Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: AU, gaje, humor maksa, dll…
A/N: wai! Luna di sini! Luna buat multichap lagi! Luna minta maaf untuk update-an fic luna yang laen, Luna juga masih belum sembuh dalam masa hiatus sih sebenernya, tapi berhubung Luna gak tahu cara lain buat ngilangin strees yang kian hari makin menumpuk, Luna coba deh buat fic lagi.
Yasud…
.
Happy Reading
.
.
Chapter 1: Prologue
.
Hari ini adalah hari pertamaku di sekolah baruku. Aku baru saja pindah dari Suna ke Konoha beberapa hari yang lalu. Setelah melewati masa-masa penyesuaian diri serta pembenahan letak prabot dan sebagainya, akhirnya aku benar-benar memulai hari-hari baruku di kota ini. Kota Konoha.
Pasti menyenangkan jika bisa melihat-lihat kota, tapi aku belum terlalu hapal dengan jalan di kota ini di mana jalan di kota ini lebih berliku-liku dibandingkan dengan Kota Suna. Jalan di Kota Suna saja sulit diingat, apalagi dengan di Konoha?
Bahasa simpelnya sih, aku ini buta arah.
Kakakku –Sasori- pernah bilang penyakit buta arahku tidak akan pernah sembuh, mengingat aku masih saja menanyakan tentang di mana sebenarnya matahari itu terbit, dan itu terjadi berulang kali.
Hem… barat atau timur ya?
Mudah-mudahan aku ingat untuk membeli kompas nanti, karena yang dulu sudah hilang entah di mana. Aku jadi ingat sesuatu, jika aku membeli kompas lagi, itu berarti ini sudah ke duabelas kalinya aku membeli kompas.
Wow… kira-kira kompas-kompas itu pergi kemana ya?
"Haruno?"
Aku mendongak ke arah pria yang bernama… ehm… Iruka, rasanya.
"Ini adalah kelasmu. Masuklah, Yamato-sensei sudah mengetahui tentang kedatanganmu," kata Iruka-sensei.
"Ah, iya. Terima kasih banyak Iruka-sensei!" jawabku.
Aku langsung memasuki kelas itu dan setengah berharap semoga aku tidak lupa di mana kelasku berada nantinya. Ini bukan masalah buta arah atau apa, hanya saja, tadi kan aku melamun, tentu itu menyebabkan aku mungkin tidak ingat di mana kelasku.
Walau rasanya aku tidak melamun tadi, mungkin saja aku akan tetap lupa dengan letak kelas ini.
"Selamat datang di sekolah ini, Haruno! Silahkan memperkenalkan dirimu," kata Yamato-sensei.
Aku berjengit sedikit saat Yamato-sensei mendekat ke arahku. Yamato-sensei bukanlah tipe guru galak atau menakutkan yang akan memberikan nilai A hanya jika kau lebih pintar darinya atau jika kau bisa menjilatnya –bukan dalam arti sebenarnya- sepanjang pelajaran berlangsung. Bukan, bukan seperti itu.
Tapi…
Wajahnya itu… ehm… terasa horor-horor menakutkan gitu, deh…
"Haruno?"
"Ah, maaf. Selamat pagi! Perkenalkan, namaku Haruno Sakura. Aku baru saja pindah dari Suna beberapa minggu yang lalu, ehm, itu saja aku rasa," kataku bingung. Aku memang paling payah untuk urusan perkenalan diri seperti ini.
Lalu aku memandang ke seluruh kelas, semua mata memandang ke arahku. Kecuali satu orang. Seorang gadis berambut panjang.
Aku pun memandangnya, lebih nyaman rasanya memandang seseorang yang tidak memandangmu dibandingkan memandang seseorang yang memandangmu, dalam kasusku, itu berarti tiga puluh pasang mata yang memandangku minus gadis itu dan Yamato-sensei tentunya.
"Baiklah, Haruno, kau boleh duduk di bangku yang kosong," kata Yamato-sensei mengalihkan pandanganku yang sedang asyik memandangi gadis itu.
"Baik, Sensei!"
Aku melangkah pelan dan duduk di bangku kosong di samping gadis-berambut-panjang-yang-tidak-memandangku-tadi.
Rasanya sebutannya terlalu panjang, ah, lebih baik nanti aku tanya siapa namanya. Aku tidak ingin mengganggu konsentrasinya melihat buku.
Kenapa aku bilang melihat buku? Karena jika dia memang membaca buku, aku rasa itu agak janggal karena buku itu kosong, tidak ada tulisan, coretan atau gambar. Putih bersih tanpa noda yang membandel.
Dia juga tidak membalik halamannya. Hanya menunduk dan melihat.
Aku jadi penasaran dan mencobanya. Aku membuka buku tulisku yang kosong dan memelototinya. Setelah beberapa detik, aku mulai bosan. Aku berbalik ke samping dan masih melihat gadis itu menunduk sambil melihat buku.
Apa sih enaknya melihat buku tulis putih itu? Mungkin karena dia suka warna putih ya?
Bicara soal warna, Kak Sasori pernah berkata padaku kalau warna hijau bisa menyehatkan mata. Sebagai seorang adik yang baik, aku pun memercayai perkataan kakakku. Setiap pulang sekolah, aku selalu mampir sebentar di sebuah pohon Beringin yang besar. Selain tempatnya teduh, warnanya juga hijau sehingga aku bisa memelototi pohon itu sepuas hatiku.
Pekerjaan memelototi itu pun berakhir setelah ada gosip tentang penunggu pohon Beringin yang berambut merah muda menyebar di Kota Suna.
Agar tidak memalukan nama keluarga Haruno, maka kakakku –Sasori- selalu menjemputku pulang dan menyeretku pergi jika aku hendak mampir di pohon itu lagi.
Yah, jika saja di Suna ada sawah, mungkin aku tidak akan sekurangkerjaan begitu sampai menjadi penunggu pohon.
Tapi sayang, di sana hanya ada pasir dan aku belum buta warna sehingga melihat pasir itu berwarna hijau bukannya… pasir itu berwarna apa sih? Cokelat?
Aku menoleh ke samping sehingga mata kami kebetulan saling bertabrakan. Ah, dia langsung memalingkan mukanya, saking cepatnya aku sampai khawatir dia akan terkena kram leher.
Memangnya ada yang aneh dengan mukaku ya?
Lalu dia menoleh perlahan ke arahku, aku langsung tersenyum ramah. Dia melongo atau mungkin… bagaimana bilangnya ya? Yang jelas, dia tidak tersenyum atau terlihat kesal. Biasa saja. Mungkin ini yang disebut wajah tanpa ekspresi.
Entah kenapa, aku jadi merasa susah tersenyum di depannya.
Serba salah, aku pun memulai basa-basi tak penting. Seperti misalnya, apa sih, enaknya melototin buku kosong? Eh, kayaknya salah deh!
"Hai, aku Haruno Sakura, salam kenal!" ucapku seramah mungkin. Susah buat ramah sama orang yang gak ramah kaya dia. Untungnya dia cantik, pantes deh sikapnya seperti itu. Tapi kalo jelek? Berarti secara tidak langsung dia memang meminta untuk diinjak sampai habis secara sukarela.
Dia tidak menjawab, tapi malah asyik memandangi bukunya lagi. Untung saja, kesabaranku belum habis, jika tidak, jangan salahkan aku jika aku mencabik-cabik buku putih nan bersihmu itu.
Beberapa saat kemudian dia memandangku, tapi aku mengacuhkannya, lalu dia memandangi bukunya lagi. Begitu terus sampai empat kali kayaknya.
Merasa amarahku sudah sampai di ubun-ubun, aku pun menoleh, "Apa?" tanyaku ketus sementara pensil yang kugenggam sudah retak jadi dua.
Mungkin aku memang sedikit temperamen, tapi ini hanya pengaruh hormon kok! Bukannya remaja-remaja jaman sekarang mentalnya masih labil? Aku merasa ada sesuatu yang salah, tapi entah itu apa.
"Namaku…"
Dia berhenti sejenak.
Apakah sesulit itu untuk gadis ini mengucapkan namanya?
Dia ini terlalu malu, terlalu malas, atau terlalu angkuh untuk mengucapkan namanya, sih? Atau dia lupa dengan namanya sendiri? Karena aku pernah menonton sebuah film di mana tokoh di sana kerjaannya hanya lupa ingatan saja. Bangun lagi, lupa lagi. Bangun lagi, lupa lagi.
.
mmmoooonnn
.
Aku memangku kepalaku dengan satu tangan. Sesekali aku melihat bangku kosong di sebelahku. Huru-hara di kelasku terhenti saat Yamato-sensei memasuki kelas.
Aku mengibaskan rambut panjangku perlahan, mulai merasa bosan dengan rutinitasku ini. Tidak ada hal yang ingin kulakukan dan juga tidak ada seseorang yang menemaniku. Entah kenapa aku jadi teringat dengan seseorang berambut duren yang dulu sering menemaniku.
Banyak hal-hal lucu yang terjadi saat bersamanya.
Lalu ekor mataku menangkap sebuah warna mencolok yang berjalan di luar kelas. Merah muda.
Aku melihat warna itu memasuki kelas.
Seorang gadis bermata hijau dan berambut merah muda sedang tersenyum. Dia pastinya murid baru di kelas ini.
Jika dia murid baru di kelas ini, itu berarti dia akan duduk di sebelahku. Hufh… mudah-mudahan dia tidak secerewet gadis-gadis kebanyakan. Aku tidak terlalu suka dengan gadis cerewet.
Yah, terserah saja sih. Toh, aku tidak peduli. Yang kupedulikan adalah…
Entah kenapa pikiranku langsung terasa kabur saat melihat senyum gadis itu. Aku sudah terlalu sering melihat gadis-gadis cantik dengan senyum yang lebih memikat daripada ini. Tapi, senyum ini membiusku.
Senyum itu… membuatku terpaku.
Aku langsung mengalihkan pandanganku. Berbahaya. Apa yang barusan kupikirkan? Demi Tuhan, apa yang barusan kupikirkan? Kenapa aku bisa-bisanya tertarik padanya?
Aku menggelengkan kepalaku dan menatap buku kosong sambil sesekali aku merasa pikiranku mengabur entah kemana.
Entah apa saja yang terlewat olehku tapi yang jelas aku mendengar suara langkah kaki pelan menuju ke arahku. Perasaanku saja, atau perutku memang mulai terasa tidak enak?
Sebenarnya, saat aku bisa mengetahui jika dia telah duduk di sampingku, aku ingin sekali untuk memandang, sekedar berkenalan dan mendengar suaranya lagi.
Lalu aku tersadar. Aku mematung dengan posisi menatap buku karena pikiranku tadi.
Mungkin ini pertama kalinya aku merasa seperti ini. Dengan gadis-gadis yang lain, aku tidak pernah merasa seperti ini.
Serba salah rasanya.
Melalui ekor mataku, aku melihat gadis merah muda itu memelototi buku sama sepertiku. Aku tersenyum tipis saat melihat dia mulai merasa bosan.
Lalu matanya menerawang, sepertinya sedang melamun. Entah karena tarikan apa, perlahan namun pasti, kepalaku berputar ke arahnya, memandangnya. Dan saat dia juga memandangku balik, aku memutar kepalaku dengan cepat. Rasanya agak pusing sedikit, jika kau ingin tahu.
Karena sudah kepalang basah, aku pun menoleh lagi ke arahnya.
Dia tersenyum ramah yang terlihat manis sekali, "Hai, aku Haruno Sakura, salam kenal!"
Aku diam tak bereaksi lalu aku memutuskan untuk memandangi bukuku lagi. Aku merasa dia lumayan kesal dengan sikapku.
Tapi senyumannya itu…
Aku pun mencuri-curi pandang ke arahnya dengan penasaran. Aku memandanginya lalu aku tersadarkan oleh perbuatanku sendiri dan memutuskan untuk memandangi bukuku saja. Rutinitas itu berlanjut hingga empat kali sampai-
Gadis itu menoleh dengan tampang kesal, "Apa?"
Bisa kurasakan nada ketus dalam suaranya. Mungkin akan lebih baik jika aku memperkenalkan diriku padanya. Bagaimanapun juga, kami akan jadi teman sebangku nantinya.
"Namaku…"
Perkataanku terputus sesaat saat kami saling berpandangan. Gejolak aneh terasa di dada dan juga tenggorokanku, membuat lidahku kelu.
Ini salah. Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya, terlebih lagi hanya untuk gadis biasa seperti dia.
Ada apa denganku?
Lalu, aku menatapnya tepat di manik matanya dengan wajahku yang selalu datar, aku pun mengucapkan namaku.
"Namaku Sasuke. Uchiha Sasuke…"
Dan ini adalah permulaan dari rutinitas tak terduga dalam hidupku.
.
.
T*B*C
.
A/N
Revieww?
