.
Garasu, kota yang terlahir dari berbagai macam tradisi, sekaligus merupakan hasil perpaduan dari berbagai ragam budaya. Dalam seribu tahun sekali, di kota ini selalu terjadi fenomena aneh dan juga menakjubkan. Langit bagaikan cermin memantulkan dan menampakan bayangan segala sesuatu yang ada dibawahnya. Karena itulah kota ini biasa disebut "Cermin dari Surga". Dan di tengah-tengah kota yang bernuansa antik dan eksotik itu, kita dapat menyaksikan matahari senja seolah terbakar dibalik tembok-tembok benteng kota yang menjulang tinggi. Langit yang berwarna jingga seakan dipenuhi oleh berbagai aroma magis yang merangsang indera penciuman. Dari bau tajam berbagai jenis bumbu hingga aroma manggis dan beragam kembang gula berbaur dengan keharuman dan kelembutan menawan dari berbagai jenis wewangian.
Disalah satu sudut kota tepatnya paling barat, kita akan menjumpai seorang pendongeng yang tengah duduk dibawah tendanya yang terbentang lebar. Laki-laki paruh baya itu sedang menghisap shisha miliknya dengan mimik yang menyiratkan rasa puas. Matanya sesekali terpejam dan dari mulutnya tak henti mengepul asap putih keabu-abuan. Ia tampak begitu nyaman duduk sambil menyandarkan punggungnya pada setumpuk wasadat, bantal usang yang tersusun acak diatas tikarnya yang lusuh dan terbuat dari tambalan perca.
Dihadapannya terdapat sebuah meja yang terbuat dari kayu pohon dan sebuah kotak derma yang terbuka diatasnya. Sementara disekelilingnya sejumlah kaum pemuda-pemudi terlihat duduk menunggu dengan raut wajah tak sabar. Sepertinya mereka telah siap mendengarkan kisah yang akan disampaikan oleh laki-laki berjenggot kelabu itu. Tetapi sang pendongeng belum juga memulai ceritanya. Dapatlah kita duga, bahwa laki-laki setengah baya itu masih menyimpan sedikit harapan akan hadir lebih banyak orang ke tempatnya, sebelum ia dapat mulai bercerita.
Sambil menunggu, marilah kita berkeliling sejenak melihat suasana keramaian pasar yang begitu meriah. Coba tengoklah ke sebelah kanan, kira-kira empat langkah dari tenda sang pendongeng, dimana kita saksikan tiga orang penjual air tengah berdiri bersisian dengan kostum khas mereka yang berwarna merah berpadu dengan setelan gamis berwarna putih dan topi berhias rumbai-rumbai berwarna-warni. Di dada mereka bergelantungan beberapa buah cangkir yang terbuat dari kuningan. Ketiga orang itu sedang asyik bercakap-cakap. Sepertinya mereka terlibat dalam pembicaraan yang seru, hingga tak menyadari keadaan sekitarnya.
Tak jauh disebelah mereka, hanya beberapa langkah saja dari tempat ketiga orang itu berdiri, terlihat sejumlah orang tua dan kaum wanita sedang duduk-duduk di atas sebuah kursi pendek. Dihadapan mereka ada meja-meja rendah yang penuh dengan berbagai jenis kerajinan tangan yang terbuat dari kulit, kayu, dan juga logam. Mereka sibuk menawarkan berbagai bentuk perhiasan dan aneka rupa barang dagangan, sambil bernaung dibawah tenda-tenda kecil yang berbentuk seperti payung.
Sekarang, marilah kita layangkan pandangan ke arah sisi lapangan yang lain, dimana terlibat sejumlah pedagang yang berseru-seru dengan penuh semangat ke arah para pengunjung yang tak henti berlalu-lalang. Dihadapan mereka, terdapat bertumpuk aneka macam buah-buahan yang tersusun rapi. Sementara disamping para penjual buah-buahan itu, kita dapati pula sekeranjang yang penuh aneka ragam barang dagangan lain dalam jumlah yang banyak.
Sedikit dibelakang kios para penjual buah dan sayuran, dapat kita lihat sederetan penjual minuman yang tengah meracik minuman yang terbuat dari campuran daun mint, kayu manis, atau jahe. Mereka juga tak kurang sibuknya melayani para pembeli. Suasana ramai dari berderet-deret kios milik para pedagang menawarkan aneka rupa dagangannya hampir terjadi disebagian kota.
Dan sepertinya, telah tiba saatnya bagi kita untuk kembali karena tenda milik sang pendongeng kini terlihat mulai penuh. Mata laki-laki berpenampilan sederhana itu menatap sekelilingnya. Jari-jemari tangannya yang kurus namun tampak liat dan kukuh tak henti mengelus-elus jenggotnya.
Setelah merasa cukup yakin bahwa telah banyak orang yang berkumpul dibawah tendanya, maka laki-laki setengah baya itu pun segera meletakkan pipa penghisap shisha miliknya ke atas tikar. Lalu, dihembuskannya asap berwarna putih kelabu itu lewat mulut dan hidungnya. Kemudian, ia pun mulai angkat bicara :
"Saudara-saudara sekalian, sepertinya kalian telah siap mendengarkan ceritaku kali ini. Namun, melihat semangat yang terpancar dari wajah kalian semua, aku menjadi merasa sedikit malu karena kali ini aku hanya menyiapkan sebuah cerita. Sekiranya saja aku dapat mereka-reka dalam waktu singkat ini," Sejenak sang pendongeng mendesah dengan lirih, sebelum kemudian kembali melanjutkan ucapannya, "Sebuah cerita lain yang belum kalian dengar. Dan apalah yang dapat kuceritakan adalah kisah yang benar-benar terjadi beberapa puluh tahun yang lalu." Sang pendongeng sejenak menghentikan kata-katanya, lalu mengarahkan pandangan matanya menatap berkeliling ke arah pendengarnya yang tampak diam terpaku seolah tak mampu berkedip. Dalam hati ia tersenyum. Cara ia membuka kisah itu, rupa-rupanya telah berhasil memikat hati para pendengarnya. "Awal yang bagus." ia berbisik dalam hati. Kemudian, sang pendongeng menarik ujung kedua lengan jubahnya yang longgar, dan memperbaiki letak duduknya agar terasa lebih nyaman, lalu ia mulai bercerita.
SUNGGUH, tidak ada seorang pun diantara kalian yang menginginkan orang yang kita cintai pisah dengan diri kita. Apalagi orang itu adalah pemenuh hati. Hal itulah yang dirasakan oleh tokoh utama kita dalam cerita ini. Seorang gadis jelita dari golongan bangsawan klan Hyuuga. Hyuuga Hinata namanya. Ia adalah gadis yang hanya memiliki satu keinginan untuk menjalani kehidupannya sebagaimana teman-teman gadis sederhana yang lain yaitu bersama orang yang dicintainya. Seseorang yang dicintainya adalah… Uzumaki Naruto.
Dan inilah kisah tentang Hyuuga Hinata dan Uzumaki Naruto.
.
.
.
Dongeng Hati
Story by. Subarashi Ichido
Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto
Pair : Naruto x Hinata
Rate : M
Warning : OOC, (miss) typo, abal-abal, GaJe, dll.
.
.
.
Suasana didalam hutan itu tampak sepi dan sedikit gelap, hanya terdengar suara kicauan burung dan beberapa hewan lain saja. Cahaya matahari di ufuk timur sulit sekali masuk karena daun-daun pohon yang begitu lebat. Kabut berwarna putih keabuan juga tak kunjung hilang disana. Sesekali dedaun tua dari cabang-cabang pohon pun berjatuhan. Permukaan hutan itu tampak kotor dengan ranting-ranting dan daun-daun yang bertebaran.
Kaki-kaki kuda mulai terdengar berderap, melibas debu disekitarnya. Diantara derap langkah itu, terlihatlah seorang gadis duduk tegak diatas punggung kudanya. Rambut gadis itu blonde panjang, bola matanya lavender, ia memakai syal berwarna coklat muda dileher, dan mengenakan baju berwarna putih kecoklatan serta celana panjang berwarna coklat kehitaman, ia juga membawa senjata pedang di tangan kanannya. Dibelakang gadis itu, terlihat lima orang pria mengenakan pakaian serba panjang berwarna putih lusuh dan memakai sorban hitam sedang mengikuti dengan kuda mereka masing-masing.
"Semuanya! tetap waspadai sekeliling kalian, jangan sampai ada yang berpencar!" tegas gadis itu, mengintruksi lima pria dibelakangnya.
Dengan pedang yang dibawa, mereka pun mencabut pedang masing-masing dan sedikit mencondongkan kedepan bersiap menggunakannya.
Mata gadis itu tiba-tiba menyipit melihat ke arah depan karena sesuatu yang bersinar terang terlihat disana. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia menarik tali yang mengikat kudanya, sehingga membuat kuda itu berhenti.
"Ada apa?" tanya salah satu pria dibelakangnya yang ikut menghentikan kudanya bersama keempat pria lainnya.
"Kalian tunggu disini, aku akan memeriksa sinar itu." gadis blonde itu turun dari kudanya, kemudian meloncat ke suatu cabang pohon yang tinggi.
Saat ia bisa melihat darimana sinar itu berasal, tampak ekspresi terkejut terpampang di wajahnya. Mata merah menyala, kulit putih pucat dengan noda luka-luka berdarah, pakaian yang sobek-sobek, dan berjalan seperti orang pincang. Itu, itu zombie. Namun, sepertinya mata gadis itu tidak tertuju padanya, melainkan sesuatu semacam kubah berwarna putih transparan. Terlihat didalam kubah itu seorang wanita berambut indigo panjang tergeletak tak sadarkan diri ditanah, dan sekitar dua puluh zombie berusaha menggapainya, tapi selalu gagal karena terhalangi oleh benda itu.
Siapa wanita itu? Kenapa bisa ada kekkai melindunginya? Dan kenapa juga para zombie masih ada meskipun sekarang sudah pagi? Mungkinkah mereka tertarik pada wanita itu? Belum selesai gadis itu bertanya-tanya, tiba-tiba suara tebasan pedang terdengar.
"Shion-sama! Kita harus menolong wanita itu!" ternyata suara tebasan pedang yang baru saja terdengar, berasal dari kelima pria tadi yang saat ini sedang sibuk menebas satu per satu para zombie.
"Hey, kalian curang, sisakan aku empat atau lima." tak mau kalah dengan mereka, gadis yang akhirnya kita tahu namanya Shion itu meloncat ke arah salah satu zombie dan dengan pedang yang ia bentangkan kebelakang, ia ayunkan cepat pedangnya kedepan hingga memutuskan leher zombie itu.
Mendarat ditanah dengan pedang yang ia julangkan tinggi ke langit, Shion bersiap menghadapi zombie lainnya. Tetapi, saat ia memandang sekeliling. Ternyata para zombie lainnya telah tergeletak ditanah dengan anggota tubuh yang sudah tak bersatu karena tertebas pedang berkali-kali. Ia melihat ke arah kelima pria tadi.
"Hey, aku sudah bilang sisakan untukku empat atau lima zombie." protesnya.
"Terlalu lambat sih." ucap pria A sambil tersenyum.
"Haah… ya sudah." dengus Shion, lalu berjalan mendekati wanita yang saat ini masih tergeletak pingsan ditanah dengan kekkai yang belum juga lelah melindunginya. "Pertama-tama, aku akan menghilangkan kekkai ini terlebih dulu, karena disini hanya aku yang bisa melakukannya." ucapnya.
"Beruntung, yang menyadari kehadiran wanita itu hanya para zombie rendahan. Kalau saja itu Cyclop, mungkin saja kita akan kesulitan untuk menolongnya." ujar pria B.
Cyclop, yaitu makhluk raksasa yang tingginya mencapai sepuluh meter, kepalanya botak, bermata satu, wujudnya menyerupai pria dewasa berotot, dan pemakan manusia.
"Bukan itu masalahya, kita harus cepat menolongnya atau zombie-zombie ini akan kembali bangkit dan memakan kita." ujar pria C.
"Aku berhasil!" ucap Shion cepat, rupanya ia telah berhasil menghilangkan kekkai yang melindungi wanita itu.
"Biar aku yang… " sebelum pria D menyelesaikan perkataannya, Shion langsung memotong, "Haidi!"
"H-Hai'," pria A menjawab dengan gelagapan karena terkejut tiba-tiba namanya dipanggil,
"Iyogi!"
"Hai'," pria B membalas cepat,
"Keren!"
"Hai'," pria C begitu pun juga,
"Midori!"
"Hai'," pria D,
"Seikatsu!"
"Hai'," pria E.
Sambil memangku kepala wanita itu, "Teleportasi!" Shion berteriak, menatap tajam ke arah kanan yang terlihat disana banyak burung berterbangan dan hewan-hewan lainnya seperti : monyet, rusa, gajah, jerapah, dan lain-lain berlarian melewati mereka dengan panik. Sementara itu, kelima pria itu tampak bingung karena tidak mengerti apa maksud dari perkataan sang pimpinan.
"Kenapa masih diam?" Shion melihat mereka, "Cepat buat lingkaran mengelilingi kami dan segera lakukan teleportasi, kita akan pulang dengan cara itu!" ucapnya sedikit membentak.
"Tapi Shion-sama, bagaimana dengan kuda-kuda kita?" tanya pria D yang telah kita ketahui namanya Midori.
"Para raksasa mata satu itu hanya tertarik pada kita, cepat lakukan saja jangan banyak tanya!"
Bersamaan dengan selesainya perkataan Shion barusan, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki besar disertai guncangan ditanah. Suara dan guncangan itu semakin terasa, dan semakin terasa.
"Sial, mereka selalu datang disaat yang tidak tepat." ujar pria A, Haidi.
"Hey, Haidi. Daripada kau berbicara yang tidak penting, bantu kami atau kita akan menjadi santapan para raksasa itu." ucap pria E, Seikatsu yang sudah berdiri dengan pria lainnya mengelilingi Shion beserta wanita yang akan mereka selamatkan.
"Haah…" Haidi pun ikut melakukannya dan dengan tangan mereka yang saling menggenggam mengelilingi Shion beserta wanita itu, mata mereka terpejam. Dan saat itulah, muncul garis putih bersinar melingkari mereka, kemudian secara perlahan tubuh mereka pun tenggelam ke dalam tanah. Tenggelam semakin tenggelam, hingga mereka sudah tak terlihat disana.
.
.
.
❖ by. Subarashi Ichido ❖
.
.
.
Ekspresi gelisah tampak diwajah wanita indigo itu. Matanya terpejam terus bergerak. Keringat dingin juga bercucuran didahinya.
"Naruto-kun." ia menggumamkan nama sesosok pria berambut pirang yang terlintas di bayang-bayangnya. Sosok itu tersenyum. Tapi tidak lama, sosok itu lenyap seperti tertiup angin. Dan akhirnya mata wanita itu pun terbuka hingga menampakkan eloknya mata bulan yang ia miliki.
"Ahh…" ia mendesah pelan sambil memposisikan dirinya menjadi terduduk. Saat itulah, ia bisa melihat dua orang gadis dari arah depan dengan jeruji besi yang menghalangi pandangan ke arah mereka. Yang satu berambut merah panjang duduk di sebuah kursi pendek, memakai syal berwarna merah tua, berbaju putih kecoklatan, bercelana panjang coklat kehitaman. Dan yang satunya berambut blonde panjang memakai pakaian yang tidak jauh berbeda darinya, hanya berbeda warna syal yang berwarna coklat muda. Ia sedang berdiri disebelahnya.
"Apa ada yang ingin kau tanyakan?" gadis berambut merah itu menatapnya datar.
Lalu dengan hati-hati wanita indigo itu pun berkata, "A-Ano… dimana ini?".
"Seperti yang kau lihat sekarang, kau ada di penjara. Kau saat ini sedang ditahan oleh pihak kepolisian militer, tapi akhirnya kami mendapat izin untuk dapat bertemu denganmu. Sebenarnya masih banyak yang belum kami ketahui tentangmu, tapi untuk saat ini kurasa kami harus tahu siapa kau dan apa tujuanmu?" ucap gadis berambut merah itu.
Sejenak wanita indigo itu terdiam, "Aku… Namaku…" ia berusaha mengingat kembali siapa dirinya, "Aku… Hinata, Hyuuga Hinata… ya itu namaku." ucapnya.
Hening. Setelah wanita indigo yang telah kita ketahui namanya adalah Hinata itu selesai berkata, suasana menjadi hening. Hanya tampak wajah ketidak percayaan yang diperlihatkan oleh kedua gadis berambut merah dan blonde itu dengan tak sepatah kata pun mereka bisa keluarkan. Mata membulat, mulut ternganga, seakan tak percaya apa yang mereka dengar baru saja.
"Lalu siapa kalian? Dan kenapa aku ada disini? Apa aku berbuat salah?" ucap Hinata, bertanya.
Sambil menepuk keras lututnya, gadis berambut merah itu berdiri, "Jangan bercanda! Jawab pertanyaanku dengan benar, siapa kau dan apa tujuanmu?!" ucapnya tegas.
Medengar hal itu, Hinata tampak terkejut dan juga heran. Ada apa? Kenapa gadis itu marah? Sebenarnya apa yang sudah terjadi?
Karena merasa bingung, Hinata pun bertanya, "Ano… sebenarnya ada apa?".
"Aku bilang! siapa kau dan apa tujuanmu?!" sekali lagi gadis berambut merah itu berkata tegas.
Teringat pada suatu hal, "Aku…" Hinata menunduk, "Namaku… Hinata. Dan untuk tujuanku, aku tidak terlalu mengerti kenapa kalian ingin sekali tahu." ia membalas dengan tenang meskipun dalam hati ia masih merasa bingung.
Raut muka penuh kemarahan pun tampak pada wajah gadis berambut merah itu, "Katakan itu sekali lagi." ucapnya pelan, sambil memegang tongkat hitam sepanjang tiga puluh centi meter yang ada dipunggungnya.
Hinata sejenak terdiam. "Aku…"
"PEMBOHONG!". Akhirnya, dengan cepat gadis berambut merah itu pun mencabut tongkatnya, dan dalam sekejap tongkat tersebut sudah menjadi sebuah trisula sepanjang satu meter, sebuah tombak tiga ujung yang setiap ujungnya terdapat kobaran api kecil.
Saat ia akan melempar benda itu ke arah Hinata, gadis blonde yang tak lain adalah Shion disebelahnya itu mencegahnya dengan berkata lantang, "Sara! Hentikan!".
Gadis berambut merah yang dipanggil Sara itu menghentikan tindakannya, dan dengan kesal ia melihat ke arah Shion, "Kenapa?" ucapnya, tidak terima karena kegiatannya telah diganggu.
Bukannya menjawab, Shion malah terpaku untuk terus menatap datar Hinata yang saat ini masih di dalam sel penjara duduk di atas tempat tidur menundukkan kepala tidak jelas. "Peraturan Pemerintah Nomor lima belas ayat pertama," Shion berkata, "Apa kau tahu isinya?" sekarang ia bertanya.
Merasa pertanyaan itu dikatakan untuknya, Hinata pun mengangkat kepalanya kembali melihat kedua gadis di depan, dan dengan raut muka penuh tanda tanya ia membalas, "Apa?" ia tidak mengerti apa maksud dari perkataan Shion.
Sambil berjalan beberapa langkah untuk mendekati jeruji besi yang menghalanginya dari Hinata, tampak seringai diperlihatkan oleh Shion. "Sara, aku akan bertanggung jawab atas dirinya. Beritahu pada ratu. Jangan salah sangka, aku bukannya percaya padanya. Tapi jika dia mengkhianati apa yang sudah dikatakannya sendiri, aku akan menghabisinya tanpa ragu. Seharusnya itu tidak jadi masalah, tidak ada yang mampu untuk bertanggung jawab atas tugas ini selain aku. Dan aku juga akan memperbolehkan dia untuk tinggal bersamaku." ucapnya.
Sambil menurunkan trisula yang dipegangnya, Sara kembali duduk dikursi pendek di belakangnya. "Peraturan Pemerintah Nomor lima belas ayat pertama ya?" tiba-tiba trisulanya berubah menjadi tongkat biasa, "Aku mengerti." ucapnya.
.
.
Sementara itu, Hinata masih menatap dua gadis di depannya. Apa yang di katakan oleh mereka tadi. Jujur, ia belum bisa mengerti. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Dimanakah ini? Ia belum bisa tahu.
.
.
.
.
To Be Continued »»
.
Masih bingung dengan ceritanya nih?
Dimana Hinata berada?
Bagaimana bisa dia ada dihutan tergeletak pingsan dengan kekkai melindunginya?
Kenapa Sara marah saat Hinata menyebutkan namanya sendiri?
Apa itu Peraturan Pemerintah Nomor 15 ayat pertama?
Mana Naruto?
Tenang, semuanya akan terjawab di capter-capter lanjutan.
