Ohayou! Konichiwa! Konbawa!

.

I will survive~ dozo, Minna-sama. ;)

.

Disclaimer: Kuroko no basket belongs Fujimaki Tadatoshi. I don't own it and don't take any commercial advantages nor profit through my fanfiction.

Warning: Alternate universe, super incredibly OOC, lime, typo(s), SHOUNEN-AI/MALEXMALE, simple diction, fast pace, etc.

Special backsound: Gray Paper by Yesung (O.S.T That Winter the Wind Blows)

.

Have a nice read!

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Hari ini adalah salah satu hari yang membahagiakan untuk Furihata Kouki.

"Happy birthday to you~ happy birthday to you~ happy birthday, happy birthday, happy birthday Furihata~"

Helai-helai reras maple di penghujung musim gugur ramai melenggak-lenggok—dan kebanyakan orang akan menengoknya dari balik jendela dengan secangkir minuman hangat di tangan karena pemandangan klise ini meresapkan damai dalam hati.

Mungkin ketika almanak bulan November dirobek, menampilkan bulan penghujung akhir tahun, maka es yang berevaporasi menjadi butir-butir menyaingi lembut kapas akan menenggak seluruh panas yang tersisa. Namun meski dingin itu sendiri mulai mencabik-cabik pori-pori kulit, pada kenyataannya momen-momen berharga akan tetap menghangatkan hati.

Kendati gedung megah Seirin Wedding Organizer itu dilingkup udara yang perlahan tetapi pasti turun ke titik beku, namun keramaiannya menghangatkan hati siapa saja yang masuk ke dalamnya. Atau mungkin itu karena salah seorang pegawai di sana sedang berulang tahun—mereka merayakannya. Mengingat di hari seperti ini klien jarang datang berkunjung.

Penghujung musim gugur dan menjelang musim dingin, bukan waktu yang umumnya dipilih pasangan untuk mengikrarkan sumpah sehidup-semati di atas altar.

Karena itulah para pekerja Seirin Wedding Organizer itu bisa berpesta pora sesuka hati mereka. Berhubung mereka juga telah meluangkan waktu dan mengosongkan jadwal demi merayakan hari kelahiran kawan mereka.

Furihata tak henti tertawa hari itu. Hari ini tak ada beban apapun yang ditimpakan padanya.

Aida tidak menjejalkan tugas-tugas padanya, tidak menyuruhnya untuk mencari konsep terbaru suatu pernikahan yang bisa dijadikan prefrensi bagi para pasangan berbahagia, tidak semena-mena memerintahnya survey kemanapun.

Hyuga pun tidak mengomelinya soal deadlines seputar negosiasi dengan orang-orang pemilik gedung pernikahan untuk membuat altar yang indah.

Kiyoshi menepuk hangat bahunya dan berkata ia cukup bergembira dan rileks karena ini hari berbahagianya, tak usah memikirkan pekerjaan terlebih dahulu.

Mitobe tersenyum halus padanya, tak menjawil Furihata untuk mengingatkan soal wedding catering.

Izuki melontarkan pun andalannya . "Today is Saturday, this day is your birthday—kitakore!"—dan ini membuat Hyuga menanggapinya dengan komentar sinis.

Koganei berbisik padanya bahwa ia sudah menghubungi desainer wedding dress salah satu klien mereka jadi Furihata tidak perlu khawatir, beban pekerjaannya telah diringankan oleh senior bertampang mirip kucing itu.

Kagami mengacak asal rambut coklatnya seraya dengan bangga mengatakan bahwa yang membuat kue ulang tahun untuk Furihata adalah dirinya—dan Kuroko menimpali ia ikut membantu menghias kuenya dengan ornamen fondan lucu berbentuk Nigou.

Kawahara dan Fukuda, kedua sobat karibnya, memberikan hadiah yang disiapkan oleh tim wedding organizer Seirin. Kotak coklat polos yang ketika Furihata membukanya, sebuah jam tangan yang sudah lama Furihata inginkan bertahta di sana.

Furihata lekas memakainya, tersenyum dengan mata berkaca-kaca tatkala mengalihkan pandangan dari jam tangan yang telah lama diinginkan kini melingkar di pergelangan tangan—pada teman-temannya yang tersenyum lebar menatapnya. Bersuara serak tatkala mengucapkan terima kasih sedalam lubuk hati.

Momen itu diinterupsi sesaat takala kekasih Tsuchida datang mengantarkan bekal, dan para pemuda lajang di sana mengerang keras-keras. Aida tertawa riang karena ia ada teman perempuan untuk diajak berbincang.

Furihata sempat terdiam ketika melihat seniornya itu membelai sayang puncak kepala kekasihnya, berkata terima kasih sedemikian lembut. Gestur itu memicu bangkitnya secarik memori yang Furihata kira sudah berhasil dilupakannya.

Seseorang pernah berlaku seperti itu. Dulu. Bertahun-tahun yang lalu. Dan melihatnya lagi sanggup membuat Furihata membisu. Karena sekarang mereka bahkan tak pernah lagi bertemu.

Kuroko yang melihat itu—dan jelas mengetahui kenapa senyum kawannya mendadak lenyap seperti kepul asap—bergegas mendistraksi atensinya. Menanyakan apakah Furihata ingin menambah kue buatan Kagami lagi atau tidak—karena Kuroko bersedia mengambilkannya. Tapi kawannya itu menggeleng perlahan sembari mengulas senyum pilu—gagal menyembunyikan siratan di mata yang digugut rindu.

Furihata pamit pada Kuroko untuk menuju dispenser yang tersedia di konter bagian informasi—karena mendadak kerongkongannya terasa kering-kerontang. Mata sebiru safir itu menyematkan tatapan di punggung kurus kawannya yang berjalan pergi. Menghela napas pendek, merasa tak berdaya. Tak adakah yang bisa dilakukannya—atau mereka—untuk menghibur temannya agar tak memikirkan seseorang yang bahkan tak lagi menemuinya?

Kagami yang melihatnya berkata dengan suara rendah. "Furihata belum melupakannya. Orang sialan itu."

"Kita tidak bisa menyalahkan siapa pun," tanggap Kuroko logis, ia menghela napas pendek. "Butuh keajaiban untuk memulangkannya."

Sampai suara denting lonceng yang cukup nyaring mengalihkan perhatian semuanya. Pintu automatik secara otomatis terbuka, CCTV merekam sosok yang hadir menimbulkan gema saat sepatu pantofelnya menapak lantai garnit lobi yang disulap jadi tempat pesta ulang tahun.

Furihata menoleh dengan tangan masih memegang gelas yang dikucuri air hangat dari dispenser, refleks berkata seperti dengan gaya professional dilakukannya.

"Selamat datang di Seirin Wedding Organizer! Kami siap mempreparasi pernikahan terindah untuk—"

Speak of the devil.

"Selamat ulang tahun, Kouki."

Senyum itu. Cara memandang yang selalu berhasil menghidupkan debar menyebabkan Furihata gentar. Sosok yang mempolusi atmosfer kehangatan dengan aura penguasa mencekam membuat segalanya mendadak kelam. Suaranya yang tenang—dan dingin seperti angin musim gugur, anomali yang menginvasi ruang pendengarannya—dan ironinya melelehkan hatinya. Atau mungkin mengancam melelehkan bulir-bulir melankolia yang selama ini Furihata bekukan dalam lakrimal berpupil mungilnya.

"Se- … Sei?"

Panggilan itu. Sudut-sudut bibir entitas yang baru datang itu terangkat halus seperti daun-daun kering di balik pintu bening diterbangkan ke langit oleh angin di penghujung musim.

Sunyi meringkus kebisingan yang semula melingkup rakus orang-orang dalam ruangan.

"Sei- … Seijuurou?" bisikan terinjeksi hesitansi.

.

.

.

Ini adalah hari yang paling membahagiakan untuk Furihata Kouki—

.

.

.

.

"Siapkan pernikahan terindah untukku dan pengantinku, Kouki."

.

.

.

.

—bila saja Akashi Seijuurou tidak memerintahkan hal ironi termengerikan sepanjang karirnya sebagai realisator upacara tersakral seumur hidup.

.

#~**~#

Special Alternate Ending "Saigou ni Iezu ni Ita",

Special gift for Akashi Seijuurou's birthday,

.

.

Ienakatta Omoi wo

(My feelings that I kept from you)

.

.

By: Light of Leviathan

#~**~#

.

Furihata menghembuskan napas panjang, hati seberat timpaan troposfer runtuh merubuh dirinya. Dengan enggan menyajikan secangkir espresso hangat untuk pemuda yang duduk tenang di meja bundar untuk dua orang. Menaruh sepotong red velvet cake buatan Kagami yang dijadikan sebagai kue ulang tahunnya di sisi secangkir espresso.

Profesional. Furihata harus bersikap professional total.

Akashi terkonfirmasi akan menikah karena sudah menemukan belahan jiwa di belahan lain dunia. Mungkin ia kebetulan datang memilih Seirin Wedding Organizer karena mengingat Kuroko dan Kagami bekerja di tempat ini. Atau mendapat rekomendasi entah dari mana bahwa Seirin adalah penyelenggara pernikahan yang handal dan merupakan organisasi terpercaya.

Bukan karena Furihata bekerja di sini.

Bisa saja Akashi sudah tidak ingat apapun tentang Furihata—mengingat mereka telah berpisah sekian tahun. Terakhir kali, Furihata yang memutuskan relasi mereka. Mungkin Akashi sakit hati dan ingin balas dendam—meski ini diragukan kevalidannya.

Furihata menarik kursi untuk duduk di hadapan Akashi. Tak sengaja menangkap penampakkan surai magenta yang terlihat acak-acakan karena mungkin tadi dikacaukan oleh tiupan keras angin—terlihat tidak rapi. Namun proporsi jatuhnya dan keanomalian kombinasi Akashi yang menatapnya tepat di mata—biner merah itu presisi jatuh surai magenta yang membingkai wajahnya itu, napas Furihata tercekat sesaat.

Desas-desus dari desis di balik dinding, di tengah konter, dari meja atau dari pintu—seakan dari manapun—mengingatkan Furihata bahwa ia adalah orang yang berprofesi sebagai penggiring pengantin sekaligus penyelenggara resepsi pernikahan termemorial yang diinginkan setiap pasang insan di muka bumi; ia harus bersikap profesional. Tidak ada apa-apa. Ini tak lebih dari rangkaian rutinitas yang repetitif terjadi.

Berdeham kikuk, Furihata menegakkan posisi duduknya. Ia menundukkan kepala lamat-lamat—mengetahui pasti mata merah itu mengawasinya dengan saksama—sebagai tanda hormat. Menghela napas gugup dan berupaya mengabaikan denyar yang mendebar jantungnya menyebabkan tubuhnya bergetar, Furihata ingin sekali menamparkan pertanyaan yang sedahsyat tsunami memporak-poranda benak.

.

.

Kapan Akashi pulang?

Apa studinya di Inggris sudah selesai?

Apa pekerjaannya sekarang?

Siapa wanita yang beruntung akan menikah dengannya?

.

.

Dari ekspresi stoik Akashi, Furihata menemukan jawaban atas penantian; menenggak pahit realita. Rasionalitasnya menertawakan hatinya yang menangis, logikanya mengasihani nasib karena kebodohan yang begitu miris. Kesadaran menyelami dirinya, pemahaman meneduhi dirinya.

Begitu banyak tanya yang ingin Furihata lontarkan pada Akashi, perasaan yang mendera hatinya ingin diungkapkan—karena terakhir kali Furihata tak sempat mengatakannya dengan benar dan Akashi menolak mendengar. Tapi kini, ia mengerti. Semua itu tidak berguna.

Maka ketika Furihata membuka mulut usai mengukuhkan komitmen—ia adalah pekerja professional yang hanya mengurus rikues kliennya—yang keluar bukanlah kejujuran, melainkan formalitas.

"Te-… terima kasih sudah memilih Seirin Wedding Organizer. Kami a-akan bekerja keras untuk menyiapkan pernikahan terbaik untuk Anda. Mohon kerjasamanya," ucapnya sopan dengan nada kaku.

Mendapati nihil tanda-tanda Akashi menanggapi sambutannya, Furihata tak tahu entah harus bersyukur karena Akashi diam saja atau kesal karena tak direspon. Pemuda bersurai sewarna tanah itu membuka daftar agenda kerjanya, membaca sekilas catatan simulasi berinteraksi dengan klien. Beberapa hal yang harus dilakukan pada tahap pertemuan pertama, agar ia dapat merencanakan suatu konsep pernikahan dan merealisasikan ilmu manajemen untuk mewujudkan upacara suci yang sekiranya dikenang abadi.

"E-err … pernikahan seperti apa yang Anda inginkan?" tanya Furihata perlahan. "Modern atau tradisional?"

Akashi memicingkan mata tatkala melihat Furihata menatap sesuatu persis melampaui sudut kiri kepalanya—mungkin daun-daun kering yang mengguyur etalase dami proyeksi kue pernikahan atau pantulan senja yang sayup di spionase tepi jalan. Suatu sudut bibir terangkat sedikit, dan sedikit lebih tinggi lagi ketika ia tahu Furihata berjengit menotis dirinya tengah menyeringai.

"Modern."

Furihata menuliskan sesuatu di halaman putih-bersih baru catatannya dengan bolpoin. Membolak-balik catatannya lagi, mata pupil mungilnya terbeliak. Sebelum meredup sendu seraya menutup suatu halaman tertentu. Ia menarik napas, dan menundukkan kepala lebih dalam.

"Konsep apa yang Anda dan err … calon pe-pengantin Anda inginkan?" Furihata memaki dalam hati suaranya yang terdengar serak dibalur . Takut-takut melontar tanya dengan suara bergetar, "Mengapa tidak ajak calon pengantin Anda sekalian supaya kita ... uhm, bisa berdiskusi … bersama?"

Dengus geli itu kontan menyebabkan Furihata mendongak. Hatinya tersayat menemukan pandangan Akashi melunak—dan bukan karena dirinya, tentunya.

"Dia akan suka apapun yang kusuka." Dan gelimang selembut pulasan lapis tertinggi pelangi di mata itu membuat Furihata menggigit bibir bagian dalamnya kuat-kuat.

"So-soal gaun pengantinnya—"

"Tinggal suruh desainer ternama membuatkan untuknya." Akashi bertopang dagu. Menelisik seseorang yang—syukurnya—tak berubah sejalur era globalisasi. Ada filtrasi renik-renik karakteristik dalam dirinya yang Akashi temukan identik ordinari—sungguh melegakan. "Aku ingin resepsi pernikahan modern. Dan jelaskan tentang konsep pernikahan yang tadi kaukatakan."

"Ko-konsepnya … tergantung keinginan calon pengantin." Silabel-silabel buku teks berjejalan sederas air terjun bebas memuarai pikirannya yang kosong melompong. Tak sadar genggaman pada bolpoin mengerat. "Se-seperti tema pernikahan. Atau semacamnya."

"Tema—" Akashi menatap lekat, menyelidik gerak-gerik gelisah dari gestur Furihata menghadapinya, "—harus elegan, mewah, bermartabat. Bisakah kau menyelanggarakan itu ala Garden Party? Hutan yang asri."

"Garden pa- … party?" Furihata tersentak—pertahanannya nyaris terkoyak, ia buru-buru mencatat semua yang Akashi sebutkan. "Bi—bisa. Se-sebentar … anggarannya—"

Akashi menahan diri untuk tak mentransformasi seringai jadi kulum senyum tatkala tatapan meremehkan Furihata membuat calon manajer penyelenggara pernikahannya itu pipinya sedikit tergembung.

Ah, nostalgia.

"Jangan pikirkan itu. Unlimited budget."

Menyerah pasrah dengan polah arogansi menyaingi bentangan jarak dari pluto ke matahari itu—atau ada gugut rindu menusuk-nusuk sembilu, Furihata merintih letih. Ia menghirup napas gugup untuk menghalau jantung yang ribut berdegup.

"Apa Anda sudah punya lokasi pernikahan yang diinginkan?" Pekerja di Seirin Wedding Organizer itu bertanya lamat-lamat.

"Selain outdoor wedding, belum. Tapi aku ingin hutan yang asri dengan pohon-pohon tinggi."

Furihata menggigit bibir seraya mencatatkannya sebagai agenda untuk mensurvey lokasi yang sekiranya cocok dengan rikues sang klien. Matanya menyipit menemukan tulisan tangannya semakin jelek—kendati masih bisa dibaca.

"Beritahukan lagi padaku, Kouki. Hal-hal apa saja yang dibutuhkan dalam pernikahan."

Furihata mengerling ragu kliennya yang tengah bertopang dagu, ia lekas menghindari kelereng magenta yang tajam menyelidiknya. Jari-jemarinya cekatan membuka halaman yang ditandai oleh klip. Berkata perlahan membaca rangkaian daftar hal-hal yang harus dilakukan kendati sebenarnya tertera sebagai hafalan mati dalam memori.

"Lo-lokasi…" Furihata menarik napas dalam. "Fitting gaun pengantin. Cincin pernikahan, kue pernikahan, organisasi catering, suvenir pernikahan, proyeksi altar, buket bunga pengantin, kartu undangan pernikahan, orang-orang yang akan dikirimi undangan pernikahan, bintang tamu—ini opsional, orkestra untuk musik pengiring pengantin atau pesta, dokumentator pernikahan, dan hadiah untuk pengantin wanita dari pihak pria."

Akashi menghela napas pendek. "Banyak juga yang harus dilakukan. Apakah waktunya akan sempat?"

Furihata melengakkan kepala, menatap Akashi seraya bertanya hati-hati, "Ka-kapan … waktu pernikahan yang Anda dan pe-pengantin i-inginkan?"

Akashi balas memandangnya, non-ekspresi. "Dua puluh desember. Satu setengah bulan lagi."

"Te-tepat saat ulang tahunmu?" gerung Furihata terkejut.

Senyum samar Akashi terlalu nyata bagi Furihata. "Ternyata kau masih ingat ulangtahunku."

'Mana mungkin aku lupa, Sei.'

—dan sanggahan itu hanya menggema di palung hati salah satu karyawan di Seirin Wedding Organizer. Furihata tak merespon, ia menyembunyikan di balik hamburan helai-helai anak surai kecoklatan sembari mencatat tenggat waktu deadline baru, sebelum menyadari ada beberapa klien lagi yang harus diurusnya.

Ia mengonsiderasi sejenak, ini bisa dimanfaatkan. Mengurus beberapa klien sekaligus kendati tak sebanyak para seniornya atau Kagami dan Kuroko, acapkali Furihata mengeluh namun ia tak bisa menolak karena itu memang pekerjaannya, tapi baru kali ini ia merasa sedikit lega; pekerjaannya banyak.

"Se—" Furihata seketika berdeham, menelan kembali nama asli orang di hadapannya bulat-bulat menjauhi pangkal tenggorokan—dan selama ini di setiap napas yang terhembus selalu ingin mengucapkan namanya lagi dan lagi, berkata dengan suara rendah, "—A-Akashi … —sama."

"Sama?" Sebelah alis magenta terangkat, merasa sepertinya terjadi kekeliruan besar dengan cara Furihata membubuhkan sufiks di belakang nama keluarganya.

"Karena Anda a-adalah klien." Furihata menghindari tatapan tajam yang seakan menelanjanginya. "E-err … mohon maaf, proyek saya terlanjur sangat banyak. Mu-mungkin Anda bisa meminta seseorang lain yang le-lebih lowong di Seirin Wedding Organizer, a-atau yang lebih professional—mengingat pe-pernikahanmu pasti jadi royal wedding."

"Kenapa aku mendapat perasaan seperti aku baru saja ditolak cinta?" Suara rendah Akashi terdengar toksikal.

Furihata ternganga kaget. Ia menggeleng keras. "Ma-maksud saya—"

Akashi mendengus pelan. "Serahkan pekerjaanmu pada yang lain. Kau urus pernikahanku."

Orang-orang mulai melirik kembali percakapan mereka yang memanas.

"Ba-barusan sa-saya bilang, proyek pernikahan saya sudah banyak—dan deadline berdekatan dengan pe-pernikahan Anda. Saya mohon mengertilah—"

"Kau berani menentangku?"

Furihata dililit desperasi yang membuat napasnya serasa terhimpit. "Bu-bukan begitu! Ta-tapi tentu Anda pasti ingin pernikahan terbaik, tidak mungkin saya yang waktunya terbatas mengurus pernikahan Anda—sementara ada lebih banyak senior lain yang bisa mempreparasi dan mengelola pernikahan Anda menjadi yang terbaik. Karena itu—"

"—dan aku tadi sudah bilang, serahkan pekerjaanmu pada yang lain—semuanya kalau perlu. Kau cukup merealisasikan pernikahan terbaik untukku." Akashi berkata tegas.

"Ti-tidak bisa, ya-yang lain juga punya pekerjaan—"

"—kalau begitu, kau menolak rikues klien, hm?"

Gelengan kepala bersurai coklat itu lebih keras. "Te-tentu saja tidak. Tapi—"

"Perlu aku bicara pada atasanmu?" Akashi memandang tajam jauh ke belakang teman-teman si persona ordinari, tatapan kalkulatif yang menunjukkan ia absolut tidak ingin kemauannya diganggu-gugat. "Aku ingin Furihata Kouki dibebaskan tugas apapun untuk fokus mengurus pernikahanku."

Furihata diterpa panik menoleh ke belakang, dilihatnya teman-temannya ada yang tampak ketakutan bahkan geram dengan Akashi yang sesuka hati memerintah mereka. Oh, tidak. Hasil akhirnya pasti tidak akan menyenangkan.

"Kami berhak untuk menolak klien." Hyuga menandas pedas.

Aida Riko berkacak pinggang. "Meski dengan anggaran biaya tanpa batas sekalipun—yang amat jarang sekali terjadi."

"Ja-jangan!" Furihata mengibas-ibaskan tangan.

Kepala bersurai sewarna dedaunan ranggas itu tertolah-toleh antara grup teman-temannya dan Akashi yang duduk di hadapannya. Ia tidak lupa Akashi—tanpa embel-embel nama besar keluarganya sekalipun—adalah salah seorang Ekonom yang paling influensif di Negara mereka. Bisa-bisa Akashi mem-black-list tempat kerja tercintanya—dan yang paling mengerikan, bagaimana bila nanti Seirin Wedding Organizer harus gulung tikar karena Akashi menyerbak rumor buram kebenaran menghitamkan nama organisasi penyelenggara pernikahan ternama ini?

"Orang brengsek seperti dia tidak pantas memintamu untuk mengurus pernikahannya!" Kagami yang sedari tadi bersusah-payah menahan geram akhirnya berseru emosional.

Kuroko menikam rusuk Kagami agar rekannya itu diam. Siapa tahu apalagi aksara atau bahasa prokem mengerikan macam apa yang akan termuntahkan dari bibir pemuda dengan alis bercabang itu. Kagami yang awalnya hendak mendamprat rekannya itu bungkam, kuroko terlihat menyeramkan. Pemuda bersurai lazuardi itu menyengatkan tatapan tajam pada salah satu orang yang dihormatinya.

"Akashi-kun, semua tergantung Furihata-kun. Jika dia menolak, kami akan menolak. Dan ingatlah kau tidak akan bisa semudah itu menghancurkan Seirin," lugasnya.

Akashi mendecih. Ia menatap Furihata yang matanya berkaca-kaca penuh haru karena merasakan determinasi teman-temannya hanya untuk dirinya. Ia tak suka, benci, mengesalkan. Dirinya adalah absolut. Bilamana ia telah berketetapan menghendaki sesuatu, takkan ada seorang pun yang dapat menghalanginya.

"Kouki, putuskan."

Furihata yang menerima anggukkan kesiapan serta kerelaan dari teman-temannya akan lebih memilih mereka daripada seseorang yang telah meretakkan hatinya—atau tepatnya telah menghancurkannya, tapi ia memantapkan tekad untuk bertanya. Satu saja pertanyaan.

Akashi yang memahami siratan tanya di mata itu mengangguk sekilas, bahasa non-verbal mempersilakan Furihata untuk menyuarakan pertanyaan.

"Ke-kenapa—"

Kenapa harus aku—yang mengurus pernikahanmu dengan orang lain?

Kenapa harus aku—yang masih mengingatmu?

Kenapa harus aku—yang kaupilih?

Kenapa, Seijuurou … kenapa—

.

.

.

"—ha-harus aku?"

.

.

"Sekembalinya aku nanti, tidak peduli perasaanmu akan berubah atau tidak, aku tidak akan melepaskanmu."

.

.

kau lupa sumpahmu?

.

.

.

"Karena aku mau. Dan hanya kau yang bisa. Kalau bukan kau, aku tidak mau."

.

.

.

Butuh bantuan Fukuda bahkan Kawahara mengasisteni Kuroko yang mencoba menghentikan amukan Kagami. Senior mereka di tim Seirin sama geramnya. Bahkan kendati bukan mereka yang punya relasi istimewa atau sempat menyukai entitas titisan iblis bermarga Akashi itu, tapi tak terpungkiri mereka sakit hati mendengarnya.

Pikirlah. Siapa yang bisa menerima dengan akal sehat tatkala kau menunggu seseorang yang kau cinta sekian lama, sekembalinya tahu-tahu ia akan melepas titel lajang dan memaksamu untuk menyiapkan pernikahan untuknya serta kekasihnya saat ini? Hati siapa tak hancur karenanya?

Bagaimana dengan Furihata?

Hening dikeriyapi benturan keras daun-daun yang memprotes jendela bening—etalase—menghalangi tarian dengan angin sebagai musik.

Pemuda malang itu membereskan peralatannya. Gerak-geriknya tenang tanpa ada geletar yang menjalar badan; anomali. Ia membungkukkan badan sopan, mengulurkan tangan.

"Ba-baiklah. Saya terima. Tolong temui saya lagi tanggal 10 November pukul sepuluh pagi."

Akashi memicingkan mata—Furihata tak menatapnya. Ia menyambut tangan itu, menjabatnya—meremasnya mencari resonansi afeksi yang sekiranya masih tersisa. Tiada. Ia tertegun menemukan sudut-sudut bibir yang dulu selalu membuatnya gelap mata itu melekuk senyum—tapi matanya tersembunyi di balik tirai anak-anak surai berspektrum bumi musim panas.

"Te- … terima kasih sudah memberikan saya kehormatan untuk menyiapkan pernikahan Anda." Sepasang mata magenta melebar perlahan. Mata berpupil mungil itu menyorotkan kejujuran, sekaligus kesungguhan impresif yang menderakan kepedihan pada siapapun yang melihatnya.

"Sa-saya berjanji … a-akan menyiapkan pernikahan terbaik untuk Akashi-sama."

Selanjutnya Furihata menarik tangannya, berbalik memunggungi Akashi. Melampaui teman-temannya masuk ke dalam kantor.

Kuroko yang ada di posisi terbelakang dekat pintu yang menuju kantor utama merasakan sesuatu memercik pipinya. Menangkup pipinya, ia menoleh pada pintu yang berdebam pelan tertutup.

Keheningan masih tersisa, Akashi yang merasa sudah tak ada urusan lagi lekas membenam kedua tangan dalam saku celana bahannya. Suara tajam Kuroko menghentikan langkahnya sesaat di depan pintu automatik.

"Puas kau, Akashi-kun?"

Akashi Seijuurou melanjutkan langkah yang tertunda. Red Velvet Cake dan secangkir espresso yang dihidangkan Furihata Kouki ditinggalkan tak tersentuh sama sekali.

.

.

To be continue

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Opening birthday fic for my dear Akashi Seijuurou. Fresh from my brain—di sela hectic RL. *peluk cium mesra Akashi*#disiksapenggemarnya

Mengingat saya dapet banyak protes kok ending Saigo ni Iezu ni Ita AkaFuri-nya tewas, jadi saya kembangkan ending baru—saya lagi gak terlalu galau, nih. X") /whichisprettyrare/

Dan fanfiksi ini sekaligus ungkapan terima kasih untuk teman-teman siapapun yang menominasikan fanfiksi "Saigo ni Iezu ni Ita" di best tragedy oneshot IFA 2014. Terima kasih banget. Fic ini saya dedikasikan khususnya untuk kalian dan LeChi-tachi. *nangis terharu plus peluk satu-satu*

Bagi saya—sebagai penulis fic ini, ini fic cukup fluffy. #dijepret
Ini isinya cuma bunch of romances. *nyengir* nggak usah galau saya tikung seperti Saigo ni Iezu ni Ita. :D

Apdetan fanfiksi lain—kalau sudah siap, pasti update. Hontou ni gomenasai. *sungkem dalem-dalem*

.

And see you latte~

.

Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan. ^_^

.

Sweet smile,

Light of Leviathan