-GOODNIGHT, MR. REDRUM!-

Romance/Tragedy

Rate: T

For Infantrum Black and White Challenge

Story © charlottecauchemar

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: AU. Bit OOC. Yaoi. Er… Character Death?

Chapter 1: Angels and Devils

Summary: Mereka tidak akan bisa bersatu. Dia adalah malaikat yang turun dari surga dan bercahaya, sedangkan dirinya adalah iblis dari dasar neraka yang selalu diselimuti kegelapan. Dosanya… tak termaafkan…


"To… tolong… jangan bunuh aku… Ambil semua yang kau mau, tapi biarkan aku hidup…" Pria itu mencoba terus menghindar sambil memegangi lengannya yang terluka dan terus mengucurkan darah. Dengan terseok, dia berjalan mundur. Tak sengaja menginjak sesosok tubuh yang sudah tidak bernyawa di lantai. Kidoumaru, bodyguardnya. Atau apa yang kini tersisa dari tubuh pemuda itu.

Tapi pemuda di hadapannya sama sekali tak menggubris rengekannya. Katana di tangannya terus diputarnya dan terlihat semakin berbahaya. Mata onyxnya menatap pria berambut hitam panjang itu tanpa ekspresi.

Pria itu semakin mundur, sampai akhirnya punggungnya menyentuh dinding beton yang membuatnya kehilangan ruang untuk melarikan diri. Matanya menyapu tempat yang awalnya adalah labolatorium miliknya dengan tatapan ngeri. Tubuh-tubuh asistennya bergelimpangan tanpa nyawa. Begitupun hasil risetnya selama bertahun-tahun, sudah menjadi onggokan sampah kertas.

"Demi Tuhan, Sasuke… hentikan kegilaan ini…"

"Kau tahu, Orochimaru?" Mata onyxnya kini berkilat berbahaya, "Tuhan itu tidak ada…"

Dan dengan satu sabetan cepat, kepala Orochimaru terlepas dari tubuhnya, bahkan sebelum bibir pucatnya sempat berteriak. Namun matanya terbelalak penuh kengerian.

"… kalaupun Tuhan itu ada, dia tidak ada untukku…" lanjut pemuda berambut hitam itu, kemudian berjalan melewati ruangan yang sudah diubahnya menjadi lautan darah tersebut. Tapi, tak ada setetes darah pun yang menyentuh mantel hitam maupun kulit putih pucatnya.

Sebelum beranjak pergi, dia meletakkan sebuah kartu berwarna hitam dengan gambar tengkorak putih di bagian depan dan tulisan merah 'Snake was dead' di sisi lainnya. Sebuah seringaian bermain di wajah tampannya.

~o~

Gerimis.

Titik air yang jatuh dari langit menyapanya. Tapi dia tidak berusaha untuk berteduh. Dengan langkah santai dilaluinya jalanan Shibuto di malam hari yang ramai dengan segala macam aktivitas di dalamnya.

Oto. Kota yang berkembang paling pesat dari seluruh kota yang ada di negara Hi. Uang berputar dengan cepatnya di kota itu. Tak heran banyak manusia yang mencoba mengadu nasib dengan datang ke Oto. Kebanyakan tanpa tahu kehidupan keras yang telah menanti mereka.

Mungkin, jika 8 tahun yang lalu dia ditanya tantang Oto, pemuda itu akan menjawab 'tempat yang seperti surga'. Tapi tidak sekarang. Oto tak lebih dari sekedar neraka dunia baginya. Tempat yang dingin, bahkan tanpa air hujan yang kini mulai menerpanya tanpa ampun.

Kali ini dia mempercepat langkahnya. Tidak memperdulikan protes yang datang dari orang-orang yang ditabraknya. Baginya, mereka semua sama dengannya. Setan yang berwujud manusia yang hidup di bumi.

Tapi, ada malaikat yang pernah tinggal di neraka ini. Seorang malaikat yang membawa cahaya dalam kehidupannya. Malaikat yang hanya miliknya.

~oOo~

Pemuda itu berlari. Luka tembak yang terus mengucurkan darah dari perutnya rupanya cukup membuat langkahnya gontai. Air hujan terus mengguyurnya seperti tak terjadi apa-apa.

ANBU sialan… aku tak menyangka mereka bisa menjebak kami seperti ini. Bahkan aniki sampai tertipu… Memalukan…

Dia terus berlari. Sampai akhirnya di sebuah gang kecil yang penuh dengan tempat sampah dan kotoran, kakinya tak kuat lagi menahan berat tubuhnya. Dia ambruk.

Mungkin ini sudah saatnya dia mati. Sungguh tak elit mati di tempat sampah seperti ini. Tak ada gunanya nama Uchiha yang disandangnya selama ini jika akhir hidupnya tragis begini. Sebuah senyum pahit mengukir wajahnya.

Aku akan mati…

Dan tepat sebelum kelopak matanya tertutup, dia sosok itu.

Malaikat…

~o~

"Kau sudah bangun?"

Hal yang pertama didengarnya ketika membuka mata. Sebuah kamar dengan lampu remang-remang yang berukuran sedang, hanya berisikan sebuah tempat tidur, lemari kayu di sudut ruangan dan meja yang penuh dengan buku-buku yang berserakan di atasnya.

"Hn." Hanya itu jawabannya.

"Syukurlah kau selamat… kalau aku sampai terlambat menemukanmu, mungkin kau sudah pergi ke sana," lawan bicaranya menjelaskan, telunjuknya menunjuk ke atas.

Mata onyxnya kini memfokuskan pandangannya pada orang itu. Rambut pirang yang berantakan, bola mata biru yang terlihat lelah namun sorot kebahagiaan tampak di sana, pipi yang dihiasi masing-masing 3 buah garis seperti kumis kucing… makhluk yang sama yang sempat dikiranya malaikat, minus lingkaran halo dan sepasang sayap di punggungnya.

"Hn," jawabnya singkat. Kali ini, dia mencoba untuk mengangkat tubuhnya ke posisi duduk, hanya untuk mendapati rasa sakit di bagian perutnya.

"Jangan bangun dulu. Kau baru saja lolos dari malaikat maut, tahu…" Tangan pemuda itu bergerak, mendorongnya untuk kembali berbaring.

"Aku… harus pergi…" Tak dipedulikannya tatapan sebal pemuda pirang itu.

"Jangan bodoh, Teme… Seorang Uchiha sepertimu harusnya paling tahu keadaan tubuhmu sendiri…"

Mata onyxnya bertemu dengan pemuda itu yang sekarang tersenyum lebar.

"Kau tahu aku?"

Pemuda itu mengengguk dengan penuh semangat.

"Uchiha Sasuke. Mahasiswa kedokteran tingkat akhir di Universitas Oto. Mahasiswa jenius yang bahkan sudah direkrut rumah sakit Universitas Oto sejak tahun keduanya kuliah. Betul kan?" Senyum di bibirnya makin lebar. Dengan sabar ditunggunya jawaban pemuda berambut hitam di hadapannya.

"Kau tahu darimana?"

"Hehehe…" Pemuda itu menggaruk pipinya dengan jari telunjuknya, wajahnya sedikit bersemu merah, "aku juga kuliah di sana. Satu tahun di bawahmu. Yah… wajar kalau kau nggak tahu… prestasiku biasa-biasa aja sih, kalau nggak dibilang 'menyedihkan'," ujarnya sambil membuat tanda kutip dengan kedua tangannya.

"Hn, Dobe…"

"Jangan bilang begitu sama orang yang sudah menyelamatkan hidupmu!" Dia menggembungkan pipinya kesal.

"Kau kan belum memberitahu namamu…"

Pemuda itu kembali tersenyum.

"Naruto. Namikaze Naruto."

~oOo~

"Naruto…" Pemuda itu membisikkan namanya. Wajahnya tengadah menatap langit, membiarkan air hujan menyapu wajah tampannya, "delapan tahun sejak aku bertemu denganmu dan tiga tahun sejak aku… kehilanganmu…"

Langit semakin gelap, pertanda malam mulai mencapai pertengahannya. Namun keramaian di jalan Shibuto tidak berkurang sama sekali, justru lautan manusia semakin membuat sesak.

Dengan langkah lebar-lebar, dia berjalan menembus hujan yang mulai lebat. Tangan kanannya menjinjing sebuah tas gitar yag berisikan katana miliknya yang masih menyisakan darah dari target terakhirnya malam itu. Dia tak ambil pusing untuk sekedar membersihkannya. Baginya, setiap tetes darah yang tersisa di katana itu, mengingatkannya betapa berdosanya dia.

"Sasuke-kun?"

Sebuah suara disertai tepukan lembut di pundaknya membuat Sasuke menghentikan langkahnya.

"Hn," jawabnya ketika dilihatnya pemilik tangan yang telah mengganggu langkahnya itu. Seorang wanita berambut merah muda dengan bando putih yang menahan poninya menutup mata hijau emeraldnya. Tangan kanannya menggenggam sebuah payung biru muda yang menghalangi air hujan jatuh menerpanya. Sebuah senyum tersungging di bibirnya.

"Aa… sudah lama kita tidak bertemu, Sasuke-kun…"

Sasuke sama sekali mengindahkan perkataan gadis itu. Sebelum sempat berbalik untuk meninggalkan tempat itu, gadis itu sudah menariknya menuju sebuah kafe terdekat, berusaha untuk mencari kehangatan di tengah hujan yang mulai lebat.

"Jadi… kira-kira, sudah hampir tiga tahun ya, kita bertemu terakhir kalinya…" ujarnya ketika mereka sudah mengambil tempat di samping jendela.

"Hn."

Sedikit demi sedikit, senyum di wajah gadis itu menghilang. "Ayolah, Sasuke-kun… sudah tiga tahun kita tidak bertemu, tapi sikapmu malah seperti ini?"

Sasuke mulai jengah menghadapi gadis di depannya itu. "Apa maumu, Haruno?" Nada suaranya sama sekali bukan berupa pertanyaan, lebih menyerupai pernyataan.

Sakura sedikit mengernyitkan dahinya ketika mendengar nama panggilan yang ditujukan padanya. "Aku hanya mengkhawatirkanmu, Sasuke-kun. Terakhir kita bertemu, kau benar-benar seperti tidak punya keinginan untuk hidup."

Sasuke menggumamkan sesuatu yang seperti, 'bukan urusanmu'.

Gadis itu menarik napas panjang. "Sasuke-kun… Naruto pasti sedih kalau melihatmu seperti ini…"

Tanpa disangka, Sasuke menggebrak meja yang memisahkan mereka berdua. "Jangan bicarakan tentang dia! Kau tidak tahu apa-apa!"

Dengan gusar, pemuda itu segera bangkit dari kursinya dan mengambil tas gitarnya yang tergeletak di samping kakinya.

"Sasuke…"

"Dan jangan panggil aku dengan nama itu lagi… Uchiha Sasuke sudah lama mati…"

Sasuke segera melangkahkan kakinya keluar dari kafe itu, tanpa mengindahkan tatapan sinis pengunjung yang lain.

"Sasuke-kun!" teriak Sakura ketika mereka berdua berada di luar kafe, "aku kerja di rumah sakit Beito, dua blok dari sini! Datanglah kapan-kapan!"

Tapi pemuda berambut hitam itu sudah menghilang dari pandangannya.

Sakura menatap ke arah di mana pemuda itu menghilang. Ada perasaan sedih yang mencekam hatinya melihat orang yang pernah dianggapnya sebagai sahabat terlihat begitu… kosong? Mati? Padahal, bertahun-tahun yang lalu, mata onyxnya sungguh memancarkan aura kehidupan yang sangat indah.

"Kau pergi terlalu cepat, Naruto… lihat, semua orang kehilanganmu…" ucapnya parau. Air mulai menggenang di sudut matanya.

~o~

Sasuke membuka pintu kayu jati itu dengan sedikit kasar, sampai membuat suara berdebam yang menandakan pintu itu dengan sukses mencium dinding kusam di belakangnya.

"Hei." Sebuah suara protes terdengar dari dalam ruangan. "Kalau sampai pintu itu rusak lagi," dia memberi penekanan pada kata terakhir, "aku terpaksa harus memotong honormu untuk yang kesekian kalinya."

Dia memandang pemilik suara tadi dengan tatapan sengit. Pertemuan yang tidak disangkanya dengan Sakura tadi membuat emosinya sedikit kacau.

"Hn."

Diayunkan langkahnya menuju sebuah meja yang terletak paling jauh dari pintu masuk tadi, sekaligus tempat paling jauh dari pemuda berambut panjang itu.

Ruangan itu adalah sebuah kafe yang terletak di bagian terdalam dari Shibuto. Tempat yang sungguh jarang disesaki pelanggan, karena pelanggan yang datang ke situ bukanlah orang-orang yang mencari kehangatan dengan secangkir kopi. Melainkan orang-orang dengan… keperluan yang lebih kompleks,

Kafe bernama 'Mirai' itu berbentuk persegi yang memanjang ke bagian dalamnya. Di satu sisi terdapat empat buah meja yang menempel ke dinding dengan masing-masing di kelilingi dua buah kursi panjang yang juga menempel ke dinding. Di satu sisinya ada sebuah counter yang dikelilingi dari kursi-kursi tunggal. Tidak ada kesan hangat sama sekali.

Dan di salah satu kursi itulah duduk seorang pemuda berambut panjang dengan wajah 'cantik'nya.

Sasuke mengindahkan pemuda itu yang masih terus menyuarakan pendapatnya. Dia mengambil kursi yang memunggungi pemuda itu dan mengeluarkan katananya dari tas gitar yang dibawa sedari tadi. Kemudian dengan selembar lap yang bisa ditemukannya di bawah meja, dia mengelap bekas darah di katana itu. Bekas darah Orochimaru, mantan dosennya dulu.

"Kalau ada pelanggan yang melihatmu sekarang, bisa-bisa mereka ketakutan dan langsung pergi…"

Sebuah suara yang cukup berat membuatnya menghentikan kegiatannya. Dia menoleh untuk mendapati seorang pemuda berambut merah yang muncul dari pintu di balik counter sambil memegang dua buah cangkir yang terlihat mengepul. Kemudian pemuda itu berjalan mendekatinya.

"Jangan berbicara seolah tempat ini pernah didatangi oleh orang-orang normal, Ichibi…" desisnya.

"Oh… ayolah Sasuke…" potong pemuda berambut panjang yang membuat Sasuke kembali menarik napas panjang, "kita hanya bertiga saat ini, apa salahnya memanggil kami dengan nama asli? Atau jangan-jangan… kau lupa pada nama aslimu sendiri?" Pemuda itu tertawa kecil.

Sasuke melempar tatapan kesal kepadanya, namun tidak mengatakan apa-apa.

"Sudahlah, Haku…" Pemuda berambut merah berusaha menengahi ketika merasakan hawa membunuh, "berhenti menggodanya."

Haku tertawa mengejek.

"Dia hanya bosan karena Zabuza belum selesai mengerjakan tugasnya…"

"Rindu pada pengasuhmu, gadis kecil?" Sasuke seperti menemukan cara untuk membalas ejekan pemuda cantik itu.

Haku hanya menjulurkan lidahnya, kemudian bangkit dan hilang di balik pintu di belakang counter.

"Harusnya kau jangan sampai membiarkan bocah itu mempermainkan emosimu." Pemuda berambut merah itu menyodorkan salah satu cangkir yang dibawanya tadi. "Black Coffee."

"Thanks," jawabnya singkat.

"Tapi… Haku ada benarnya juga…" lanjutnya setelah menyeruput sedikit kopinya, "kau bisa memanggil kami dengan nama ketika tidak ada orang lain, bukan?"

"Ichibi… sudah kubilang, aku tidak mau membicarakan hal seperti ini lagi…"

"It's Gaara…" selanya, "ayolah, Sasuke… tak ada ruginya memakai nama dari masa lalumu…"

"OK… Gaara…" Sasuke menjawab dengan malas-malasan. "Aku sedang tidak ada keinginan untuk bertengkar denganmu."

Gaara hanya menyeringai kecil kemudian membiarkan Sasuke melanjutkan aktivitas yang tadi sedang dikerjakannya.

~oOo~

"Mmphh… Sasu…" Naruto berusaha mendorong pemuda yang lebih besar darinya itu yang sepertinya ingin melumat habis bibirnya. Tapi tangan pemuda itu melingkar erat di pinggangnya, memaksanya untuk tetap di tempat dan melanjutkan kegiatan mereka.

"Sa… suke…" erangnya di tengah-tengah ciuman.

"Apa?" Sasuke akhirnya melepaskan ciumannya, memandang Naruto yang masih terengah-engah. Nada suaranya sedikit terdengar kesal.

"Um…" Kepala Naruto tertunduk dan wajahnya terlihat memerah. "Bisa kembali ke tujuan kita semula? Kau ingat… besok aku ada ujian…"

"Ah…" Sasuke sepertinya teringat alasannya kenapa hari itu dia berada di apartemen Naruto.

Sasuke mengambil catatan-catatan Naruto, kemudian menjelaskan beberapa bagian yang tidak dimengerti pemuda berambut pirang itu. Tapi, baru lewat beberapa menit, konsentrasi Sasuke sudah terpecah karena mata biru Naruto yang terus menelitinya.

"Naruto…" katanya dengan suara rendah.

"Huh?" Naruto sepertinya baru sadar kalau dia ketahuan memandangi kekasihnya itu. "Kenapa berhenti?" tanyanya bingung.

Sasuke menarik napas panjang kemudian menggenggam tangan Naruto. "Kau memikirkan apa? Sepertinya sama sekali nggak mendengarkan penjelasanku…"

Naruto terdiam sebentar, kelihatannya sedang berpikir.

"Aku… cuma heran saja. Kita baru dua bulan bertemu, tapi… lihat sekarang, lagakmu seperti orang yang sudah mengenalku bertahun-tahun…"

Sasuke tertawa kecil, tawa renyah yang sungguh jarang muncul dari bibirnya. Tangan pucatnya membelai kepala Naruto.

"Entahlah…" jawabnya sambil tetap tersenyum. "Mungkin… hadiah dari Tuhan karena kau sudah berhasil mengembalikan hidupku?"

Naruto ikut tersenyum. "Bahkan Sakura sampai tidak percaya waktu aku bilang padanya… dia hampir pingsan di tempat…" Dia tertawa.

Lalu keduanya terdiam. Sepertinya tidak ada yang ingin menghancurkan kesunyian yang nyaman itu.

"Lukamu… sudah tidak apa-apa kan?" Tangan berkulit tan milik Naruto menyentuh tempat di mana dia mengangkat peluru yang bersarang di tubuh Sasuke dua bulan yang lalu.

"Hei… kau calon dokter yang hebat, tahu… Berkat kemampuanmu itu, sekarang aku masih ada di sini, kan?"

"Terpaksa, tahu…" Naruto menggembungkan pipinya.

Sasuke mengecup bibir Naruto cepat. "Terimakasih."

"Lalu…" kata Naruto, "sekarang kau mau memberitahuku darimana kau mendapatkan luka itu?"

Air muka Sasuke langsung berubah muram.

"Yah… kalau kau memang belum bisa percaya padaku sih…"

"Baiklah…" Sasuke akhirnya mengalah. Dengan nada suara Naruto yang seperti itu, dia sudah tahu bahwa pemuda pirang itu sedang merajuk.

Dan betul saja, sebuah cengiran muncul di wajahnya.

"Aku mendengarkan…"

~oOo~

"Bagaimana rasanya bertemu dengan orang dari masa lalumu?"

Sasuke mengangkat kepalanya, memandang mata sea green pemuda di hadapannya.

"Bukan urusanmu," katanya akhirnya.

Gaara mendengus. "Dosen yang sudah menjadikanmu sebagai asisten dan mahasiswa kesayangannya, ternyata harus mengakhiri nyawanya di tangan orang kepercayaannya itu. Tragis." Pemuda itu menggelengkan kepalanya.

"Jangan berlagak suci. Kau sendiri yang membuatku menerima tugas ini," desisnya.

"Yah… mau bagaimana lagi. Kau tahu sendiri, kita hidup dari menghabisi nyawa orang lain. Dan aku hanya menerima tugas dan memberinya pada orang yang kuanggap tepat," jelasnya. "Dan lagi, banyak orang yang tidak menyukai Orochimaru karena risetnya itu."

"Kau memang iblis…"

"Bukannya sama denganmu?" Gaara tertawa. Tawa yang membuat bulu kuduk merinding.

"Kau hanya ingin mengujiku…" Sasuke bangkit setelah memasukkan katananya lagi. Dia berjalan menuju pintu di belakang counter.

"Ah… istirahatkan dirimu. Aku punya tugas 'kecil' untukmu besok."

Sasuke hanya mengangguk kecil.

"Malam, Ichibi," ujarnya sebelum menghilang di balik pintu.

"Selamat malam… Redrum…"

-TO BE CONTINUED-


Edited. Semarang, 110619.

.charlottecauchemar.