JinMIn
Vmin
Yaoi
-Typo bertebaran-
Kim's mansion...
". . ."
"Pokoknya aku tidak mau tahu, besok aku harus melihatmu, Sungwoo dan Taemin hyung di tempat biasa, titik,"putus suara dari seberang seenaknya. Astaga keras sekali aku sampai mengernyit merasakan kupingku mau retak karena pekikkan suara dari salah satu sohibku yang menelponku malam-malam begini.
Beruntung gendang telingaku tidak pecah, aku heran kenapa Jongin hyung menjadi cerewet sekali, pasti ada hal penting yang ingin dia ceritakan, aku harus meluangkan jadwalku besok.
Sudah pukul sebelas malam kan, berarti hampir satu jam aku telponan dengan Jongin hyung. Sebaiknya langsung tidur, badanku juga rasanya remuk sekali,, seharian ini,, Oh, urusan kantor yang tidak selesai-selesai, sangat merepotkan. Yang benar saja, hari ini kalau di ingat-ingat aku menghadiri tiga meeting sekaligus, di tempat yang berbeda-beda pula, satu di Ilsan, dan dua di Gangnam. Ya Tuhan, seharian ini tubuhku di oper kesana kemari. Aku melenguh sembari melakukan beberapa peregangan sebelum aku membaringkan tubuhku di kasur yang nyaman ini.
Saat hendak mematikan lampu tidur, pergerakanku terhenti ketika melihat foto itu. Foto pernikahanku, ku raih itu dan menatapnya cukup lama, lalu memeluknya erat. Aku sungguh merindukannya. Sangat-sangat rindu.
'Ting, Tong,,'
Apalagi,? Tamu,? Malam-malam begini,(?). Ayolah, Park Jimin butuh istirahat sekarang. Bel pintu itu makin keras saja, dan berulang-ulang. Dari pada membuat kupingku budeg aku pun bergegas mengambil mantel dan beranjak keluar untuk membuka pintu itu. Yeah, aku tidak akan keluar dengan pakaian tipis yang ku kenakan kini,, terlebih setelah ikatan yang ku jalani, tidak akan.
"Paket,,!"teriak seseorang dari luar itu. Paket,(?) aku tidak mengerti, aku juga tidak merasa membeli barang online, terlebih larut malam begini, paket apa yang mendatangiku.
Aku mendudukkan diriku di sofa depan perapian. Winter kali ini terasa lebih dingin meski sudah menyalakan penghangat di rumah. Masih ku tatap dengan heran paket yang terbalut bungkus berwarna biru toska dengan pita merah muda menghiasinya itu. Cantik sih, aku jadi penasaran apa isinya. Ku putuskan untuk membuka itu. Hey, aku dapat sebuah boneka santa di dalamnya, benarkah untukku(?). Lucu sekali, begitu yang tertera di pikiranku saat melihat boneka berukuran mungil itu. Aku meraih itu, dan ternyata ada surat, menempel di bokongnya, aku sempat terkikik.
'Happy Winter's day.
Jalanan di manapun bersinar dalam perayaan winter di sini dapat ku lihat dari atas gedung ini, bagaimana denganmu disana sayang,?
Aku selalu melihat senyum cantikmu dalam bayang-bayang malamku. Maafkan aku tidak bisa di sampingmu di musim yang dingin ini. Hanya untuk sekedar memelukmu agar hangat, aku tidak bisa.
Aku masih belum tahu hal apa yang paling indah untukmu. Ku pikir santa bisa menghibur kesepian yang kau rasakan. Seperti yang kau katakan, santa adalah yang paling kau tunggu saat winter.
Aku sungguh minta maaf, maaf untuk semua yang tidak bisa ku lakukan sebagai lelakimu, maaf untuk hari-hari mu yang harus sendiri.
Disini aku masih sama, mencintaimu.
Langit yang ku lihat pun juga masih sama seperti yang kau lihat. Aku sungguh tidak bisa mengatakan hal yang manis, aku minta maaf.
Aku akan berusaha keras agar segera pulang.
Aku merindukanmu sayangku, suamimu, Kim Seokjin
Oh Iya, meski boneka itu tidak sebesar diriku, ku harap kau menyukainya sebagai teman tidurmu,tidurlah dengan nyenyak di setiap malam dan mimpikan suamimu,
AKU MENCINTAIMU.'
Tanganku bergetar lemah memegang kertas itu, rasanya pertahanan yang kubangun selama ini runtuh, aku tidak dapat menahannya lagi. Bagaimana ya,, aku senang, tapi ingin menangis, namun sedih juga menyerambah. Kertas berisi tulisan tangan yang indah ini sudah akan sobek oleh air mataku yang membanjirinya. Aku sungguh tidak bisa menyimpan lagi emosiku dan terisak malam itu di tengah rintik salju yang menjatuhi atap rumah. Hal yang membuatku sakit, setiap kali aku membaca kata 'maaf' dalam surat itu. Benar-benar ku sesali, seharusnya aku, sebagai istri mendampingi suaminya. Tapi Seokjin hyung terus meminta maaf seolah semua yang terjadi karena dirinya. Aku ingin menjerit, apa tidak apa-apa,?,, Aku ingin menangis lebih keras, apa tidak apa-apa,?. Rasanya sakit sekali,, benar-benar sakit,, ini sesak.
Usia pernikahanku dengan pria berusia tiga puluh tahun itu masih sebentar, tiga bulan. Dan sejak dua minggu setelah pernikahanku dengan Seokjin hyung, seorang direktur pemasaran perusahaan Jepang yang memiliki anak cabang di Korea itu harus di tarik kembali ke Perusahaan pusat karena adanya target pemasaran yang harus di capai oleh perusahaan brand Fashion terkenal itu. Dan ini kupikir datang sebagai sebuah ujian dalam rumah tangga kami. Berarti aku harus bertahan, kan, dan melaluinya,,? Lalu kenapa aku masih sering menangis.
FLASHBACK...
Author side,
Di sebuah rumah bergaya Mediteranian yang memiliki halaman yang luas dengan pohon-pohon rindang nan sejuk, di tambah dengan rerumputan yang hijau, di tempati oleh pasangan suami istri yang tidak biasa dan baru, baru seminggu yang lalu,
"Pagi,,"sapa Seokjin yang tengah sibuk mengelap rambut basahnya sebab baru saja mandi, ia lalu menghampiri namja mungil yang sepertinya tengah serius dalam acara membuat sarapan itu. Jimin baru belajar memasak, maklum kalau sesekali ia harus melihat buku resep yang ada di sisi kanannya itu. Saking sibuknya ia tidak menyadari kehadiran suaminya yang sekarang berdiri tepat di belakangnya, mengamati dia, kadang buku resepnya.
"Apa yang sedang kau masak,? Sepertinya enak,"ujar Seokjin yang berbisik di telinganya, juga melingkarkan tangan di pinggul Jimin.
"Eh,?!", sontak Jimin terperanjat dan langsung menjadi kikuk, lihat saja, pipinya memerah.
"Sejak kapan kau bangun, hyung,?"tanyanya gugup. Menyadari tersayangnya itu masih canggung dengan suasana yang dibuatnya, Seokjin malah tesenyum jahil.
"Ya Ampun, sibuk sekali sampai baru sadar ada pria tampan memperhatikanmu dari kejauhan sejak tadi,"kata Seokjin dengan nada manja, malahan sekarang pria itu menyandarkan kepalanya di bahu sempit sang istri, mengendus aroma manis disana, sesekali mengecup pelan. Jimin sangat sensitive di bagian itu berusaha mati-matian menahan rasa gelinya sampai membuat wajahnya seperti kepiting rebus, tangannya bahkan tidak mampu lagi mengupas bawang. Tegang. Menyadari istrinya salah tingkah, Seokjin pun mengakhiri aksinya itu, kasihan juga dengan Jimin yang jadi tidak nyaman.
"Emh, kau masih memakai shampoo ini, aku suka wanginya,"ujar Seokjin yang beralih menghirup aroma manis Strawberry Milk dari surai coklat madu Jimin.
Jimin hanya tersenyum malu mendengarnya. Hari ini keduanya sama-sama mengambil cuti dari kantor masing-masing karena besok mereka akan berangkat ke Jeju untuk bulan madu. Jujur saja, meski dua minggu berlalu sejak menjadi suami istri, Seokjin belum pernah sekalipun meniduri Jimin. Menjamahnya,(?). Dia belum tega, Jimin polos sekali dalam penglihatan dia,, tapi mungkin kalau Jimin mau bersikap sedikit sexy, Seokjin tidak akan mentoleransi.
Sekarang saja keduanya masih canggung. Jimin itu sering berteriak setiap pagi mendapati ada pria tidur di sisinya saat ia bangun, padahal itu kan suaminya, tapi dia beteriak seolah-seolah mendapati maling atau pria cabul. Jimin belum terbiasa, dan Seokjin paham dengan mental istrinya itu, sebagai pria yang tulus mencintai Jimin, ia akan menunggu. Namun saat bulan madu nanti, Jimin menegaskan pada dirinya kalau dia harus siap, ia berencana tidak ingin menunda kehamilan karena usianya sudah dua puluh tujuh tahun, dan Seokjin tepat tiga puluh tahun, Jimin ingin saat anaknya dewasa nanti, ia dan suaminya masih belum terlalu tua dan sehat, begitu rencananya. Jimin pun mulai mengubungi beberapa temannya yang sama dengan dia(gay), yang telah melakukan program bayi.
'Ding, Dong,,!'
Suara yang menggema, membuat keduanya menoleh bersamaan.
"Akan ku buka,"Seokjin berseru, dan langsung beranjak menuju pintu. Ia melesat cepat meninggalkan Jimin untuk mencari tahu siapa yang pagi-pagi begini sudah bertamu. Jimin hanya menengok sekilas kepergian Seokjin dan kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.
"Emh, ladanya dua sendok teh atau tiga ya,, aish, aku lupa,"Jimin mendengus pada dirinya sendiri, ia kembali melihat buku resep, karena lupa dengan pekerjaan memasaknya yang sampai mana.
Tak berapa lama setelah itu, Seokjin kembali lagi dengan ekspresi tak terbaca, mata pria itu membulat, seperti mau menyampaikan sesuatu padanya. Tapi bibirnya bingo.
"Sayang,,!"panggilnya pada Jimin setengah berbisik,
" ,,"
"Hah,?! yang dari Jepang itu,,?"mata Jimin pun ikut membulat tak percaya,
"Iya,", Seokjin mengiyakan.
Dia sebentar dan saling memandang.
Lalu Jimin bergegas untuk membuat minum bagi tamu penting itu, sementara Seokjin kembali ke ruang tamu.
,,,,,,
Suasana menjadi legam di ruang tamu itu sepeninggal , tak ada yang bicara, baik Jimin maupun Seokjin tidak berniat untuk membuka suara terlebih dahulu, beberapa cangkir kopi yang tadi di sediakan untuk tamu mereka itu pun telah kosong setelah peminumnya pergi. Seokjin tidak mampu menatap istrinya setelah apa yang barusan terjadi.
"Aku tidak akan pergi,"ucap Seokjin kemudian dengan tegas, Jimin menatap suaminya yang memutuskan hal itu.
"Jangan, sudah datang jauh-jauh,,"Jimin menghela napas sejenak, untuk meredam sesuatu juga di hatinya. Sedangkan Seokjin malah meremas kepalanya, tertunduk.
"...perusahaan pasti sangat membutuhkanmu sampai datang jauh-jauh kemari memintamu,",tambahnya pelan, mencoba untuk tenang. Ia menyentuh pundak Seokjin membuat pria itu menoleh memandangnya.
". . .tidak apa jika liburan kita harus di tunda, tiga bulan bukan waktu yang lama, aku mendengar jelas tadi jika kau dapat mencapai target sebelum waktu yang di tentukan, kau akan lebih cepat kembali, maka dari itu bekerja keraslah, itu tanggung jawabmu sebagai direktur pemasaran, Okey,"tutur Jimin dilengkapi dengan senyum termanisnya meyakinkan dengan nada khasnya yang lembut, salah satu dari sekian juta tentang Jimin yang membuat Seokjin selalu merasakan cinta pertama. Ia mendapatkan energinya lagi sebab namja itu,
"FIGHTING,,!"lagi. Jimin tersenyum penuh semangat untuk Seokjin, pria itu bahkan tidak bisa berkata apa-apa. Sungguh berat baginya untuk meninggalkan sosok yang telah menjadi istrinya itu, meski untuk urusan pekerjaan. Dia dia sebenarnya tipe yang profesionalitas, namun membayangkan akan meninggalkan Jimin selama tiga bulan lamanya,, astaga Seokjin menemukan ketidakrelaan di hatinya.
Membawa Jimin bersamanya juga bukan ide yang bagus, terlebih namja yang sangat ia cintai itu adalah CEO di perusahaan kosmetik di Korea, ia tidak mungkin membawa Jimin ke Jepang selama itu hanya untuk menemani dia dan membiarkan perusahaan Jimin kosong begitu saja.
Tatapan Seokjin menjadi begitu sendu, ia kalut, tidak bisa mengatakan apa-apa pada istrinya yang berusaha menyemangatinya itu. Sungguh dia frustasi. Jimin yang melihat suaminya berada dalam dilema, dengan penuh pengertian menggenggam erat telapak Seokjin yang lebih besar darinya itu,
"Hyung, Kau harus semangat untukku..! Kajja,! Kita harus mulai berbenah karena kau harus berangkat besok."Jimin menarik Seokjin dengan perlakuan imut untuk berdiri, dan Seokjin berdiri meski lemah, namun kemudian pria itu seketika menarik tubuh Jimin dan memeluknya erat. Jimin sedikit terkejut dengan perlakuan tiba-tiba suaminya, ia paham dan balas merangkulnya, mengusap lembut punggung suaminya itu. Seokjin terus menyesapi setiap aroma surai lembut Jimin yang sangat ia suka. Seokjin sungguh tidak ingin berpisah meski hanya sedetik. Sampai dia yang pernah mengucap ingin terlihat keren di depan Jimin setiap waktu,, kini malah mau menangis, seperti bayi,, merasakan keengganannya.
"Mianhae, jebal, mainhae,,"ujar Seokjin dengan suara berat, berkali kali,
"Gwaenchanha. Aku akan menantimu di sini, jadi kau harus cepat pulang, Arrasseo,,,"Jimin melepas pelukannya dan lalu menatap mata Seokjin yang nanar. Ia tersenyum manis dan
CHUP,
kecupnya lembut, meski hanya sekilas pada bibir suaminya itu, Seokjin tidak menduga. Mata Seokjin seketika membulat karena itu pertama kalinya,
"Ya..! Kau nakal rupanya,"goda Seokjin. Jimin tersenyum malah tersenyum imut oleh puppy eyesnya, terlebih rona merah di pipinya semakin membuatnya tampak manis saja. Senyum Jimin yang menutupi rapat-rapat rasa sedih di hatinya karena harus berpisah,
"Walau bekerja keras, kau tidak boleh lupa makan dan istirahat, Okey,,"
Seokjin mengangguk , lalu mereka kembali memeluk lebih erat, karena sejujurnya sangat berat untuk berpisah.
"Aku tidak ingin membayangkan, bagaimana nanti rasa rindu padamu,,"
FLASCBACK END,,
Aku memandang lekat perapian yang kayu bakarnya mulai habis itu, sembari memeluk erat boneka santa dengan sangat nyaman. Rasanya berat mataku terbuka tapi tak berniat juga untuk tertutup, rasanya sedikit membengkak pasti karena sehabis menangis. Masih begitu dingin meski tengah berada di depan perapian. Hatiku terlalu kalut dalam perasaan rindu yang membuncah, bodoh kau Kim Seokjin. Dia sungguh membuatku merasakan penderitaan ini,, tidak apa. Ini cinta, bukan,?
Seminggu lagi natal, jika tidak sampai tiga bulan, seharusanya Seokjin hyung bisa pulang dan ini akan jadi natal pertamaku bersama suami, mataku kembali layu dan hatiku makin sakit saja. Berusaha tersenyum untuk yang ku cintai, yakin natal nanti dia sudah pulang, setidaknya begitu yang bisa membuatku sedikit tenang.
Aku kembali menapat ponsel untuk yang ke sekian kali, dan kian merasa kecewa karenanya, sudahlah. Aku hanya ingin menghubungi Seokjin hyung, tapi takut dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, lagi-lagi niatku urung, lalu mau ku larikan kemana rindu ini, haruskah kubawa tidur lagi hingga sampai pada mimpi. Kalau sudah bermimpi aku tidak mau bangun, karena kalau bangun, wajah Seokjin hyung tidak di depan mataku lagi.
Terakhir kali menelpon, satu setengah bulan yang lalu, itu pun Seokjin hyung sedang dalam acara meeting, itulah yang kemudian membuatku tidak enak hati untuk menghubunginya lagi. Kuputuskan untuk menunggu Seokjin hyung menghubungi lebih dulu, dan itu jarang sekali, aku jadinya tidak sabar, juga gusar. Mungkin suamiku itu benar-benar sibuk. Bisakah Tuhan saja yang memberiku kepastian bahwa dia baik-baik disana,, aku hanya ingin tahu kabarnya.
Boneka santa yang kupeluk kini ternyata mengeluarkan suara kalau di tekan perutnya,
"Merry Christmas, Merry Christmas, Tell me your wish, tell me your wish, and Happy Winter," kata boneka itu. Aku tersenyum geli mendengarnya, sebab suaranya mirip dengan suara Seokjin hyung di telpon waktu dia lagi flu.
Dulu aku paling senang jika winter datang, karena aku akan dapat banyak hadiah spesial. Banyak sekali, dari ayah, ibu, kakak, nenek, kakek, dan teman-teman juga, dan terutama yang paling ku tunggu adalah dari santa. Dan kau, boneka santa yang di kirim suamiku, aku minta sesuatu padamu. Sebelum ku tatap lekat boneka itu, supaya khusyuk aku mengucap permintaan nanti.
"Santa, kumohon, hanya satu kok. Aku ingin suamiku,", begitu aku mengucapnya tulus dari hatiku. Membuat air mataku kembali menetes, tiada henti.
Author side
Sementara di Jepang tepatnya di sebuah perusahaan besar yang aktivitasnya masih berjalan di tengah malam begini, di sebuah ruangan kerja yang berada di lantai paling atas itu seorang pria berkemeja biru toska dengan tampilan yang sudah tidak rapi lagi, juga kedua matanya yang di hiasi lingkaran hitam, menampakkan kalau ia jarang tidur. Seokjin menatap tumpukan berkas di mejanya yang berhasil membuat ngilu kepalanya.
Ia mematikan laptopnya sebentar, lalu berjalan menuju balkon untuk mencari angin segar. Seokjin menatap ke arah langit yang nampak sangat kelam, ia memejamkan matanya sebentar sambil memegang erat cincin pernikahan yang melingkar erat di jari manisnya. Seokjin lalu membuka matanya kembali dan tersenyum menatap foto manusia yang paling ia cintai itu menjadi wallpaper ponselnya. Saat membuka kontak hp dan hendak menghubungi Jimin, namun di lihatnya sudah pukul 23:18, Jimin pasti sudah tidur, pikirnya. Seokjin mengurungkan niat. Ia kembali menatap foto Jimin yang terlihat begitu manis dengan senyum cerianya yang khas, Seokjin teringat saat foto itu di ambil, membuatnya tersenyum saat mengenang memori lama itu. Itu di ambil saat Jimin baru masuk kuliah, dan sedang mengikuti orientasi, Seokjin waktu itu selaku senior pembinanya. Pertemuan sederhana yang membuat dia hari itu juga melabuhkan cinta pada Jimin yang ternyata memiliki kekasih. Kesal kalau ingat bagian yang itu. Ah, pada akhirnya Jimin juga jadi milik dia.
Seokjin selalu bekerja lembur dan sulit untuk menyisihkan sedikit waktu sekedar untuk berbicara via telepon dengan istrinya, jika pun ada itu pun pasti sudah larut begini, dan dia tidak berniat, dia tidak ingin nantinya akan mengganggu Jimin yang mungkin sudah tidur. Padahal pria itu sudah berkali-kali mengatur alarm untuk bangung lebih awal agar bisa menelpon istrinya untuk sekedar mengucapkan 'Selamat Pagi, sayang' namun itu selalu terlewat, lelah badan dan pikiran membuatnya selalu bangun tepat waktu bekerja, Seokjin frustasi. Namun ia mencoba tersenyum bersemangat lagi saat menatap foto itu, mengingat kata-kata yang meyakinkannya bahwa dia harus semangat.
"Kau harus bersabar sayangku. Aku akan bekerja lebih keras lagi, karena natal nanti aku akan pulang untuk menghias pohon natal bersamamu dan hari pernikahan kita, aku janji,"tegas Seokjin pada dirinya dan Jimin yang jauh di sana namun tersimpan di hatinya. 'Setelah ini aku tidak akan mau lagi meninggalkanmu seperti ini, tidak akan, aku hanya akan membahagiakanmu, jadi jangan menangis,'tambahnya dalam hati.
". . . ."
Malam pun semakin bergulir hendak menemui fajar, sementara Jimin dengan kelopaknya yang telah letih dan layu, tidak bosan-bosan menatap layar ponsel berharap telpon maupun pesan dari suaminya yang sangat di rindukan kehadirannya itu. Air matanya terus jatuh membasahi boneka santa yang ia peluk. 'Aku ingin suamiku pulang, Aku ingin Seokjin, Jebal,,'rintihnya dalam hati.
