Naruto © Masashi Kishimoto

Dearest Flower

A Naruto Fanfiction by Asakura Ayaka

Phase 1 : Dream

.

If everyone in the world is your Anti-fan, then why'd you smile though?

.

.

.

.

Satu,

dua,

tiga,

empat,

lima,

enam,

tujuh.

Tujuh.

.

.

Hn. Tujuh.

Iris kelamku menangkap tujuh anak perempuan sedang menatapku penuh damba.

Cih, mereka bahkan tidak peduli dengan gelagatnya yang tertangkap basah itu. Yah ... buatku ini sudah biasa, bahkan puluhan pasang mata tertuju padaku pun sudah menjadi sarapan sehari-hari di sekolah.

Asal kalian tahu, aku ini: Uchiha Sasuke. Saat ini duduk di bangku kelas tiga di sebuah SMA swasta paling elit di Tokyo. Sekolah yang berisi ratusan anak konglomerat, ratusan gadis cantik, dan ratusan mobil mewah di parkiran luasnya itu.

Hidupku? Hn. Bergelimang harta keluarga Uchiha yang dikenal tidak akan habis selama tujuh turunan lima tanjakan. Koleksi segala gadget terbaru merupakan hobiku tersendiri. Tapi jangan salah, berbeda dengan anak-anak orang kaya lainnya, aku memiliki otak jenius dan kemampuan tiada tara. Harga diriku ini sangat sangat mahal, tinggi, dan kokoh seperti semen empat roda.

Harus kuakui aku ini populer, ya iyalah. Seringkali para siswi di sekolah menjadikanku tokoh utama dalam cerpen fiksi mereka di mading. Bukannya peduli, tapi entah kenapa aku suka membacanya diam-diam. Sekali lagi kutekankan, bukannya apa-apa. Aku hanya mengawasi mereka supaya tidak melakukan pembunuhan karakterku dan mencemarkan nama baik Uchiha.

Urusan percintaan, aku mendapat julukan 'Reinkarnasi Giacomo Casanova'. Bukan satu dua wanita yang menganggapku playboy, bajingan, kadal, buaya, kurang ajar, brengsek, dan sebutan lain-lainnya yang mencerminkan tabiatku. Tapi yang seperti itu tetap saja tidak mempan menepis niat ratusan gadis lainnya untuk mengutarakan cinta padaku.

Tidak jarang aku bergonta-ganti pacar, tidak jarang pula aku menolak orang. Tentu saja aku masih pilah-pilih dan tidak asal terima. Bahkan kalau perlu, aku akan membuat program audisi dengan sistem voting untuk semua wanita itu.

Ayahku, Presiden Direktur Uchiha Enterprise. Uchiha Fugaku.

Ibuku, ibu rumah tangga biasa yang kerjaannya arisan, belanja, kuliner dan sebangsanya. Uchiha Mikoto.

Kakakku, eksekutif muda yang jabatannya setingkat di bawah Ayah. Uchiha Itachi.

Sementara aku? Entahlah, aku tidak tahu akan jadi apa di masa depan.

Yang pasti, hidupku akan jauh dari kata susah. Camkan itu.

Tapi, di atas segala kesempurnaanku itu, ada satu kejanggalan yang tak bisa kuhindari. Entah otakku ini yang error atau organ hatiku mengalami komplikasi kronis, faktanya diam-diam aku memendam perasaan pada seseorang.

Ya ... mengatakan cinta memang keahlianku, tapi terkecuali padanya. Aku—Tuan Muda Uchiha Sasuke yang Agung—tidak bisa berdiri lama-lama di depan gadis itu, tidak bisa menatap matanya lebih dari dua detik, tidak bisa bernapas teratur saat di dekatnya, dan tidak bisa berpikir jernih—dengan kata lain: berpikiran kotor—tiap kali bersebelahan dengannya.

Aku tidak tahu aku mengidap penyakit langka apa stadium berapa, tapi hal-hal tersebut di atas selalu terjadi setiap kali ada 'dia'. Aku menyukainya, sejak pertama kali bertemu di pengkolan gerbang sekolah kami. Dia ... bukanlah satu dari seratus gadis yang akan menyambutku datang seperti fansgirl lainnya, dia juga bukan salah satu pengirim surat cinta rahasia di loker sepatuku, dan yang pastinya harus kuakui juga—dia tidak menyukaiku. Aku tahu, teman-temanku selalu menertawakanku jika mendengar curahan hatiku tentangnya. Terutama si dobe Naruto, tawanya mesti paling keras jika aku mulai membahas 'dia'.

Kadang 'dia' menyapaku, tapi aku tak menjawabnya. Lidahku terlalu kaku untuk sekedar membalas sapaan hangatnya. Kadang juga dia menawarkan sesuatu untukku, dan refleks aku menolaknya lantaran aku takut dia menangkap gerak-gerik sumringahku yang pastinya tidak elit. Aku akan lebih memilih bersenang-senang dengan gadis lain ketimbang harus pusing-pusing memikirkan 'dia'. Tapi pada akhirnya ... dialah sumber fantasi permanenku di saat sendiri, dialah sosok yang kerap bermain dalam mimpi indahku—mimpi erotisku setiap sebulan sekali.

Karena dia adalah—

"Hoi! Melamun saja, Teme!" aku bergeming sesaat mendapati Naruto menepuk bahuku keras dari belakang. Sial, berani-beraninya dia menginterupsi lamunanku. "Mikirin apa, sih? Si ehem-ehem lagi?"

JLEB!

Oke. Bagaimana si bodoh ini bisa tahu? Apakah di jidatku tertulis nama 'dia'?

"Tadi … sepuluh menit yang lalu, dia duduk di sini." aku tersenyum sesaat menyandarkan punggungku pada salah satu kursi kantin sekolah. Kursi ini, sangat beruntung bisa diduduki makhluk seindah dirinya. Dan akulah yang akan menghapus jejak-jejak auranya sebelum ada orang lain yang duduk di sini juga.

"Tch, terus kalau dia duduk di sini kau juga harus duduk setelah dia pergi, begitu?"

"Hn."

Kulihat Naruto mulai menertawakan kebiasaan anehku ini. Biar saja. Mungkin Naruto tidak tahu kalau kebiasaanku bukan hanya itu. Karena aku juga selalu meminjam buku yang baru dikembalikannya ke perpustakaan, membeli menu makan siang yang sama dengannya di kantin, menjadi orang pertama yang menghapus tulisannya di papan tulis, dan membantunya menjawab pertanyaan sulit di kala dia mempresentasikan sesuatu di depan kelas.

Well, kalau kalian berpikir aku jatuh cinta pada gadis super culun, kutu buku polos, ketua komite disiplin, ranking satu, atau tipikal anak teladan lainnya; kalian salah besar, pemirsa. Karena gadis impianku itu … hmmm, bagaimana mengatakannya, ya? Dia terkenal dengan paras cantiknya yang tak tertandingi, juga sifat sombong dan angkuhnya yang sanggup menginjak harga diri orang lain dalam sekejap, dia dibenci banyak orang di sekolah ini karena kelakuannya, dan dia tidak pernah menyukaiku karena menurutnya aku ini masih di bawah standarnya.

Unik, bukan? Tidak akan ada gadis seperti dirinya di tempat lain. Karena dia adalah—

"Teme, itu dia di sana!"

"Mana?" aku tidak peduli pada lamunanku lagi, aku langsung mengikuti arah telunjuk Naruto yang mengarah pada koridor lantai dua. Terlihat jelas dari kantin bawah sini, dia sedang menyapa angin di depan pintu kelas kami sendirian. Seperti biasa, dia memang always lonely. Dan tanpa disengaja, dalam jarak radius sepuluh meter ini pandangan mataku bertemu dengannya.

Deg!

Dia melihatku, aku tahu gerakan bibirnya mengucapkan 'Hai, Sasuke' padaku. Spontan aku pun mengalihkan pandangan ke arah lain seiring debaran jantungku yang makin menggila kala melihat senyumnya yang jelita.

"Teme, dia menyapa kita. Lihat, dia dadah-dadah segala." Cerewet sekali Naruto ini, aku juga masih punya mata yang sangat normal! "Sudah-sudah, jangan dihiraukan. Nanti kita malah dikira temannya." gerutu Naruto lagi. Kupingku sedikit memanas mendengarnya bicara demikian, bagaimanapun aku tetap tidak terima gadisku diperlakukan seolah tidak boleh punya teman.

"Tidak ada yang salah darinya, Dobe. Dia hanya berbeda dari yang lain." sanggahku mantap.

"Apanya yang tidak salah? Berapa kali dia mendapat kasus di sekolah ini, heh? Bertengkar dengan anak sekolah lain, mem-bully adik kelas, membawa benda-benda yang pantas dirazia, membuat skandal dengan pacar-pacar orang, bahkan dia pernah menggaet Kakashi-sensei terang-terangan sampai hampir dikeluarkan dari sekolah! Kau pikir semua itu tidak salah? Kau gila, Teme. Apa sih yang kau suka dari gadis bengal sepertinya?" yap, lagi-lagi Uzumaki Naruto menceramahiku soal 'dia'. Ini sudah biasa.

"Dia benar-benar tipeku, Dobe. Dia liar seperti kucing tanpa tuan, dia kuat dan tidak pernah lemah pada orang lain, dia sanggup membuatku kacau hanya dengan kedipan matanya yang eksotis. Atas nama langit dan bumi aku bersumpah suatu saat nanti aku yang akan menaklukannya. Aku akan menjadi alasannya untuk berubah dan menjadi milikku, akulah yang akan menjadi rantai pengikatnya. Kau tunggu saja." ikrarku serius dan hanya dibalas mimik muntah oleh Naruto. Aku tahu aku memang lebay, tapi sungguh aku tidak main-main dengan kata-kataku barusan. Aku sudah menargetkan untuk mendapatkannya, paling tidak sebelum kelulusan nanti dia harus sudah mencium pipiku di depan umum.

.

.

#####

.

.

Di dalam kelas, selama belajar pun aku selalu menatapnya. Aku tahu dia tidak bodoh, dia cukup pintar untuk tidak perlu memerhatikan Sensei yang sedang mengajar di depan kelas. Dia terus sibuk dengan ponselnya sendiri di bawah meja. Sesekali dia memergoki tatapanku, dan dia langsung memamerkan gigi-giginya yang rapi seraya menyembunyikan smartphone miliknya.

"Uchiha Sasuke! Kenapa kau tidak memerhatikan, hah?" oh shit, kenapa malah aku yang ketahuan?! Padahal aku sudah mencari posisi paling pas yang pastinya menjadi blind spot bagi Asuma-sensei. Tapi….

"Gomen, Sensei. Aku akan lebih memerhatikan dari sekarang." balasku datar.

"Kerjakan soal ini. Jangan membawa bukumu!" bentaknya lagi. Guru sialan, berniat mempermainkanku, eh? Baik. Dia jual aku beli. Kulangkahkan kaki mendekati papan tulis dan mengambil sebatang kapur untuk mengisi soal matematika yang Sensei berikan. Ini tidak sulit, aku menyelesaikannya dalam waktu kurang dari satu menit dan segera kembali ke tempat dudukku semula diiringi tatapan kagum dari seluruh teman-teman kelas.

"Jangan mentang-mentang sudah pintar lalu kau seenaknya mengabaikan pelajaran. Sebentar lagi ujian kelulusan, Uchiha." Kuterima mentah-mentah semua omelan guru berjambang tebal itu. Untungnya bel tanda pulang sekolah segera berdering keras. Akhirnya oh akhirnya, siksa neraka ini berakhir juga. Semua murid tampak merapikan tasnya dan keluar dari kelas. Tak terkecuali 'dia', dia terlihat terburu-buru dan setengah berlari menyusuri koridor kelas.

Sementara diriku tidak langsung pulang, aku menunggu kelas sepi untuk menjalankan tugas piket harianku dan langsung menghampiri meja 'dia' sebagai area pertama yang harus kubersihkan. Sepuluh menit kuhabiskan hanya untuk menyapu dan mengelap tempat duduknya saja sampai mengkilap bersih, setelah itu aku langsung menyambar tasku dan berniat pulang ke rumah secepatnya. Terserah apa kata si ketua kelas, nyatanya setiap kali aku piket yang kubersihkan pasti hanya tempat duduk 'dia' saja. Yang lain? Cih, no way!

Aa … aku ingat aku ada janji sepulang sekolah ini. Kekasihku saat ini—adik kelasku—mengajakku untuk pulang bersama. Tidak masalah jika dia ingin diantar, aku pun berjalan ke lantai satu menghampiri kelasnya di ujung dan mendapati dirinya tidak menungguku sesuai janji. Hey, kemana dia? Firasatku berubah tidak enak saat salah satu temannya berlari ke arahku dengan nafas yang tersengal dan raut cemas aslinya.

"Uchiha-senpai! Tolong Sara! D-Dia sedang dihukum seorang kakak kelas di kamar mandi!"

Tanpa menunggu waktu lagi aku segera berlari kencang ke arah kamar mandi wanita menyusul kekasihku yang sepertinya sedang dalam bahaya. Siapa yang berani menghukum kekasih dari Uchiha Sasuke? Apa salahnya? Setahuku Sara gadis baik-baik dan penurut. Aku langsung menerobos kerumunan anak-anak di depan pintu kamar mandi dan mencari-cari sosok Sara.

Dan dua bola mata kelamku seketika terbelalak sempurna ketika melihat gadis yang baru kupacari dua hari itu kini sudah terlihat acak-acakan. Dengan rambutnya yang sudah tergunting asal-asalan dan air mata yang menganak sungai, dia menangis memohon ampun pada sosok yang menyiksanya.

"Hentikan! Jangan sentuh dia!" tanganku menghentak tangan orang itu yang hampir saja memukul Sara lagi. Aku tak bisa menahan emosiku saat melihat kilatan amarah dari mata bening itu tertuju padaku. Ya … sosok yang menghukum Sara saat ini adalah 'dia', gadis pujaanku—si preman sekolah.

"Oh, jadi dia pacarmu, Sasuke?" tanyanya dengan nada penuh kuasa.

"Ya. Jangan sampai aku juga berbuat kasar padamu." jawabku tegas. Sungguh, menatap wajahnya yang beringas itu membuatku muak. Harusnya kau tersenyum padaku, bukan menatapku dengan penuh kebencian seperti itu!

"Lain kali, bilang pada pacarmu itu untuk tidak mencampuri urusanku. Aku tidak suka padanya. Dan jangan harap karena dia pacarmu maka aku akan mengampuninya." tepat sesudah dia mengatakan kalimat peringatan itu, dia pergi meninggalkanku beserta Sara yang masih menangis dalam ruangan bernuansa lembab ini.

Drap drap drap drap drap!

Tidak terima diperlakukan seperti sampah begitu saja, aku segera mengejar langkah 'dia' yang sudah keluar dari kamar mandi ini. Dia berjalan sangat cepat dan menyerobot jalan semua orang-orang yang menghalanginya. Aku menarik lengannya, memaksanya berbalik ke arahku dan menatapku. Ratusan pasang mata murid sekolah ini melihat kami, kami yang sama-sama tersulut emosi dan menguarkan aura membunuh yang kuat. Saling berdiri dengan angkuhnya menantang adrenalin.

"Lepaskan tanganku, Uchiha Sasuke!" berontaknya berusaha melepas cengkeraman tanganku.

"Tidak akan."

"Apa urusanmu?! Kau mau aku melanjutkan yang tadi, hah?"

"Silakan. Kalau kau ingin memukul Sara, pukul aku." Kutatap matanya penuh ketajaman. Aku bisa melihat dia meragu dan terkejut sesaat setelah menerima tatapan dinginku. Kurasakan tangannya mulai melemas dan kulepaskan juga cengkeramanku padanya. "Ingat, kau ini perempuan. Jangan berbuat kasar pada orang la—"

PLAAKK!

"Astaga, Uchiha-senpai!"

"Ya Tuhan, berani sekali gadis itu memukul pangeran kita!"

Kudengar beberapa orang tengah membicarakanku. Terserah, tapi pipiku ... terasa ... sangat sangat perih.

Jadi dia ... menamparku...? Aku tidak percaya ini. Beginikah rasanya dipermalukan seseorang yang kau sukai? Dimana aku sangat berharap dia akan mencium pipiku di depan umum, bukan menampar seperti ini! "Sudah kubilang, jaga kelakuanmu!" Aku menggeram dan menarik paksa tubuhnya mendekat. Bisa kutangkap ekspresi kesakitan dari mukanya. Tahan sebentar, Nona. Ini pelajaran buatmu.

"Lepaskan aku, Uchih—"

"Haruskah aku mengulanginya?! Aku sudah bilang tidak akan melepaskanmu!" sadar aku mulai kehilangan kendali, kutarik lengannya yang semula kupegang kuat. Aku menyeretnya menuju parkiran dan menghempaskannya pada jok mobilku. Kunyalakan mesin mobilku dan segera melesat jauh dari sekolah ini. Dia terus menatapku bingung sementara diriku berkonsentrasi menyetir. Sengaja aku tak menyahuti semua pertanyaannya, pikiranku masih terlalu kalut untuk berkata-kata.

Baik aku maupun dia, kami sama-sama tidak menyangka hari ini juga akan mengalami pertengkaran hebat. Kami yang biasanya tidak pernah bicara lebih dari dua kalimat, kini saling melempar makian dan ancaman dengan begitu lancarnya. Dia sangat keras kepala, dia terus menyanggah ucapanku yang sebenarnya berguna untuk introspeksi dirinya. Bahkan dia berani menertawakanku sekarang, apa-apaan itu?

"Hahahahaa ... kau menceramahiku? Lihat dirimu sendiri, Sasuke. Kau hanyalah laki-laki brengsek tukang bergonta-ganti pacar yang hobinya menghabiskan uang orang tuamu itu. Kau memang tidak melukai orang secara fisik, tapi kau melukai orang lewat perasaannya. Siapa yang lebih parah sekarang, hah? Sebenarnya aku juga gerah melihat kebiasaanmu itu. Kalau kau mau aku bisa memberimu pelajaran sekarang juga."

Ckiiiiiiitt!

Refleks aku menginjak rem mobilku dan berhenti di tempat yang tidak terlalu ramai. Aku tak bisa menahan seringaianku untuk menoleh ke arah gadis yang berani menantangku ini. Entah kenapa semakin bandel kelakuannya aku justru semakin tertarik padanya. "Kau ingin memberiku pelajaran? Buktikan ucapanmu." tantangku padanya.

"Apa?"

"Benar, aku hanyalah laki-laki brengsek tukang bergonta-ganti pacar yang hobinya menghabiskan uang orang tuaku. Aku memang tidak melukai orang secara fisik sepertimu, tapi aku melukai orang lewat perasaannya. Kita sama-sama memiliki sifat buruk, semua orang tahu itu. Karena itu, buktikan padaku kalau kau sendiri bisa membuatku bertahan tanpa harus melirik wanita lain, tanpa harus melukai perasaan siapa pun. Kau tahu kau punya kemampuan untuk memikatku, bukan?" Demi Tuhan, walaupun saat ini ucapan dan ekspresiku super tengil, aku merasakan debaran jantung yang tak terdefinisi ritme dan intonasinya saat melihat gadis impianku terkejut dan wajah cantiknya terhiasi rona merah atas ucapanku barusan.

Dia tak kunjung menjawab juga, mata indah itu sedang tenggelam dalam iris onyx-ku yang terus mengintimidasinya tanpa ampun. Sedikit lagi, kau pasti tunduk padaku, Nona preman.

"Kau pasti sengaja ingin mempermainkanku saja. Maaf, aku tidak tertarik pada permainanmu, Uchiha Sasuke." Well done, Baby. Kau memang bukan gadis gampangan, aku suka sifat jual mahalmu itu. Dan kali ini aku tak bisa lagi menghalau tawa renyahku menatapnya yang berekspresi kesal nan gugup. Menyenangkan sekali ternyata bisa menggodamu seperti ini.

"Siapa yang mempermainkanmu? Aku serius. Apa susahnya bilang 'iya'? Kau takut tidak bisa mengalahkan egoku? Aku akan sedikit menurunkannya untukmu, tapi kau juga harus mengubah sikapmu padaku. Aa ... ralat—mengubah sikapmu pada semua orang."

"Apa hakmu menuntut seperti itu? Sudah kubilang aku tidak tertarik padamu." elaknya lagi. Benar-benar keras kepala. Baiklah, cukup sampai di sini saja perbincangan ngelanturku. Bodohnya aku, mana mungkin dia tertarik dengan tawaranku? Sial … kulajukan lagi mobilku ke arah jalan rumahnya, ini sudah memasuki area kompleksnya dan hanya menunggu dua belokan lagi aku akan selesai mengantarnya pulang dengan selamat.

"Sudah sampai, turunlah."

"Bagaimana kau bisa tahu rumahku?" tanyanya heran.

Oh ayolah, aku menyukaimu sejak kelas satu. Tidak mungkin aku tidak tahu jalan rumahmu, bodoh. "Aku … hanya pernah kebetulan lewat sini sekali." Spontan aku tercengang sendiri dengan jawaban konyolku. Hey, lidah. Tidak bisakah kau bekerja sama dengan otakku barang sekali saja?! Ingin rasanya aku menghantam kepalaku sendiri ke stir mobil.

"Hanya dalam sekali lewat kau sudah hapal jalan beserta belokan rumit rumahku ini?!" kulihat dia mendenguskan tawanya dan menepuk pundakku. Oh tidak, jangan tatapan itu lagi. Aku takkan sanggup melihatnya lebih dari dua det—

"Kalau begitu aku setuju dengan tantanganmu."

Eh?

"Menaklukan pria brengsek bukan hal yang sulit buatku. Termasuk dirimu, aku pasti takkan membiarkan matamu itu melirik orang lain." Kurasakan telunjuk lentiknya menyusuri gestur rahang tegasku dan berhenti di daguku yang lancip. Ibu jarinya mengusap bibir bawahku pelan, entah maksudnya apa. Mau ciuman, hm? "Tapi aku tidak bisa menjamin kau mampu bertahan lama dengan sifat burukku sendiri, Sasuke. Sayang sekali, bukan?"

"Aku bisa," sambungku cepat, "aku akan membangunmu dari awal, mengajarkanmu bagaimana caranya bersikap anggun dan hormat pada orang lain. Kau tidak perlu mengkhawatirkan itu. Aku bersedia menjadi pelampiasan sifatmu yang seperti apa pun, asalkan kau tetap di sisiku..." kudekatkan bibirku dengan wajahnya, dia grogi dan kikuk—aku tahu itu. Perlahan dia mengatupkan dua matanya rapat menunggu aksiku selanjutnya. Tapi semua niat mesumku langsung buyar saat kumenelisik detil setiap komposisi wajahnya yang menawan itu. Kulit putih mulusnya, mata besarnya, hidung mancungnya, pipi meronanya, dan bibir ranumnya, di mataku dialah yang paling sempurna. Dia terlalu manis untuk langsung dimakan, lebih baik simpan saja dulu semauku.

Kudaratkan kecupan singkat di dahinya yang tertutup poni. Dia membuka matanya lagi dan menatapku dalam diam. Kubelai halus pipinya yang tembam dan meminta maaf atas sikap kerasku padanya di sekolah tadi. Yah … lelaki gentle harus berani meminta maaf, bukan? Senyumnya kembali merekah untukku, dia membuka pintu mobilku dan langsung masuk menuju rumahnya yang besar. Selepas kemudian aku merasakan ponselku bergetar, seseorang dengan nomor tak dikenal mengirim pesan untukku.

'Hati-hati di jalan, Sasuke. Ingat, besok pagi jemput aku seperti kau memperlakukan pacar-pacarmu pada umumnya. Kalau tidak, kesepakatan kita batal!'

Sudut bibirku terangkat pasti membacanya. Hey, dari mana dia tahu nomor ponselku? Aku sendiri tak kunjung mendapatkan nomornya setelah sekian lama bertanya sana-sini. Kuketik langsung balasanku saat itu juga sebelum akhirnya aku membawa mobilku pulang ke rumah sendiri. Entah hanya perasaanku saja atau apa, jika dia memang sudah sering berpacaran dengan laki-laki yang sama brengseknya denganku, lalu kenapa tadi dia harus gugup di depanku? Senyumnya yang tadi itu juga, belum pernah kulihat sebelumnya di mana pun.

Ah, bantu aku, Kami-sama ... kuharap dia juga tersenyum seperti tadi saat membaca balasan pesanku untuknya. Ya, memang hanya untuknya….

.

.

'Mulai sekarang panggil aku 'Sasuke-kun', dan aku akan memperlakukanmu seperti gadis kesayanganku. Deal?'

.

.

.

To be Continued

.

.

.


Fufufuu… terima kasih sudah baca fic ku yang ini sampai bawah :3 ehm… bisakah kamu menebak siapa gadis impian Sasuke di sini? Hayoooo XD chapter depan pasti si gadis ada lagi dan ratingnya—ehm—masih kupikir-pikir. Yosh! Mind to Review?