Ketika senja telah jatuh mengawang pada langit, dan suara gagak samar-samar terdengar dari kejauhan sana, suara langkah kaki itu berjalan dengan suara tap-tap-tap yang kontras dengan keheningan ruang.
Matanya sipit. Kulitnya sebersih dan seputih awan. Matanya mengilat bersama cahaya malam, memaparkan iris hitam bening itu. Jas biru dan rambut yang tak tersisir. Tubuhnya berjalan ringan menapaki lorong, dan kemudian berhenti sebentar.
"Kim Seokjin," ia berujar, melupakan perihal umur dan sopan santun, yang ditemuinya ialah musuh bebuyutan yang ingin ia bunuh setelah sekian lama. Namun hilang sudah kehormatan perusahaan yang ia dapat jika tangannya itu bersedia memenggal kepala Seokjin secepat yang ia inginkan.
Seokjin, sang lelaki dengan bahu lebar, dan senyum yang menyita seluruh mata umat. Tak seorang pun yang tahan jika berada di dekatnya tanpa disertai hawa nafsu. Namun Min Yoongi –lelaki yang tengah berdiri di depannya itu, diliputi oleh begitu banyak kebencian, sehingga tak ada secuil pun ketertarikan pada pemikat hati itu.
"Lama tak jumpa, Min Yoongi-ssi," Seokjin tersenyum lagi, ia menunduk, dan matanya menghadirkan sebuah kilatan sinis yang membuat Yoongi menahan tangannya untuk melayangkan tinju.
Namun sebagai sebuah formalitas. Dan sebuah kehormatan. Ia tersenyum. "Lama sekali. Semenjak kau membunuh ayahku."
.
.
Devil Games
Min Yoongi. Park Jimin
"Is a way to die, and you're alredy in."
.
.
"Min Yoongi sialan!" itu suara Jungkook, anak bawahan Min Yoongi, seorang sepupu jauh, dan seorang kaki tangan kurang ajarnya –adalah kata lain dari 'setia' dalam kamus Yoongi. "Berhenti membuatku melakukan sesuatu yang bodoh! Kau mau aku membunuh asisten perusahaan terbesar seantero Korea Selatan?"
"Ya," Yoongi, sedang membaca dokumennya, berdeham sekali dan kemudian mengambil kopi di sisi kanannya sembari matanya menatap Jungkook malas. "Kau bilang kau bisa membunuh siapa pun yang kuucapkan."
"Bukan berarti seseorang yang bisa memotong seluruh bagian tubuhku!" Jungkook menghempaskan tubuhnya untuk duduk tepat di depan meja Yoongi, tersenyum hambar. "Bodoh ya, perusahaan kita juga akan teramcam."
"Peduli setan," ketika kalimat itu terlontar, mata Yoongi langsung terjatuh pada iris gelap Jungkook, seolah sedang mengintimidasi yang lebih muda. "Dia kaki tangan Hoseok, dia orang yang membunuh pamanmu, yang membunuh ayahku. Dia orang yang membuatku harus mengambil seluruh tugas dan beban perusahaan. Dia orang yang membuat ayahmu koma."
"Kau masih mempunyai rasa takut untuk membunuhnya?"
Jungkook berdecih. "Tentu saja. Bahkan jika aku begitu inginnya untuk balas dendam, tapi paling tidak aku masih memikirkan kehidupanku. Paling tidak, ayahku masih hidup untuk sekarang, dan aku tidak ingin meninggalkannya hanya karena urusan balas dendammu yang merepotkan."
Yoongi berjengit. Pandangannya begitu tajamnya, dan tak ingin lepas dari Jungkook, hingga anak itu menenggak air liurnya cepat-cepat. "Bunuh dia. Itu perintahku. Atau jika kau bisa melakukan sesuatu seperti membawa seseorang yang berharga untuknya."
"Pilihan yang barusan," Jungkook mengangkat sedikit bahunya, matanya sedikit lebih bersemangat. "Apa aku bisa melakukan perintah yang kedua saja?"
Yoongi bersandar. Kemudian menatap dalam kekosongan sembari ia berpikir begitu lama. Sampai ketika seorang wanita berseragam masuk ke dalam ruangannya dengan tumpukan laporan di tangannya, Yoongi mengangkat bahu sebagai balasan.
"Lakukanlah."
.
.
.
"Min," Seokjin, sang pemikat hati itu terduduk di samping tempat tidurnya, sembari ia menatap seseorang yang berdiri di sudut ruangan dengan begitu ketakutan. Matanya redup, bersama bibirnya yang bergerak gemetaran.
"Min, kemarilah," sebuah rayuan yang langsung ditolak, yang dipanggil malah semakin memojokkan diri di sudut ruangan. Menggeleng kuat-kuat.
Seokjin berjalan berjalan menuju lelaki bersurai hitam itu, kemudian menggapai sisi pipinya dengan begitu lembut. Matanya menyirat sebuah penyesalan, dan sesungguhnya dalam hatinya pun begitu.
"Maafkan aku," ia bergerak untuk mencium bibir temban itu, namun pemiliknya memalingkan muka dengan bibir yang masih gemetaran. "Jimin."
Matanya menatap Seokjin, walau enggan. Ia masih belum ingin meninggalkan semua kecanggungan dan ketakutannya.
"Pembunuh."
Seokjin terdiam. Sebuah kilatan kebencian terlompat keluar dari tempat, jatuh menuju manik Seokjin. Dan lelaki berbahu lebar itu tak bisa melakukan apa pun selain mematung.
"Kau membunuh laki-laki itu," yang dipanggil Jimin itu sudah hampir menangis, namun ditahan-tahan, tubuhnya begitu ketakutan hingga Seokjin bisa melihat pundak si pendek di depannya bergetar begitu kuatnya.
"Itu perintah Min."
"Tapi kau tetap melakukannya."
"Min, aku juga menyesal atas perbuatanku. Aku memikirkannya setiap saat asal kau tahu. Aku hanya melakukan apa yang diperintahkan. Atau aku juga akan mendapat masalah."
Jimin tertawa kecil, kemudian menarik napas. "Jika Hoseok memintamu membunuhku, kau juga akan melakukannya?"
"Demi apa pun," Seokjin hampir berteriak, ia mencengkeram pundak Jimin dan matanya jatuh pada manik itu dengan begitu marahnya. "Aku melakukan apa pun untuk membuatmu hidup! Jangan katakan hal konyol seperti itu."
Namun Jimin tidak bergeming, ia hanya menyingkirkan tangan Seokjin dari pundaknya dan bergerak menjauh, berjalan menuju pintu kamar mereka sembari ia mengambil ponselnya dari saku dan mengetikkan sebuah pesan.
"Aku akan menginap di tempat adikku malam ini," Jimin berkata, ia tak ingin menatap Seokjin kala itu, hanya melengoskan kepala dan membuka pintu. "Malam, Seokjin Hyung."
Dan Seokjin tidak bisa mencegah si pipi tembam untuk pergi, ia hanya berdiri terpaku dan menatap tanpa berkata apa-apa. Sungguh jika saja ia mempunyai suatu alibi, ia pasti telah menarik si pendek itu untuk kembali ke kamar dan mendekapnya dalam-dalam. Sayangnya, ia tak memiliki satu pun alibi, alasan, dan hal yang bisa mencegah Jimin tetap di ruangan itu.
Sejujurnya. Seokjin sendiri ragu, ia masih punya alibi untuk tetap berdiri di ruangan itu. Setelah semua yang dia lakukan pada kepala perusahaan besar Korea Selatan, hanya karena sebuah perintah. Mungkin seharusnya ia mendekam dalam jeruji, atau mati terkubur di suatu tempat.
Sejujurnya. Seokjin tak akan pernah bisa menjelaskan seberapa besar penyesalan itu. Tapi karena ia telah berada dalam permainan iblis. Maka ia harus bermain selayaknya setan.
.
.
"... aku sedang dalam perjalanan ke apartemenmu," Jimin berkata, tubuhnya turun dari bus terakhir yang ia naiki dan menatap deretan apartemen di depannya. Lampu-lampu jalan telah dihidupkan, sedang ia terus berjalan di sisi jalan, sembari mulutnya bercakap-cakap lewat ponselnya.
"Baiklah, aku sudah dekat, tunggu aku," tepat ketika Jimin akan menutup telpon, sebuah deguman keras di kepalanya membuatnya tersungkur ke bawah, hingga tubuhnya menghempas jatuh pada jalanan beraspal.
Ia masih bisa mendengar suara seseorang ketika ia mengerang dan mencoba bangun. Namun tangannya tiba-tiba diikat, dan tubuhnya diseret pada sebuah mobil van putih, mendorong tubuhnya yang kemudian terhempas pada kursi mobil.
"Min Yoongi," lelaki dengan ponsel yang terselip di antara bahu dan telinganya itu membekapkan sebuah kain pada Jimin, hingga Jimin tak akan sempat berteriak atau pun bertanya-tanya lagi –walaupun lelaki itu telah tak mempunyai tenaga apa pun. "Aku mendapatkannya. Kau di apartemenmu sekarang?"
Sementara telpon itu di matikan, lelaki itu pindah ke kursi kemudi, menoleh sebentar pada Jimin sebelum melajukan mobil. "Maaf Park Jimin-ssi."
"Ini perintah."
.
.
Yoongi menaruh kembali ponselnya ketika ia mendengar suara bell ditekankan berulang kali, dan tubuhnya langsung berjalan menuju pintu dan langsung membukanya pula begitu tahu itu Jungkook.
Di sebelahnya, seorang laki-laki dengan jaket abu-abu –jaket Jungkook– berdiri, tudung jaket itu menutupi kepalanya hingga tak ada yang melihat rembesan darah yang mengucur di sana. Ada bekas ikatan yang memerah di pergelangan tangannya, habis dilepaskan begitu sampai ke apartemen itu.
Yoongi menunjuk ke dalam apartemen dengan matanya, memberi Jungkook isyarat untuk membawanya masuk. Dan langsung dipatuhi.
"Park Jimin," Jungkook menjelaskan, ia kembali mengikat lengan Jimin dan membekap mulutnya ketika pintu apartemen telah terkunci. Ditatapnya Min Yoongi sekilas, kemudian kembali lagi pada Jimin. "Kekasih Kim Seokjin. Seluruh hidup Seokjin adalah Jimin. Jika kau bunuh laki-laki ini. Kau akan membunuh Seokjin."
Yoongi berjalan mendekat, bibirnya terangkat sebelah, tersenyum miring. Ditagupnya dagu laki-laki yang menatap Yoongi penuh amarah itu, kemudian merabai darah yang ada di dahinya. "Well, Park Jimin. Aku ingin bermain denganmu."
"Aku tidak akan menggunakan pistolku untuk saat ini," Yoongi berkata, mendekatkan bibirnya pada telinga Jimin sembari berbisik. "Sampai saat itu, biarkan aku menyiksa Kim Seokjin sedikit demi sedikit."
.
.
TBC
.
.
This is YoonMin with uke Jimin.
Thanks for all your support. Thanks for the reviews. Your reviews become my writing motivation. Thanks guys. See you next chapter.
RnR?
