mendengarkan dengan setengah mengantuk.

"Ehm."

"Kau bisa 'kan hyung?"

"Kapan?"

"Setengah jam lagi kau harus sudah sampai ke tempat ini."

"Apa kau gila?"

"Ayolah hyung. Anggaplah ini permohonan seorang adik pada kakaknya."

Chanyeol diam sejenak. Hari ini dia masih libur dari pekerjaannya, dia juga tak memiliki rencana akan menghabiskan hari ini dengan melakukan kegiatan apa. Tawaran Jimin sepertinya menarik. Hhhh!

"Baiklah! Aku kesana setengah jam lagi. Kirimkan alamat kantormu."

"Gomapta hyung."

"Eoh."

Chanyeol melempar ponselnya begitu saja, dia beranjaka dari ranjangnya dan langsung menuju kamar mandi.

.

.

.

"Jimin-ah! Eotteoke?" tanya Baekhyun yang baru keluar dari ruangannya.

Jimin menatap Baekhyun, kemudian mengacungkan jempolnya.

Senyum Baekhyun terkembang lebar. Satu masalahnya selesai.

"Kau sudah bicara pada klien kita Joy-ah?" Baekhyun mengerutkan keningnya mendapati wajah masam Joy. Apakah kliennya marah?

"Aku sudah bicara pada mereka, ya... mereka memang sempat marah, tapi... mereka mengerti akan kondisi kita, jadi kita di maafkan. Ehehehehhe..."

"Kau membuatku nyaris terkena seragan jantung Joy-ah."

Joy tertawa lebar sambil memeluk Baekhyun dan melafalkan kata maaf.

"Baiklah! Ayo kita bersiap. Jimin-ah! Kau sudah memberitahu alamat kantor kita ke temanmu itu 'kan?"

Jimin kembali mengacungkan jempolnya.

"Semua sudah beres, nunna tinggal menunggu kedatangan orangnya saja."

"Ok! Jimin-ah! Kau di dampingi Seohyun eonni seperti biasanya, dia akan berangkat langsung dari rumahnya, jadi kau berangkat sendiri dengan kru-mu."

"Siap!"

"Joy! Persiapkan apa yang perlu kita bawa."

"Ok!"

Mereka bertiga terlihat sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk kesuksesan pemotretan untuk kepentingan prewedding hari ini.

Jimin sudah berangkat lebih dulu, dengan dua orang lain yang akan membantunya di tempat pemotretan nanti.

Sekarang, Baekhyun tengah duduk sambil memeriksa beberapa dokumen sambil menunggu teman Jimin. Menurut Jimin, temannya itu akan sampai di kantornya kira-kira setengah jam dari jam sembilan tadi, kalau sekarang jam setengah sepuluh, bukankah orang itu harusnya sudah datang? Tapi...

"Joy! Kau bisa tanyakan pada Jimin, temannya itu benar-benar datang atau tidak."

"Nde."

Joy baru akan mendial nomor Jimin saat matanya menangkap sesosok pria tinggi masuk ke dalam ruko mereka. Cara berpakaian pria itu terlihat santai, untuk atasannya, pria itu memadukan kaos putih dan kemeja yang tak di kancingkan, untuk bawahannya, dia memakai celana jeans belel yang di bagian lututnya terdapat lubang yang cukup besar. Rambut ikalnya dibiarkan begitu saja, benar-benar sosok yang menarik, menurut Joy.

"Nuguseyo?"

Pertanyaan Joy menarik perhatian Baekhyun, tatapannya tertuju pada pria yang berdiri di ambang pintu kantornya. Pria itu... sepertinya tak asing. Siapa?

"Ah! Kau bekerja disini juga?" pria itu menghampiri Baekhyun yang masih menatapnya dengan tatapan penuh tanyannya.

"Nu... ah! Kau yang semalam?"

Baekhyun ingat, pria itu yang semalam menolongnya.

"Kalian saling kenal?" tanya Joy bingung.

"Tidak/Tentu saja."

Joy menatap kedua makhluk berbeda jenis yang berdiri tak jauh darinya itu.

"Tidak atau tentu saja? Mana yang harus aku percaya?"

"Kau percaya padaku. Semalam aku menolongnya karena mobilnya mogok dipinggir jalan. Jadi tentu saja kami saling mengenal."

"Jinjjayo eonni?"

"Haish! Tak perlu di bahas lagi. Mau apa kau kemari?"

Baekhyun menatap Chanyeol dengan tatapan kesal.

"Aku teman Jimin. Tadi dia memintaku datang ke tempat ini."

Baekhyun menatap Chanyeol tak percaya.

"Kau fotografer?"

"Bukan."

"Lalu? Oh Tuhan! Joy-ah! Kepalaku sakit sekarang. Kau... hubungi Jimin sekarang juga, apa maksudnya dengan ini semua?"

Baekhyun memijat pelipisnya. Kepalanya kembali terasa sakit. Hari ini, sepertinya hari sialnya. Jadwal yang sudah di susunnya harus berantakan akibat ulah satu orang, Kim Jongin.

"Aku tidak bekerja sebagai fotografer, tapi aku bi..."

Baekhyun mengisyaratkan pada Chanyeol untuk diam. Kepalanya akan semakin bertambah sakit sepertinya kalau dia harus mendengar rentetan penjelasan dari pria tinggi itu.

"Joy!"

"Iya! Ini sedang di hubungi eonni. Belum juga diang... ah! Jimin-ah!" Joy menyerahkan ponselnya pada Baekhyun.

"Apa kau berniat menghancurkan usaha kita ini Jimin-ah! Kau mengatakan temanmu bisa membantu kita, tapi yang datang... dia bukan fotografer. Lalu apa maksud semua ini?" tanya Baekhyun gusar.

"Dia memang tak berprofesi sebagai fotografer nunna. Tapi dia pro kalau masalah memotret. Percayalah, hasil bidikan kameranya jauh lebih bagus daripada aku. Kalau ada apa-apa, aku yang akan mempertanggungjawabkan semuanya."

"Kau yakin dengan yang kau katakan?"

"Yakin. Dia tak akan mengecewakan kita nunna."

"Baiklah! Aku percaya padamu. Ingat ucapanmu, kalau sampai karir kita tamat hari ini, semua salahmu dan Jongin!"

"Nde."

"Kita berangkat sekarang, Joy-ah! Kau juga!" Baekhyun mengambil tasnya, kemudian mengajak Joy juga Chanyeol keluar dari kantornya dan langsung masuk ke dalam mobil yang sejak tadi sudah di siapkan sopir kantornya, Shin Donghee.

Joy memilih duduk di samping Shindong, sedangkan Baekhyun duduk di bangku belakang bersama Chanyeol. Sepanjang perjalanan yang menghabiskan waktu satu setengah jam, Baekhyun memberi arahan pada Chanyeol tentang konsep yang akan dipakai kedua calon mempelai untuk foto prewedding mereka nantinya.

Namun, bukannya mendengarkan Baekhyun, pria tinggi berambut ikal itu justru memilih memejamkan matanya.

"Kau sedang mengabaikanku Tuan Park?" tanya Baekhyun dengan nada marahnya.

"Aku tak perlu hal-hal semacam ini untuk mengambil gambar objekku. Jadi diamlah! Aku ingin tidur sebentar saja."

Baekhyun mendengus tak terima.

"Apa kau tahu, aku membuat konsep ini lama. Sampai kemudian di setujui klienku, tapi kau... haish! Sial!" Baekhyun terlihat semakin kesal.

.

.

.

Baekhyun diam di bawah sebuah pohon rindang sambil bersidekap. Matanya nyalang menatap Chanyeol yang sedang mengambil gambar pasangan calon mempelai itu. Pria itu di bantu Joy dan asistennya yang lain.

Kalau boleh jujur, hatinya masih dongkol dengan sikap Chanyeol yang terkesan tak bisa menghargai usahanya itu.

Di dunia ini, rupanya ada pria semacam itu. Yang tengil, tak punya perasaan dan bertindak sesuatu dengan seenak jidatnya sendiri.

Hell!

Apa pria itu tak menyadari resiko yang harus di hadapinya kalau sampai apa yang di kerjakannya hari ini, ternyata tak cukup membuat kliennya puas. Bukan, bukan Chanyeol yang akan di salahkan kalau ada apa-apa, tapi dia, iya dia, karena dia pemilik dari usaha jasa itu, karena dia penanggungjawabnya.

Hah!

Kalau bukan karena dia membutuhkan bantuan pria itu, mungkin saat ini dia sudah menendang jauh-jauh pria itu dari tempat ini.

"Eonni! Kau tak ingin melihat hasil fotonya?" Joy berlari kecil menghampiri Baekhyun sambil membawa kamera yang tadi di gunakan Chanyeol untuk memotret.

"Tidak. Hasilnya pasti jelek." Sahut Baekhyun dengan nada ketus.

"Lihat dulu baru komentar." Joy mendekati Baekhyun, lalu memamerkan hasil bidikan kamera Chanyeol.

"Merek berekspresi dengan sangat natural. Dia mengatakan pada klien kita bahwa dia ingin mengambil beberapa buah gambar yang bisa mewakili perasaan keduanya. Terserah mereka mau berpose seperti apa, yang jelas Chanyeol-ssi benar-benar sanggup menyampaikan perasaan keduanya melalui gambar-gambar ini. Gambar ini seolah menceritakan betapa mereka berdua saling mencintai satu sama lain. Hah! Jongin oppa kalah telak aku rasa eonni."

Baekhyun tak menyahuti Joy. Dia melihat satu per satu hasil kerja keras Chanyeol. Memang tak ada yang sesuai dengan konsep yang dia buat beberapa waktu lalu, tapi... benar kata Joy, melalui gambar-gambar yang di ambil Chanyeol, yang melihat akan tahu bahwa pasangan calon pengantin itu saling mencintai.

Baekhyun takjub dengan hasil foto itu. Hmm... Jongin yang sudah pro saja, belum tentu bisa mengambil gambar seperti ini. menangkap setiap moment yang tercipta dari pasangan itu dengan sangat baik dan sempurna.

"Baguskan eonni?"

Baekhyun menatap Joy, kemudian mengangguk kecil. Harus diakuinya, Chanyeol pintar dalam hal ini.

"Ada yang tak sesuai dengan keinginanmu?" tanya Chanyeol yang baru kembali setelah mengobrol banyak dengan calon mempelai pria.

"Aniya." Baekhyun menggeleng, dia puas dengan kerja Chanyeol.

"Aku akan memindahkan ini di flashdisk, biar Jimin yang mengeditnya nanti."

"Eoh."

"Mana kameraku!"

Tatapan Baekhyun berubah saat Chanyeol meminta kameranya. Dia tadi sempat berpikir, Chanyeol orang yang baik kalau bicaranya normal. Tapi sikap menyebalkan pria itu kembali dengan sangat cepat rupanya.

Baekhyun menyerahkan kamera itu pada pemiliknya. Tak berapa lama setelah kamera itu kembali di pegang Chanyeol, tiba-tiba saja...

Cekrek!

"Ya! Apa yang kau lakukan?" seru Baekhyun sambil menatap Chanyeol dengan tatapan kesalnya.

Chanyeol tersenyum kecil, lensa kameranya masih menghadap Baekhyun dan beberapa kali jarinya menekan tombol shutter.

"Tetap seperti itu, kau cantik dengan pose seperti itu." ujar Chanyeol sambil memperhatikan hasil bidikan lensa kameranya.

"Ya! Kurang ajar!" Baekhyun berdiri dari duduknya, hendak merampas kamera Chanyeol. Tapi pria itu lebih gesit untuk menghindar.

"Mwo?"

"Kau sudah lancang mengambil fotoku. Berikan itu sekarang!"

"Ani."

"Berikan sekarang juga. Aku tak ingin bertengkar lagi denganmu."

"A-ni-ya."

"Ya!" seru Baekhyun sekali lagi. Tuhan! Kenapa dia harus di pertemukan dengan laki-laki semacam ini?

Baekhyun menatap Chanyeol tajam, yang dibalas pria itu dengan tatapan jenakanya. Menggoda Baekhyun ternyata cukup membuat Chanyeol terhibur.

"Biasanya, yang suka bertengkar tumbuhnya bukan benci tapi justru cinta eonni."

Baekhyun memilih memutus tatapannya setelah apa yang dikatakan Joy di pahaminya. Mencintai pria di hadapannya ini? BIG NO!

"Kita pulang!" ajak Baekhyun sambil berlalu dari hadapan Chanyeol.

Gadis bertubuh mungil itu menyusul Joy yang sedang sibuk membereskan properti yang mereka bawa untuk pemotretan kali ini. Dengan di bantu Shindong tentu saja.

Sekitar lima belas menit kemudian, mereka sudah siap kembali ke Seoul.

"Kalian pulang saja, aku masih ingin di sini." Beritahu Chanyeol pada rombongan Baekhyun, Joy dan Shindong.

"Mau apa kau berlama-lama disini?" tanya Baekhyun dengan nada ketus. Chanyeol tersenyum kecil.

"Mau ikut menikmati Nami island?"

.

.

.

Entah mendapat bujukan dari siapa, yang jelas, Baekhyun mengangguki ajakan Chanyeol untuk menikmati Nami island di waktu menjelang senja. Menikmati indahnya musim semi di negeri khayalan ini, berjalan di antara pepohonan yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri jalan. Nami benar-benar indah.

"Kau pernah kesini sebelumnya?" tanya Chanyeol di tengah kesibukannya membidik hal-hal yang dianggapnya menarik untuk diabadikan melalui sebuah foto.

"Beberapa kali pernah melakukan pemotretan untuk prewedding disini, tapi tak pernah benar-benar menikmati pemandangan ini. Nami ternyata benar-ben..."

"Berhenti disitu!"

Baekhyun menatap Chanyeol dengan tatapan bingung. Ada apa? Apa ada sesuatu? Kenapa tiba-tiba Chanyeol memintanya berhenti.

Rasa penasaran Baekhyun terjawab saat kilatan blitz menyapa wajahnya. Baekhyun mendesah perlahan.

"Lain kali kau harus meminta ijin kalau ingin memotretku. Bayaranku mahal sebagai model."

"Kalau mengambil gambarnya tanpa di sadari objek yang dimaksud, hasilnya jauh lebih bagus. Ekspresinya lebih alami, tak di buat-buat. Mau lihat hasilnya?"

Baekhyun mengangguk antusias. Dia kemudian melangkah mendekati Chanyeol.

Pria tinggi itu memamerkan bidikan kameranya pada Baekhyun.

"Orang lain mungkin tak akan percaya kalau kau belajar semua ini secara otodidak." Ujar Baekhyun.

Sepanjang perjalan mereka menikmati pemandangan Nami island setelah Baekhyun memutuskan untuk ikut Chanyeol, gadis itu banyak bertanya seputar fotografi pada pria itu. dari pembicaraan itu, Baekhyun tahu kalau Chanyeol mempelajari semua itu secara ototdidak. Tak ada guru yang mengajarinya. Hebat!

"Aku tak peduli pendapat orang lain."

Baekhyun memicingkan matanya pada Chanyeol.

"Ish! Sombong sekali."

"Mau mencoba memotret?" Baekhyun menggelengkan kepalanya atas tawaran Chanyeol.

"Wae?"

"Aku tak yakin bisa. Kalau memotret dengan kamera digital biasa atau kamera ponsel masih ok. Tapi kamera yang seperti ini..." Baekhyun kembali menggeleng.

"Kau tak akan tahu hasilnya kalau kau tak berani mencobanya. Pegang!"

Baekhyun menerima kamera Chanyeol yang menurutnya cukup berat.

"Lihatnya dari lensa yang ini, lalu fokuskan pada objek yang ingin kau ambil gambarnya. Kalau kau merasa objek terlalu kecil, kau bisa memutar bagian ini untuk memperbesarnya. Tombol yang ini bernama shutter. Kalau kau sudah yakin dengan apa yang ingin kau bidik, tekan tombol ini. Sekarang cobalah!" Chanyeol memberi penjelasan singkat, sepertinya Baekhyun memahami penjelasan itu.

Gadis itu mengangguk, lalu mulai menentukan objek yang ingin di bidiknya. Yang dia lakukan setelah itu sesuai petunjuk Chanyeol, fokus, dan... satu bidikan berhasil Baekhyun lakukan.

"Coba lihat!" Chanyeol melihat hasil bidikan Baekhyun. Senyumnya terkembang tipis.

"Yang amatir dan pro memang benar-benar berbeda." Cibir Chanyeol setelah melihat hasil percobaan Baekhyun yang blur itu.

"Ya!" pekik Baekhyun tak terima.

"Sekali lagi, sini!"

Chanyeol membalik tubuh Baekhyun, lalu menempatkan kedua tangannya yang memegang kamera di kanan kiri tubuh Baekhyun.

"Kau yang melihat dari sini, nanti aku yang akan mengatur perlu tidaknya objek di perbesar."

Baekhyun terdiam dengan tubuh menegang seketika, saat punggungnya bertubrukan dengan dada bidang Chanyeol. Bagaimana mereka bisa sedekat ini, padahal mereka baru bertemu dua kali.

Baekhyun mendongak, melirik Chanyeol yang begitu dekat dengannya.

"Kau ingin memotretku? Lihat depan!" Baekhyun mengalihkan tatapannya dengan gugup. Dadanya berdesir halus karena hal itu.

Tidak! Pasti ada yang salah disini.

"Lain kali saja kau belajarnya." Baekhyun menjauhkan diri dari Chanyeol.

"Lain kali? Kau berharap bertemu denganku lain kali?" Chanyeol tersenyum sambil menaikturunkan alisnya.

"Ani. Lain kali aku bisa belajar dari orang lain. Ada Jimin dan Jongin di kantorku. Yang pasti tak keberatan mengajariku." Sahut Baekhyun cepat. Dia tak ingin Chanyeol salah paham walau sebenarnya tebakan pria itu tak seratus persen salah.

"Ooooo..."

.

.

.

Baekhyun seperti tak mengenali dirinya hari ini. Setelah mengangguki ajakan Chanyeol untuk menikmati pemandangan di Nami, perempuan berambut sebahu itu kembali mengiyakan ajakan Chanyeol untuk menikmati Ramen sesaat setelah kaki mereka menginjak Seoul.

Dan disinilah mereka sekarang berada. Di sebuah kedai Ramen berlantai dua yang terdapat di kawasan Myeondong.

Chanyeol memilih tempat duduk di lantai dua, di dekat sebuah jendela kaca besar yang terbuka. Dari jendela yang terbuka itu, semilir angin terasa sejuk menimpa wajah keduanya. Hmm...

Perlu di ketahui, selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini, Baekhyun menganut pola hidup sehat. Dimana dia sangat jarang bahkan nyaris tak pernah menyantap Ramen. Menurutnya, Ramen masuk dalam daftar makanan tak sehat, jadi harus di hindarinya.

Kalau sekarang ini dia mengiyakan ajakan Chanyeol untuk menikmati Ramen. Ini aneh, iya, dia aneh hari ini dan dia merasa bahwa ini bukan dirinya.

Joy, Jongin, Jimin bahkan anggota keluarganya yang lain, tak pernah berhasil membujuknya untuk hanya sekedar berkunjung ke sebuah kedai ramen, tapi Chanyeol... pria yang baru di temuinya dua kali itu, sekali mengatakan sesuatu, dia langsung saja mengikutinya.

Entahlah! Alam bawah sadarnya, seolah menginginkan dirinya untuk berlama-lama dengan Chanyeol.

"Kalau kau hanya melamun, Ramennya akan mengembang dan lembek. Menyantap ramen dengan keadaan yang sudah lembek, tak seenak saat kita menyantap ramen yang baru disajikan, jadi... makanlah!"

"Eoh."

Baekhyun mulai menyantap Ramennya, sedikit demi sedikit. Enak di lidahnya, tapi lama-lama dia ingin muntah.

"Wae? Kau tak bisa makan ramen?"

Baekhyun menatap Chanyeol dengan tatapan tak enak.

"Jangan di lanjutkan!" Chanyeol mengambil beberapa tisu dari tempatnya, lalu meletakkannya di bawah mulut Baekhyun. "Keluarkan!" perintah Chanyeol yang di hadiahi Baekhyun dengan tatapan polosnya.

Baekhyun menggeleng pelan.

"Apa? Kau malu? Ayo keluarkan!"

Akhirnya, Baekhyun mengeluarkan isi mulutnya. Chanyeol dengan tanpa merasa jijik, langsung menangkup tisu tempat Baekhyun mengeluarkan ramennya, kemudian membuangnya di tempat sampah.

"Kau seharusnya bilang kalau tak suka ramen. Jangan iya-iya tapi nyatanya seperti ini." omel Chanyeol sambil mengusap lembut bibir Baekhyun dengan tisu.

"Mian." Lirih Baekhyun penuh penyesalan.

"Kau tadi bisa pesan yang lain kalau memang tak suka ramen. Tunggu disini!" Chanyeol turun dari kursinya, lalu berlalu begitu saja tanpa mengatakan apapun lagi.

Lima menit kemudian, Chanyeol kembali dengan satu bungkus roti sobek.

"Setidaknya, ada yang bisa mengganjal perutmu. Tadinya mau ku belikan yang lain, tapi belum tentu juga kau mau." Ujar Chanyeol panjang sambil menyerahkan roti yang di bawanya pada Baekhyun.

"Gomawo." Baekhyun tersenyum kecil saat menerima roti itu, dengan perlahan, perempuan itu mulai menggigit rotinya.

"Kau tahu, kau lebih terlihat cantik saat sedang tersenyum."

Baekhyun menghentikan kunyahannya, tiba-tiba tenggorokannya tercekat. Dengan kebingungan, Baekhyun meraih gelasnya, lalu meminum isinya hingga nyaris tandas.

"Kau sedang merayuku Tuan Park?"

Chanyeol tersenyum simpul, lalu meminum ocha daru gelasnya.

"Terlihat jelas ya?"

"Heh!"

"Mari kita berkencan!"

Baekhyun menatap Chanyeol dengan tatapan kaget. Pria di sampingnya ini masih dalam kondisi sehat bukan? Tidak sedang mengalami gangguan kejiwaan 'kan? Kenapa omongannya jadi sedikit aneh?

"Kau pasti menganggapku gila bukan?"

"Tentu. Sepertinya ada yang salah dengan otakmu."

"Tidak ada yang salah dengan otakku, aku serius mengatakannya."

Baekhyun tertawa kecil tanpa suara.

"Kau tak percaya?"

"Bagaimana aku bisa percaya. Kita bertemu baru dua kali, tapi kau tiba-tiba mengajakku kencan. Apa namanya kalau bukan gila?"

"Adakah syarat yang harus ku penuhi agar kau menerima ajakanku?"

"Aku tak akan memberi syarat apa-apa pada pasanganku nanti, aku hanya merasa bahwa ini salah. Bagaimana bisa kita tiba-tiba berkencan padahal kita belum terlalu lama kenal."

"Itu syaratnya. Kita harus mengenal lebih lama lagi agar di kemudian hari kita bisa menjalin hubungan serius? Kenapa? Apakah itu sangat penting untukmu?"

"Penting atau tidak, setidaknya saat kita sudah lama saling mengenal, kita akan tahu sifat masing-masing dari kita. Kalau kita tahu sifat masing-mas..."

"Aku tak pernah merasa tak yakin dengan apa yang dikatakan hatiku."

"Apa yang dikatakan hatimu?"

"Aku harus mengencanimu untuk memilikimu."

Baekhyun meletakkan rotinya di atas meja. Nafasnya di buang perlahan. Senyumnya terkembang dengan sangat tipis.

"Apa yang kau tahu tentang aku selain aku adalah atasan Jimin? Tidakkah kau akan menyesal kalau nanti ternyata aku tak seperti yang kau bayangkan."

"Aku hanya membutuhkan keyakinanmu untuk ku miliki."

"Cinta tak semudah itu untuk di jalani. Bisa saja akan banyak perbedaan diantara kita nantinya."

Chanyeol mengangguk-angguk mengerti.

"Aku perlu memberitahumu tentang hal ini, aku bukan tipe pria yang akan berjuang untuk satu wanita saja. Bagiku, ketika aku menawarkan diri untuk menggenggam tangan wanita, maka hanya tangan wanita itulah yang akan ku genggam selamanya. Tapi kalau uluran tanganku ternyata di tolak, ya sudah. Aku tak akan memaksa."

Baekhyun menatap Chanyeol dengan tatapan yang sulit di artikan. Ada kilat kecewa di mata kecil itu.

"Padahal wanita sangat suka dan selalu ingin di perjuangkan. Demi melihat besar pria itu mencintainya."

"Kalau setelah berjuang mati-matian ternyata wanita itu tak mencintai bagaimana?"

Baekhyun diam, dia pernah berada di posisi di perjuangkan. Tapi... meski pria itu mati-matian berjuang untuk mendapatkan cintanya, hatinya tak tergerak sedikit pun pada pria itu. Dia jahat? Bisa saja iya. Tapi, bukankah cinta tak bisa di paksakan?

"Aku memilih tak berjuang, karena aku tahu, tak semua wanita layak untuk di perjuangkan."

"Termasuk aku."

Chanyeol tersenyum tipis.

"Aku sudah menawarimu tadi, tapi kau menolakku."

Baekhyun tak lagi menyahuti ucapan Chanyeol. Dia memilih melempar tatapannya keluar jendela dengan tangan yang menangkup erat gelas minumnya.

.

.

.

TBC/END

Note : Terimakasih atas dukungan tak terbatasnya terhadap karya-karya saya.

Adakah yang mengikuti drama Temperature of love...

Yang belum mengikuti, cobalah mengikuti drama itu.

Asli, bikin deg2an, gregetan dan gemes.

Cerita ini terinspirasi dari drama itu, semoga kalian suka... #Bow

Kalau banyak kekurangan di cerita kali ini, maaf yg sebesar-besarnya. #deepbow

.

.

.

^_^ Lord Joongie ^_^