Joker Game sepenuhnya adalah mahakarya Yanagi Koji. Fiksi ini diperuntukkan hanya untuk kesenangan batin. Tidak ada keuntungan material diperoleh.

Burung(burungnya) Tazaki (c) Imorz

Sedang asyik bermain kartu, tiba-tiba Kaminaga berceletuk. Katanya dia lelah lihat burungnya Tazaki terus.


"Four of kind."

Miyoshi meletakkan kartunya terbuka. Tiga hati, tiga keriting, tiga wajik, tiga sekop, dan Jack. Sakuma mengerjap. Lagi-lagi ia dikalahkan oleh susunan kartu yang sama. Lagi-lagi sepertinya ia dicontek. Kumpulan monster mata-mata yang seruangannya dengannya ini tidak ada yang bisa dipercaya.

"Hm, ya. Sudah kuduga aku kalah."

Alih-alih merasa kesal, Sakuma justru sudah tahu ke mana arah jalan permainan ini menuju. Kalau bukan mengalahkan dirinya, yang notabene tidak tahu menahu mengenai Joker Game (hah, Sakuma baru kali itu mendengarnya), atau untuk mempermalukan Sakuma.

Terdengar Kaminaga menghela napas. Cukup panjang. Hingga Fukumoto yang sedang mengelap gelas ikut menoleh.

"Kenapa kau yang tampak kecewa? Yang kalah 'kan aku." Sakumi agak kesal.

"Bukan tentang kau. Dasar naif."

Ya. Selain untuk mengalahkan Sakuma, juga untuk mempermalukan Sakuma. Ya.

Kaminaga menoleh ke sekitar. Pada pintu yang tertutup rapat dan rekan-rekannya. Sakuma, Miyoshi, Jitsui, Hatano, Fukumoto, Odagiri, dan Amari. Baiklah, tidak ada si tukang sulap gadungan atau om-om muka cemberut.

"Hei, kalian tahu 'kan? Tazaki itu suka sekali memamerkan burungnya. Awalnya aku sangat kagum. Tapi sekarang aku sudah lelah. Dia terlampau sering melakukannya. Bagaimana menurut kalian?"

Ada berbagai reaksi yang terjadi.

Miyoshi, Hatano, dan Amari tersenyum penuh maksud. Jitsui tetap kukuh dengan muka tanpa ekspresi. Taruhan, di dalam kepalanya itu, Jitsui juga sedikit berkemelut mendengar kalimat Kaminaga. Odagiri tampak menganga, sedangkan Sakuma memerah malu. Fukumoto tidak sengaja menjatuhkan gelasnya. Tenang, tidak pecah.

"Tazaki ... suka memamerkan burung?" Odagiri bertanya sekali lagi, memastikan.

Kaminaga mengangguk. Jarinya memainkan dua-tiga kartu remi. "Ya. Bukannya kalian juga pernah lihat? Tazaki juga memamerkannya pada kalian, 'kan?"

Oh, apakah lelaki ini cemburu? Cemburu karena gebetan kesayangan memamerkan aset pentingnya pada orang lain? Well, yang ia bahas ini burung. Tazaki sepertinya mengidap kelainan seksual karena suka memamerkan burungnya ke mana-mana.

"S-seumur-umur, aku belum pernah lihat Tazaki pamer burung." Sakuma berkata dengan gagap.

"Hah?! Terus, yang kemarin itu apa, dong? Kemarin Tazaki membuka jasnya di depanmu, apalagi kalau bukan memamerkan burungnya?"

"Eh?"

"Haaahhh?!" Itu teriakan Miyoshi. Yang segera berdiri dan memukul meja dengan kedua tangan. "Memangnya burungku tidak cukup untukmu, hah?! Kamu perlunya dua, ya? Hah?!"

Kaminaga menoleh. "Hah? Dua saja? Tazaki bisa empat sampai lima, loh."

Cukup. Miyoshi tidak sanggup lagi. Rasanya ia kalah telak dengan Kaminaga jika ingin berlomba perihal ini. Sakuma ternyata tidak ada apa-apanya dengan Tazaki. Sakuma payah!

"Sakuma payah!" Ia lekas duduk kembali dengan tangan dilipat. Wajahnya dingin khas merajuk. Sakuma membuka kantung dan dompetnya, mencari tahu di mana letak kesalahannya.

Amari yang memilih duduk di dekat meja bar, ikut berceletuk. "Benar kata Sakuma. Kami belum pernah lihat burungnya Tazaki."

"Serius? Padahal Tazaki pernah melihatkan salah satu burungnya sama anak kecil pas dia di stasiun kereta. Tiga anak kecil. Katanya, ketiganya langsung berdecak kagum. Ya, memang pasti begitu reaksi orang yang pertama kali melihatnya."

Gelas kedua jatuh. Kali ini pecah, Fukumoto menyumpah dalam bahasa Jepang campur Mandarin.

Rahang Odagiri semakin menganga. Telinga Sakuma ikut memerah. Miyoshi, Hatano, dan Amari menampilkan ekspresi yang berbeda. Mereka bertiga keheranan.

"Sudah sejauh itukah otak Tazaki bergeser?" Nada Sakuma sedikit bergetar.

"Sakuma memang payah, tapi kamu tidak pernah pamer depan anak kecil. Aku bangga padamu!" Mode merajuk Miyoshi seketika sirna.

"Tazaki harus membayar gelas yang pecah ini," ujar Fukumoto meratapi gelasnya yang jatuh.

"Bagaimana bisa Tazaki melakukan itu pada anak kecil? Tiga anak kecil pula!" Tangan Hatano mengerat kesal.

"Ini tidak bisa kita biarkan. Letkol Yuuki harus tahu hal ini." Odagiri mulai berdiri dari kursinya.

"Tazaki harus kita bawa berobat sesegera mungkin. Aku tidak tahu ternyata dia sebejat itu." Amari memasang wajah serius.

Ruangan yang biasa mereka gunakan untuk bersantai, kini berubah menjadi lebih kelam dari biasanya. Para perokok mengisap asapnya lebih telaten, membuat jarak pandang menjadi tidak jelas; ditutupi kelabu yang melayang-layang.

Kaminaga menjadi satu-satunya yang berbeda pemikiran. "Kalian ini kenapa, sih? Itu hal biasa, 'kan?"

"Bagian mananya yang hal biasa dari memamerkan burung pada tiga anak kecil tidak berdosa?! Di tempat umum! Kenapa Tazaki tidak segera ditangkap ketika dia melakukan perbuatan tidak terpuji begitu!" Hatano mengakhiri ucapannya dengan terengah-engah. Segala emosi ia campur-aduk.

"Tidak terpuji, apanya?"

Kaminaga dan yang lain mungkin memang sedang berdebat. Jitsui lain hal. Berkat sering membaca buku dan tidak terjerumus dalam jurang kebodohan semacam: salah paham, ia pun bersuara. "Tunggu. Kalian, kita, sepertinya salah paham dengan ucapan Kaminaga. Tazaki memang suka pamer burung, tapi maksudnya itu burung—"

"Yo, sudah kuduga kalian semua teronggok di sini."

Tersangka tiba.

Membuka pintu sambil mengucapkan kalimat yang semakin membuat orang lain kesal. Sudah kesal, makin tambah kesal. Tazaki ini bagusnya di potong-potong lalu dibuang di Jerman. Ah, tapi itu akan mencoreng moto instansi mereka. Tapi seandainya Yuuki mendengar hal ini, sepertinya ia bersedia berkomplot.

"Kenapa muka kalian masam begitu? Hei, Miyoshi, Hatano, Amari. Oh, Fukumoto! Aku minta air putih, ya!" Ia meraih kursi dan kembali menatap kawannya. "Serius. Ada apa dengan kalian? Kegagalan misi?"

Miyoshi dan yang lain, minus Kaminaga dan Jitsui menggeleng. "Tazaki, kau biadab," imbuhnya. Sakuma mengangguk setuju, wajahnya jauh lebih serius dari biasanya.

"Huh?"

"Kaminaga bilang kau suka memamerkan burung. Benar begitu?" tanya Odagiri.

"Burung?"

"Dan kau pernah pamer di depan tiga anak kecil tidak berdosa di tempat umum. Benar begitu?" Kali ini Hatano.

"Pamer di depan tiga anak kecil? Oh, maksud kalian sewaktu aku di stasiun kereta—"

"Ya! Yang itu! Kau pamer bu—astaga! Kau menghancurkan nama baik instansi kita! Astaga, Tazaki!"

Tazaki berubah menjadi orang linglung. Ia tidak tahu kenapa ia disalahkan dan dihadiahi tatapan ganas oleh rekan-rekannya. Sarapan apa dia pagi tadi jadi malamnya kena sial?

Kaminaga menjelaskan. "Begini, Tazaki. Kau 'kan sering memamerkan trik burung-burungmu itu padaku, aku bilang pada yang lain kalau aku sudah bosan melihatnya. Aku minta pendapat mereka, tapi mereka semua jadi aneh."

Jitsui tahu dia benar. Dan dia bangga karena tidak termasuk dalam klub orang-orang salah paham.

"Oh, iya. Aku memang suka menampilkan trik-trik sulap, seperti: trik kartu, koin, atau burung—" Satu jaringan di dalam otak Tazaki terikat. "Burung ... merpati."

Amari, Fukumoto, dan Odagiri menjadi orang selanjutnya yang sadar. Keduanya langsung menepuk keningnya masing-masing. Bodoh sekali, pikir mereka.

"Jadi, yang dimaksud Kaminaga itu burung merpati. Tazaki memamerkan trik burung merpati yang disimpan di dalam kantung jas. Bukan burung yang itu—yang kita bayangkan, astaga." Jitsui yang akhirnya menjelaskan lebih detail. "Kita sudah sering melihatnya, 'kan? Trik murahan itu."

"Yang bagian dalam jas Tazaki banyak bekas tahi burung?" Itu Hatano. Ya, dia memang begitu.

"Ya, yang itu."

Hatano, Miyoshi, dan Sakuma akhirnya mengerti dan meratapi kebodohan. Otak mereka ke mana saja tadi.

Tazaki berdiri. Mimiknya tidak mampu dibaca, sepertinya ada urat yang timbul berbentuk simpang empat. Ia melepas seluruh kancing jas dan pergi keluar. "Kaminaga, kita perlu bicara."

Detik itu Kaminaga membola. Ia orang terakhir yang menyadari ucapannya telah membuat Tazaki malu setengah mati. Ia menyadari pemilihan kata-katanya salah dan terlanjur membuat rekan yang lain kesal terhadap Tazaki.

Kaminaga tidak siap mati. Ia tidak siap mati ditangan Tazaki (tangan bekas memegang burung-burung merpati, aduh). Lebih baik ia kembali ditangkap mata-mata senior dari Inggris dan dibikin kepayahan semalaman, daripada dihajar Tazaki (dan burung-burungnya).

Orang-orang di dalam ruangan menyertai kepergian Kaminaga dengan tatapan: Ingatlah salah satu jargon kita. Jangan mati. Kaminaga mendecih.

Tidak ada suara terdengar dari luar. Mungkin Tazaki dan Kaminaga memang sedang tidak cekcok atau baku hantam. Mungkin hanya pembicaraan tenang mengenai kesalah pahaman yang disebabkan Kaminaga. Mungkin memang begitu seadanya.

Malam itu diakhiri dengan tawa. Baru kali ini mereka amat teramat bodoh.

Malam selanjutnya, Kaminaga kembali berceletuk ketika Tazaki sedang tidak ada.

"Malam tadi, lagi-lagi Tazaki memamerkan burungnya."

Miyoshi terkekeh. "Benarkah? Aku rasa itu bagus daripada mendapatkan hantaman darinya." Ia tidak akan terkecoh lagi untuk kali ini.

"Aku setuju." Hatano mengangguk. "Lebih baik mendapatkan tontonan trik burung merpati meski bosan daripada wajah biru-biru kena bogem kawan sendiri."

Kaminaga menghela napas.

"Kali ini, bukan burung merpati seperti yang kemarin. Ini burung ... yang mencuat."

Semuanya membola, seluruhnya. Termasuk Fukumoto yang lagi-lagi menjatuhkan gelas karena terkejut.

Kali ini, bukan burung merpati, katanya. Tapi yang mencuat.

Kali ini, ada Letkol Yuuki ikut bersantai dalam ruangan.

"Jelaskan. Apa maksudnya burung mencuat tadi, Kaminaga?"

.

.

.

Selesai.


a/n: fanfic pertama saya di fandom joker game yuhuu. maaf apabila ada kesalahan dan terima kasih sudah membaca sampai sini!