1794
Seorang gadis terbaring di kasurnya yang terbuat dari rotan. Penampilannya tidak lebih dari anak umur 12 tahun, tapi jangan salah, dia adalah personifikasi dari sekumpulan pulau-pulau yang terletak di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Dia tidak sendiri; dia tau ada banyak makhluk seperti dirinya, yang tubuhnya terdiri dari tanah dan yang pikirannya terbentuk oleh orang-orang yang hidup di tanahnya. Hanya saja berbeda dari yang lainnya, yang sama seperti dirinya, ia tidak memiliki nama. Berbeda dari Kutai, Sriwijaya, Majapahit, dan lainnya, para personifikasi yang ia anggap sebagai nenek moyangnya; orang-orang tidak mengenalnya. Bagi mereka ia hanyalah seorang gadis kecil misterius yang senang bermain di hutan dan selalu muncul dan menghilang begitu saja.
Sekali lagi jangan salah. Hanya karena orang-orang tidak mengenalnya bukan berarti mereka tidak pernah berusaha memberinya , berusaha. Begitu banyak orang berusaha untuk menamainya, dan setiap kali ia selalu menggelengkan kepalanya. Dia dapat merasakan bagaimana setiap nama yang mereka berikan seperti menarik sesuatu di dalam dirinya untuk keluar. Sesuatu yang berbeda untuk setiap nama. Nama-nama itu begitu berarti, tetapi di saat yang sama begitu menakutkan dan, dan...begitu mudah untuk dilupakan. Ia tidak pernah merasa terikat dengan nama-nama yang mereka berikan, seakan-akan itu bukanlah namanya. Ia tidak pernah mengetahui namanya, tapi ia yakin nama-nama yang mereka berikan tidak cukup untuk menyimpulkan dirinya. Ia tidak memiliki nama...paling tidak sampai orang itu datang.
1619
Sepanjang hidupnya ia sudah beberapa kali melihat personifikasi lain selain keluarganya, terkadang orang-orang asing itu datang hanya untuk berdagang. Terkadang mereka datang untuk menetap dan menjadi salah satu bagian dari dirinya [1] dan pada saat itu ia merasa senang karena mereka menyukai tanahnya. Satu hal yang sama, meskipun ia berkomunikasi dengan orang-orangnya dan juga penduduk barunya, ia TIDAK PERNAH menampakkan dirinya kepada personifikasi asing. Itu adalah larangan yang diberikan oleh Kakek Majapahit sebelum Beliau...ah, lupakan.
Kali ini berbeda. Hari itu ia sedang bermain-main seperti biasa dengan alam ketika ia mendengar teriakan, tidak hanya satu tapi banyak. Kekhawatiran dan rasa ingin tau membuatnya berlari ke asal suara tersebut. Matanya terbelalak melihat pemandangan yang ada dihadapannya. Beberapa tubuh tergeletak tak bernyawa di tanahnya. Warna merah mengalir, menodai tanahnya yang coklat dengan darah orang-orang asing. Di dekatnya berdiri sekumpulan orang-orang asing yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Merekalah yang telah menodai tanahnya dengan darah bangsa asing ini.
Ia tidak menyukainya, orang-orang asing baru ini. Mereka datang secara tiba-tiba dan mengusir orang-orang asing yang telah terlebih dahulu sampai di tanahnya. Ia tidak ingin mereka di tanahnya, tapi ia tidak boleh menampakkan dirinya, maka ia lari. Menjauh, menjauh dari para bangsa asing. Tanpa ia sadari sepasang bola mata tajam berwarna hijau telah menyadari kehadirannya dan mengejarnya. Pemilik bola mata itu lebih besar dari dirinya dan langkahnya lebih panjang. Tidak butuh waktu lama sampai tangan sang pemilik mata hijau tersebut berhasil meraih punggung baju sang gadis dan mengangkatnya ke udara, bagaikan seorang pemburu yang berhasil menangkap kelinci buruannya.
Mata cokelat bertemu dengan mata hijau. Seperti pohon hijau yang menanam akarnya dalam-dalam di cokelatnya tanah. Sang pemilik mata hijau dapat melihat dengan jelas ketakutan yang terpancar dari kedua mata cokelat di depannya. Sebuah senyum berkembang di bibirnya,
"Jadi kamu personifikasi tanah ini, ya?"
Suaranya dalam, dan meskipun sang pemilik mata hijau berusaha untuk menyembunyikannya tapi sang gadis menyadari sesuatu tersimpan di balik nadanya. Apa itu? Kepuasaan? Ataukah...ketamakan?
"Siapa namamu?"
Sang gadis menggeleng.
"Kamu tidak punya nama?"
Sang gadis menggangguk.
Sebuah senyum lagi-lagi berkembang di wajah pria bermata hijau itu.
"Baiklah, mulai sekarang namamu adalah Nederlands-Indië [2]. Dan aku adalah tuanmu, Dutch Republic [3]."
Mata sang gadis terbelalak. Tidak! Itu bukan namaku! Bukan! Namaku adalah...adalah...
Tidak ada kata yang tepat untuk menyelesaikan kalimat sang gadis.
A/N:
[1] Sebelum orang-orang Eropa datang, pedagang dari Arab dan Cina banyak yang sudah menjejakkan kaki di Indonesia dan bahkan menetap sampai sekarang.
[2] Inggris = Dutch East Indies, Indonesia = Hindia-Belanda.
[3]Belanda baru jadi kerajaan awal 1800an. Di sini namanya dalam bahasa Inggris soalnya nama aslinya dalam bahasa Belanda = Republiek der Zeven Verenigde Nederlanden. Inggrisnya Republic of the Seven United Netherlands. Panjang bener yak namanya, dan author gak ngerti cara baca Belandanya.
Harusnya ini fic dipublish jauh sebelum 17 Agustus, tapi author lupa (baca:males) belum selesain. =="
Fic ini bakalan lebih fokus ke masa-masa pemerintahan Inggris di Indonesia dan bagaimana Indonesia akhirnya mendapatkan namanya. Jadi Belanda jam tayangnya gak gitu banyak.
Belanda: Hah? Maksud lo apa? Jadi gua cuman support character gitu?
Author: Err...kira-kira begitulah.
Belanda: Mana bisa begitu! Di mana ada Nesia, di situ pasti ada Belanda, tau!
Author: Aduuuhh...gak puas yah udah dijodohin sama Nesia mulu. Kasih yang lain kesempatan, lah. Lagian England gak akan ngerebut Nesia koq. England kan punya gu..*dilempar batu*
Selamat Hari Kemerdekaan, Indonesia!
