Merasa bodoh akan sesuatu. Menangis karena sakit. Lari karena tak mampu. Manusia.
Anak-anak berlari, para pemuda pergi, orang-orang dewasa mati.
Gundukan-dundukan manusia tak bernyawa terpampang jelas. Dan itu adalah kehancuran bumi. 'Kan?
E-Sheet.
/(—all system have been connected—preparing to activated the giant robot—)/
Activated.
Penguins of Madagascar © Nickelodeon and DreamWorks
E-SHEET
A Penguins of Madagascar fic by NakamaLuna
All the story written in this document—all ideas—all the sentences—belong to me.
Rated: T
Genre: Mecha/Angst/Tragedy/Suspense #bujugh
Warning: Alternate Universe, Out of Character, humanized version, slash, gaje, also… DON'T LIKE DON'T READ! XD
Chapter One:
Introducing, E-Sheet
Happy reading! X)
(—sometimes the beginning of a story is not exactly same as the own story about—)
SEEEENG.
"Status mesin, check. Stabil. Kondisi badan sayap, check. Aman. Radio kontrol suara, check. Aktif."
NGIIIIING.
"Penerangan di dalam, check. Aktif. Sistem ke-aktifan dari mesin, check. Siap."
"Cek lagi. Lalu baru kita akan mencobanya!" rambut yang berwarna cokelat ikal itu menjuntai sampai kepada leher. Tatapan matanya lurus, wanita yang terkesan berwibawa. Kecantikan menghiasi wajah mudanya, blazer cokelat panjang menyelimuti tubuhnya.
Dan wanita itu-pun menoleh, kepada seseorang di samping kanannya. Seulas senyum tipis tampak pada wajah wanita itu. "Kau siap?" bibirnya membentuk kata-kata. Ekspresinya berubah menjadi cemas, menunggu jawaban dari pria di sebelahnya itu.
Mata biru azure memandang kepada sebuah giant robot yang berada di depannya. Terlalu fokus terhadap sang robot. Melihat sampai ke bagian paling kecil, ataupun sampai sudut-sudut tak kasat mata, berusaha mencoba mengurangi kecelakaan dengan memberitahu jika ada bagian yang terlewatkan.
—Jika sedikit saja terlewatkan…
…tamatlah—
Satu hentakan kecil dari kaki wanita cantik tadi telah membuat pria bermata azure ini kembali ke alam sadarnya. Ia menoleh kepada wanita yang tadi memberikannya pertanyaan. "Aku… "
(—hening)
"Aku siap."
Wanita itu merasa lega. Jawaban yang ia dapat dari mulut pria berambut pirang yang berada disebelahnya, sangat sesuai dengan apa yang diharapkannya. Namun, ada kecemasan juga dibalik semuanya. Ya.
(—resikonya)
PLS48-69.
Nama kasar dari sebuah pembentukan rumit. Dengan menyambung-sambungkan mesin yang ada, dibantu dengan komputer dan nalar manusia, maka terciptalah.
E-Sheet
Apa?
Sebuah Giant Robot yang dibuat untuk bertarung dengan kekuatan luar biasa. Yang menemukan fungsinya kali pertama adalah seorang wanita bernama Marlene. Berkat daya ingat dia yang luar biasa dan kemampuannya dalam mengembangkan sesuatu, ia menciptakan E-Sheet.
Apa?
E-Sheet. Adalah Alat. Untuk. Menghancurkan.
Oh?
Satu tembakan dari misil khusus E-Sheet, dapat menghancurkan satu negara. Misil khusus itu dibuat dengan daya peledak luar biasa, yang bahkan dapat mengalahkan kekuatan dari nuklir yang dibuat oleh negara termaju sekalipun.
Lantas kenapa dibuat?
Dunia sedang dalam keadaan kacau. Ratusan juta orang mengungsi ke dalam *Milky Role—hasil karya dari semua manusia yang selalu ingin tahu—tempat pengungsian—bahasa kasar-nya.
Pertempuran sudah tidak dapat dihindarkan semenjak alien menyerang bumi. Dan untuk itulah, E-Sheet dibuat.
~xo-0-ox~
Susah. Sayang, itu sangatlah susah.
Jangan pernah berpikir hanya dengan ditunjuk saja, kau bisa menjadi pilot dari E-Sheet. Tidak.
Ratusan orang sudah pernah terluka berat—sampai cacat untuk mencoba menjadi pilot dari giant robot itu. Dan ribuan orang sudah harus dirawat di rumah sakit sesudah menjalani tes percobaan pilot E-Sheet tersebut.
Apa? Jangan menyangka bahwa E-Sheet adalah produk gagal. Tidak. Sama sekali bukan.
E-Sheet hanya menunggu, sampai orang yang benar-benar tepat dengan dirinya lah yang akan mengendarainya. Apa… jadi E-Sheet hidup?
—No one know about that—
Dan diantara puluhan orang yang akan mencobanya. Tersebutlah sekarang seseorang anak, berambut pirang, bermata biru azure, mempunyai aksen british, jago berkelahi, yang sekarang sedang menunggu nasibnya.
E-Sheet… will you be mine?
Private. Kode namanya.
Seorang anak. 15 tahun dia hidup—sampai sekarang. Tertarik untuk mencoba menjadi pilot dari robot raksasa yang akan membawa perubahan besar pada dunia itu.
(Apa? Anak ini?)
Tubuhnya seukuran anak pada umurnya. Namun, keingintahuannya diatas rata-rata untuk anak normal. Baginya, tidak ada yang tidak mungkin untuk dicoba.
(Jangan bercanda. Dia—ingin menjadi pilot E-Sheet?)
Semua orang memandangnya dengan tatapan ragu. Walau dia jago beladiri, namun kemampuan tubuhnya belum bisa menerima sebuah mesin seperti E-Sheet.
(Kau… benar-benar yakin untuk mengendarainya?)
~xo-0-ox~
BRAAKK!
"Aktifkan sistem penahanan fungsi, tahan kendali E-Sheet sekarang juga! Keluarkan pilot dari tempatnya!"
Teriakan Marlene menggelegar. Semua orang yang berada disana dengan cepat mematuhi ucapannya. Bagi mereka sekarang, prioritas keselamatan pilot adalah hal yang utama.
"Ahk… ahk!"
Dan lewatlah seseorang, dengan baju khusus pilot E-Sheet. Luka yang dideritanya sangat besar. Tekanan mental mempengaruhi pemikirannya. Tim dokter dengan sigap langsung membawa orang itu.
Orang itu?
Ya.
—yang ingin menjadi pilot E-Sheet.
Tatapan mata Marlene lurus memandang ke depan. Enam orang pria di depannya membalas tatapan Marlene, 5 orang diantaranya menampakkan ekspresi ketakutan. "Jadi, sebelum kalian bernasib sama seperti orang tadi. Siapa yang ingin mengundurkan diri?"
5 orang tadi dengan tanpa basa-basi langsung lari. Kabur. Prioritasnya adalah nyawa mereka. Tidak memikirkan nyawa orang lain jika mereka berhasil menjadi pilot E-Sheet tersebut.
Marlene menggigit bibirnya.
Tidak. Jika terus seperti ini, dunia tidak akan terselamatkan. Kenapa E-Sheet harus—
—memilih?
"Ehem,"
Marlene mengangkat kepalanya, memandang seorang anak, yang masih berdiri disana dengan tegap. Rasa ketakutan memang terpancar dari sinar matanya, namun rasa keingintahuannya lebih besar. "Aku siap."
-o~xxx000xxx~o-
"Private, kau bisa mendengarku?"
"Ya, jelas sekali. Marlene."
Anak itu. Anak berambut pirang itu kini sedang berada dalam kokpit pengendali E-Sheet—sambil memakai baju khusus yang Marlene berikan kepadanya. Ketegangan jelas terpancar dari raut wajah sang anak. Tentu saja.
Resikonya—
—hidupnya—
—nyawanya.
Entah apa ia akan masih bisa menghirup udara segar nanti.
"Aktifkan."
Private kembali menatap kepada pemandangan yang berada di depannya. Ia berada di dalam kokpit sekarang. Dan udaranya berbeda ketika ia sedang berada di luar tadi. Anak berambut pirang itu mencoba menekan tombol merah, sambil menggerakkan tuas yang berada di dekat tangan kanannya—untung saja Marlene sudah menjelaskan semuanya.
Ia mengambil nafas panjang sambil menatap kepada kode-kode dengan line hijau di depan matanya—beberapa huruf alfabet berjejer rapi. Ia menekan tombol yang terpasang di dekat kacamata pengalihannya—berguna untuk mencegah bahaya yang timbul lebih lanjut jikalau E-Sheet kehilangan kendali.
"Private."
Private mendengarnya, ada orang yang percaya padanya—termasuk Marlene. Wanita cantik dengan rambut bergelombang itu sudah memberitahukan prosedur-prosedur untuk mengendalikan E-Sheet. Dia jelaskan semua dengan bahasa halus yang mudah dimengerti setiap orang.
Jari tangan kanannya bergerak untuk menjangkau tombol biru. Tombol biru itu. Prosedurnya, seharusnya jika ia sudah menekan sang tombol, otomatis E-Sheet akan mengikuti semua perintah tubuhnya. Jika Private menendang, maka E-Sheet pun menendang, begitupula jika Private terjatuh, maka E-Sheet akan—
—terjatuh?
Jatuh?
Jatuh.
PIP
Keringat dingin mulai meluncur di sekitar dahi Private. Siap menghadapinya. Siap menghadapi resiko yang ada.
E-Sheet, will you be mine?
NGIIIIIIIIIIIIIING !
Robot besar ciptaan manusia itu berbunyi tiba-tiba. Hilang kendali seperti biasa. Dan sepertinya itu bukanlah hal yang bagus untuk Private.
Marlene membelalakkan matanya. Memang, ia sendiri sudah siap jika E-Sheet mengamuk lagi, tapi—
—kali ini beda.
"PRIVATE!" teriakan dari gadis itu kemudian menggelegar hampir ke seluruh ruangan. Cemas. Sangat, cemas. Berharap.
Semoga dikabulkan.
~xo-0-ox~
Private mengenyahkan pandangannya kepada kedua lengannya yang kini sedang diapit oleh kursi pengendali kokpit E-Sheet tersebut. Terlalu kaget karena tiba-tiba ada selang yang keluar kemudian menahan ia untuk diam di kursinya.
Takut.
PING
Pemandangan luar dari dalam kokpit sudah tidak terlihat lagi. Melainkan terganti oleh screen berwarna merah darah dan tulisan-tulisan yang ia tidak mengerti.
Ia tidak berontak.
Ia tidak sama.
Private tidak sama.
Tidak sama seperti yang lainnya karena mereka langsung memberontak ketika mengalami ini.
Cemas.
Keringat dingin mengalir dari dahi Private. Sekarang, selang-selang turun kemudian mencoba mengecek pupil mata Private.
Apa-apaan ini?
Gila.
Private hampir berteriak, ia tertahan ketika melihat ada alat sensor turun untuk mensensor rongga mulutnya dan retina matanya—namun bukan karena itu alasan dia ingin berteriak.
Ia ingin lebihberteriak lagi.
Private menggerak-gerakkan tangannya. Berusaha lepas dari mesin itu. Yang ini sudah keterlaluan. Kenapa? Karena ketika mulutnya diperiksa tadi, muncul dua tabung tipis runcing yang ada di bawah pergelangan tangannya dan semakin lama—semakin mendekat.
Nadinya.
Nadinya akan terpotong jika mengenai tabung runcing itu.
"H-Huu…" Private mendesis pelan, tampangnya pucat ketika melihat tabung runcing itu. Ia kemudian memejamkan matanya rapat-rapat. Mungkin, jika awalnya Private sudah memberontak ketika tiba-tiba selang muncul untuk mengikatnya, dia bisa terselamatkan… karena yang ia tahu—
—ketika tabung runcing itu makin mendekat, sang selang makin mengikat dirinya dengan kencang.
Sialan.
JREB!
"AAAAAAAHHHHHHH!"
Mata Private membelalak. Air mata menetes dari kedua pipinya. Ia mengejang dengan hebat. Begitu sang tabung menembus nadinya, lehernya terangkat, refleks yang ditimbulkan. Darah merah yang keluar karena disebabkan oleh tusukan dari tabung, mengalir ke dalam sang tabung dan diproses oleh E-Sheet.
ASTAGA. SIALAN. BRENGSEK. ITU PERIH.
Detik kemudian, Private kehilangan kesadarannya.
~xo-0-ox~
"PRIVATE!" Marlene berteriak keras. Wajahnya sangat pucat.
E-Sheet memakan korban…
Lagi.
Dan kali ini jauh lebih parah.
Pingsan?
Hidup?
Mati?
"Matikan semua sistem fungsi E-Sheet. Sekarang!"
"Sudah dimatikan, namun E-Sheet tetap berjalan dengan tenaga cadangannya."
"Alirkan tenaga cadangan itu ke dalam listrik di sejumlah distrik kota, buat cepat agar E-Sheet kehilangan tenaganya!"
"Baik!"
Gadis itu kemudian menggigit bibirnya. Rasanya ingin menangis saja ketika melihat raut wajah anak itu berteriak tadi. Seakan pandangannya buyar.
Semuanya gelap.
Dan ia merasa akan jatuh.
Gagal.
~xo-0-ox~
Private terbangun, mendapati dirinya berada dalam sebuah ruang kehampaan.
Putih.
Namun, samar-samar ia melihat ada bayangan.
Itu planet.
Itu Bumi.
Private menatap kepada Bumi dihadapannya dengan keheranan. Sedetik kemudian, ada huruf-huruf bermunculan di atas sang bumi. Diawali dengan huruf W.
'WHAT-WILL-YOU-DO-FOR-EARTH-NOW-?'
Mulut Private terkatup sempurna. "Aku…" ia mencoba membalasnya lalu mengambil nafas dengan tenang. "Aku akan melindungi bumi. Tidak hanya umat manusia, tetapi semua makhluk hidup yang ada di bumi ini akan kulindungi. Karena, manusia itu lemah jika tidak ada sumber daya yang mencukupi."
Huruf-huruf baru kembali bermunculan.
'WHAT-DO-YOU-THINK-ABOUT-E-SHEET-?'
Private tersenyum geli. "Interesting." Ucapnya sambil menaikkan kedua alisnya. "Aku ingin menjadi pilot E-Sheet, aku tahu resikonya aku bisa saja mati. Tapi, aku ingin menjadi pilot E-Sheet bukan untuk mati, aku ingin mengendarainya… untuk semuanya yang bisa kulindungi. Aku mengendarai E-Sheet bukan untuk siap mati, tetapi untuk siap melindungi bumi."
Dan, semuanya terasa gelap bagi Private.
Mata biru azure itu kembali memancarkan sinarnya. Pandangannya pusing. Ia melihat ke arah pergelangan tangannya yang berdarah itu, dan melihat darahnya yang mengalir ke dalam tabung.
Ia tidak mati.
Ajaib.
Ia tidak merasakan sakit lagi.
Aneh.
Private mendongakkan kepalanya, kabel-kabel yang tadi erat mengikatnya mulai mengendur. Pandangan monitor E-Sheet telah kembali normal sebelum ia mengaktifkan tombol biru itu tadi.
Dengan cemas, anak berambut pirang itu menggerakkan tangannya ke arah kepalanya yang pusing.
SEENNG
Private membelalakkan matanya ketika ia melihat E-Sheet melakukan hal yang persis sama seperti dirinya.
E-Sheet menggerakkan tangannya ke arah kepalanya.
Ia kemudian mencoba mengayunkan kakinya, yang diikuti pula oleh E-Sheet.
Ia hampir tidak percaya.
Tombol-tombol yang ada di dalam kokpit itu segera ia tekan, dan muncullah pistol dari arah lengannya. Dengan hati-hati ia mencoba menembakkan peluru itu.
BAM!
Markas pusat E-Sheet memang sedikit rusak jadinya sekarang.
Private menorehkan senyuman. Ini bukan mimpi 'kan? Ia berjalan—E-Sheet pun berjalan. Semua yang ia lakukan, E-Sheet akan melakukannya.
Senyuman terulas di wajah Private. Ia memejamkan matanya sambil bergumam;
E-Sheet, you're mine now.
Wanita bernama Marlene itu tercengang. Bagaimana tidak? Orang yang ia kira tadi sudah tidak bernafas lagi, kini ada di hadapannya dengan wajah cemerlang dan sehat—yah, walau ada darah yang masih mengalir dari kedua pergelangan tangannya.
"Private—oh, Tuhan," Marlene mengangkat tangannya menyentuh kepalanya sendiri. Ia mengelap keringatnya kemudian menyapu semua poninya ke belakang dengan tangannya. "Astaga. Syukurlah."
Private hanya tersenyum. Sedetik kemudian dia meringis sambil berusaha menggerakkan tangannya.
"Oh, astaga! Tentu! Paramedis!" Marlene segera menyuruh agar para paramedis itu mengobati luka di tangan Private. "Sungguh. Aku ceroboh. Maafkan aku." Ia menunduk pelan. "Ja… di?"
"Aku tetap akan mengendarainya."
Senyuman gadis itu melebar. Ingin sekali rasanya merengkuh anak yang ada dihadapannya ini—tapi berhubung tangan sang anak sedang sakit, ia mengacuhkan pikiran itu. Mata oranyenya menatap perlahan Private yang kini sedang dibawa pergi oleh paramedis memakai kasur putih beroda.
~xo-0-ox~
Private menatap pergelangan tangannya yang sudah terbalut rapi. Seulas senyum terbentuk di wajahnya.
Hihihi.
Ia tersenyum geli. Ia sudah menjadi pilot E-Sheet sekarang.
Akankah ia bertemu dengan orang itu? Orang yang selama ini ia kagumi dan menjadi panutannya.
Pilot pertama dari E-Sheet seri pertama juga. Orang itu… alasan yang mendorong Private untuk bersungguh-sungguh menjadi pilot E-Sheet. Akankah ia bertemu dengan orang itu?
Sambil terkikik geli, anak berambut pirang itu menutup matanya. Mencoba mengacuhkan kehidupan dunia nyata yang melelahkan dan mengkamuflasekan dunia mimpinya dengan kata kerja yang bernama—tidur.
.
.
.
.
.
Jika tatapan bisa membunuh, maka sekarang seharusnya penjaga pintu gerbang itu sudah mati dengan mulut berbusa ketika menatapnya. Perlakuan yang tidak sopan oleh sang penjaga pintu gerbang membuat pria itu—pria istimewa itu—pria dengan hak khusus itu—marah bukan kepalang.
Bagaimana bisa dia—yang punya hak khusus itu—tidak diizinkan masuk walau sudah memperlihatkan tanda pengenalnya?
Karena itu ia membuat sang penjaga pingsan dengan pukulan mautnya. Beruntung sekali sang penjaga tidak dipelintir kepalanya oleh pria itu.
Pria itu kemudian meneruskan kembali perjalanannya. Sangat penasaran seperti apa rupa dari pemilik E-Sheet yang baru itu. Rasa tersaingi tentu saja muncul. Namun, ia lebih ingin tahu seperti apa rupa dari orang itu—terlebih lagi rumornya mengatakan bahwa dia hanyalah anak-anak.
Tersaingi sih iya. Bagaimana tidak? Dia yang lebih tua—yang umurnya sudah menginjak kepala dua—dikalahkan oleh anak kecil—yang walau ia belum tahu umurnya berapa. Tapi itu 'kan, hei—
(—Itu anak kecil) Itu anak kecil. Anak kecil.
Walau ia hanya baru mendengar desas-desusnya saja. Dan belum menemui langsung sang anak kecil tersebut. Tentu saja pria berambut hitam itu tidak terima telah dikalahkan oleh seorang anak kecil.
Kartu ID bertuliskan nama dan nomor berwarna hijau sudah siap di tangan kanannya. Bagaimanapun juga, ia penasaran—sangat penasaran dengan rupa seperti apa anak itu. Dan ia juga cemas—sangat cemas, siapa tahu anak itu adalah—.
PIP
Suara dari persetujuan kartu ID miliknya berbunyi. Pria berambut hitam itu sadar dari lamunannya kemudian menengok kepada pintu yang terbuka. Tangan kanannya kembali menyimpan ID miliknya lalu menatap lurus ke depan.
"Eh?"
Pria itu bergumam hanya untuk mendapati sebuah ruangan rawat yang kosong melompong tanpa ada siapapun. Ia kemudian mengernyitkan dahinya, "Seharusnya disini 'kan…?" ia berbalik arah sambil mencari sesuatu.
(—Ssshh… y' in' re ! 'kli)
Pria itu membelalakkan matanya ketika mendengar suara. Suara seseorang yang mendesis. Atau, terlalu kecil untuk terdengar, makanya jadi seperti itu. Dengan perlahan, Skipper melangkahkan kakinya ke asal suara.
~xo-0-ox~
New York. Di markas inilah, E-Sheet dibuat. Tugasnya adalah melindungi bumi. Dari serangan alien. Alien dari planet bernama HL13-666 yang lebih dikenal dengan sebutan 'Hell Way'. Suara kaki yang beradu dengan lantai terdengar jelas di sepanjang koridor yang membentang di markas pusat Androne. Markas pusat yang super canggih ini berpusat di Amerika, di dekat kota
Pemuda berambut hitam itu berusaha mengenyahkan pikirannya terhadap Hell Way, sekarang ia lebih ingin tahu dimana pilot yang masih muda itu.
Dan, sedaritadi ia berjalan, semakin dekat ia dengan sumber suara.
Sang pria kemudian sampai di suatu tempat, di ruang pusat pengendalian dimana ada berjuta-juta komputer terpasang dan di belakangnya terdapat robot besar.
PLS48-69.
E-Sheet kedua.
Milik anak itu.
Dan sekarang matanya menangkap sosok seorang anak yang sedang terdiam menyaksikan giant robot itu dalam posisi tidak dinyalakan—begitu tenang.
"Memang besar."
Ia mendengarkan anak itu berbicara.
"Terlihat hebat saat tenang seperti ini. Tapi menyeramkan kalau sudah ada di kokpitnya."
Ia kemudian mendengar anak itu terkekeh pelan. Perlahan, ia mendekati anak itu—yang sedang bersenandung ria sambil memperhatikan sang E-Sheet. Ia kemudian mengarahkan tangannya tepat menyentuh pundak sang anak, "Hei,"
Bats!
Kejadiannya cepat. Tapi untunglah pria berambut hitam dengan sigap dapat menahan kekuatan anak itu untuk tidak membanting tubuhnya.
Refleks anak berambut pirang itu, sangat-lah cepat.
"Eh. Ma-maafkan aku!" buru-buru sang anak meminta maaf sambil melepaskan penguncian tangannya terhadap pria di depannya. "A-aku hanya melihat-lihat. Markas ini besar sekali yah—dan err disini juga dingin. Ahaha, kakiku yang tidak pakai alas jadi kedinginan ketika membentur keramik," anak itu tersenyum polos sambil berusaha menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.
"O-oh ya, aku ini Private, uum… pilot dari E-Sheet yang baru—itu kata Marlene. Belum diresmikan sih. Eh, jadi pasti kau akan menyuruhku untuk kembali ke kamarku 'kan? Tenang saja, aku akan—"
"Jangan bicara seperti kereta tanpa stasiun."
Private terdiam. Mata birunya memandang lelaki di depannya ketakutan. "Maaf." Ujarnya singkat sambil menundukkan kepalanya.
"Oh, jadi kau pilot barunya." Ujar pria itu sambil mengelilingi Private, membanding-bandingkan.
Anak ini—
—pendek.
'Bagaimana bisa anak ini punya nyali untuk mengendarai robot seperti E-Sheet?' pikirnya dalam hati.
"Oh iya," Private bersuara lagi. "Nganu, 'kan tadi aku sudah memperkenalkan diriku. Jadi, kalau boleh tahu, kau siapa ya? Salah satu penjaga malam disini ya?"
Pria itu mengkerutkan alisnya. Hasrat ingin menampar sangat menggebu-gebu berada dalam pikirannya. Sesaat dia memikirkan apakah tampangnya semadesu itu sehingga dikira satpam oleh anak kecil. "Besar sekali nyalimu sebagai seorang anak kecil untuk mengataiku."
Private terlihat ketakutan. "Ma-maaf… habisnya kau sendiri jalan malam-malam dan memergokiku… jadi kukira kau ini… ya begitu."
Sang pria menghembuskan nafasnya berat kemudian memandang Private lagi. "Aku Skipper. Pilot pertama dari E-Sheet."
Dan Private membelalakkan matanya ketika mendengar semua itu.
~xo-0-ox~
Sekarang, mereka hanya memandang mata satu sama lain. Anak berambut pirang itu tidak mampu berbicara—bahkan jika matanya tidak akan sakit, ia enggan untuk berkedip.
Orang ini.
Orang di depannya.
Orang yang sangat dihormatinya.
"Kau…" Private membuka mulutnya, ia kemudian menarik nafas dalam-dalam. "Idolaku…" ucapnya sambil menghembuskan nafas dan tersenyum.
Skipper tidak menjawab.
"Ya, Skippa. Aku pernah membaca artikel tentangmu ketika kau baru menjadi pilot E-Sheet yang pertama. Itu keren sekali. Aku selalu berpikir akan menaiki E-Sheet dan bertemu denganmu. Aku… tidak menyangka…" mata biru langitnya melebar. "…bisa secepat ini."
"Jangan terlalu senang secepat itu, Nak. Oke, aku tersanjung—itu sudah biasa. Kau belum pasti bisa resmi menjadi pilot E-Sheet,"
Raut wajah Private berubah. "A-aku tahu itu."
"Kau masih akan mendapatkan pelatihan khusus dariku. Jika nanti kau tidak bisa mengendalikan E-Sheet ditengah pertarungan, tidak menutup kemungkinan E-Sheet bukan menjadi pelindungmu, tapi menjadi penghantar kematianmu."
Private mengangguk mengerti.
"jaga E-Sheet baik-baik. Jangan sampai rusak, mengerti? Dan jangan berlaku seenaknya sendiri. Kondisimu saja belum pulih tapi sudah berani jalan-jalan seperti itu. Kalau kau sakit, kami repot karena harus mensurvei ulang orang-orang yang ingin menjadi pilot E-Sheet." Dan dengan itu, Skipper berjalan menjauhi Private.
'Mulutnya pedas' . pikir Private. 'Omongannya semuanya… benar-benar… menusuk'
"Oi."
Private mendongakkan wajahnya. "Y-ya?"
"Apa yang kau lakukan? Melamun? Cepat kembali ke kamarmu!"
Dengan sigap, Private mengangguk kemudian berlari meninggalkan Skipper.
.
.
.
.
CLANG! CLANG!
/"Bangun semuanya! Hari sudah pagi, mulai aktifitas rutin kalian sekarang juga! Jangan lewatkan waktu sedetik pun, karena itu berharga."/
Teriakan Marlene terdengar hingga keseluruh pelosok markas pusat Androne. Suara teriakan yang disalurkan oleh mikrofon itu tentu saja tidak luput dari pendengaran Private. Dengan sigap dia bangun, dengan rasa terkejut karena markas ini mempunyai sistem pembangunan yang berbeda.
Niat ingin berjalan ke kamar mandi, melakukan aktifitas pagi, langsung terbuyarkan begitu mengetahui bahwa ia tidak tahu letak kamar mandi dimana.
Apa?
Semua pintu terlihat sama bagi Private. Mungkin memang dia sendirian di kamarnya—kamar rawat inapnya. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, pintu mana yang menuju kamar mandi?
Pintu besar yang berada di depan ranjangnya dengan jarak yang terpaut 5 meter, tentu saja bukan pintu kamar mandi, itu pintu keluar, karena kemarin ia dibawa masuk lewat pintu itu, keluar pun lewat pintu itu.
Berarti dua pintu lainnya. Private kemudian membuka pintu yang berada di samping kiri meja vas bunga di dekat ranjangnya.
Kriet.
Dan terlihatlah pakaian-pakaiannya yang sudah tersusun begitu rapi. "Le-lemari pakaian?" Private bergumam. "Kenapa panjangnya mencapai ubin, dan besar?"
Private tidak memusingkan hal itu lagi, ia kemudian mengambil handuk yang tergantung rapi di lemari pakaian itu, kemudian berjalan menuju pintu terakhir.
Kriet.
"Da-dapur kecil?" Private mengangkat kedua alisnya ketika melihat pemandangan di depannya. "Tidak ada kamar mandi di ruang rawat inapku?"
~xo-0-ox~
"Selamat pagi, Marlene." Skipper berjalan ke arah Marlene sambil meletakkan jas hitamnya di atas meja kosong. "Apa rencana hari ini?" ujarnya sambil merebut kertas yang tadi dipegang oleh wanita itu.
"Hey, itu tidak sopan." Marlene mengambil kertas baru kemudian mulai membaca keterangan-keterangan yang tertulis di kertas tersebut. "Jadwal untuk kau sih…" Ia kemudian memakai kacamatanya sambil tersenyum. "Mengajarkan anak baru tersebut, tentang E-Sheet dan bagaimana cara mengendalikannya."
"Aku tidak mau membuang waktuku, dimana anak itu sekarang?"
Marlene memandang sekitar. "Kurasa, masih di ruang rawatnya, mungkin?"
"Dasar pemalas." Gumam Skipper kemudian berjalan menuju ruang rawat Private.
-o~xxx000xxx~o-
"Tidak ada kamar man—"
Cklek.
"Apa yang kau lakukan disini? Cepat pergi bersamaku, dalam hitungan 5 detik."
Private bergumam tidak jelas, apalagi ketika melihat Skipper sudah berada di ambang pintu dengan tampang sangar tidak keruan.
"Tapi—"
"Kuberi waktu tiga detik."
"Aku belum—"
"Oke, kutambahkan dua detik."
"Serius!" Private melompat ke arah Skipper. Ia memegang erat kerah baju pria berambut hitam itu sambil menatap matanya lekat-lekat. "Aku… belum mandi… Skippa."
"Negatif. Kata tersebut sama sekali belum pernah menjadi alasan bagiku untuk—"
"Skippa! Tolong tunjukkan kamar mandinya dimana! Se-ka-rang." ucap Private setengah teriak, kehabisan akal untuk menghadapi pria di depannya ini.
"Baiklah." Pria berambut hitam itu berjalan menuju pintu dimana tadi Private membukanya sebagai lemari pakaian. "Disini, kau bisa menekan tombol ini," Skipper menekan tombol berwarna hijau, dan lemari pakaian itu terbuka ke arah dalam, lalu terlihatlah kamar mandi.
"A-aku tidak tahu itu." Gumam Private sambil berjalan ke arah pintu 'kamar mandi'. "Pantas saja pintu lemari pakaian ini sangat besar, ia tertawa hambar kemudian memasuki kamar mandi. Ketika akan membuka baju, barulah ia sadar, "Bagaimana menutup pintu ini?"
"Tekan saja, tombol yang ada di dalam sana."
-o~xxx000xxx~o-
Seeng.
Pintu kaca tersebut tergeser dan tampaklah dua orang pria berjalan ke arahnya—ke arah wanita yang tengah duduk sambil menikmati kopi. "Eh, baguslah sudah datang." Marlene beranjak dari kursi yang ia duduki. Ia melepaskan kacamatanya sambil berjalan ke arah dua orang pria tadi—Skipper dan Private.
"Skipper, kau sudah tahu tugasmu apa," ucapan Marlene dibalas dengan anggukan kecil dari Skipper, sementara Marlene sendiri kini melirik Private yang tampak berdiri dengan wajah ragu-ragu disebelah Skipper. "Dan kau Private…" Wanita itu kemudian memberikan sebuah buku tebal dan besar kepada sang anak kecil berlogat british.
"Ini...?" Private mengatupkan mulutnya sambil berusaha menahan beban yang telah diciptakan oleh sang buku. Demi apapun, kenapa ada buku seberat ini—bahkan ia rasa tebalnya bisa melebihi novel Harry Potter.
"O-oo… tidak, tidak kau tidak perlu menghafalkan semuanya kok." Marlene tersenyum lebar. "Hanya hafalkan yang penting saja—yang penting sudah kugaris merah tadi malam."
Private menatap kepada lembar-lembar buku, tampangnya berubah pucat. "E-ee… ini semuanya digaris merah Marlene…"
"Tidak semua kok."
Cengiran itu terus terpampang di wajah Marlene. Private mana mungkin membangkang perintah 'kan? Lagipula, katanya Marlene telah menggaris bawahi hampir semua halaman di buku ini dalam waktu semalam—itu pasti butuh ketelitian dan kerja keras yang besar. "Terima kasih."
"Nah, simpan buku itu untuk malam nanti kau belajar. Hari ini jadwalmu adalah latihan—latihan fisik kemudian latihan praktek memakai E-Sheet—kau akan dibimbing langsung oleh Skipper. Kira-kira latihanmu akan selesai jam tujuh malam—oh, tenang, nanti siang sekitar jam dua ada istirahat makan siang juga kok."
Private menganga. Jadi—selama seharian ini, dia berdua bersama si mulut pedas?
Seharian?
Berdua?
Mati aku.
"Oi,"
Kaget. Anak british itu langsung menjatuhkan buku yang ia pegang secara refleks—dan membuatnya harus meringis kesakitan karena langsung menimpa jari kakinya. "Y-ya Skippa?"
Skipper menatap kepada buku yang telah jatuh. "Kau benar-benar… jangan sekali-kali menjatuhkan buku ini lagi, mengerti?" Skipper mengambil buku itu. "Rawat buku ini baik-baik, Marlene sudah bekerja keras untuk menggaris bawahi kata-kata yang sekiranya cukup untuk kau hafalkan. Lagipula—"
Skipper berjongkok kecil sambil memegangi jari kaki Private. "—kan aku sudah bilang jangan pernah lakukan sesuatu yang dapat mencelakai dirimu. Kau luka, kami yang repot." Skipper kemudian berdiri kembali dan menyerahkan sang buku kepada Marlene.
"Jangan galak begitu." Marlene bergumam kecil sambil menerima sang buku.
"Negatif. Aku tidak menerima kata-kata seperti itu."
Dan dengan itu, Skipper berjalan ke arah Private, menarik sedikit pundak pria kecil itu—lebih tepatnya sekarang dia menyeret Private.
-o~xxx000xxx~o-
Latihan.
Fisik Tubuh.
Jika digabungkan, latihan fisik tubuh. Latihan dimana kau menggunakan setiap bagian dari tubuhmu untuk menyerang maupun untuk mempertahankan diri. Latihan untuk memantapkan ilmu yang telah didapat. Latihan agar seseorang tidak harus terluka jika diserang—setidaknya kau sudah dapat pelajarannya.
Pukul.
Tendang.
Putar tubuh, lalu tinju.
Semua hal itu sudah biasa Private lakukan semenjak kecil. Anak british itu bertemu dengan seseorang dari negara bernama Indonesia—Private sangat tertarik dengan jurus yang dikeluarkan oleh pria itu—namanya Silat.
Dan semenjak itulah, Private berlatih silat—sampai tiba-tiba sang guru dari Indonesia itu meninggal.
Mana mungkin Private melupakan pengalaman itu 'kan?
Tangkis.
Serang.
Tahan lengan lawan, lalu kunci ke belakang.
Kepala. Bagian tubuh lawan yang sangat diincar setiap penyerang. Suatu organ vital—yang jika terkena sedikit akan mengakibatkan lawan terguncang sementara—dan itu menguntungkan pihak musuh.
Dakk!
Jatuh.
Roboh.
Lawan, terkapar. Pingsan. Mati.
Darah. Untungnya Private memakai boneka jerami untuk latihan saat itu. Dan untung saja Skipper tidak nekat melawannya—mungkin kekuatan mereka setara—ya, mungkin. "Lumayan, prajurit." Skipper bergumam sambil melihat stopwatch di tangannya—menghitung waktu yang Private kumpulkan untuk menjatuhkan lawan.
Sempurna.
Fisik anak ini bagus—begitupula pertahanannya.
"Kau—pasti sudah pernah berlatih sebelumnya."
Private mengangguk kecil sambil menyunggingkan senyum. "Ya, pernah. Dulu sekali." Raut wajahnya kemudian berubah—menjadi murung. Kedua alisnya tertaut ke bawah, sementara lengkungan di mulutnya bergetar—senyum dipaksakan.
Memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut, Skipper menepuk pelan bahu Private. "Baik. Kalau begitu langsung saja ke tes E-Sheet ya?"
~xo-0-ox~
SCP17-20.
E-Sheet pertama.
Giant robot besar yang akhirnya ditundukkan—oleh seorang pria berkode nama Skipper.
Giant robot yang tampak gagah jika disandingkan dengan PLS48-69—E-Sheet kedua. Kedua giant robot yang tunduk kepada dua orang manusia—bayangkan benda sebesar itu hanya patuh kepada manusia—yang entah kenapa bisa terpilih.
"Wah—" Private tercekat entah kenapa seperti ada yang menghalangi tenggorokannya untuk bicara. "Keren."
"Aku akan menunjukkan bagaimana prosedur untuk mengendarai Lola—kau sebaiknya mengikutiku." Skipper berjalan ke arah lift menuju ke bagian kokpitnya—Private mengikuti dari belakang.
"Skippa…"
Pria berambut hitam berantakan itu menengok kepada anak lelaki disebelahnya sambil mengangkat satu alisnya. "Apa?"
"Lola? Itu apa?"
"Ah ya itu…"
TING
Bersamaan dengan berbunyinya sang lift, mereka langsung keluar melangkahkan kakinya ke bagian dalam kokpit. "—nama yang kuberikan untuk E-Sheet ini."
Lola?
Namanya Lola?
"Aku tidak tahu kalau E-Sheet mempunyai gender." Private bergumam kecil—berharap tidak didengar oleh Skipper.
Namun, karena keterbatasan ruang—dan heningnya suasana, tentu saja Skipper bisa menangkap dengan jelas perkataan Private. "Apapun itu—silahkan lah apa pendapatmu. Aku memang kurang bisa memberi nama. Bayangkan—sebuah robot yang telah menyatu dengan kita—harus memanggilnya dengan nama yang diberikan oleh para ilmuwan itu—SCP21 apalah itu."
Private memandang Skipper yang tengah menduduki kokpit itu. "Erm—" ia kemudian bergumam sedikit. "Aku, harus duduk dimana?"
Skipper melirik kepada mata biru milik Private yang tengah menunggu jawaban. Pria berambut hitam itu menghela nafasnya kemudian membuka mulut, "Kau bisa berdiri 'kan?"
Tanpa perlu buka kamus pun, Private dapat menjawab 'iya'.
"E-Sheet dirancang khusus agar bisa ditempati satu pilot saja dikokpitnya, kursi ini dirancang untuk mempertahankan ketegakkan dari tubuh kita sewaktu duduk. Kau pasti tahu 'kan kalau E-Sheet hanya memiliki satu kokpit yang berarti hanya memiliki satu tempat duduk?"
Private mengangguk mengerti.
"Bagus. Pegangan di sebelah sana," Skipper menunjuk kepada sebuah pegangan besi yang terulur panjang di dekat pintu masuk untuk sang pilot. "Lihat baik-baik."
Jari telunjuk Skipper mengarah kepada sebuah tombol—lalu layar dari E-Sheet langsung menunjukkan monitor-monitor screen komputer berwarna hijau dengan huruf bahasa Inggris mendominasi. "Lalu masukkan ini—bisa disebut juga kunci E-Sheet."
Skipper meraih sesuatu dari kantung jasnya.
Sebuah kristal—yang sangat runcing dan berbentuk lonjong—warnanya hijau muda sama seperti warna yang mendominasi E-Sheet pertama ini. Skipper kemudian memasukkan sang kristal ke dalam sebuah lubang yang telah tersedia disana.
Tombol-tombol lain yang tadinya redup—sama sekali tidak bercahaya—sekarang malah menjadi terang yang menunjukkan bahwa mereka siap digunakan. Lampu yang menerangi kokpit pun menyala dengan sempurna sehingga Private tidak harus memicingkan matanya ketika melihat secara langsung sang prosedur.
"Ini untuk mengeluarkan roda—yang ini untuk mengeluarkan sayap agar kau bisa mengudara, yang ini untuk mengeluarkan beberapa misil dan peluru dari badan—sementara yang ini dari tangan."
Private memperhatikan dengan serius beberapa alat yang diterangkan oleh Skipper. Yap, dia bisa mengingat dengan mudah semua itu—gampang sekali. "Yang ini untuk mengerem, yang ini untuk mengendalikan laju jika kau mengudara, yang ini untuk memajukan E-Sheet."
Private mengangguk kemudian membuka mulutnya. "Nganu, em, 'kalau prosedur supaya E-Sheet mengikuti gerakan kita bagaimana ya?"
"Itu lain," Skipper menunjuk tubuhnya sendiri. "Kau pernah pakai 'kan? Ketika pertama kali uji coba mengendarai E-Sheet? Pakaian khusus dengan bahan yang khusus juga? Pakaian itulah yang merekatkan diri kita dengan sang E-Sheet ini."
"Ah ya, benar juga."
Skipper melirik ke arah Private yang tegah menopang dagunya dan memperhatikan peralatan di kokpit dengan serius. "Benar juga—mumpung kita sedang berdua—"
Private menengok ke arah Skipper yang bergumam.
"—aku ingin tanya apa yang kau lakukan sampai-sampai E-Sheet memilihmu."
Private terdiam. Ia mulai meremas jari-jari tangannya—terlalu erat sampai ia merasa pergelangan tangannya sakit. Sakit karena luka yang ia dapatkan kemarin, ketika menjalani uji tes coba E-Sheet.
Hening.
Sunyi.
Sampai-sampai suara hembusan nafaslah yang terdengar paling berisik untuk memenuhi suasana di ruangan kokpit yang kecil itu. Pria british itu kemudian membuka mulutnya."A-aku—"
"—hal yang pertama kau lakukan, mendengar penjelasan Marlene; duduk di atas kokpit, tekan tombol merah sampai para tim mengaktifkan E-Sheet. Langkah kedua, kau memakai kacamata khusus ini 'kan?" Skipper meraih sebuah kacamata canggih yang tebal sepertinya didesain dengan rumit sehingga menciptakan banyak tombol di pinggiran. "—ini untuk mecegah hal-hal yang tidak diinginkan. Lalu, tombol biru."
Ekspresi wajah Private kontan berubah mengingat kejadian kemarin. "Ya, benar. Tombol biru. Setelah aku menekannya semua menjadi tidak terkendali! E-Sheet seperti marah kepadaku—selang-selang hitam turun dari langit-langit kokpit—seperti robot bergerak, mereka memeriksaku. Sensor retina mata—pengambilan air ludah, sidik jari dan—" Private menggenggam tangannya.
"—pengambilan sampel darah."
Yang terakhir berbicara adalah Skipper. Tentu. Dia sudah tahu akan semua hal itu, karena dia sendiri pernah—pernah mengalami itu semua. "Tombol biru ini berfungsi ketika kau sedang memakai baju khusus pilot—sang tombol ini adalah penghubung—antara kau dan E-Sheet melalui perantaranya, sang baju khusus. Singkatnya, ketika kau menekan tombol biru sambil mengenakan baju khusus, makan E-Sheet akan mengikuti semua gerakanmu—begitupula kau akan mengalami semua gerakan E-Sheet. Connection Mode."
Private mengangguk mengerti. "Jadi… yang membuatku lulus—"
"—benar, pada akhirnya E-Sheet mengikuti semua gerakanmu. Hal yang tidak dilakukan oleh E-Sheet ketika orang lain yang mencobanya."
Deg.
Mungkin itu hanyalah sedikit rasa berbangga.
Dipilih—dari ratusan orang yang berusaha mencobanya.
"Dengar, Private. Mungkin kau satu-satunya orang yang tidak berontak dan mengeluarkan kata-kata makian ketika melihat robot ini mengekangmu seperti itu. Yang ingin kutanyakan—apa yang setelah itu kau jawab? E-Sheet menanyakanmu sesuatu 'kan?"
"Tentang bumi… dan apa yang aku pikirkan tentang E-Sheet."
Skipper mengatupkan mulutnya sambil terus menatap tajam ke Private. "Tidak ada hal lain lagi?" sebuah gelengan kecil menjawab pertanyaan Skipper. "Baiklah. Kurasa kita istirahat makan siang dahulu."
-o~xxx000xxx~o-
Benar-benar hari yang berat.
Bruk!
Private merebahkan dirinya di ranjang yang beridiri kokoh ditengah-tengah ruang kamarnya. Kamar. Ya—kamar. Kini ia sudah mendapatkan kamar—bukan ruang rawat inap lagi. Dan kebetulan sekali, posisi kamarnya berada disebelah kanan dari kamar sang pilot pertama E-Sheet.
Persetan dengan itu semua. Ia capek sekarang. Lelah. Aih, bodohnya… kalau begini saja sudah lelah bagaimana kedepannya?
Persetan dengan semuanya… Private menggeram pelan sambil menggerakkan lengannya sedikit, memberinya cukup ruang untuk dapat melihat bulan yang bersinar terang—menerangi kamarnya.
Latihan yang diberikan Skipper bukan main-main. Apalagi ketika ia menghadapi praktek mengendalikan E-Sheet memakai baju khusus itu—lebih susah lagi. Ia tidak boleh menggerakkan sembarangan anggota tubuhnya karena E-Sheet tidak-lah selentur itu.
Remuk rasanya.
Patah. Patah. Patah.
Berlebihan.
(Krik—krik—krik…)
Bahkan jangkrik-pun menertawakanmu Private.
Itu adalah jalan yang kau pilih bukan? Jangan sampai menyesalinya.
Private paham benar dengan kalimat itu.
Tidak bisa. Matanya yang berwarna biru langit itu enggan untuk menutup. Sial. Padahal ia sudah lelah sekali—kenapa matanya tidak bisa diajak kompromi? Ah, brengsek… ia sudah terlalu lelah dan ingin sekali menginjak lantai mimpinya sekarang.
Private mengangkat tangannya, membuka jendela kamar untuk merasakan sejuknya angin menerpa wajahnya.
Mimpi saja kau, heh.
Private menghembuskan nafasnya berat. Tidak ada angin malam ini—tidak ada, dan ia merasa kegerahan walau kamarnya memakai AC. Private lebih memilih untuk merasakan angin langsung dari alam—tapi tidak ada.
Apakah ini bukan hari keberuntungannya?
Meringis—Private meringis pelan. Sejak kapan ia percaya dengan 'luck'?
Tap.
Pria british itu melangkahkan kakinya, ia memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan menghabiskan waktu bersama lorong-lorong dingin markas Sandrone.
Tampar saja dirinya karena sama sekali tidak bisa ikut aturan.
Bodoh.
Bodoh.
Tidak berguna.
Private tertawa hambar. Seharusnya ia menghafalkan buku yang diberikan Marlene sekarang—tapi bukan berarti Private tidak membacanya. Ia sudah membaca—dan sudah hafal setengah. Tapi yang disayangkan adalah kenapa ia malah memilih untuk mengencani lorong-lorong markas ketimbang membelai buku yang diberikan Marlene.
Dan ini adalah yang kedua kalinya Private tidak ikut aturan. Tamat saja riwayatnya kalau ternyata nanti ia dipergoki lagi—oleh SKIPPER.
"Bukankah sudah kubilang jangan berjalan-jalan ketika malam hari?"
Shit.
Private menoleh ke belakang, mendapati Skipper yang tengah berdiri menyender sambil menyilangkan tangan. "—tidak, hanya ingin keluar mencari udara segar." Dan sapaan dingin Skipper dibalas dengan senyuman oleh Private.
Lagi-lagi kesunyian-lah yang meramaikan suasana. Tidak—tidak, jangan salahkan jangkrik yang biasanya berbunyi untuk mendramatisir suasana malam yang hening—dinding markas pusat ini tebal, tidak mungkin suara jangkrik bisa terdengar sampai ke lorong. Kecuali jika kau berada di dalam kamar.
"Kutemani."
Jawaban yang tidak disangka oleh Private.
~xo-0-ox~
"Tidak ada bintang ya."
Skipper sukses memutar wajahnya, menghadap ke arah kanan dimana mata biru milik Private sedang tertuju kepada langit.
Pernyataan macam apa itu?
Salahkan semuanya saja kenapa ia bisa memulai percakapan dengan kalimat seperti itu. Mulai dari entah kenapa Private tidak bisa tidur, malah bertemu dengan Skipper, dan kini hanya sebuah basa-basi yang (mungkin) akan mengawali pembicaraan mereka? Sama sekali tidak romantis.
Private juga tidak mengharapkannya. Tidak sama sekali.
"Soldier," Private menoleh kepada Skipper yang mengucapkan sesuatu. "Kau tahu yang namanya 'light pollution'?'"
Private menggeleng pelan.
"Ini kota New York… memang kita tidak dipusatnya. Tapi bintang sudah lama menghilang dari kota ini—"
"—maksudmu? Bintang menghilang selamanya?"
Kretek.
Kretek.
Ngiiing.
Tiin.
Kali ini yang memeriahkan suasana diantara mereka berdua adalah bisingnya kota New York—walaupun malam hari.
"Bukan itu. Kota New York memiliki gedung-gedung pencakar langit yang sangat tinggi. Gedung-gedung itu terkadang memancarkan sinar lampu yang terlalu terang—membuat 'polusi cahaya' sehingga bintang tidak terlihat lagi. Kalaupun terlihat, itu hanya keajaiban atau sinar pesawat."
Tawa hambar dari Skipper akhiri acara pembicaraan mereka. Private tidak tenang. Tidak tenang karena melihat raut wajah sang pemimpin. "Nothing impossible—" Private bergumam kecil. "Kita bisa mematikan semua listrik di kota New York kemudian melihat bintang."
"Ya—itu hanyalah salah satu ide gila yang pernah terlintas di benakku."
"Di Inggris tidak begini…" Private mengubah raut wajahnya. Pemuda british itu menggigit bibirnya, sambil memandang miris. "Kalau disana, pasti ada saja malam dimana aku memandang bintang sambil melumat satu kotak permen gula-gula Winky."
"Mungkin aku bisa mencobanya nanti."
Kembali—entah kenapa hening sering melanda percakapan yang mereka berdua bicarakan. Private kembali mendongak—tidak berharap akan ada bintang, berharap akan ada angin. "Tuhan—" Pria british itu terlonjak kaget sambil melompat. Ekspresi wajahnya pucat luar biasa. "Itu—"
Skipper yang terkejut melihat reaksi Private memutuskan untuk memandang langit. "Astaga!" Pria berambut hitam itu segera berdiri dan mengambil Private yang tengah terbengong memandang langit. "Apa yang kau lakukan? Ayo lari!"
Giant robot besar—yang setara dengan E-Sheet tiba-tiba muncul. Namun itu berbeda dengan E-Sheet—warna Giant robot itu merah—dan tampak hidup.
Lotem.
Itulah panggilannya. Sebuah nama yang diberikan oleh para manusia. Nama yang diberikan dengan rasa benci yang mendalam karena telah merusak rantai kehidupan bumi. Nama itu milik para giant robot dari planet Hell Way—giant robot yang ditugaskan untuk merusak bumi.
KHIIING.
Bunyi nyaring terdengar dalam radius dekat. Membuat Skipper dan Private menutup telinganya sambil berlari ke arah markas.
GREK!
Sejenak keadaan hening, yang terdegar hanyalah suara langkah dan nafas yang memburu oleh dua orang yang tengah berlari—mungkin ditambah dengan bunyi rem dari beberapa kendaraan yang melintas.
BANG! BANG! BANG! BANG!
Peluru-peluru kemudian berhamburan dari sang Lotem. Menembak membabi buta tidak peduli kemana arahnya—hanya mengikuti arah angin dan daya tarik yang telah dikeluarkan semenjak pelatuk ditarik. Abaikan suasana latihan camp militer ala Hitler—suara tembakan sekarang ini terlalu bising—membuat hampir semua orang melupakan semua masalah dan hanya ingat satu hal—kabur.
"Kita harus mengendarai E-Sheet." Skipper bergumam sambil sesekali menghindari tanah yang berlubang akibat hamburan peluru yang dikeluarkan Lotem.
Private membelalakkan matanya.
Harus secepat ini?
Mengendarai?
Kenapa tiba-tiba ia merasa tidak mampu?
Kenapa sekarang ia tidak seyakin ketika pertama kali akan menyentuh E-Sheet?
"—a"
PSIU!
"—hei, hati-hati kau! Jangan bengong—"
BANG!
.
.
.
.
.
Mata biru langit itu membelalak—terlalu besar sampai-sampai terasa seperti sang bola mata akan jatuh dari tempatnya. Bau besi yang menusuk hidung segera tercium bersamaan ketika menembusnya sang peluru tepat mengenai seorang pria berambut hitam yang berusaha untuk melindunginya—
—melindungi Private.
"A-aa…"
Cairan kental berwarna merah itu terus menerus keluar dari perut seorang pria berkode nama Skipper. Luka menganga yang telah ditimbulkan oleh sang peluru membuat Skipper terus-terusan meringis sambil memegangi lukanya. "… 'kan… bodoh…" samar-samar, Skipper menggumamkan sesuatu.
Disertai dengan bunyi ledakan dan tembakan, Private—anak keturunan Inggris, berumur lima belas tahun, bermata biru—ini hanya bisa mengeluarkan air mata sambil tertunduk memegangi pemimpinnya. "Skippa…"
—BANG! BANG! BANG!
SIIIING.
BRAK!
Bisu.
Mulut terkunci.
Dewa kematian mentertawakan mereka berdua.
Tertawa sambil membawa sabit besar yang menggantung di langit malam yang tengah disinari bara api.
.
.
.
.
Satu harapan—
("—ngan… 'ti…)
Jangan mati.
Jangan mati.
Jangan mati.
Jangan—
—mati.
~xo-0-ox~
Á Suivre
(—because an ending is not always like your thought)
~xo-0-ox~
Bacotan author:
Fic baru buat PoMI. Sekaligus fic pertama saia bergenre mecha. :D
Hehe, ada ide untuk bikin, walhasil begini jadinya. Maaf kalau hancur. Lagi pengen buat yang genrenya mecha, tapi bingung mau pakai karakternya siapa… yang kena imbas jadi Skipper dkk. TwT #tendanged
Maaf kalau kepanjangan dan bikin nyesek mata. Maaf kalau deskrip aneh dan bikin otak ngawur. #sigh
Btw, kayaknya kalau dilanjutin cuma ampe… maksimal 7 chapter—minimalnya 3 atau 5 chapter. Soalnya chapter satu aja panjangnya udah bujugh beginih. TwT Dan saia mati-matian ngedit ini cerita karena font di FFN kayak lagi rusak... masa yang untuk 'Italic' gak bisa digunain? OAO
Haruskah saia lanjutkan cerita ini? Tolong balas di-review ya. =)
January 2011 © NakamaLuna~
