PROLOG
Senja itu, masih ada di sana, duduk di atas bangku belakang rumah sendirian. Dalam sepi dia menatap, dalam sepi pula dia merenung.
'Apa yang harus aku katakan?'
Tangannya bertekur-tekur di atas kertas bertulisan, tidak beraturan, ia gelisah.
Dia tidak mungkin mengatakan ini pada keluarganya, mungkin tidak akan pernah!
Ia mengacak rambut.
Apa yang harus dia sampaikan adalah bahaya, yang siap menembakkan peluru tujuan ke jantungnya, menghentikan peredaran darahnya, mengakukan seluruh tubuh, serta menutup matanya untuk sebuah tidur yang panjang.
Menyedihkan...
'Ini mengerikan...!'
Rambut pirangnya tidak lagi beraturan, diacak berkali-kali tanpa henti dengan ajuan frustasi. Kalut, bingung, tidak tahu harus melakukan apa.
"Apa yang harus aku lakukan...?!" jeritnya pelan.
Untungnya saja, area sekitar belakang rumahnya sepi; tidak ada pejalan kaki, dan tidak ada orang lain yang sekiranya menguping, atau melakukan hal kurang kerjaan yang lainnya.
Dia baca lagi kertas itu, masih ada di tangannya, kondisi kertasnya lebih menyedihkan daripada satu menit yang lalu.
'Aku harus bagaimana? Apakah aku akan begitu merepotkan keluargaku... dengan kondisiku sekarang ini... dan yang akan datang?'
Sekarang, dia hanya bisa menghela nafas lelah, sembari menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan yang sesungguhnya...
to be continued
